Diskusi Dinamika Politik Menuju 2024 dibuka oleh Fahmi Wibawa selaku Direktur Eksekutif LP3ES. Fahmi Wibawa menekankan harus ada ‘langkah konkret’ terkait mundurnya demokrasi dengan mengenali aktor-aktor yang ada di dalam konstelasi demokrasi Indonesia dan jalannya pemilu nanti oleh pembelot yang bersembunyi dibalik layar.
Menurutnya kita selaku masyarakat sipil pun juga memiliki peran dengan mengawal langkah konkret tersebut. Diadakannya diskusi ini merupakan wujud pengamalan demokrasi tersebut. Bersamaan dengan tema diskusi sore hari ini, big data merupakan medium bagi ‘langkah konkret’ tersebut, melalui analisis data yang kelak dapat membantu kita untuk memetakan aktor-aktor politik yang memiliki peran signifikan, serta mengurai proses perilaku dari setiap aktor – baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
Ritual Oligarki
Diskusi diawali oleh Wijayanto selaku Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES serta Dewan Pakar Continuum, yang mengutip Refleksi Outlook 2022/2023 Ritual Oligarki menuju 2024, “Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia”.
Menurutnya hal yang penting dalam situasi demokrasi saat ini adalah Memonitor percakapan publik, mengutip apa yang dikatakan Ben Anderson bahwa informasi yang benar dalam negara demokrasi diibaratkan seperti oksigen, oleh karenanya informasi menjadi hal yang penting saat ini, baik akademisi, politisi dan masyarakat pada umumnya. LP3ES dan Continuum pun bekerja sama dalam melakukan monitor percakapan publik tersebut.
Percakapan publik yang kerap hangat muncul di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini adalah Masa Jabatan Kepala Desa – yang paling banyak mendapat perhatian. Duo PKB Muhaimin Iskandar dan Abdul Halim menjadi aktor yang disorot selaku pencetus ide tersebut. Selain itu isu Penundaan pemilu, Kredibilitas KPU, Kemunduran Demokrasi dan Politik Dinasti – Mayoritas perbincangan-perbincangan isu ini sarat dengan kritik dan respon negatif oleh masyarakat.
Demokrasi Masuk Jurang
Senada dengan Wijayanto, Prof Didik juga menjelaskan terdapat lima masalah yang dapat menggiring ‘demokrasi masuk jurang’. Senada dengan Wijayanto, diskusi dipantik oleh Prof Didik dengan kembali menekankan lima isu politik krusial yang hangat dalam perbincangan publik yakni, perpanjangan masa jabatan kades, penundaan pemilu, kredibilitas KPU, politik dinasti, dan kemunduran demokrasi.
Terkait isu Perpanjangan Masa Jabatan Kades, mestinya inti demokrasi adalah pembatasan kekuasaan – oleh karena itu seharusnya terdapat batasan jabatan publik. Inti dari kekuasaan politik itu tersendiri merupakan adanya check and balance. Menurutnya upaya perpanjangan masa jabatan kades tersebut merupakan bentuk kolusi politik serta praktek najis bagi demokrasi – sama halnya dengan praktek jabatan seumur hidup.
Isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan upaya menjajal arus gelombang rakyat pertahanan demokrasi di akar rumput. Tentu masyarakat menolak wacana tersebut. Kendati ditolak, tetap ada upaya penggiringan isu perpanjangan kekuasaan melalui isu penundaan pemilu.
Dari hasil riset big data, kredibilitas KPU dipertanyakan secara prihatin oleh publik. Komisioner yang menjabat sekarang, dipertanyakan, karena status posisi mereka merupakan hasil perebutan pengaruh dan kolusi di bawah tanah dengan partai-partai politik.
Di Indonesia politik dinasti yang bercampur oligarki juga menjadi temuan dalam perbincangan publik. Campuran politik dinasti dengan sistem oligarki juga akan menggiring demokrasi ke jurang. Kendati tidak tidak haram, praktek ini tetap dapat menggiring ‘demokrasi ke dalam jurang’.
Pelaku demokrasi (politisi dan partai yang berkuasa saat ini) justru mengkhianati demokrasi yang mengarah kepada kemunduran, continuum menemukan ada watak otoriter dibalik aktor aktor demokrasi.
