Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 15.35 sd. 17.40 WIB, telah berlangsung Serial diskusi “INDONESIA REBORN” bertajuk Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024 secara hybrid di Kantor LP3ES Jln. Pangkalan Jati 71 Cinere. Selain sebagai penghormatan atas peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78, juga sebagai bagian dari rangkaian selebrasi HUT ke 52 lembaga ini berbakti kepada nusa dan bangsa. Narasumber utama dalam diskusi ini yaitu Fachri Ali, Didik J Rachbini dan Bivitri Susanti. Selengkapnya acara ini bisa diikuti di kanal youtube LP3ESTV
https://www.youtube.com/watch?v=n7Fr2nG7ZAM&t=75

Diskusi dipandu oleh Wijayanto, salah satu elit LP3ES yang juga Pakar Ilmu Pemerintahan.

Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa menyebut bahwa kegiatan seperti ini akan digelar terus menerus secara terjadwal sampai dengan 14 Februari 2024 (countdown), sebagai bentuk kepedulian masyarakat sipil atas sepinya diskusi publik mengapa Pemilu 2024  penting buat bangsa ini. Lebih lanjut Fahmi menyampaikan keprihatinannya atas sesaknya pemberitaan media dengan “pertunjukan sirkus” tokoh partai politik menggadang-gadang jago Capres Cawapres-nya, tanpa sedikitpun penyinggung kontribusi yang akan mereka lakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa ke depan. Oleh karenanya, lanjut Fahmi, LP3ES akan mendiskusikan isu-isu strategis countdown 14 Februari 2024 terutama untuk tema-tema seperti Masa Depan Papua dan Kawasan Timur Indonesia Pasca Pemilu 2024, Masa Depan IKN dan PSN Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilu 2024, Lingkungan dan Tata Kelola Pertambangan Pasca Pemilu 2024, Tata Kelola Energi Pasca Pemilu 2024, Ruang Digital dan Kebebasan Sipil Pasca Pemilu 2024, Demokrasi Lokal dan Oligarki Politik Pasca Pemilu 2024, Pemerintahan Desa dan Pembangunan Kesejahteraan Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Industri dan Kesejahteraan Buruh Pasca Pemilu 2024, Partai Politik dan Relawan Politik Pasca Pemilu 2024 dan Masa Depan Ideologi dan Etika Berbangsa Pasca Pemilu 2024.

Dalam penjelasannya, secara ekonomi, Didik Rachbini menyoroti tingginya ketimpangan ekonomi yang bisa menjadi faktor distabilitas dalam berdemokrasi. Kapasitas ekonomi yang besar, dengan pertumbuhan investasi yang terus menjulang, tidak akan memberikan efek kesejahteraan rakyat karena dana APBN banyak digelontorkan dalam bentuk aneka subsidi. Memang secara politik banyaknya subsidi yang diberikan kepada rakyat akan membuat siapapun presidennya populis. Namun ke depan, Didik mengingatkan, Bangsa ini akan tetap dalam middle income trap bila presiden hasil Pemilu 2024 nanti meneruskan kebiasaan presiden-presiden sebelumnya seperti SBY dan Jokowi, yang banyak menebar subsidi tanpa dimbangi dengan peningkatan kebijakan mendasar untuk industrialisasi yang memajukan rakyat.

Dari sisi hukum, Bivitri Susanti menyampaikan bahwa KUHP masih dengan wajah paradigma kolonial dimana hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan keinginan penguasa. Demikian halnya dengan turunan hukumnya pun masih sama. Berita bohong yang menimbulkan keonaran digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Hukum sebagai alat untuk meraih capaian pembangunan seperti undang-undang cipta kerja dalam mengejar capaian ekonomi. Dan cenderung abai terhadap hak-hak manusia dan lingkungan. Demikian juga UU Minerba yang dibuat dalam paradigma capaian ekonomi atau investasi yang menguntungkan bagi invenstor tapi tidak bagi rakyat

Kedepan, lanjut Bivitri, Presiden yang layak pilih  yaitu presiden yang mampu mengubah cara pandang hukum, sehingga menjadi instrumen bagi negara untuk memenuhi hak konstiusional warga. Presiden mendatang mesti bisa menempatkan tata kelola di bidang hukum berjalan secara teknokratis.

Secara politik, Fachry Ali memberi ilustrasi yang sangat runtut dan menarik, dengan mengambil pelajaran fenomena berharga 100 tahun lalu, sekitar tahun 1924 manakala para intelektual dan cendekiawan menjamur dan leluasa mengartikulasikan tujuan kemerdekaan. Saat itu, bibit kaum terpelajar melahirkan gerakan nasional yang memunculkan gagasan dan ide kemerdekaan 1945.

