PERINGATI HARI ANTIKORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA, ALUMNI SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA KEMBALI BERKAMPANYE SEBAR PESAN KETELADANAN BUNG HATTA SANG PEMIKIR, PEJUANG, DEMOKRAT

PERINGATI HARI ANTIKORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA, ALUMNI SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA KEMBALI BERKAMPANYE SEBAR PESAN KETELADANAN BUNG HATTA SANG PEMIKIR, PEJUANG, DEMOKRAT

Jakarta, 16 Desember 2024 — Dr. H. Mohammad Hatta, atau dikenal luas sebagai Bung Hatta, mundur dari jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama pada 1 Desember tahun 1956. Keputusan ini harus diambil karena Bung Hatta merasa kebijakan ekonomi-politik pemerintah saat itu telah melenceng. Batasan konstitusi membuat Bung Hatta tidak dapat menyelesaikan berbagai masalah internal, seperti ketegangan politik, korupsi, dan krisis ekonomi. Setelah mundur, Bung Hatta tetap berperan sebagai tokoh intelektual dan kerap mengeritik kebijakan pemerintah. Langkah Bung Hatta ini menjadi simbol dari keberaniannya untuk mempertahankan prinsip dan integritas, meskipun harus melepas posisi sebagai pejabat tinggi.

Alumni angkatan pertama Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) kembali menggulirkan kampanye pendidikan publik bertajuk “Bung Hatta dan Etika Kepemimpinan: Teladan Antikorupsi dan Penegakan HAM” sebagai lanjutan kampanye pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 2024. Kampanye pemikiran dan teladan perilaku Bung Hatta ini berlanjut terus hingga Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 9 Desember dan Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 2024.

Melalui momentum peringatan Hakordia dan HAM Sedunia tersebut, Forum Alumni SPBH berkolaborasi dengan Yayasan Hatta dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyelenggarakan kegiatan Bedah Film dan Diskusi Bung Hatta secara luring di Ruang Serbaguna Lantai 4 Perpustakaan Nasional Jalan Medan Merdeka Selatan No. 11 Jakarta Pusat dan secara daring melalui Zoom. Malik Ruslan (LP3ES) dan Meutia Hatta (Yayasan Hatta) menyampaikan pengantar diskusi. Sedangkan Halida Hatta (Ketua Yayasan Hatta), Chandra M. Hamzah (Wakil Ketua KPK 2007-2011) dan Al-Araf (Dosen FH Universitas Brawijaya/pegiat HAM) menjadi panelis diskusi dan difasilitasi moderator Shanti Ruwyastuti (Koordinator Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta SPBH).

SPBH diselenggarakan oleh Yayasan Mohammad Hatta Pahlawan Nasional bekerjasama dengan LP3ES menjelang Hari Kemerdekaan RI pada 15 Agustus 2024. Alumni angkatan pertama SPBH berjumlah 166 orang dengan berbagai latar belakang seperti akademisi, politisi, jurnalis, pegiat LSM, ASN, mahasiswa, dan wirausahawan lintas generasi yang sebagian di antaranya merupakan Gen Z dan milenial. Lulusan SPBH tergerak untuk berkontribusi nyata di tengah kondisi Indonesia yang saat ini minim etika kepemimpinan dan sosok teladan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok tertentu.

Bertindak selaku Koordinator Alumni SPBH angkatan pertama, jurnalis senior dan akademisi Shanti Ruwyastuti menerjemahkan etika kepemimpinan dan sosok keteladanan Bung Hatta ini ke dalam rangkaian kegiatan kampanye pendidikan publik mengenai nilai-nilai antikorupsi dan penghormatan hak asasi manusia terutama kepada generasi muda. “Kami memulai kampanye pemikiran dan teladan perilaku Bung Hatta dengan bedah film dokumenter sejarah Bung Hatta karya Metro TV yang berjudul ‘Bung Hatta: Pemikir, Pejuang, Demokrat’ di rumah bersejarah kediaman Proklamator RI pada Hari Pahlawan 10 November lalu dan disambung dengan episode lanjutannya “Bung Hatta: Kepemimpinan Yang Hilang” di Perpustakaan Nasional pada 16 Desember. Melalui medium film, kita menyaksikan bagaimana Bung Hatta menerapkan etika kepemimpinan dan memberikan teladan antikorupsi serta penegakan HAM,” kata Shanti.

Penulis buku Politik Antikorupsi di Indonesia Malik Ruslan dari LP3ES memberikan konteks tentang pokok pikiran dan teladan Bung Hatta melalui kutipannya mengenai anti-korupsi dan penegakan HAM. Salah satu kutipan Bung Hatta yang terkenal pada tahun 1948 tentang anti-korupsi adalah, “Kurang kecakapan bisa dicukupkan dengan pengalaman, kurang kesanggupan bisa dipenuhi dengan latihan, tetapi kekurangjujuran susah memperbaikinya.” Adapun dalam hal penegakan HAM, Bung Hatta menuangkan pemikirannya ke dalam UUD 1945 Pasal 28. Pasal tersebut mengatur kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat sebagai hak asasi yang melekat di setiap warga negara. Malik juga menyitir kutipan Bung Hatta lainnya di tahun 1950 dan tetap relevan hingga hari ini: “Kita tidak mau selamanya menjadi rakyat yang melarat, kita mau satu Indonesia yang adil dan makmur. Dan bukan negara yang makmur dengan dua tiga orangnya makmur. Negara baru makmur, jikalau seluruh rakyat dapat mengecap kemakmuran itu”.