Antara Negara, Oligarki dan Partai Politik
Abdul Hamid selaku Dewan Pengurus LP3ES juga memberikan pendapatnya terkait dengan keadaan kondisi bangsa saat ini. Menurutnya Negara telah mengubah dirinya menjadi “horor”, sehingga kritik apapun yang diajukan untuk negara tidak dapat bermakna, Dalam konteks ini negara telah melakukan kolusi antara parlemen dengan eksekutif yang mengakibatkan negara tidak lagi independen yang justru menghilangkan tugas tugas etis (keadilan/kesejahteraan) dalam bernegara. Negara berubah fungsi menjadi alat teror diantara masyarakat.
menurutnya partai politik mesti menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam menghadapi situasi saat ini. Selain itu kelompok masyarakat sipil juga penting untuk tetap menyuarakan hal-hal ini. Abdul Hamid juga menilai Indonesia kedepannya cenderung dalam situasi bahaya – melihat dari ketiga kekuatan politik; negara atau oligarki yang sudah menyatu dengan partai politik, serta orientasi masyarakat yang sudah terpecah. Diperlukan analisis yang mendalam untuk mencarikan jalan keluarnya, dalam melihat kegaduhan dalam perbincangan publik. Abdul hamid mengatakan :
“Big data merupakan data verbal. Data verbal bukan berarti tidak memiliki fungsi apa-apa. Kendati berakar dari persepsi, tetapi persepsi merupakan wujud kepercayaan. Oleh karena itu, hasil analisa big data Continuum merupakan hasil kepercayaan dari opini publik. “
Perbincangan Publikdan Elektabilitas Tokoh
Selain itu menurut Wahyu Tri Utomo Data Analyst Continuum, sosial media kini telah digunakan sebagai strategi bagi suatu aktor politik dalam mencapai kepentingan politik mereka. Dari hasil riset Continuum, terdapat empat tokoh yang dikaitkan sebagai capres, yakni Anies, Prabowo, Puan dan Ganjar. Anies menjadi tokoh yang paling banyak dikaitkan sebagai capres, dengan AHY kerap dikaitkan sebagai cawapres. Pasangan lainnya adalah Ganjar – Erick Thohir. Sementara nama Puan belum memiliki nama cawapres yang signifikan.
Menurut Continuum, Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY merupakan tokoh yang paling banyak menjadi perbincangan. Anies juga menjadi tokoh dengan tingkat penerimaan yang tinggi sebesar 85%. Dari hasil penelitian big data yang dilakukan continuum dengan LP3ES, dalam aspek politik terdapat tokoh-tokoh yang paling mendominasi dalam perbincangan publik yaitu Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY.
“Kebijakan ini sebenarnya menjadi payungnya, kalo kebijakan energinya masih pro batubara pasti akan lebih banyak pembangunan ke batubara, tapi kalo kebijakannya bergeser, akan kelihatan diprakteknya” Ujar Dwi Sawung dalam Seminar Kebangsaan yang dilaksanakan di Universitas Sultan Ageng di Serang, Banten. Seminar yang dilaksanakan pada Kamis, 29 September 2022 tersebut bertemakan “Kerusakan Lingkurangan dan Pemanfaatan Energi Terbarukan.” Dalam hal ini UNTIRTA berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai Universitas, diantaranya UIN Syarif Hidayatullah, UPN Jakarta, Universitas Trisakti, serta Forum Scholarium LP3ES.
Menurut Dwi Sawung, Manager Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Wahan Lingkungan Hidup (WALHI), Kerusakan lingkungan memiliki 2 faktor utama-Perubahan iklim serta persoalan antroposentris.
Ia menilai perubahan iklim mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam jangka waktu yang lama serta berpengaruh ke berbagai sektor. Menurutnya,Kerusakan lingkungan yang dipengaruhi perubahan iklim sangan erat kaitannya persoalan antroposentris; mulai dari perkembangan manusia, Kebutuhan, serta pembangunan.
“Sehingga alam dan lingkungannya diabaikan” Jelas Sawung.
Ia juga mengkritisi kebijakan Pemerintah yang seringkali tidak memperhatikan dampak lingkungan. Menurutnya proses kerusakan lingkungan sangat bertumpu pada kerangka kebijakan yang diatur oleh negara.