Saat ini partai politik mengalami krisis gagasan ideal tentang Indonesia ke depan. Krisis gagasan ini menyebabkan panggung politik Indonesia sepi dari perbincangan tentang gagasan Indonesia pasca pemilu 2024. Reintelektualisasi politik Indonesia mendesak untuk dilakukan.

Lebih lanjut Fachri menyatakan, partai politik lah yang seharusnya merumuskan Indonesia ke depan, bukan hanya sibuk karena bingung untuk sekedar menentukan cawapres pemilu 2024 mendatang. Artinya, reintelektualisasi Politik Indonesia penting dan mendesak untuk dilakukan supaya pilihan-pilihan politik tidak semata disandarkan pada political forces (basis massa pendukung) seperti yang berlangsung saat ini namun juga ditentukan oleh kalkulasi ideologis yang bermuatan gagasan ideal tentang masa depan Indonesia.

Pemilu Harus Dievaluasi Rakyat

Pemilu Harus Dievaluasi Rakyat

Jakarta – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina melalui Paramadina Communication Institute (PCI) membuat forum seminar dan peluncuran buku dengan tema “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024”. Dalam peluncuran buku ini, Universitas Paramadina menggandeng LP3ES.

“Saya berterima kasih karena ini merupakan kegiatan yang sangat peduli tentang pengembangan peradaban ilmiah dan macam-macam. Kami dari LP3ES menyambut baik atas kerjasamanya,” kata Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Abdul Hamid secara virtual, Kamis, 13 Juli 2023. Abdul Hamid mengatakan hak rakyat di Indonesia memang betul hampa, karena Indonesia sudah mengalami perubahan dalam sistem demokrasi.

“Kalau saya lihat Indonesia ini negara sebagai pedagang dengan menghimpun oligarki kemudian rakyat seluruh memberi seperti toko klontong, sehingga rakyat tidak mempunyai hak,” katanya.

Abdul Hamid menilai kehampaan yang dirasakan pada rakyat itu harus dievaluasi oleh negara, terlebih menjelang Pemilu 2024 mendatang.  “Harus dievaluasi selama 5 tahun, tidak cukup saat pemilu. Tapi evaluasi kinerja, yang parameternya adalah pancasila,” ucapnya.

Menurutnya, penyelenggaraan negara yang saat ini akan digelar, yaitu Pemilu harus dievaluasi oleh rakyat. Evaluasi itu juga harus sesuai dengan standar dari negara itu sendiri.

“Harus sesuai dengan Pancasila, ya itu parameternya ya 5 sila itu. Apakah semakin berkeadilan, itu penting karena selama ini tidak ada dalam proses bernegara kita,” pungkasnya.  Abdul Hamid mengingatkan jika suatu negara rusak, bukan menjadi tanggungjawab partai politik lagi, melainkan masyarakat.

“Bukan menjadi tanggungjawab partai jika negara rusak. Mohon maaf, tidak ada tanggungjawab partai tidak ada, jika mereka diamanati kemudian rusak, ya rusak saja,” katanya.

Artikel ini sudah tayang di VIVA.co.id pada hari Kamis, 13 Juli 2023 – 19:57 WIB
Judul Artikel : Universitas Paramadina Luncurkan Buku Oligarki, LP3ES: Pemilu Harus Dievaluasi Rakyat
Link Artikel : https://www.viva.co.id/berita/nasional/1617866-universitas-paramadina-luncurkan-buku-oligarki-lp3es-pemilu-harus-dievaluasi-rakyat?page=2
Oleh : Bayu Nugraha,Rahmat Fatahillah Ilham

Popularitas Partai di Media Sosial, Apa Kata Big Data?

Popularitas Partai di Media Sosial, Apa Kata Big Data?

Maisie Sagita, analyst Continuum Big Data memaparkan hasil riset Continuum periode 01-31 Mei 2023 yang menemukan fakta-fakta menarik seputar kecenderungan netizen di media sosial twitter tentang popularitas Partai Politik saat ini.

Data yang diambil dari 485,743 perbincangan di media sosial dan terdiri dari 139,942 akun media sosial twitter.Data yang didapat oleh Continuum telah disaring terlebih dulu dari buzzer dan BOT, sehingga dapat diperoleh pendapat dari akun akun masyarakat pada umumnya.

Dari hasil pengumpulan data, dari 18 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu 2024, saat ini terdapat 5 partai politik yang paling popular di media massa yakni : Partai Nasdem, PDIP, PKS, PKB dan Gerindra.

