by lp3es2022 | May 10, 2025 | Demokrasi
Kementerian Koperasi, Universitas Padjadjaran, Ikatan Alumni Universitas Padjadjaran, LP3ES dan Yayasan Hatta akan melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Refleksi Gagasan Koperasi Bung Hatta sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Sosial”. Seminar ini dilaksanakan selama sehari secara hybrid, bertempat di Aula Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran, Jl. Dipatiukur nomor 23, Bandung.
Sejumlah intelektual dan akademisi serta putri Bung Hatta ikut menyumbangkan pemikiran dan membaginya kepada peserta yang akan hadir secara luring (offline) dan perserta yang hadir secara online melalui Zoom.
Seminar akan dibuka oleh Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Arief Sjamsulaksan Kartasasmita, sekaligus memberikan kata sambutan. Adapun keynote speech akan disampaikan oleh Ketua Umum IKA Universitas Padjadjaran yang juga Wakil Menteri Koperasi Dr. Ferry Juliantono. Seminar ini akan semakin menarik dengan hadirnya dua putri Bung Hatta, masing-masing Prof. Meutia Hatta dan Halida Hatta, M.A. Dalam hal ini, Prof. Meutia Hatta akan memberikan Pengantar Diskusi, sedangkan Halida Hatta tampil sebagai narasumber. Intelektual lainnya yang ambil bagian dalam seminar ini adalah Prof. Agus Pakpahan dan Fahmi Wibawa, M.B.A. Seperti diketahui, Prof Agus Pakpahan saat ini merupakan Rektor IKOPIN, sebuah perguruan tinggi yang konsen pada isu-isu koperasi. Sementara Fahmi Wibawa adalah Direktur Eksekutif LP3ES, lembaga non-Pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh keluarga Bung Hatta untuk menerbitkan tulisan-tulisan Bung Hatta. Sampai press release ini dibuat LP3ES dan Universitas Bung Hatta (UBH) Padang telah menerbitkan sembilan jilid buku Karya Lengkap Bung Hatta (KLBH)—dari 10-12 jilid yang direncanakan—yang memuat 480 tulisan Bung Hatta.
***
Bung Hatta adalah pemikir dan penggagas koperasi yang paling terkemuka. Ia dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada tahun 1953. Pemikiran atau gagasan koperasi Bung Hatta dapat dibaca secara utuh di dalam buku KLBH jilid 6 berjudul Gerakan Koperasi dan Perekonimian Rakyat. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2018.
Buku setebal 331 halaman tersebut memuat 35 karya tulis Bung Hatta mengenai koperasi. Secara garis besar, di dalam buku ini Bung Hatta menjelaskan cita-cita koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945, isu-isu pokok seputar koperasi, alasan-alasan dan rasionalitas perlunya membangun koperasi, dan lain-lain.
Manakala dicermati, akan tampak bahwa Bung Hatta membangun koperasi bukan sekadar sebagai institusi ekonomi, tetapi sekaligus pula menjadi institusi pendidikan; yang bila ditarik lebih jauh, pendidikan dimaksud adalah pendidikan antikorupsi atau pencegahan korupsi. Bung Hatta di dalam buku tersebut berkali-kali menekankan pentingnya bahkan mengharuskan setiap anggota koperasi memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam menjalankan koperasi. Umpama, anggota koperasi tidak boleh mengatakan produk yang dijualnya memiliki kualitas nomor satu jika produk tersebut tidak demikian adanya. Anggota koperasi juga dilarang mengurangi timbangan atau takaran yang merugikan pembeli. Dan lain sebagainya.