“kebijakan ini sebenarnya menjadi payungnya, kalo kebijakan energinya masih pro batubara pasti akan lebih banyak pembangunan ke batubara, tapi kalo kebijakannya bergeser, akan kelihatan diprakteknya”
Dalam hal ini pemerintah juga berupaya mencari langkah yang solutif berdasarkan permasalahan yang ada melalui Energi Baru Terbarukan (EBT). Berdasarkan data dari Dewan Energi Nasional (DEN) pusdating dan unit ESDM tahun 2020 pemerintah dalam hal ini melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) berupaya meningkatkan energi terbarukan. Sehingga pada 2025 energi terbarukan mencapai sebesar 23%, namun faktanya pada tahun 2020 baru mencapai 10,90%. Menurutnya ini tidak akan mencapai target.
“ini masih sangat jauh sekali, pada tahun 2022 mungkin hanya mencapai 11% dan itu membutuhkan 2 kali lipat lagi dari yang ada sekarang”
Urgensi dan tantangan Energi Baru Terbarukan (EBT)
Lya Anggraini, Peneliti LP3ES, Selaku Narasumber juga menjelaskan urgensi energi terbarukan. Pasalnya, penggunaan energi fosil/ tak terbarukan akan memiliki dampak yang negatif. Mulai dari polusi udara yang berbahaya bagi Kesehatan manusia, Beberapa zat yang dilepaskan dari pembakaran energi fosil dapat menyebabkan hujan asam, Ekstraksi batubara, hingga minyak dan gas bumi menimbulkan pembukaan lahan yang besar.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan pemanfaatan energi fosil di Indonesia masih mendapat subsidi dari pemerintah. Sehingga harga energi fosil yang fluktuatif menyebabkan beban anggaran negara ketergantungan terhadap impor energi fosil yang sangat rentan terhadap perubahan politik global.
Upaya peralihan menggunakan energi terbarukan juga menghadapi tantangan. “listrik tidak dapat disimpan dalam sekala besar, setiap saat listrik yang dibangkitkan harus sama dengan konsumsinya.” Jelasnya.
Namun menurut Yus Rama Denny, Ketua Jurusan pendidikan fisika UNTIRTA, Energi Baru Terbarukan (EBT) masih mempunyai peluang dan harus diusahakan. Misal, Solar cell yang memiliki potensi sangat besar yaitu 23.000 TW.
Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, 75% dari bauran energi indonesia. ini menyebabkan pada 2018 Indonesia merupakan penyumbang emisi tertinggi dari pembangkit listrik sebanya 35% diikuti oleh sektor industri dan transportasi, masing masing mencapai 27%. Hal ini dikhawatirkan akan beribas pada kenaikan suhu yang berkelanjutan.
“Dari tahun 1950 emisi karbon terus naik, hingga tahun 2050. Ini yang menjadi titik tekan bagi kita dan harus di perhatikan dalam menjaga lingkungan. “
Menurutnya upaya peralihan dari bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) harus diusahakan demi menjaga lingkungan.
“Kami mengusahakan gimana solar sel yang tidak menghasilkan karbon dioksida dan bisa juga berbasis limbah elekronik dan batrai”
Ia juga mengakui bahwa upaya tersebut msaih terhalang oleh beberapa faktor. Mulai dari produksi bahan solar cell hingga pemanfaatan limbah yang bergantung pada limbah dari barang impor.
Upaya menjaga lingkungan tersebut juga di jelaskan Tenaga Ahli Bidang Energi Kantor Staf Presiden (KSP) Ahmad Agus Setiawan. Ia menjelaskan bahwaKomitmen indonesia dalam menurunkan emisi sesuai amanat UU No 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreetment : “ menurunkan emisi GRK 29% (kemampuan sendiri) atau 41 %(dengan bantuan internasional)
Kedepannya, Ia berharap kepada generasi muda baik dari kalangan Aktivis maupun akademisi mampu mengkritisi persoalan lingkungan sehingga membantu pemerintah dalam mewujukan pengunaan Energi baru Terbarukan (EBT).
“Kuncinya satu, berharap generasi muda mengkritisi persoalan lingkungan” Tegasnya.
***
Penulis: Muhammad Alfaridzi (Internship LP3ES)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ruang demokrasi modern saat ini merupakan suatu model representasi representation democracy untuk menghadirkan dan mengartikulasikan kepentingan publik yang begitu luas agar direalisasikan dalam bentuk kebijakan, namun dalam kenyataannya yang terjadi pada konteks saat ini, representasi demokrasi tidak berjalan maksimal karena posisi wakil rakyat yang menjadi saluran representasi publik menurut (Soeseno :2013) antara ada dan tiada being present and yet not present.