“Partai Nasdem menjadi partai paling popular dengan tingkat penerimaan paling tinggi dan proporsi perbincangan positif yakni 77% atau 140 ribu lebih perbincangan oleh 26.056 akun medsos,” terang Maisie Sagita

Popularitas tersebut dikarenakan Partai Nasdem dan PKS (39 ribu perbincangan) menjadi partai populer karena langkahnya yang berani menyalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dan dinilai menyelamatkan demokrasi.

Selain itu menurut Maisie, Partai Nasdem juga dianggap menyebabkan kader partai lain pindah ke Nasdem.

“Di sisi lain, publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader Partai Nasdem dan meminta untuk menyelidiki aliran dan korupsi ke partai. Publik juga curiga dengan biaya pembangunan Nasdem Tower,” ungkapnya.

Selain itu partai PKB dengan 38 ribu perbincangan juga populer karena ada narasi perbedaan dukungan di akar rumput antara mendukung Anies Baswedan dan Prabowo.

Sementara PDIP (110 ribu perbincangan positif oleh 30,785 akun medsos) meraih 71,5% tingkat popularitas positif karena Bacapres Ganjar Pranowo. Gerindra dengan 35,400 perbincangan populer karena didorong percakapan bacapres Prabowo.

Sementara 58,5% percakapan pendukung PDIP berisi dukungan kepada Ganjar Pranowo. Di sisi lain publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader PDIP. Padahal dulu PDIP memperjuangkan reformasi tetapi justru sekarang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.

PKS, partai Islam memperoleh 39,542 perbincangan oleh 14,137 akun medsos dan memperoleh positive rate 80,9%. Elektabilitas PKS menjadi semakin naik karena mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024 dan menyelamatkan demokrasi.

Namun, PKS juga dikritik karena tindakan kekerasan oleh kadernya, dan menyoroti kader PKS lain yang menolak UU tindak pidana kekerasan seksual. Isu majunya Kaesang sebagai calon Walikota Depok juga memunculkan keinginan publik untuk menyingkirkan PKS dari Depok.

Partai Gerindra, mendapat 35,350 perbincangan oleh 16,132 akun medsos. 58,1 percakapan berisi dukungan publik untuk kepada Prabowo.

“Publik juga mengapresiasi tim Gerindra yang mampu membangun citra Prabowo dengan sangat baik. Tetapi di sisi lain tindakan Prabowo yang menggandeng keluarga Jokowi menyebabkan publik menilai Gerindra gagal dalam mengkader bibit bibit dalam partai,” jelas Maisie.

Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto dalam paparannya menyebut dari perspektif normatif tentang Pemilu maka itu artinya berbicara ihwal demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin.

“Oleh karenanya kemudian pemilu digunakan sebagai cara bagi warga negara untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pada  pemimpin,” terangnya.

Menurut Wijayanto, sayangnya, saat ini pemilu di Indonesia ditempatkan dalam konteks kemunduran demokrasi sebagaimana telah muncul banyak catatan tentang pemilu yang berlangsung dalam suasana yang hampir ditunda, dan hampir jadi 3 periode petahana presiden.

“Pemilu diiringi dengan cawe-cawe presiden yang aktif memberikan dukungannya kepada dua capres. Hal itu menimbulkan pertanyaan dan protes publik. Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya. Menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” jelasnya.

Selanjutnya Dr Wijayanto juga memberikan opini terkait riset popularitas partai, tetapi ada satu hal penting, bahwa pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara. Lalu dibicarakan juga apa solusinya.

“Dari perbicangan riset Continuum yang ada nampaknya kita terjebak pada perbincangan tentang “pacuan kuda”. Kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali,” katanya.

Menurut Wijayanto, saat ini kita tidak mendengar itu semua dari partai-partai yang bersaing. Yang muncul hanya PKS Nasdem PDIP terkenal karena mendukung bacapres-bacapres Anies atau Ganjar Pranowo. Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada. Atau populernya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai,” ujarnya.

“Seharusnya mendekati pemilu 2204 yang sisa 7 bulan lagi, ada solusi atau konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa mulai dari HAM, kemiskinan, lapangan pekerjaan, isu lingkungan dan isu isu pro publik lainnya,” tegas Wijayanto.

Sumber: Barisan.co

New Paradigm of Development Planning

New Paradigm of Development Planning

One of the most important parts of Indonesia’s presidential election phase is the announcement of long-term development planning (RPJPN) 2025-2045. It is because all of the candidates have to adopt the RPJPN in their vision and mission. On May 22-23, 2023, Bappenas (the National Development Planning Agency) held the National Development Plan Deliberation (Musrenbangnas) 2023, for the formulation of the National Long-Term Development Plan (RPJPN) 2025-2045. This momentous event went unnoticed by the public amidst the noisy roadshows conducted by potential presidential candidates to capture public attention.