Menyambung penjelasan konteks pemikiran Bung Hatta, selanjutnya Ketua Yayasan Hatta Halida Nuriah Hatta memaparkan “Bung Hatta merupakan sosok yang memperjuangkan HAM dan keadilan bagi rakyat Indonesia sepanjang hidupnya. Bung Hatta menyumbangkan pikirannya mengenai hak warga negara dalam UUD 1945, seperti Pasal 27 Ayat (2) di mana tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 29 Ayat (2) mengenai kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; Pasal 30 Ayat (1) yang mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara; dan Pasal 33 ayat (1,2 dan 3) di mana perekonomian negara disusun sebagai usaha bersama berlandaskan asas kekeluargaan dan menekankan peran besar negara yang menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bung Hatta sendiri adalah sosok yang berhati-hati dalam menggunakan uang rakyat.”

Halida melanjutkan bahwa Bung Hatta adalah sosok yang walk the talk. Sebelum mengajak orang lain, Bung Hatta sudah menjalankannya. “Saya sedih ketika ada orang yang bilang pemikiran dan tindakan Bung Hatta terlalu utopis dan sulit diamalkan. Namun, kita perlu menjaga martabat, berdikari mengandalkan kemampuan sendiri, menempa diri dengan disiplin, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri,” tutup Halida sambil menyitir penggalan lagu Garuda Pancasila yang menggambarkan Bung Hatta sebagai Patriot Proklamasi yang sedia berkorban untuk negeri.

Alumnus SPBH dan Wakil Ketua KPK 2007-2011 Chandra Hamzah menyebutkan tindakan Proklamator Kemerdekaan RI itu selalu konsisten dengan prinsip yang dianutnya. Menurut Chandra, “Bung Hatta dikenal sebagai sosok yang irit bicara kecuali hal yang sangat penting, namun Bung Hatta juga tidak ewuh pakewuh untuk angkat bicara apabila ada yang beliau tidak setuju.” Sejarah mencatat, setelah mengundurkan diri dari posisi Wakil Presiden dan menjadi warga negara biasa, Bung Hatta pernah mengeritik kebijakan Presiden RI Bung Karno melalui tulisan “Demokrasi Kita” di Majalah Pandji Masyarakat, yang menyebabkan media tersebut dibreidel. Karena khawatir media yang memuat tulisannya akan dibreidel lagi, Bung Hatta tetap melanjutkan kritik atas kebijakan-kebijakan Bung Karno, namun melalui surat-surat pribadinya. Bung Hatta berpendapat bahwa demokrasi yang baik adalah demokrasi yang menjunjung tinggi HAM, mempraktikkan keadilan, dan kesetaraan tanpa diskriminasi. “Selama ini Bung Hatta lebih dikenal sebagai Proklamator dan Bapak Koperasi, namun sebenarnya Bung Hatta juga adalah Bapak Demokrasi,” tutup Chandra.

Pemantik diskusi berikutnya adalah Dosen Hukum Universitas Brawijaya dan Praktisi HAM Al-Araf. Menurut Al-Araf, ”Bung Hatta adalah the voice of the voiceless, sosok sejati yang konsisten menyuarakan orang-orang yang tak mampu bersuara dan orang-orang yang bersuara namun tak terdengar atau dibungkam. Bung Hatta juga adalah human rights defender atau pembela HAM yang sesungguhnya, yang memperjuangkan rakyatnya tanpa kenal lelah hingga akhir hidupnya.” Bung Hatta pun sosok yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. “Jika penjara sudah tidak ia takuti dan pembuangan sudah ia alami, hanya untuk membebaskan rakyatnya dari penderitaan, maka ia sesungguhnya adalah pemimpin dan negarawan sejati. Bahkan, ketika semua orang berlomba untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Bung Hatta berwasiat untuk dikubur di pemakaman umum supaya dekat dengan rakyat. Bung Hatta figur yang langka dan luar biasa,” imbuh Al-Araf.

Mengenang suri teladan Bung Hatta pada Hari Antikorupsi dan Hari HAM ini, Ketua Pembina Yayasan Hatta Meutia Farida Swasono Hatta menyampaikan, ”Nilai keteladanan terkait anti-korupsi, HAM, dan kepemimpinan humanistik perlu dikenalkan dan disegarkan kembali, serta diwariskan kepada generasi penerus bangsa, demi membangun dan merawat Indonesia.”

“Dari Bung Hatta kita belajar kejujuran dan integritas, kesederhanaan, kemandirian dan kebebasan berpikir, keadilan sosial. Kita juga belajar cinta tanah air dan patriotisme, dedikasi pada pendidikan, etos kerja dan disiplin, kesetaraan dan anti-diskriminasi,” ucap Meutia seraya menutup sambutan di sesi bedah film dan diskusi yang dihadiri oleh ratusan hadirin terdiri dari alumni SPBH, jurnalis dan publik secara luring maupun daring.

Meningkatkan Perilaku Ramah Lingkungan untuk Mendukung Keberlanjutan Kapasitas Ekosistem Indonesia

Meningkatkan Perilaku Ramah Lingkungan untuk Mendukung Keberlanjutan Kapasitas Ekosistem Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di tengah tekanan eksploitasi sumber daya alam serta praktik pengelolaan sampah yang belum optimal. Di saat yang sama, hasil pengukuran Indeks Perilaku Ramah Lingkungan (IPRLH) 2024 dengan score 0,52 yang artinya perilaku masyarakat terhadap lingkungan di berbagai wilayah Indonesia berada dalam kategori yang rentan untuk berperilaku Tidak Ramah Lingkungan. Hal ini ditandai dengan GAP yang cukup signifikan antara dimensi pengetahuan (0,62), sikap (0,48), dan praktik (0,45) dalam mendukung keberlanjutan lingkungan.