Ketidakefektifan tersebut memberikan dampak terhadap tidak berfungsinya saluran saluran representatif terhadap ruang publik. Pada akhirnya kemudian, ruang publik berikut pula representasi politik tidak berjalan efektif dan efisien dalam mengartikulasikan kepentingan publik untuk dieksekusi dalam kebijakan. Oleh karenanya pada saat ruang publik sebagai pilar utama dalam berjalannya demokrasi secara prosedural tidak berjalan dengan baik. Maka kebutuhan untuk membentuk saluran representasi maupun ruang publik baru menjadi sangat urgent dan signifikan dalam masyarakat Indonesia.
Dengan begitu ketika penetrasi internet sudah sedemikian masif dalam masyarakat kita dewasa ini, maka saat itulah kemudian internet ditempatkan sebagai ruang publik dan saluran representasi baru publik yang disebut sebagai ruang publik digital atau cyberspace. Kemunculan cyberspace melalui sosial media ini menarik untuk dibahas karena mampu mentransformasi ruang publik dalam bentuk digital. Dibandingkan dengan ruang publik, cyberspace mampu menarik perhatian bagi setiap segmen publik untuk komunikasi dan berinteraksi.
Terlebih dalam beberapa tahun terakhir , indonesia mengalami kondisi penyempitan ruang sipil (shrinking civic spaces) terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Freedom house mencatat bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan ditahun 2021 skor indeks demokrasi di Indonesia turun kembali menjadi 59, yang menempatkan Indonesia pada kategori bebas sebagian (partly free).Gejala menyempitnya ruang sipil ini telah banyak dirasakan di kalangan masyarakat sipil, ditandai dengan semakin banyaknya kasus – kasus kriminalisasi terhadap aktor sipil, menggunakan pasal-pasal karet, misalnya dalam UU ITE, yang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu, para aktor sipil juga kerap menerima berbagai bentuk ancaman, baik fisik maupun non-fisik. Di internet, bentuk-bentuk gangguan berupa doxing, perundungan dan ujaran kebencian, telah lazim diterima oleh aktor sipil.
Untuk itu dalam konteks ini aktivisme digital pada akhirnya bergerak menuju sebuah gerakan sosial untuk mengembalikan marwah rakyat yang mengutamakan nilai-nilai demokrasi. Seperti yang dirujuk pada konsep Giddens (1993 : 642) mendefinisikan gerakan sosial sebagai bentuk upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai suatu tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) diluar lingkup lembaga-lembaga mapan. Hal ini juga diperjelas oleh Wasisto Pengamat Politik Brin dalam webinar Scolarium LP3ES.
“Dalam perspektif teoritis, aktivisme ini dibagi dalam dua hal yakni sebagai gerakan moral yaitu bagaimana teman teman aktivis berkembang nantinya menjadi kelompok kepentingan yaitu mengembalikan lagi marwah demos sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Kedua tentang gerakan politik yang berkembang sebagai semacam kelompok penekan yaitu upaya melakukan perubahan secara sistemik” Ujar Wasisto dalam Forum Scholarium LP3ES 23/08/2022.
Di zaman yang kian dinamis seperti sekarang ini, manusia membutuhkan pemikiran dan gagasan yang dapat menembus zaman dan waktu dalam membebaskan manusia pada dunia yang absolutisme dan dogmatis. Era revolusi industri 4.0 saat ini yang sudah bergerak ke arah society 5.0 sudah barang tentu memiliki kehidupan yang jauh lebih problematis. Revolusi pengetahuan ke arah yang lebih baik mesti dilakukan untuk menghidupkan kembali kanal-kanal yang redup akibat pertarungan narasi yang justru menguatkan kontroversi dari pada untuk menyelesaikan suatu masalah. Padahal persoalan-persoalan bangsa saat ini jauh lebih serius untuk diselesaikan dari pada hanyut pada hiruk pikuk perang narasi yang tidak kunjung memberikan alternatif jawaban.
Media Sosial dan Aktivisme
Dalam sekitar satu dekade terakhir kebanyakan masyarakat Indonesia begitu antusias mengadopsi berbagai platform digital di media sosial dan aplikasi pesan instan. Penetrasi teknologi yang begitu pesat kerap kali dibungkus dalam narasi techno-utapianism yang terkait dengan harapan pertumbuhan ekonomi. Namun pemanfaatan platform media sosial juga mesti dilihat pada konteks penguatan demokrasi dan perubahan sosial dimasyarakat yang kerap kali menjadi tantangan Indonesia kedepan.