The Musrenbangnas 2023 was intended to ensure that development progresses in a directed, integrated, and clearly defined manner, in order to address the future needs of the nation. The aspirations and goals of Indonesia’s independence in 2045 when Indonesia celebrates 100 years’ independence day, are expected to face increasingly challenging and complex circumstances. On the global stage (external aspect), Indonesia must emerge as a competitive nation, a key player rather than a mere spectator. Internally, Indonesia must strive to become a self-reliant and advanced nation. In line with circumstances, a nation with such qualifications must reflect justice and prosperity in every aspect of life, ensuring equal distribution of development benefits. In particular, all people should have equal opportunities to access social services, education, healthcare, and employment, express their opinions and ideas publicly, exercise political rights, receive protection and equality before the law, and attain a better life, as reflected in improved socio-economic welfare.

The keyword for the development plan in realizing Indonesia Emas 2045 (Golden Indonesia 2045) is “Transform”. The reforms are no longer sufficient, but they need to be reinforced by comprehensive transformations in various development sectors. This transformation is crucial to achieving competitive development driven by inclusive and sustainable high productivity. The main focus of transformation includes social, economic, and governance aspects. A successful transformation is supported by a strong foundation of national stability, which encompasses the rule of law, substantial democracy, national security, and economic stability, creating a conducive domestic environment, as well as robust diplomacy to strengthen the role on the international stage. The rule of law ensures legal certainty and justice, while substantial democracy produces effective and responsive governance. Strong national security protects the country and creates a safe environment, while economic stability supports the well-being of society. When these four aspects are stable, the country will have a strong foundation to implement inclusive and sustainable development, attract investments, create decent jobs, and allocate resources effectively.

An interesting breakthrough from the Musrenbangnas 2023 is the approach to involve all elements of the nation. Fundamental issues that have yet to be resolved during the development process, such as poverty and inequality, are no longer addressed through programs and projects that are mere “inputs,” with the poor seeking assistance from poverty alleviation projects. Instead, communities living in inadequate conditions are approached, surveyed, and their basic service needs that have not been met are identified, and gradually fulfilled over time.

Intellectuals understand that development goes beyond economic growth and other measures of modernization such as urbanization and industrialization. It encompasses broader aspects such as equality, human progress, environment, democracy, social institutions, cultural values and civilization. Suppose development is merely aimed at addressing national challenges through the process of modernization. In that case, the outcome tends to benefit the elite, and perpetuate oligarchic hegemony, while leaving the lower class behind due to widening inequality.

By: Fahmi WibawaExecutive Director of LP3ES, Lecturer at the Faculty of Economics and Business UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Source: https://en.tempo.co/read/1732119/new-paradigm-of-development-planning

 

Dinamika Politik Menuju 2024: Apa Kata Big Data?

Dinamika Politik Menuju 2024: Apa Kata Big Data?

Diskusi Dinamika Politik Menuju 2024 dibuka oleh Fahmi Wibawa selaku Direktur Eksekutif LP3ES. Fahmi Wibawa menekankan harus ada ‘langkah konkret’ terkait mundurnya demokrasi dengan mengenali aktor-aktor yang ada di dalam konstelasi demokrasi Indonesia dan jalannya pemilu nanti oleh pembelot yang bersembunyi dibalik layar. 

Menurutnya kita selaku masyarakat sipil pun juga memiliki peran dengan mengawal langkah konkret tersebut. Diadakannya diskusi ini merupakan wujud pengamalan demokrasi tersebut. Bersamaan dengan tema diskusi sore hari ini, big data merupakan medium bagi ‘langkah konkret’ tersebut, melalui analisis data yang kelak dapat membantu kita untuk memetakan aktor-aktor politik yang memiliki peran signifikan, serta mengurai proses perilaku dari setiap aktor – baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.

Ritual Oligarki

Diskusi diawali oleh Wijayanto selaku Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES serta Dewan Pakar Continuum, yang mengutip Refleksi Outlook 2022/2023 Ritual Oligarki menuju 2024, “Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia”.

Menurutnya hal yang penting dalam situasi demokrasi saat ini adalah Memonitor percakapan publik, mengutip apa yang dikatakan Ben Anderson bahwa informasi yang benar dalam negara demokrasi diibaratkan seperti oksigen, oleh karenanya informasi menjadi hal yang penting saat ini, baik akademisi, politisi dan masyarakat pada umumnya. LP3ES dan Continuum pun bekerja sama dalam melakukan monitor percakapan publik tersebut. 