5 provinsi dengan Perilaku Ramah Lingkungan yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (0,71), Daerah Khusus Jakarta (0,69), Maluku (0,65), Nanggroe Aceh Darussalam (0,64), dan Kalimantan Timur (0,64). Sedangkan 33 provinsi lainnya dengan kategori Cukup Ramah Lingkungan. 2 provinsi teratas yaitu Sumatera Utara dan Kepulauan Riau berpotensi masuk kategori Ramah Lingkungan

Sebagaimana diketahui, lingkungan hidup adalah pilar utama kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Namun, hingga kini, belum ada pengukuran yang memetakan perilaku manusia sebagai pelaku utama dalam pengelolaan lingkungan. Kajian berbasis pengukuran nonfisik ini menghasilkan indeks yang mencerminkan pengetahuan, sikap, dan praktik ramah lingkungan masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam upaya memperkuat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kontribusi manusia melalui perilaku sehari-hari yang mendukung keberlanjutan.

IPRLH merupakan hasil pengukuran dari penelitian yang dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan cakupan pengumpulan data di 38 provinsi dan 15.200 responden yang dipilih menggunakan kombinasi Purposive Sampling dan Stratifikasi Acak, mencakup wilayah pedesaan, perkotaan, pesisir, hingga kawasan hutan. Pengambilan data mencakup: Studi Literatur untuk menentukan variabel dan indikator. Survei Nasional berbasis provinsi dengan margin kesalahan ±5% di tingkat provinsi dan ±0,8% di tingkat nasional. Wawancara Mendalam dengan informan kunci, termasuk akademisi dan pegiat lingkungan. Focus Group Discussion (FGD) untuk validasi hasil bersama para ahli lingkungan, dan lainnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan, keberlanjutan kapasitas ekosistem Indonesia ditopang oleh kemampuan lingkungan hidup yang optimal. Ketersedian air misalnya dalam penelitian ini dari 15.200 responden yang ditemui menyebutkan Selalu tersedia air baik musim hujan maupun kemarau (59,4%) dan tersedia air meskipun sedikit berkurang di musim kemarau namun masih mencukupi (31,2%). Sayangnya, keberlimpahan ini tidak di imbangi dengan praktik ramah lingkungan yang berkelanjutan seperti Mematikan kran air jika sedang tidak digunakan (34,21%), Menampung air hujan dan digunakan kembali  untuk keperluan rumah tangga (31,80%) dan Memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain misalnya air bekas cuci sayur/buah digunakan untuk menyiram tanaman (17,38%).

Ketidakseimbangan antara kemampuan lingkungan hidup dan perilaku dalam pemanfaatan lingkungan juga terlihat dalam berbagai aktivitas individu dalam focal area udara, tanah, laut dan kehati seperti Memanfaatkan halaman rumah atau ruang terbuka lainnya untuk Menanam tanaman / pohon (37,03%), mengurangi penggunaan tissu (26,76%) dan kertas (25,09%), Menggunakan transportasi publik / angkutan umum untuk melakukan aktivitas sehari-hari (18,93%).

Diluar praktik individu pada tingkat rumah tangga, 151 informan kunci yang diwawancarai secara tatap muka dalam penelitian ini menyebutkan deforestasi, tambang ilegal, serta alih fungsi lahan terus memberikan tekanan besar pada ekosistem tidak hanya di pulau Jawa namun juga di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Pengelolaan Sampah

Sampah plastik menjadi salah satu masalah utama di seluruh wilayah Indonesia, termasuk  di kawasan pesisir. Pengelolaan limbah domestik yang buruk berkontribusi meningkatkan risiko pencemaran air dan tanah. Di Papua misalnya, pengelolaan sampah yang kurang memadai telah mengancam kualitas air di daerah aliran sungai. Sementara itu di Bali, sampah plastik di laut dan pesisir pantai mengancam ekosistem laut yang vital bagi sektor pariwisata.

Dalam kerangka 12 arah kebijakan untuk mewujudkan reformasi pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir, praktik pengelolaan sampah pada tingkat individu rumah tangga merujuk pada arah Penyadartahuan dan pemicuan perubahan perilaku masyarakat untuk pengurangan dan pemilahan sampah di sumber (arah ke 2) dan Pengumpulan dan pengangkutan sampah terpilah dan terjadwal (arah ke 3).

Tabel. Pengelolan Sampah Rumah Tangga (n= 15.200)

Praktik Pengelolaan Ya Tidak
Mengurangi penggunaan plastik, Styrofoam 29,9 70,1
Memilah sampah menurut jenisnya 28,9 71,1
Menggunakan kembali bekas kemasan yang masih bisa digunakan 29,6 70,4
Mendaur ulang sampah menjadi bentuk lain untuk digunakan sendiri 12,5 87,5
Mendaur ulang sampah menjadi bentuk lain untuk tujuan komersil (dijual) 10,3 89,7

 

Praktik Mengurangi penggunaan plastik, Styrofoam (29,9%) dan Memilah sampah menurut jenisnya (28,9%) tergolong masih sangat rendah. Menurut responden dalam penelitian ini, penyebab tidak melakukan pemilahan sampah antara lain yaitu tidak memiliki tempat sampah yang terpisah (61,8%), merepotkan (21,4%), dicampur atau dipisah sama saja (11,1%), di TPS/TPA tetap tercampur (3,9%) dan alasan lainnya (1,7%). Selain praktik diatas, masih ditemukan praktik pengelolaan sampah dengan cara dibakar (15,85%), dibuang ke laut / sungai / got / kebun / tempat lainnya (21,34%). Hal ini menunjukkan pentingnya untuk meningkatkan upaya penyadartahuan untuk memicu perubahan perilaku masyarakat dalam pengurangan dan pemilahan sampah pada tingkat sumber yaitu rumah tangga.