Oleh karenanya istilah aktivisme digital atau peran masyarakat dalam menggunakan teknologi digital dalam berbagai gerakan sosial di masyarakat khususnya di Indonesia menjadi penting untuk diamati. Hal ini juga terkait dengan algoritma yang mendasari bagaimana media sosial bekerja, sehingga pelaku aktivisme digital dapat terlihat / visible dan “populer” pada masyarakat luas dengan tanpa menghilangkan esesnsi dan substansi dari aktivisme tersebut. Dengan begitu kita dapat membandingkan bagaimana aktivisme itu bekerja dari waktu ke waktu dengan berbagai perubahan teknologi yang massif, misalnya pada aktivisme tahun 66, 98 dan hingga masa kini.
Ruang Publik Digital
Untuk itu penting melihat ekosistem aktivisme secara komprehensif dan holistis dengan tidak hanya memperlihatkan faktor teknologi, namun faktor kondisi sosial dan budaya serta konteks historis dari aktivisme dan berbagai gerakan sosial yang muncul dan berkembang dimasyarakat. Dalam konteks ini rasionalitas masyarakat dalam bermedia sosial mestinya ditingkatkan agar tidak terjadinya perdebatan publik yang emosional dan menuju kepada irasionalitas.
Menurut Habermas, ruang publik atau yang disebut sebagai public sphere, harusnya dapat meningkatkan diskursus dimasyarakat—namun dalam kenyataannya di Indonesia malah menimbulkan emosional yang mendalam diantara kelompok masyarakat dan menimbulkan polarisasi yang cukup tajam. Menurut Ubedillah Badrun yang merupakan dosen UNJ sekaligus aktivis 98 beliau mengatakan :
“ Masyarakat kita sudah mengalami irasionalitas didalam digital public sphere itu, nah pr kita bagaimana menggiring netizen itu menjadi rasional, dengan menumbuhkan rasionalitas maka diskursus menjadi lebih hidup dan isu isu publik harus menjadi bahan perdebatan, bukan bahan caci maki, perlu ada edukasi digital”, ujarnya dalam podcast LP3ES
Oleh karenanya dibutuhkan kembali pemikiran yang rasional di era digital saat ini agar perdebatan publik menjadi semakin berisi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Dalam buku Nestapa Demokrasi : Dimasa Pandemi, Refleksi 2021 Outlook 2021 dijelaskan bahwa semakin banyak akun –akun anonim (Buzzers) dan bahkan akun-akun robot (bots) yang justru lebih mengejar kuantitas semata untuk memadati ruang publik ketimbang bobot argumentasi.[1]
Dampak RKUHP
Apalagi saat ini perdebatan publik mengenai Rancangan UU KUHP yang masih menuai pro dan kontra. Banyak akademisi menilai bahwa RKHUP ini berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi para aktivis. Dalam webinar LP3ES Milda Istiqomah peneliti LP3ES mengatakan bahwa :
“Mengapa RKUHP ini masih berpotensi mengancam demokrasi? Mengapa saya masih menggunakan kata berpotensi karena harapannya RKUHP ini tidak mengancam demokrasi. Karena sudah banyak pakar hukum dan politik yang mengatakan bahwa rezim ini sudah beranjak ke sistem otoriter. Apakah RKUHP ini akan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan? Inilah yang harus kita jawab bersama.”
Terlebih juga alih-alih mendemokratiskan hukum pidana, RKUHP disinyalir ini mengancam kebebasan dasar & HAM. RKUHP lebih digunakan untuk melindungi kepentingan politik negara dan kelompok masyarakat ketimbang mencari keseimbangannya dengan kebebasan sipil dan hak-hak individu.
Jumhur Hidayat yang merupakan aktivis dan penulis buku Bumi Putera Menggugat juga mengatakan bahwa UU yang berkaitan langsung dengan kebebasan sipil dan politik ini mestinya harus segera dicabut seperti misalnya yang tercantum Peraturan Hukum Pidana tahun 1946, pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum dan pasal penghasutan, serta pasal-pasal ujaran kebencian (hate speech) dan pencemaran nama baik dalam dalam UU ITE.