Percakapan publik yang kerap hangat muncul di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini adalah Masa Jabatan Kepala Desa – yang paling banyak mendapat perhatian. Duo PKB Muhaimin Iskandar dan Abdul Halim menjadi aktor yang disorot selaku pencetus ide tersebut. Selain itu isu Penundaan pemilu, Kredibilitas KPU, Kemunduran Demokrasi dan Politik Dinasti – Mayoritas perbincangan-perbincangan isu ini sarat dengan kritik dan respon negatif oleh masyarakat.

Demokrasi Masuk Jurang

Senada dengan Wijayanto, Prof Didik juga menjelaskan terdapat lima masalah yang dapat menggiring ‘demokrasi masuk jurang’. Senada dengan Wijayanto, diskusi dipantik oleh Prof Didik dengan kembali menekankan lima isu politik krusial yang hangat dalam perbincangan publik yakni, perpanjangan masa jabatan kades, penundaan pemilu, kredibilitas KPU, politik dinasti, dan kemunduran demokrasi.  

Terkait isu Perpanjangan Masa Jabatan Kades, mestinya inti demokrasi adalah pembatasan kekuasaan – oleh karena itu seharusnya  terdapat batasan jabatan publik. Inti dari kekuasaan politik itu tersendiri merupakan adanya check and balance. Menurutnya upaya perpanjangan masa jabatan kades tersebut merupakan bentuk kolusi politik serta praktek najis bagi demokrasi – sama halnya dengan praktek jabatan seumur hidup. 

Isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan upaya menjajal arus gelombang rakyat pertahanan demokrasi di akar rumput. Tentu masyarakat menolak wacana tersebut. Kendati ditolak, tetap ada upaya penggiringan isu perpanjangan kekuasaan melalui isu penundaan pemilu.

Dari hasil riset big data, kredibilitas KPU dipertanyakan secara prihatin oleh publik. Komisioner yang menjabat sekarang, dipertanyakan, karena status posisi mereka merupakan hasil perebutan pengaruh dan kolusi di bawah tanah dengan partai-partai politik. 

Di Indonesia politik dinasti yang bercampur oligarki juga menjadi temuan dalam perbincangan publik. Campuran politik dinasti dengan sistem oligarki juga akan menggiring demokrasi ke jurang. Kendati tidak tidak haram, praktek ini tetap dapat menggiring ‘demokrasi ke dalam jurang’. 

Pelaku demokrasi (politisi dan partai yang berkuasa saat ini) justru mengkhianati demokrasi yang mengarah kepada kemunduran, continuum menemukan ada watak otoriter dibalik aktor aktor demokrasi.

Antara Negara, Oligarki dan Partai Politik

Abdul Hamid selaku Dewan Pengurus LP3ES juga memberikan pendapatnya terkait dengan keadaan kondisi bangsa saat ini. Menurutnya Negara telah mengubah dirinya menjadi “horor”, sehingga kritik apapun yang diajukan untuk negara tidak dapat bermakna, Dalam konteks ini negara telah melakukan kolusi antara parlemen dengan eksekutif yang mengakibatkan negara tidak lagi independen yang justru menghilangkan  tugas tugas etis (keadilan/kesejahteraan) dalam bernegara. Negara berubah fungsi menjadi alat teror diantara masyarakat.

menurutnya partai politik mesti menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam menghadapi situasi saat ini. Selain itu  kelompok masyarakat sipil juga penting untuk tetap menyuarakan hal-hal ini. Abdul Hamid juga menilai Indonesia kedepannya cenderung dalam situasi bahaya – melihat dari ketiga kekuatan politik; negara atau oligarki yang sudah menyatu dengan partai politik, serta orientasi masyarakat yang sudah terpecah. Diperlukan analisis yang mendalam untuk mencarikan jalan keluarnya, dalam melihat kegaduhan dalam perbincangan publik. Abdul hamid mengatakan :

“Big data merupakan data verbal. Data verbal bukan berarti tidak memiliki fungsi apa-apa. Kendati berakar dari persepsi, tetapi persepsi merupakan wujud kepercayaan. Oleh karena itu, hasil analisa big data Continuum merupakan hasil kepercayaan dari opini publik. “

Perbincangan Publik dan Elektabilitas Tokoh

Selain itu menurut Wahyu Tri Utomo Data Analyst Continuum, sosial media kini telah digunakan sebagai strategi bagi suatu aktor politik dalam mencapai kepentingan politik mereka. Dari hasil riset Continuum, terdapat empat tokoh yang dikaitkan sebagai capres, yakni Anies, Prabowo, Puan dan Ganjar.  Anies menjadi tokoh yang paling banyak dikaitkan sebagai capres, dengan AHY kerap dikaitkan sebagai cawapres. Pasangan lainnya adalah Ganjar – Erick Thohir. Sementara nama Puan belum memiliki nama cawapres yang signifikan.