Praktik Ramah Lingkungan

Beberapa praktik ramah lingkungan yang berkontribusi terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan pada focal area air dan tanah antara lain Tempat pembuangan akhir tinja berupa Septic Tank/Saluran Pembuangan Air Limbah (79,53%), Memiliki resapan air di rumah berupa Tanah Pekarangan/ Sumur/ Lubang Resapan Biopori (77,71%), Jarak sumber air ke penampungan air limbah/ kotoran/tinja >=10 M (62,41%).  Pada focal area udara antara lain Memanfaatkan pencahayaan sinar matahari untuk penerangan ruangan (96,29 %) dan Menggunakan lampu hemat energi (80,74 %). Pada focal area laut dan Kehati antara lain Tidak pernah menebang pohon di hutan/lingkungan sekitar untuk kepentingan komersil / dijual (92,49%), Tidak pernah membuka lahan dengan cara dibakar untuk ladang, kebun, dll (88,38%), Menangkap ikan di laut dengan metode pancing tangan, jala, tombak dan perangkap bubu/ rawal dan bentuk lainnya yang ramah lingkungan (79,12%).

Kearifan Lokal sebagai Praktik Berkelanjutan

Kearifan lokal seperti Reusam di Aceh, Tri Hita Karana di Bali, Lubuk Larangan di Jambi dan Kewang di Maluku menunjukkan potensi besar dalam menjaga kelestarian lingkungan. Tradisi turun temurun ini menegaskan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dan alam sebagai bagian dari identitas budaya. Dengan dukungan kebijakan, edukasi, dan infrastruktur dari pemerintah, modal sosial kekayaan budaya Indonesia ini berpotensi besar menjadi solusi untuk menjaga daya dukung lingkungan secara berkelanjutan

Pola Perilaku dan Kapasitas Ekosistem

Dari temuan penelitian ini, menarik untuk menyandingkan antara perilaku dengan kualitas lingkungan pada 2 provinsi dengan urutan teratas score IPRLH yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (0,71) dan Daerah Khusus Jakarta (0,69).  Menurut informan kunci dalam penelitian ini, kualitas lingkungan hidup di Yogyakarta cenderung terus menurun dengan kualitas air, udara dan tutupan lahan yang menunjukan kondisi lingkungan hidup belum baik. Demikian halnya dengan Jakarta, informan kunci menggambarkan permasalahan Jakarta yang sangat akut yaitu sampah dan polusi udara. Dengan tingkat ancaman terhadap kerusakan hutan dan keanekaragaman hayati di Jakarta sangat tinggi terutama akibat urbanisasi, polusi, dan perambahan wilayah alam. Sebaliknya, informan kunci pada provinsi dengan score paling bawah menyebutkan kualitas lingkungan berada dalam kondisi yang sangat baik. Dalam kaitannya dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, perilaku berada dalam batas kapasitas ekosistem. Sedangkan di provinsi score paling bawah, perilaku menuju batas kapasitas ekosistem.

Penelitian ni menekankan pentingnya: (1) Edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan sikap dan praktik ramah lingkungan, terutama pada kelompok masyarakat dengan latar pekerjaan yang bergantung pada sumber daya alam dan pekerja domestik / rumah tangga. (2) Memperkuat Pendekatan Inklusif dan Kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat adat dalam membangun kesadaran lingkungan, menjaga kelestarian lingkungan, menciptakan tanggung jawab ekologis dalam eksploitasi sumber daya, serta memperkuat pengawasan dan pengendalian lingkungan. (3) Memperkuat kebijakan pada tingkat implementasi seperti akses terhadap teknologi hemat air dan pengelolaan air yang ramah lingkungan, akses terhadap teknologi hemat energi dan pemanfaatan energi terbarukan, ketersediaan fasilitas pemilahan dan daur ulang sampah serta kebijakan implementatif lainnya seperti Insentif lokal untuk mendorong praktik ramah lingkungan di tingkat rumah tangga

Upaya pengelolaan lingkungan tentu saja harus dilakukan secara holistik, menggabungkan kebijakan, edukasi, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor. Penerapan prinsip berkelanjutan, kearifan lokal, serta insentif ekonomi yang adil akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu dalam masyarakat kita telah mulai mengambil langkah-langkah signifikan untuk menjaga kualitas lingkungan, baik melalui kebiasaan hemat energi, pengelolaan air, maupun perlindungan ekosistem. Dukungan pemerintah dalam kebijakan dan program diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan praktik ramah lingkungan yang lebih luas. Dengan demikian, langkah kecil masyarakat ini akan berdampak besar dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.***

Patahkan Keraguan soal Kinerja, DPR Diminta Tak Sekadar Mengekor Eksekutif

Patahkan Keraguan soal Kinerja, DPR Diminta Tak Sekadar Mengekor Eksekutif

Wajah DPR periode 2024-2029 yang didominasi petahana, kalangan pengusaha hingga relasi kekerabatan, memunculkan keraguan bahwa kinerja mereka akan lebih baik daripada DPR periode sebelumnya. Keraguan mesti dijawab anggota DPR dengan optimal menjalankan fungsinya, bukan lantas menjadi pengekor eksekutif.