Perjalanan kelembagaan koperasi itu sendiri pernah mengalami masa surut, disorientasi atau semacam pembelokan arah akibat kuatnya kepentingan politik terhadap koperasi. Situasi inilah yang kemudian menyeret koperasi keluar dari tujuan pembentukan dan panggilan sejarahnya. Merespons situasi ini, Bung Hatta menurunkan sebuah tulisan berjudul “Koperasi Kembali ke Jalan yang Benar”, yang ditulisnya pada tahun 1966. Di sana Bung Hatta menulis, “…kebulatan hati sudah ada untuk mengembalikan koperasi ke jalan yang benar, sesudah diseret ke jalan yang salah dan diobrak-abrik sampai rusak organisasinya dan hilang semangatnya”. Selain itu, hal penting lainnya yang juga ditekankan di dalam buku ini ialah cita-cita koperasi. Menurut Bung Hatta, cita-cita koperasi Indonesia ialah menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.
Bagaimanapun, koperasi dengan seluruh aspek dan spektrumnya tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Bung Hatta. Maka, beberapa pertanyaan penting dapat diajukan di sini: Apakah koperasi yang ada sekarang ini telah sejalan dengan pemikiran dan gagasan Bung Hatta? Apa pula yang dimaksud Bung Hatta dengan “koperasi” dan “yang bukan koperasi” atau “koperasi yang sebenarnya” dan “yang bukan”? Jawabannya dapat ditemukan di dalam buku Gerakan Koperasi dan Perekonomian Rakyat tersebut.
***
Mengapa pemikiran Bung Hatta perlu diangkat kembali untuk didiskusikan di ruang publik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti merefleksi jauh ke belakang dalam kurun waktu di mana Bung Hatta tumbuh, belajar, berjuang sampai Indonesia berhasil meraih kemerdekaan.
Penting untuk diingatkan, bahwa tulisan-tulisan Bung Hatta sarat dengan pesan-pesan moral yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Sebelum kemerdekaan, Bung Hatta muda telah aktif mendorong semangat dan gelora para pemuda dan rakyat Indonesia mengusir penjajah dari Tanah Air. Pada usia yang masih muda pula, Bung Hatta bahkan telah menguraikan dalam pelbagai tulisannya tentang pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam menyusun strategi dan kebijakan untuk melawan penjajah saat Indonesia belum merdeka, dan kemudian dalam pembangunan bangsa setelah Indonesia merdeka. Lebih daripada itu, melalui karya tulisnya, Bung Hatta ikut menyumbangkan konsep pemikiran dan upaya nyata untuk memantapkan dasar negara Pancasila, sistem politik pemerintahan yang bersih dan berwibawa, kehidupan politik yang demokratis, politik luar negeri yang bebas aktif, serta implementasi rencana pembangunan ekonomi dan sosial guna meraih kesejahteraan rakyat berupa keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada saat yang sama, Bung Hatta tidak pernah mengesampingkan pentingnya menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkarakter, jujur, amanah, bertanggung jawab, demokratis, yang semuanya merupakan nilai-nilai yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Untuk alasan-alasan itulah, LP3ES mengambil inisiatif—atas dukungan keluarga Bung Hatta—mengumpulkan, mentaksonomi, mengolah, menyunting, menerbitkan, dan mendiseminasikan pemikiran-pemikiran brilian Bung Hatta kepada khalayak luas, terutama kepada generasi muda. Tujuannya ialah agar masyarakat memperoleh informasi dan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana keadaan fisik dan mental rakyat Indonesia di masa lalu dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang sehingga Indonesia bisa merdeka, bagaimana memupuk dan merawat persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, bagaimana seharusnya merencanakan dan melaksanakan pembangunan nasional untuk meraih kehidupan yang lebih baik, bagaimana membangun negara Indonesia agar lebih adil dan demokratis, serta bagaimana membangun karakter anak bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai dan jati diri bangsa Indonesia.
Seminar Nasional ini hanya merupakan salah satu langkah awal dari sebuah sebuah perjalanan panjang yang harus ditempuh untuk mengangkat kembali khazanah pemikiran tokoh pendiri bangsa yang sangat disegani dan pemikir yang sangat produktif menulis. Pelaksanaan seminar ini juga sangat tepat karena berdekatan dengan momentum perayaan Hari Koperasi Internasional (International Cooperative Day) yang jatuh pada 5 Juli 2025 dan Hari Koperasi Indonesia yang diperingati setiap tanggal 12 Juli.