Menurut Continuum, Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY merupakan tokoh yang paling banyak menjadi perbincangan. Anies juga menjadi tokoh dengan tingkat penerimaan yang tinggi sebesar 85%. Dari hasil penelitian big data yang dilakukan continuum dengan LP3ES, dalam aspek politik terdapat tokoh-tokoh yang paling mendominasi dalam perbincangan publik yaitu Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY.

***

Rilis media:

Ritual Oligarki Menuju 2024

Ritual Oligarki Menuju 2024

Hari ini, Minggu, 29 Januari 2023, LP3ES me-release outlook demokrasi yang merupakan buku kelima selama lima tahun terakhir. Hadir sebagai pembicara adalah para penulis buku antara lain: Wijayanto, Titi Anggraini, Herlambang P Wiratraman, Bangkit Wiryawan, dan Malik Ruslan. Webinar diawali Sambutan Direktur Ekesekutif LP3ES.

Fahmi Wibawa, Direktur Eksekutif LP3ES

Mengawali webinar, Fahmi Wibawa memberi pengantar diskusi mengenai situasi demokrasi sekarang ini yang sedang tidak baik-baik saja. Sampai dengan akhir tahun 2022 lalu, lahirnya beberapa  produk peraturan perundang-undangan yang didorong pemerintah, seperti revisi  UU KPK, UU Cipta Karya, UU Minerba, dan klimaksnya adalah pengesahan UU KUHP 2022,  menempatkan iklim demokrasi Indonesia di titik nadir. Berbagai produk hukum oligarkis tersebut, yang diklaim sebagai formula mengantisipasi ancaman resesi  ekonomi global sekaligus menyongsong Pemilu 2024, sejatinya malah memasung demokrasi dan mengerdilkan peran rakyat.

Demokrasi di Indonesia dinilai cacat yang ditandai dengan oposisi yang lemah, kebebasan  sipil yang menurun, dan menguatnya negara dalam menekan kritik. LP3ES sebagai lembaga intelektual dan cendekiawan yang sudah berdiri sejak tahun 1971, melihat situasi ini dan memberikan perhatian pada upaya mencari solusi atas permasalahan yang terjadi dengan menerbitkan buku refleksi dan outlook demokrasi. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan kita semua tentang masalah serius yang terjadi pada demokrasi kita saat ini dan upaya untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang ada.

Wijayanto, Direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES

Sebagai pembicara pertama pada webinar ini, Wijayanto menekankan tentang pemilu kita yang diibaratkan sebagai suatu ritual yang seperti “ritual pacuan kuda” ,dalam artian bahwa dari pemilu ke pemilu merupakan suatu kompetisi yang justru tidak menjawab tujuan pemilu itu sendiri, padahal pemilu adalah untuk memilih pemimpin untuk sirkulasi kekuasaan yang bertujuan untuk mementingkan kepentingan publik, namun demokrasi kita malah mengalami kemunduran dan menuju pada otoritarianisme. Hanya sirkulasi kekuasaan diantara elite bukan untuk kepentingan umum.

Sayangnya menuju pemilu 2024, kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoriterisme masih juga berlangsung yang antara lain ditandai dengan: diabaikannya aturan main demokratis, absennya oposisi karena pelemahan sistematis oleh negara, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan, dan pembrangusan kebebasan sipil termasuk media.

Pertama, diabaikannya aturan main demokratis nampak pada terus mengemukanya wacana penundaan pemilu dan pemecatan hakim MK secara sepihak oleh DPR. Pindah ibu kota yang UU nya baru disahkan 2022 tapi sebenarnya sudah diputuskan sejak 2019 tanpa konsultasi public adalah penanda lainnya.

Kedua, absennya lawan politik memberi kita parlemen yang menjadi paduan suara Bersama pemerintah dalam berbagai hal: UU Cipta Kerja, RKUHP, juga pelemahan KPK. Ia memberi kita salah satu periode paling membosankan dalam sejarah parlemen Indonesia. One hundred years of solitude, mungkin pas untuk menggambarkan bungkamnya parlemen kita untuk memperjuangkan kepentingan warga.