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Bangkit Wiryawan, menjelaskan, dominasi petahana, dinasti politik, hingga pengusaha di DPR 2024-2029 berpotensi mengancam tersalurkannya aspirasi masyarakat. Produk legislasi yang dihasilkannya pun dikhawatirkan bukan untuk kepentingan rakyat.

”Jadi, situasi saat ini dengan kuatnya dukungan DPR terhadap pemerintah, politik dinasti yang makin kuat, apalagi kalau kita ngomongin pengusaha, artinya mereka punya mindset-nya adalah bisnis. Ketika mindset-nya bisnis, jangan-jangan ketika mereka menyusun, membahas peraturan yang ada dalam pikiran atau dalam lakukan fungsi pengawasan, maka logika bisnis yang berlaku ini. Kita gak mau hal-hal seperti ini terjadi,” ujar Bangkit dalam diskusi bertajuk ”Parlemen Baru, Harapan Baru” yang digelar secara daring, Minggu (13/10/2024).

Berdasarkan catatan Kompas, lebih dari separuh anggota DPR periode 2024-2029 adalah petahana. Tak hanya itu, sebanyak 220 orang dari 580 anggota DPR 2024-2029 juga terindikasi memiliki ikatan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional lainnya.

Sementara itu, dari hasil pemantauan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), ditemukan sebanyak 354 dari 580 anggota DPR 2024-2029 atau sekitar 60 persen terafiliasi dengan bisnis.

Dengan wajah DPR selama lima tahun ke depan tersebut, Bangkit pesimistis kinerja mereka bakal lebih baik dibandingkan DPR periode sebelumnya. Ia pun mengaku sulit untuk memberikan harapan tinggi bagi kinerja para anggota DPR.

Berkaca pada kinerja legislasi DPR periode 2019-2024, hanya sekitar 9,3 persen yang selesai dari 264 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional. Capaian legislasi ini lebih rendah dibandingkan DPR pada periode 2014-2019 (17 persen) ataupun 2009-2014 (26,7 persen).

”Padahal, seharusnya dengan semakin dominannya koalisi pendukung pemerintah di parlemen, seharusnya kinerja persidangan mereka bisa lebih lancar, lebih baik. Tapi ternyata enggak,” ujar Bangkit. Di periode lalu, delapan dari sembilan parpol di DPR menjadi bagian dari gerbong parpol pendukung pemerintahan.

Tak hanya dalam menjalankan fungsi legislasi, dari fungsi pengawasan juga menunjukkan hal yang tak sesuai ekspektasi publik. Pemerintah hanya menindaklanjuti 37 dari 100 rekomendasi yang dikeluarkan DPR, sisanya diabaikan oleh pemerintah.

”DPR ini posisinya lemah karena mereka melakukan pengawasan tapi kemudian tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ini perlu dipertanyakan, fungsi pengawasan mereka, itu efektivitasnya seperti apa? Dari 50 panitia kerja pengawasan yang dibentuk pada 2023, lebih dari setengahnya itu juga belum menyelesaikan tugasnya,” katanya.

Bangkit juga menyoroti anggaran DPR yang tiap tahun meningkat tetapi ternyata tak membuat kinerja anggota DPR menjadi lebih baik. Pada 2021, DPR mengelola anggaran sebesar Rp. 5,41 triliun, lalu naik pada 2022 sebesar Rp 5,60 triliun. Bahkan, alokasi anggaran DPR tahun 2025 mencapai Rp 9,25 triliun.

”Bahwa anggaran DPR itu tiap tahun, tiap periode selalu bertambah, hanya kinerja mereka itu yang tidak bertambah,” katanya.

Sementara itu, pakar hukum tata negara STHI Jentera Bivitri Susanti menyoroti para anggota DPR yang baru terpilih pertama kali. Menurut dia, sangat mungkin mereka masih minim kapasitas politik, minim relasi politik dengan warga, hingga minim perspektif pada pemihakan kelompok marjinal. Dengan melihat hal tersebut plus wajah umum dari DPR 2024-2029, wajar jika publik meragukan kinerja anggota DPR ke depan. Keraguan ini agar anggota DPR bisa membuktikan dan menjawab keraguan tersebut.

”Seandainya anggota DPR ada yang mendengar ini silakan buktikan. Keraguan ini dibuktikan dengan DPR menjalankan fungsinya. Bukan sekadar pengekor lembaga eksekutif tapi pengawasan bagi lembaga eksekutif,” kata Bivitri.

Meski terbersit keraguan, Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengatakan, harapan tetap perlu ditumpukan pada para anggota DPR. Hal ini karena DPR yang bisa menahan laju kemunduran demokrasi yang dinilainya sudah terjadi terutama sejak lima tahun terakhir.

”Sebenarnya peran DPR saat Indonesia mengalami kemunduran demokrasi bisa dilihat dari rendahnya kritisisme atas rancangan undang-undang, rendahnya konsultasi publik, rendahnya deliberasi serta rendahnya pengawasan terhadap kebijakan pemerintah termasuk penggunaan anggaran,” kata Wijayanto.

Dipublish oleh : Kompas.id

Ekonom: Perlunya Merawat Budaya Kritis Faisal Basri

Ekonom: Perlunya Merawat Budaya Kritis Faisal Basri

Perjuangan Faisal Basri dalam menjaga ekonomi dan demokrasi Indonesia harus terus dilanjutkan. Hal ini menjadi upaya penting untuk mencegah Indonesia kembali mengalami krisis ekonomi di masa mendatang.