Menurutnya Setidak-tidaknya pasal-pasal yang karet tersebut tidak lagi digunakan untuk menjerat pemikran kritis dari kalangan masyarakat sipil dan politik dalam hal ini adalah yang beroposisi dengan penguasa. Siapapun yang berkuasa baik itu pada cabang eksekutif maupun legislatif bertanggung jawab untuk segera mencabut atau menghapuskan atau setidak-tidaknya membuat aturan turunannya sehingga tidak bisa lagi menjerat masyarakat sipil dan politik yang mengritik atau bahkan mengecam pemerintah yang berkuasa.
Gerakan Sosial Saat ini
Meskipun saat ini perlawanan masyarakat sipil masih lantang bersuara untuk menolak beberapa pasal yang ada di RKHUP, baik akademisi kritis yang berperan sebagai intelektual publik sebagai public opinion leader dan mahasiswa –mahasiswa kritis yang bersedia turun kejalan, namun perlawanan tersebut selalu dilemahkan oleh para oligarki. Misalnya pasukan siber yang berhasil mengalahkan intelektual organik di ruang digital publik. Kampus mengalami normalisasi seperti zaman orde baru, demonstrasi dihadapi dengan represi.
Selain itu juga permasalahan gerakan sosial saat ini adalah perlawanan yang dilakukan masih terfragmentasi dan tidak cukup terkonsolidasi. Untuk itu perlu membangun sinergi dikalangan elemen masyarakat sipil ,aktivis,akademisi, agamawan dan jurnalis agar tidak lagi Indonesia terpelosok ke jurang otoritarianisme.***
[1] Wijayanto et al (2021). NESTAPA DEMOKRASI DI MASA PANDEMI: REFLEKSI 2020, OUTLOOK 2021, 205.
Ekosistem Digital telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Cepat atau lambat Indonesia akan menuju era metaverse yang diyakini akan ikut mengubah pola relasi sosial ekonomi warga negara.
“Saat ini hampir 80% kehidupan manusia mulai tergantung pada teknologi digital. Sehingga penting bagi pemerintah untuk membuat regulasi yang baik bagi ekosistem digital masa depan seperti metaverse” demikian ujar Adam Ardisasmita Ceo Arsanesia saat berbicara dalam webinar “Metaverse Peluang atau Ancaman Dalam Konteks Arah Masa Depan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Scholarium LP3ES, Kamis (27/01/2022).
Adam menambahkan metaverse bukanlah hal yang sama sekali baru. Menurutnya, konsep metaverse telah lama hadir pada dunia game, bahkan pada tahun lalu hampir Rp 24 triliun dihasilkan dari transaksi yang dilakukan gamers Indonesia melalui pembelian karakter-karakter privilege dalam game.
“Buat para gamers ini metaverse bukan konsep yang baru, bagi kita yang sudah lama main game punya avatar make a living bukan sekadar main insight the digital world, is not something new,” kata Adam.
Senada dengan Adam, dosen Teknik Informatika Universitas Pamulang Yan Mitha Dyaksana menjelaskan metaverse bukan sekadar game atau permainan yang sedang berkembang dalam dunia digital namun lebih dari itu dapat dimanfaatkan dalam segala sektor ekonomi dan bisnis termasuk sektor pendidikan.
“Memang ada kekhawatiran terkait privasi data pengguna dan dampaknya terhadap sektor informal namun hal ini menjadi tantangan ke depan,” ujar Yan Mitha Dyaksana.
Dalam kesempatan yang sama, staf ahli DPR RI Fajar Hasani mengatakan bahwa Metaverse menjadi tantangan sendiri bagi negara untuk menghasilkan kebijakan yang berpihak pada masa depan bangsa.
“Pemerintah mesti merespon dengan cepat era metaverse ini terutama dalam konteks kebijakan pemerataan akses teknologi dan perlindungan data pribadi,” jelas Fajar.
Ditemui sesaat setelah acara webinar, koordinator Sholarium LP3ES, Teddy Nugroho menjelaskan Indonesia dalam beberapa tahun kedepan akan mengalami bonus demografi yang didominasi oleh usia produktif yang berpengaruh terutama terhadap peluang lapangan pekerjaan.
“Dengan penetrasi pengguna internet yang semakin tinggi, usia produktif yang telah terbiasa dengan dunia digital memiliki peluang yang besar dalam mengembangkan ekonomi kreatif melalui metaverse,” jelas Teddy Nugroho. ***