Dan, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa Seminar Nasional kali ini seolah ‘menghadirkan’ kembali Bung Hatta di kota yang sangat bersejarah ini dengan cara yang sedikit berbeda. Sejarah mencatat, bahwa pada tanggal 8 Agustus 1955, Bung Hatta menyampaikan ceramah berjudul “Koperasi sebagai Institut Pendidikan Oto-Aktivitas dan Budi Pekerti Ekonomi yang Murni” dalam acara pembukaan Seminar Koperasi ILO/FAO yang dilaksanakan di Bandung.·
by lp3es2022 | Mar 4, 2025 | Uncategorized
Pada hari Senin (03/03/2025), diselenggarakan seminar untuk launching buku bertajuk Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik di Tengah Pusaran Oligarki yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES. Seminar ini menghadirkan sejumlah pakar dan peneliti untuk membahas situasi politik Indonesia pada tahun 2024 serta tantangan-tantangan besar yang mengarah ke masa depan demokrasi di tanah air. Dalam seminar ini, berbagai pandangan kritis muncul mengenai kemunduran reformasi politik dan pengaruh oligarki yang semakin dominan.
Dalam sambutannya, Wijayanto, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES, membuka diskusi dengan mengkritisi situasi politik Indonesia yang semakin memburuk dan hal ini diungkapkan olehnya telah direfleksikan oleh LP3ES melalui buku Outlook LP3ES pada tiap tahunnya. “LP3ES sejak 2019 telah menenggarai situasi kemunduran demokrasi, pada 2019 kita membawa judul ‘Menyelamatkan Demokrasi’ ini yang situasi kebatinannya pada saat itu adalah munculnya Revisi UU KPK, demo terjadi di mana-mana bahkan ada dua orang manusia meninggal di dalamnya, tapi revisi tetap berjalan,” ujar Wijayanto.
Pada 2020, LP3ES menerbitkan ‘Nestapa Demokrasi’, ‘Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil’ pada 2021, ‘Ritual Oligarki Menuju 2024’ pada 2022, dan ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’ pada 2023. “Pada 2023, kami bertanya, ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’. Di buku ini ‘Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik Di Tengah Pusaran Oligarki’ kami jawab, ini adalah akhir dari reformasi politik,” jelas Wijayanto. “Sayangnya, kemunduran demokrasi ini terus berlanjut hingga saat ini,” tutup Wijayanto.
Vedi Hadiz, Direktur Asia Institute, selaku pembicara pertama pada diskusi ini memberikan peringatan tegasnya bahwa kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa reformasi telah benar-benar berakhir, karena keliru dalam menganalisis kondisi politik dapat berujung pada kebijakan yang salah. “Jangan sampai kita keliru dalam analisis seperti yang terjadi sebelum 1998, di mana ekspektasi yang tidak realistis justru mengarah pada kesalahan keputusan,” ujarnya.
Vedi juga menyatakan bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah deviasi dari tahun 1998, melainkan “kombinasi logis yang sebenarnya sudah di-set sejak saat itu.” Ia berpendapat bahwa “reformasi itu dari awal sudah dibajak oleh kekuatan oligarki,” sebuah kesimpulan yang sudah ia sampaikan sejak tahun 1999. Menurutnya, meskipun Orde Baru secara institusional sudah bubar, namun oligarki yang ada justru semakin menguasai akses terhadap sumber daya publik dan institusi untuk kepentingan privat.
Aisah Putri Budiarti, Peneliti BRIN/LP3ES, memaparkan kondisi demokrasi Indonesia yang semakin menurun. “Demokrasi di Indonesia sudah berada di titik nadir, hampir tanpa kebebasan,” ujarnya, mengutip data dari V-Dem Democracy Index yang menunjukkan penurunan kualitas demokrasi sejak 2012.