Pesan tersebut menjadi inti dari diskusi bertajuk “Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan” yang diselenggarakan oleh Forum Juara bekerja sama dengan Universitas Diponegoro, Universitas Paramadina, LP3ES, INDEF, dan KITLV Leiden pada Minggu (15/9/2024).

Acara diskusi ini dibuka oleh Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro, Wijayanto, yang mewakili Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Suharnomo. Dalam sambutannya, Wijayanto menegaskan, budaya kritis yang diusung oleh Faisal Basri masih sangat relevan di tengah situasi politik dan ekonomi saat ini.

Dalam paparannya, Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini menyoroti, konsistensi Faisal Basri dalam memberikan kritik terhadap pengelolaan keuangan negara. Faisal, menurut Didik, selalu berusaha mencegah Indonesia dari risiko terperosok kembali ke dalam krisis ekonomi.

Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti menyampaikan, pesan Faisal Basri kepada generasi muda agar tetap vokal dan berani menyuarakan kebenaran. Faisal Basri percaya bahwa kaum muda memiliki peran penting sebagai penerus bangsa yang akan menentukan masa depan Indonesia.

Peneliti Politik BRIN, Aisyah Putri Budiarti (Puput) mengungkapkan, Faisal Basri dikenal sebagai tokoh yang kritis terhadap masyarakat sipil yang terjebak dalam arus kekuasaan. “Sulit sekali menjaga konsistensi dalam menyampaikan kritik yang berbasis data, terutama di tengah situasi politik saat ini. Ini adalah tugas berat yang harus kita emban,” katanya.

Puput menekankan pentingnya karakter masyarakat sipil yang tidak mudah tergoda oleh kekuasaan dan uang, serta tetap teguh dalam bersuara. “Faisal Basri konsisten menolak masuk ke pemerintahan agar bisa tetap independen dan kritis hingga akhir hayatnya,” tambahnya.

Direktur Hukum, HAM, dan Gender LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hadi Rahmat Purnama, memandang Faisal Basri sebagai salah satu tokoh yang memiliki warisan penting di bidang hukum. Sebagai salah satu pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW), Faisal secara konsisten berbicara tentang pentingnya pemberantasan korupsi, khususnya di sektor ekonomi. “Faisal Basri adalah sosok yang independen dan tidak mudah dipengaruhi. Komitmennya dalam pemberantasan korupsi menekankan pentingnya penegakan hukum yang kuat dan transparan,” ujar Hadi.

Hadi juga menyebutkan bahwa Faisal Basri memiliki peran penting dalam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan pernah ditunjuk oleh Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, sebagai anggota Satgas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Faisal dan timnya berhasil mengungkap sejumlah kasus besar, termasuk kasus impor emas senilai Rp 189 triliun. Kontribusi Faisal dalam tim tersebut menunjukkan komitmennya terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam sistem keuangan Indonesia.

Peneliti Senior LP3ES, Malik Ruslan menyoroti, keinginan Faisal Basri untuk menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam sistem pemerintahan. Menurut Malik, pandangan Faisal mirip dengan pemikiran Mohammad Hatta, di mana demokrasi politik dan ekonomi harus saling melengkapi untuk menciptakan pemerintahan yang harmonis dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia

Di rilis juga : https://rm.id/baca-berita/nasional/235697/ekonom-perlunya-merawat-budaya-kritis-faisal-basri

SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA (Angkatan #1)

SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA (Angkatan #1)

Agar tidak hilang ditelan zaman, saya ingin membuat semacam kronik, terkait acara yang sudah digelar di Universitas Paramadina kemarin.

Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Hatta bersama LP3ES. Materinya diambil dari (jilid I) Karya Lengkap Bung Hatta yang jumlahnya 10 jilid, dengan masing-masing ketebelan bervariasi 300-600an halaman, yang sudah dikelompokkan berdasarkan tema.

Ini adalah proyek panjang (1995- sekarang) yang melibatkan banyak pakar. Bahkan jilid pertama, yang dijadikan bahan pertama kuliah kemarin, butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menyelesaikannya. Hari ini, setelah 29 tahun berlalu, yang berhasil dicetak masih sampai jilid ke-9. Sementara jilid ke-10 baru rencana terbit tahun depan.

Begitu lamanya rentang waktu, sampai tiga pakar yang terlibat dalam penyusunan tidak sempat melihat hasil lengkapnya, beliau-beliau yang sudah meninggal dunia: Prof. Sjofjan Asnawi, Prof. Deliar Noer, dan Prof. Dawam Rahardjo. Kita berdo’a semoga Allah berikan mereka tempat yang terbaik di sisi-NYA.

***

Mungkin karena beberapa kali belanja buku langsung ke penerbitnya, admin LP3ES terlebih dahulu mengabari saya melalui pesan WA. Poster acaranya dibuat sejak akhir bulan Juni bersamaan dengan saya mendapat kabar tersebut. Jadilah saya sebagai pendaftar pertama.

Di luar peserta daring, kelas pemikiran (angkatan pertama) ini awalnya hanya membuka 25 kursi untuk kelas luring. Karena peminat lebih dari 50 orang, akhirnya acara harus dipindah ke tempat yang lebih besar dan luas, yang sedianya hendak diselenggarakan di kantor LP3ES yang terletak di Depok.