Ketiga, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan terjadi pada kasus Kanjuruhan, kasus Ferdy Sambo, dan berbagai data lain (lihat PPT). Kasus Sambo memberikan satu pesan, yang mengutip Goenawan Mohamad: “Banyak yang tahu, di kamar-kamar tahanan polisi, penyiksaan dan pemerasan tak jarang dilakukan,  dan hampir selamanya dibiarkan. Pelan-pelan, brutalitas itu jadi “kebudayaan”.”

Keempat, pemberangusan kebebasan sipil termasuk media. Terdapat 263 kasus hingga kuartal ketiga 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun lalu dengan 193 kasus (2021) dan 147 kasus (2020). Serangan digital ini juga berpengaruh terhadap kebebasan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa ada setidaknya 14 kasus serangan digital terhadap wartawan dan media pada tahun 2022.

Berbagai gejala kemunduran demokrasi itu pada dasarnya merefleksikan dominannya kuasa oligarki dalam sistem politik Indonesia. Di sini, oligarki didefinisikan sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya (Robison dan Hadiz, 2013). Ia juga dapat didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya (Winters, 2013).

Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis ini, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi yang lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Titi Anggraini, Dewan Pembina PERLUDDEM

Titi Anggraini melanjutkan diskusi dengan memberi tajuk “Cakap Tak Serupa Bikin : Jalan Terjal Pemilu 2024 dan Resiliensi Masyarakat Sipil”. Titi memantik diskusi dengan menekankan bahwa bukan masyarakat namun elite yang membuat jalan menjadi terjal, contohnya adalah penundaan pemilu, sampai penghujung 2022 masih terdapat wacana untuk menimbang kembali pemilu 2024. Pada 2022, persiapan pemilu tersendat, selain itu pada tahun ini muncul indikasi kecurangan verifikasi faktual partai politik secara struktural, berikut adanya yudisialisasi politik peraturan pemilu akibat tidak direvisinya UU Pemilu, contohnya mantan terpidana, penataan daerah pemilihan dan upaya melalui uji materiil sistem pemilu. Dan adanya anomali penjabat kepala daerah.

Masyarakat sipil dapat berperan dalam mengantisipasi ini dengan menunjukan resiliensinya, contohnya transformasi pemantauan pemilu, adanya adaptasi kelenturan pada advokasi yudisial, dan kemampuan mendapatkan kepercayaan informan whistle blower.

Pada 2023, Titi memprediksikan bahwa situasi serupa akan tetap terjadi. Elite akan tetap gaduh dan tetap minus politik gagasan diskursus, dan sangat ‘elitis’. Serta mereka cenderung menginginkan masa kampanye yang pendek namun di saat yang sama, ingin bersosialisasi di ‘masa tunggu’, guna menghindari akuntabilitas di masa kampanye.

Serangkaian peristiwa 2022, bahwa upaya mewujudkan demokrasi prosedural sekalipun bukanlah sesuatu yang mudah termasuk juga bagian substansinya. Praktik pemilu selama ini reguler dilakukan bahkan mendapatkan tantangan yang justru datang dari para elite politik hasil dari proses pemilu itu sendiri. Elite politik sangat cakap dan fasih saat mengumumkan jargon-jargon mereka, akan tetapi dalam pelaksanaannya cenderung inkonsistensi. Alias cakap tak serupa bikin.

Oleh karena itu masyarakat sipil perlu bersikap resilien dalam menghadapi situasi di pemilu 2024. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah merebut Pemilu 2024 melalui penetrasi pada pemilih muda yang jumlahnya lebih dari 50% dari 200 juta lebih pemilih Indonesia pada 2024 (dengan 15% di antaranya adalah pemilih berusia 17-23 tahun).

Bangkit A. Wiryawan, Dosen FISIP UNDIP/LP3ES

Pembicara ketiga yaitu Bangkit A. Wiryawan, mengawali pemaparannya mengenai dinasti politik. Bangkit menyebutkan bahwa dinasti politik juga berkontribusi terhadap buruknya demokrasi di Indonesia. Adanya celah pada instrumen hukum negara menjadi salah satu faktor langgengnya praktik dinasti politik di Indonesia, yakni Putusan MK No. 33 2015. Argumen ini berangkat dari hasil penelitian pengukuran dampak perubahan kepemimpinan untuk konteks pilkada dari kurun waktu 2013-2017.