Aisah mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi esensi dari demokrasi, semakin dibatasi oleh kekuasaan yang dipegang oleh elit oligarki. “Kesantunan dalam berpolitik hanya diukur oleh kacamata penguasa. Kebebasan hanya dimaknai oleh elit-elit tertentu, dan itu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi,” tegasnya. Ia juga menyoroti bahwa pembatasan kebebasan berekspresi semakin mengerikan, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus pembatasan lukisan dan ekspresi seni lainnya.
Fachru Nofian, Peneliti LP3ES, mengaitkan permasalahan oligarki dengan tantangan ekonomi Indonesia. Fachru menekankan bahwa dominasi oligarki di Indonesia tak hanya merusak politik, tetapi juga menghambat perekonomian. “Oligarki ini menjadi tantangan besar dalam ekonomi Indonesia. Salah satu solusinya adalah melalui industrialisasi domestik yang dapat memberdayakan UMKM dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan elit,” kata Fachru.
Hadi Purnama, Direktur Pusat Kajian Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, mengkritik pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang semakin kontroversial. “Partisipasi masyarakat dalam PSN masih sangat minim, dan banyak yang dirugikan,” ungkapnya. Hadi menekankan bahwa dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari PSN sangat besar, dengan banyak warga yang kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. “Kita juga dapat melihat intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan tanah mereka,” tambah Hadi.
Hadi menyoroti penggunaan aparat yang semakin masif dalam masalah pertanahan yang terkait dengan PSN, dan mengingatkan bahwa pemerintah Prabowo harus lebih hati-hati dalam pembangunan PSN kedepan dengan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia.
Bangkit Wiryawan, Peneliti LP3ES juga membahas fenomena dinasti politik yang semakin berkembang di Indonesia. “Dinasti politik semakin menghambat persaingan bebas dan sirkulasi elite,” jelas Bangkit, yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 33 Tahun 2015 yang memperpanjang kekuasaan dinasti politik.
Bangkit mengungkapkan bahwa fenomena ini kini mulai meluas ke tingkat nasional, dengan munculnya kandidat-kandidat yang merupakan anggota keluarga dari penguasa sebelumnya dalam Pilpres dan Pilkada 2024. “Sekitar 65% kandidat di Pilkada 2024 memiliki hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya, yang menunjukkan dominasi dinasti politik yang semakin besar,” tegasnya.
Bangkit menegaskan bahwa dinasti politik ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat, seperti yang terlihat dari penurunan pengeluaran per kapita di daerah yang dipimpin oleh dinasti. Fenomena ini perlu diwaspadai karena dapat menggerus demokrasi dan kesejahteraan. Dinasti politik diibaratkan seperti “racun dalam gula”, yang pada awalnya manis tetapi akhirnya merugikan masyarakat.
by lp3es2022 | Feb 26, 2025 | News
Over the past decade, concerns have grown about the increasing use of social media to manipulate public opinion. In Southeast Asia both foreign actors and domestic elites increasingly employ social media operators – variously termed buzzers, cybertroopers or trolls – to shape public debate by amplifying some viewpoints while supressing others.
Call for papers
Emerging evidence indicates that these influence operations (IO) often reinforce the power of ruling elites while silencing opposition voices, thereby posing a threat to democracy across Southeast Asia. Given the limited understanding of this relatively recent phenomenon, this workshop seeks to bring together academics and civil society actors engaged in studying or countering influence operations in Southeast Asia. The goal is to discuss recent research findings and explore possible ways to deal with such operations.
The workshop
The workshop constitutes the closing event of the KITLV-UNDIP-UvA research project ‘Cyber troops and computational propaganda in Southeast Asia: A comparative study of public opinion manipulation’.
Read more about the project
Key discussion topics:
• The Political Economy of IO: What private and public actors conduct IO, how do they organize themselves, and for what purposes? What economic and political factors shape the structure of IO?