Peserta dihadiri oleh berbagai kalangan dan profesi. Ada guru, jurnalis, pustakawan, peneliti, dosen, aktivis, mahasiswa, dan lain-lain. Dua nama di awal adalah yang duduk di sebalah kiri dan kanan saya. Nama yang terakhir cukup membanggakan, mereka termasuk generasi Gen Z, namun punya pertanyaan yang menurut saya berbobot saat sesi tanya jawab.

Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari beberapa kalangan. Yang berhasil saya catat dan menurut saya layak untuk dibagikan ke publik (yang belum mengetahui) adalah apa yang disampaikan oleh Ibu Meutia sebagai putri sulung Bung Hatta. Dalam sambutan itu beliau menegaskan bahwa sang ayah pernah membuat surat wasiat, beliau menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Sebaliknya beliau ingin dimakankan di taman makam biasa. “Alasan beliau supaya lebih dekat dengan rakyat yang selalu ada di hatinya,” kenang Ibu Meutia.

Sambutan dari Ibu Gemala Hatta yang saya catat adalah terkait maklumat yang sering salah dikutip oleh beberapa kalangan. Selama menjabat wakil presiden, Bung Hatta hanya dua kali membuat maklumat. Pertama: Maklumat X, banyak yang salah, mengira itu adalah maklumat untuk pembentukan partai-partai. Padahal yang dimaksud maklumat tersebut adalah hak untuk menyusun GBHN, karena waktu itu belum ada DPR dan MPR. Adapun terkait pembentukan partai-partai, itu ada di maklumat kedua: Maklumat Wakil Presiden.

***

Sambutan-sambutan selesai. Acara inti dibuka oleh Prof. Emil Salim sebagai keynote speaker. Beliau hanya berbicara sekitar 15 menit, namun pembukaan dari beliau ini yang paling meninggalkan bekas di hati.

Mata saya ikut berkaca saat Prof. Emil menangis demi mengenang Bung Hatta yang setelah wafatnya meninggalkan dompet berisi lipatan kertas iklan (advertisement) sepatu Bally made in Swiss. Sepatu yang sangat diimpikannya tapi tidak sanggup membelinya sampai meninggal dunia.

“Tidak mungkin ada pemimpin (sejati) yang ia semakin kaya sementara rakyatnya semakin miskin,” tegas Prof. Emil.

Materi I dibawakan oleh Pak Sukidi (Doktor alumnus Harvard), yang dalam banyak poin mirip dengan apa yang dibahas pula oleh Prof. Mahfud MD (yang menjadi pembicara di sesi terakhir).

Yang saya catat dari materi yang disampaikan Pak Sukidi adalah, bahwa Bung Hatta menginginkan negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab bila yang terakhir ini dijadikan landasan bernegara, yang terjadi adalah hukum dijadikan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan-lawannya (mengutip pendapat Steven Levitski, professor bidang politik di Universitas Harvard). “Inilah yang terjadi saat ini,” tukas beliau. Sungguh miris. Saya pribadi sepakat dengan kesimpulan ini. Inilah yang menjadi realitas kehidupan politik kita hari ini.

Materi II dibawakan oleh Prof. Anhar Gonggong. Beliau salah satu tokoh sejarahwan idola saya. Agak tertegun saat moderator bertanya ke peserta, ternyata masih ada yang belum mengenal beliau. Tapi tidak jadi masalah, kita maklum sebab memang yang hadir tidak semua berlatar belakang sejarah.

Pembahasan Prof. Anhar lebih banyak mengenai aspek sejarah berdirinya PNI-Baru yang dipimpin oleh Bung Hatta. Dalam analisa beliau, berbeda dengan Partindo yang dibubarkan oleh Pemerintah Hindia, Belanda tidak berani membubarkan partai ini karena khawatir pihak komunis akan masuk bila terjadi kekosongan. Namun demikian, berbeda pula dengan partai lain yang berbasis massa, partai berbasis pendidikan dan pengkaderan yang didirikan oleh Hatta justru dianggap yang paling berbahaya oleh Belanda.

Kenapa zaman itu menjadi zaman keemasan. Sebab, kata Prof. Anhar, “Banyak di antara pendiri bangsa kita yang terdidik dan tercerahkan.” Terdidik-tercerahkan, itulah dua kata inti dari beliau. Dua kosa kata yang tidak atau jarang kita temukan pada para pemimpin kiwari. Tidak heran kalau dalam sesi tanya jawab, yang terjadi justru sebaliknya, beliau tampak pesimis dengan jargon Indonesia Emas 2045. Namun beliau lekas pula menolak bila dikatan ia sebagai seorang pesimis. “Saya hanya menjawab apa adanya berdasarkan analisa saya.”

Memang, jika kita melakukan pendekatan berdasarkan perspektif sejarah, alasan beliau sangat bisa kita pahami. Sebab, diksi terdidik-dan-tercerahkan itu tidaklah lahir dari ruang hampa. Para calon pemimpin itu dibesarkan dalam kultur yang sangat melek terhadap ilmu pengetahuan disertai integritas yang tinggi, terutama di dua dekade awal abad ke-20. Sementara generasi yang hidup di dua dekade awal abad ke-21 ini, apakah sudah menyamai atau bahkan melampui mereka? Saya mulai ragu. Tapi ini memang pertanyaan yang untuk dijawab sendiri-sendiri, sebagai bahan instropeksi.

Materi III (terakhir) dibawakan oleh Prof. Mahfud MD. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, materi yang beliau sampaikan sebenarnya sama dengan yang dibawakan oleh Pak Sukidi, namun dengan gaya retorika yang lebih menarik. Tentu ini terkait kemampuan monolog beliau sudah tidak kita ragukan. Dan memang pantas beliau ditempatkan di sesi terakhir.