Dampak dari dinasti politik biasanya muncul pada tahun politik, yaitu sekitar satu tahun sebelum penyelenggaraan pilkada. Dari 15 daerah hanya 3 daerah terdapat pertumbuhan pengeluaran perkapita, tingkat pengeluaran perkapita selama dinasti politik di tahun pertama dan kedua disetiap daerah rata-rata negatif.

Concern terhadap semakin menguatnya dinasti politik menarik untuk dikaji secara ilmiah, spesifiknya untuk mengukur dampak fenomena tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat di tingkat daerah. Sebanyak 15 kasus dinasti politik di tataran eksekutif daerah kabupaten/kota berhasil dihimpun. Tahun penyelenggaraan pilkada, atau tahun sebelumnya apabila pilkada dilaksanakan pada awal tahun, menjadi tahun observasi. Sebagai pembanding, digunakan data rata-rata provinsi. Hasilnya ditemukan bahwa bahwa dinasti politik daerah secara rata-rata ikut menyumbang penurunan pertumbuhan kesejahteraan sebesar 0.8% dibandingkan rata-rata provinsi. Dinasti politik juga turut menyumbang terhadap meningkatnya indeks keparahan kemiskinan sebesar 0.7% dibandingkan dengan rata-rata provinsi.

Herlambang P. Wiratraman, Direktur Pusat Hukum dan HAM LP3ES

Posisi negara hukum Indonesia memperlihatkan perlindungan warga negara masih jauh ideal, realitas dari waktu ke waktu sepanjang 2022 tidak ada yang mengejutkan, karena sudah dapat terlihat dari peraturan yang dibuat. Refleksi tersebut dapat dilihat pada 3 poin utama   pertama pembentukan hukum semakin otokratis, kedua penegakan hukum bagaimana hukum bekerja, dan pelanggaran HAM dan Impunitas.Sepanjang tahun 2022 ada beberapa produk hukum yang akan besar dampaknya, misalnya RKHUP dan UU Cipta Kerja .

Dari refleksi tersebut ada begitu banyak pasal pasal  justru akan mengancam kebebasan sipil. Pembatasan digunakan seakan akan tepat namun tidak menjawab permasalahan mendasar contohnya kritik terhadap presiden dan lembaga pemerintah, dari sisi penegakan hukum refleksi 2022 ada beberapa kasus yang dapat dilihat kurangnya perlindungan hukum kepada masyarakat misalnya kasus wadas (serangan yang sistematis dan terencana). Peristiwa peristiwa tersebut juga memperlihatkan birokrasi menyumbang pembusukan pada negara hukum,

Sejumlah peristiwa HAM yang terjadi, banyak yang tertutup dengan peristiwa besar lainnya. Seperti peristiwa anak-anak muda yang dipenjara dengan tuduhan yang tidak mereka lakukan. Peristiwa ini menjadi potret dimana hukum tidak bekerja secara adil.

Refleksi akhir dari situasi 2022 guna melihat situasi di tahun 2023, kurang lebih akan serupa. Kekerasan, impunitas, dan lemahnya penegakan hukum dan HAM  menjadi warna dominan sepanjang tahun 2022, sebagai salah satu akibat  dari melemahnya demokrasi. Pada waktu yang sama, pembentukan hukum  merefleksikan menguatnya karakter legalisme otokratis. Pengesahan KUHP dan  UUCK menjadi penanda yang sangat kuat. Sementara itu, penegakan hukum  dan HAM yang tidak serius, paralel dengan lumpuhnya penopang perlindungan  hak-hak dasar warga, tak terkecuali lemahnya politik hukum kekuasaan untuk  memangkas mata rantai impunitas.

Malik Ruslan, Peneliti/Editor Senior LP3ES

Malik ruslan menutup diskusi dengan pemaparannya mengenai politik anti korupsi. Malik menekankan terdapat semacam arus balik yang semakin mengkhawatirkan terutama dalam kaitannya negara dalam melawan korupsi. Menurutnya Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, misalnya dicabutnya PP No. 99 Tahun 2012 kemudian lahirnya uu 22 tahun 2022. Dengan dicabutnya uu tersebut maka semua orang atau tersangka berhak mendapatkan remisi.

Politik anti korupsi mengalami involusi, konsekuensi negara menafsirkan korupsi–memberikan arti bahwa hukum saat ini tidak lagi mendukung korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi lalu dianggap menjadi kejahatan biasa.

Apa yang akan dihadapi oleh indonesia pada tahun 2023 nanti?persoalan yang terjadi akan sama seperti yang sudah terjadi pada tahun 2022. Tahun 2022 ditandai, antara lain, dengan kian menguatnya tanda-tanda  involusi politik antikorupsi yang sifatnya fundamental.

LP3ES, 29 Januari 2023