• IO and Elections: In many countries, IO is intrinsically linked to election campaigning. How has IO changed electioneering? How is it linked to practices of brokerage between clients and patrons and vote-buying?
• Comparing IO: There is significant divergence in how political and economic elites utilize IO, including factors such as the level of campaign centralization, the degree of government or political party involvement, and the role of the private sector. How can we understand the variation of IO across contexts?
• Methods for Studying IO: What are the advantages and disadvantages of qualitative and quantitative approaches for studying IO? How can the two possibly be combined? What challenges does one face when trying to penetrate IO networks as a researcher?
• The Evolution of IO: IO is a dynamic and evolving field influenced by ever-changing technologies, shifting platform policies, and changing political and economic contexts. What does contemporary IO look like? How is it different from earlier forms? What does the future of IO hold?
• IO and Policy-making: what initiatives or policies might be implemented to counter the negative effects of IO?
We welcome contributions from all disciplines and encourage both qualitative and quantitative studies, as well as analytic case studies and comparative research.
Workshop: dates, venue & format
The workshop will take place on 22 and 23 August 2025 in Semarang, Indonesia at the Diponegoro University (two full days). To ensure intense, focused discussion, the event will be kept small, with a targeted 20 presentations. We will be able to fund accommodation costs for participants. We expect to publish selected, revised versions of workshop papers as an edited volume or thematic journal issue. We will discuss publication plans at the concluding session of the workshop.
Draft papers will be due 10 days before the workshop.
Submission of paper proposals
Paper proposals should include the following information:
• A tentative paper title
• A brief description of the planned paper (no more than 250 words)
• Author details: name, institution, academic position, biographical note (no more than 100 words)
Deadline submision: 15 April 2025
Please submit your paper proposal before 15 April 2025 here:
Submission form
Contact
For questions, contact k.ruijgrok@uva.nl and wijayanto@live.undip.ac.id
Participants will be notified by the 30th of April.
by lp3es2022 | Feb 19, 2025 | Uncategorized
Pendahuluan
Bung Hatta, dikenal sebagai Bapak Proklamator dan Wakil Presiden pertama Indonesia, tidak hanya berjasa dalam pergerakan nasional menuju kemerdekaan, tetapi juga dalam mengembangkan paham kerakyatan yang menjadi dasar filosofi ekonomi dan sosial Indonesia. Paham kerakyatan yang diusung oleh Bung Hatta bukan sekadar teori, tetapi merupakan wujud nyata dari perjuangannya untuk menciptakan sistem ekonomi dan politik yang berpihak kepada rakyat. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi pemikiran Bung Hatta tentang paham kerakyatan, bagaimana ia memengaruhi kebijakan ekonomi dan politik Indonesia, serta relevansinya dalam konteks modern.
Latar Belakang Sejarah
Bung Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak muda ia sudah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan perjuangan bangsa. Saat menempuh pendidikan di Belanda, Bung Hatta mulai mendalami berbagai teori ekonomi dan politik yang kemudian menjadi landasan bagi paham kerakyatan yang ia gagas. Pengaruh pemikiran sosialis-demokrat dari Eropa, terutama dari pemikir seperti Karl Marx dan John Stuart Mill, membentuk pandangannya terhadap ekonomi yang berkeadilan dan demokrasi yang berbasis partisipasi rakyat.
Ketika Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno menjadi tokoh sentral dalam merumuskan dasar negara dan kebijakan ekonomi nasional. Paham kerakyatan yang ia gagas kemudian diwujudkan dalam bentuk sistem ekonomi yang dikenal sebagai “ekonomi Pancasila,” yang menekankan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pembangunan ekonomi.