Namun ada satu pembahasan penting yang tidak kita dapatkan dari dua pemateri sebelumnya. Yakni, dua sisi gelap demokrasi menurut Bung Hatta, yang kemudian dielaborasi oleh Prof. Mahfud dan dikaitkan dengan konteks atau realitas hari ini.

Dua sisi gelap itu pertama, demokrasi bisa membunuh demokrasi. Dengan cara apa? Kartelisasi dan oligarki. Partai-partai bisa saja berkomplot (bahasa halusnya berkoalisi) untuk menjatuhkan pemimpin atau calon pemimpin sekalipun ia punya integritas yang tinggi. Puncaknya adalah lahirnya kediktatoran yang didukung oleh partai-partai yang membentuk kartel tadi. Dan termasuk para oligark menopang calon-calon tertentu yang dianggap menguntungkan mereka.

Sisi gelap kedua, demokrasi menimbulkan anarki karena kebebasan yang berlebihan (kerusuhan, pemogokan, penjarahan). Saya kira poin kedua ini nyambung dengan penanya di sesi tanya-jawab yang membuat korelasi antara demokrasi dan tingkat pendidikan seseorang.

Prof. Mahfud kemudian memuji Bung Hatta yang sudah memprediksi sisi gelap ini dalam salah satu tulisannya sejak 1931, yang satu dekade kemudian dibuktikan oleh lahirnya Partai Nazi dibawah pimpinan Hitler.

Demikianlah tiga materi untuk Kelas Pemikiran Bung Hatta angkatan pertama.

***

Ada hal-hal di luar acara formal yang menurut saya menarik juga untuk saya ceritakan di sini.

Begitu serangkaian acara selesai, banyak peserta yang mengajak para pembicara untuk foto bersama. Tentu saja Prof. Mahfud yang paling menjadi ikonik. Ini pula kali pertama saya melihat langsung dan berjabat tangan dengannya. Dari dekat, tampak beliau sebagai sosok yang low profile.

Yang unik, ada satu tokoh penting yang menurut saya kurang jadi perhatian peserta. Entah karena tidak kenal kepakarannya, atau pangling dengan wajahnya. Seperti halnya Prof. Anhar Gonggong, yang jelas saya bisa maklum kalau ada dari peserta yang belum mengenal beliau, apalagi dalam acara ini memang beliau tidak menjadi pemateri. Buktinya, tidak banyak yang menyambut beliau saat berjalan keluar meninggalkan ruangan lewat pintu belakang.

Siapa gerangan? Dialah Prof. Taufik Abdullah, sejarahwan yang banyak memberi kata pengantar terhadap buku-buku bertema sejarah, tidak terkecuali buku-buku karangan Bung Hatta. Beliau adalah satu anggota tim redaksi Karya Lengkap Bung Hatta. Bahkan, buku jilid I yang tebal itu diberi Kata Pengantar yang panjang oleh beliau.

Jujur saja, yang membuat saya tertarik membaca Memoir-nya Bung Hatta sampai khatam, salah satunya adalah karena pemantik dari beliau yang benar-benar menghidupkan imajinasi pembaca melalui pertanyaan di akhir kata pengantar, apa jadinya bila Bung Hatta meneruskan memoarnya sampai periode paska Konferensi Meja Bundar (KMB)?

Memang sangat disayangkan bahwa Memoir yang kemudian diterbitkan kembali oleh Kompas dengan judul berganti menjadi Untuk Negeriku itu hanya memuat peristiwa hidup beliau sampai tahun 1950. Imajinasi dan dugaan saya: memoar itu sengaja dibuat Bung Hatta untuk mengenang hal-hal yang baik-baik saja, terutama terkait romantisisme-nya ketika berjuang bersama Sukarno sebagai dwi-tunggal.

Mungkin dalam buku itu Bung Hatta ingin menjadi sosok yang dalam Bahasa Jawa dikenal: mikul dhuwur mendem jero –hanya mengingat hal-hal yang baik dari seorang sahabat.

Berawal dari memoar Bung Hatta itu, saya akhirnya mengoleksi semua karya lengkapnya, termasuk hal-hal terkait ia yang ditulis oleh orang lain.

Kalau ada yang bertanya kepada saya buku apa yang sebaiknya dibaca terlebih dahulu untuk mengenal sosok Hatta, maka memoarnya inilah sebagai buku yang pertama-tama wajib dibaca menurut saya.

Kembali ke Prof. Taufik Abdullah. Melihat dari jauh beliau hendak keluar lewat pintu belakang, saya mengejarnya untuk meminta tanda tangan di buku jilid ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang saya bawa. Beliau agak lama memandangi buku itu, untuk kemudian berkata, “Wah, saya malah belum punya jilid yang ini.”

Tampak ia tersenyum gembira waktu saya katakan bahwa saya beberapa kali membeli buku hanya karena di buku itu ada pengantar dari Prof. Taufik Abdullah. Dengan bangga beliau menanggapi, “Wah, kalau masalah memberi kata pengantar, saya memang rajanya. Kadang ada penulis yang tidak saya kenal minta diberi kata pengantar, saya bilang, tunggu dulu ya, saya baca dulu isinya.”

Sebuah kehormatan buat saya bisa ketemu dan bercengkrama singkat dengan beliau.[]

Sukabumi, 16 Agustus 2024
Iwan Mariono