Paham Kerakyatan: Konsep dan Implementasi
Paham kerakyatan yang diperjuangkan oleh Bung Hatta dapat dipahami sebagai sebuah filosofi yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam proses pembangunan ekonomi dan politik. Bagi Bung Hatta, demokrasi bukan hanya soal kebebasan politik, tetapi juga melibatkan keadilan sosial dan ekonomi. Paham kerakyatan menekankan pada tiga prinsip utama: kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi.
- Kemandirian Ekonomi
Salah satu inti dari paham kerakyatan Bung Hatta adalah kemandirian ekonomi. Ia percaya bahwa negara yang merdeka harus memiliki ekonomi yang mandiri, tidak tergantung pada kekuatan asing. Kemandirian ini diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak. Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta menekankan pentingnya koperasi sebagai instrumen untuk mencapai kemandirian ekonomi. Koperasi, menurut Bung Hatta, adalah bentuk ekonomi yang sesuai dengan budaya gotong royong Indonesia, di mana kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama, bukan keuntungan pribadi.
- Keadilan Sosial
Prinsip keadilan sosial dalam paham kerakyatan Bung Hatta mengacu pada distribusi sumber daya dan kekayaan yang adil di antara seluruh rakyat. Bung Hatta menolak sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu, sementara sebagian besar rakyat tetap miskin. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, terutama yang miskin dan tertindas. Oleh karena itu, Bung Hatta sangat mendukung reforma agraria dan redistribusi tanah sebagai langkah untuk mencapai keadilan sosial.
- Demokrasi Ekonomi
Demokrasi ekonomi adalah konsep di mana rakyat memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka. Dalam pandangan Bung Hatta, demokrasi politik tidak akan berarti tanpa demokrasi ekonomi. Ini berarti rakyat tidak hanya memiliki hak untuk memilih pemimpin, tetapi juga memiliki hak untuk menentukan arah pembangunan ekonomi, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan distribusi kekayaan. Koperasi, lagi-lagi, menjadi sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi ini.
Pengaruh Paham Kerakyatan dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia
Paham kerakyatan Bung Hatta tidak hanya berakhir sebagai gagasan, tetapi juga diimplementasikan dalam berbagai kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Salah satu kebijakan yang mencerminkan paham kerakyatan Bung Hatta adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia dikelola oleh bangsa sendiri untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Koperasi, yang selalu ditekankan oleh Bung Hatta, juga menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia pada masa itu berusaha mendorong pertumbuhan koperasi sebagai bentuk ekonomi yang sesuai dengan paham kerakyatan. Namun, implementasi koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat mengalami berbagai tantangan, termasuk kurangnya dukungan infrastruktur dan manajemen yang profesional.
Selain itu, reforma agraria yang menjadi bagian dari upaya mencapai keadilan sosial juga menunjukkan pengaruh kuat dari paham kerakyatan bung Hatta. Kebijakan ini bertujuan untuk mendistribusikan tanah kepada petani kecil yang selama ini tidak memiliki lahan, sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Meski demikian, upaya reforma agraria ini tidak sepenuhnya berhasil karena berbagai kendala, termasuk resistensi dari elite politik dan ekonomi yang sudah mapan.
Kritik dan Tantangan
Meskipun paham kerakyatan Bung Hatta memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan kebijakan ekonomi Indonesia, tidak sedikit kritik yang muncul terhadap implementasinya. Salah satu kritik utama adalah bahwa paham kerakyatan ini terlalu idealis dan sulit diterapkan dalam konteks ekonomi global yang semakin kompleks dan kompetitif. Beberapa pihak berpendapat bahwa pendekatan ekonomi berbasis koperasi dan reforma agraria kurang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dan dinamis.
Tantangan lain yang dihadapi adalah lemahnya dukungan institusional dan politik terhadap paham kerakyatan ini. Koperasi, misalnya, sering kali diabaikan dalam kebijakan ekonomi yang lebih mementingkan sektor swasta dan investasi asing. Selain itu, reforma agraria yang menjadi bagian penting dari keadilan sosial tidak berjalan sesuai harapan karena berbagai kendala struktural dan politik.
Relevansi Paham Kerakyatan Hatta dalam Konteks Modern
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan dalam konteks Indonesia modern, terutama dalam menghadapi isu ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini masih menjadi masalah serius yang menghambat upaya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Paham kerakyatan Bung Hatta, dengan penekanannya pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi, dapat menjadi inspirasi dalam mencari solusi terhadap masalah ini.
Selain itu, paham kerakyatan Bung Hatta juga relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sering kali mengancam kemandirian ekonomi suatu negara. Dalam era globalisasi, menjaga kemandirian ekonomi dan kedaulatan nasional menjadi semakin penting. Prinsip kemandirian ekonomi yang diusung Bung Hatta dapat menjadi landasan bagi kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada penguatan sektor-sektor domestik dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Demokrasi ekonomi, yang menjadi salah satu pilar paham kerakyatan Bung Hatta, juga masih sangat relevan dalam konteks perjuangan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Di tengah meningkatnya kekuatan korporasi besar yang sering kali mendominasi pengambilan keputusan ekonomi, prinsip demokrasi ekonomi dapat menjadi landasan untuk memastikan bahwa suara rakyat tetap didengar dan kepentingan mereka tetap diutamakan.
Kesimpulan
Bung Hatta dan paham kerakyatannya memberikan warisan yang berharga bagi bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya, nilai-nilai yang terkandung dalam paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan hingga saat ini. Kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi adalah prinsip-prinsip yang harus terus diperjuangkan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan ketimpangan sosial yang semakin kompleks.
Paham kerakyatan Bung Hatta bukan hanya sebuah teori, tetapi sebuah visi untuk masa depan Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan mandiri. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus terus menghidupkan semangat kerakyatan ini dalam setiap kebijakan ekonomi dan sosial, agar cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dapat benar-benar terwujud. Dalam era modern ini, di tengah arus globalisasi dan kapitalisme yang sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, paham kerakyatan Bung Hatta adalah pengingat bahwa pembangunan ekonomi sejati adalah pembangunan yang berpihak kepada rakyat dan kesejahteraan bersama.*
Penulis: Firdaus Arifin
by lp3es2022 | Feb 18, 2025 | Demokrasi, Politik, Sekolah Pemikiran Bung Hatta
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan permasalahan bangsa saat ini semakin beragam. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya penguatan nilai kebangsaan di kalangan generasi muda guna menghadapi tantangan tersebut.
“Banyak hal bisa dilakukan untuk memperkuat generasi muda kita dengan belajar dari pemikiran-pemikiran besar Bung Hatta untuk menyikapi kehidupan berbangsa kita saat ini,” kata Lestari dalam keterangan tertulis, Senin (17/2/2025)
Hal tersebut ia sampaikan usai menerima Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Yayasan Hatta di ruang kerja Wakil Ketua MPR RI di kompleks MPR RI/DPR RI/DPD RI Senayan, Jakarta.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, pemikiran Bung Hatta memiliki relevansi tinggi terhadap berbagai aspek pembangunan, mulai dari politik, ekonomi, hingga budaya. Menurutnya, pemikiran para pendiri bangsa harus terus diperkenalkan kepada generasi muda agar dapat menjadi landasan dalam menghadapi tantangan zaman.
Upaya menyosialisasikan pemikiran Bung Hatta bisa dilakukan dengan membedah isi buku-buku yang memuat gagasannya serta menyampaikannya melalui seminar atau diskusi di lingkungan pendidikan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem ini berharap nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri bangsa dapat terus dipahami dan diamalkan oleh generasi penerus demi mewujudkan kehidupan berbangsa yang lebih baik di masa depan.
Sebagai informasi, pertemuan tersebut turut dihadiri Ketua Yayasan Hatta Halida N. Hatta, Editor LP3ES Malik Ruslan, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI Usman Kansong, dan Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Lutfhie Assyaukanie.