SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA (Angkatan #1)

SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA (Angkatan #1)

Agar tidak hilang ditelan zaman, saya ingin membuat semacam kronik, terkait acara yang sudah digelar di Universitas Paramadina kemarin.

Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Hatta bersama LP3ES. Materinya diambil dari (jilid I) Karya Lengkap Bung Hatta yang jumlahnya 10 jilid, dengan masing-masing ketebelan bervariasi 300-600an halaman, yang sudah dikelompokkan berdasarkan tema.

Ini adalah proyek panjang (1995- sekarang) yang melibatkan banyak pakar. Bahkan jilid pertama, yang dijadikan bahan pertama kuliah kemarin, butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menyelesaikannya. Hari ini, setelah 29 tahun berlalu, yang berhasil dicetak masih sampai jilid ke-9. Sementara jilid ke-10 baru rencana terbit tahun depan.

Begitu lamanya rentang waktu, sampai tiga pakar yang terlibat dalam penyusunan tidak sempat melihat hasil lengkapnya, beliau-beliau yang sudah meninggal dunia: Prof. Sjofjan Asnawi, Prof. Deliar Noer, dan Prof. Dawam Rahardjo. Kita berdo’a semoga Allah berikan mereka tempat yang terbaik di sisi-NYA.

***

Mungkin karena beberapa kali belanja buku langsung ke penerbitnya, admin LP3ES terlebih dahulu mengabari saya melalui pesan WA. Poster acaranya dibuat sejak akhir bulan Juni bersamaan dengan saya mendapat kabar tersebut. Jadilah saya sebagai pendaftar pertama.

Di luar peserta daring, kelas pemikiran (angkatan pertama) ini awalnya hanya membuka 25 kursi untuk kelas luring. Karena peminat lebih dari 50 orang, akhirnya acara harus dipindah ke tempat yang lebih besar dan luas, yang sedianya hendak diselenggarakan di kantor LP3ES yang terletak di Depok.

Peserta dihadiri oleh berbagai kalangan dan profesi. Ada guru, jurnalis, pustakawan, peneliti, dosen, aktivis, mahasiswa, dan lain-lain. Dua nama di awal adalah yang duduk di sebalah kiri dan kanan saya. Nama yang terakhir cukup membanggakan, mereka termasuk generasi Gen Z, namun punya pertanyaan yang menurut saya berbobot saat sesi tanya jawab.

Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari beberapa kalangan. Yang berhasil saya catat dan menurut saya layak untuk dibagikan ke publik (yang belum mengetahui) adalah apa yang disampaikan oleh Ibu Meutia sebagai putri sulung Bung Hatta. Dalam sambutan itu beliau menegaskan bahwa sang ayah pernah membuat surat wasiat, beliau menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Sebaliknya beliau ingin dimakankan di taman makam biasa. “Alasan beliau supaya lebih dekat dengan rakyat yang selalu ada di hatinya,” kenang Ibu Meutia.

Sambutan dari Ibu Gemala Hatta yang saya catat adalah terkait maklumat yang sering salah dikutip oleh beberapa kalangan. Selama menjabat wakil presiden, Bung Hatta hanya dua kali membuat maklumat. Pertama: Maklumat X, banyak yang salah, mengira itu adalah maklumat untuk pembentukan partai-partai. Padahal yang dimaksud maklumat tersebut adalah hak untuk menyusun GBHN, karena waktu itu belum ada DPR dan MPR. Adapun terkait pembentukan partai-partai, itu ada di maklumat kedua: Maklumat Wakil Presiden.

***

Sambutan-sambutan selesai. Acara inti dibuka oleh Prof. Emil Salim sebagai keynote speaker. Beliau hanya berbicara sekitar 15 menit, namun pembukaan dari beliau ini yang paling meninggalkan bekas di hati.

Mata saya ikut berkaca saat Prof. Emil menangis demi mengenang Bung Hatta yang setelah wafatnya meninggalkan dompet berisi lipatan kertas iklan (advertisement) sepatu Bally made in Swiss. Sepatu yang sangat diimpikannya tapi tidak sanggup membelinya sampai meninggal dunia.

“Tidak mungkin ada pemimpin (sejati) yang ia semakin kaya sementara rakyatnya semakin miskin,” tegas Prof. Emil.

Materi I dibawakan oleh Pak Sukidi (Doktor alumnus Harvard), yang dalam banyak poin mirip dengan apa yang dibahas pula oleh Prof. Mahfud MD (yang menjadi pembicara di sesi terakhir).

Yang saya catat dari materi yang disampaikan Pak Sukidi adalah, bahwa Bung Hatta menginginkan negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab bila yang terakhir ini dijadikan landasan bernegara, yang terjadi adalah hukum dijadikan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan-lawannya (mengutip pendapat Steven Levitski, professor bidang politik di Universitas Harvard). “Inilah yang terjadi saat ini,” tukas beliau. Sungguh miris. Saya pribadi sepakat dengan kesimpulan ini. Inilah yang menjadi realitas kehidupan politik kita hari ini.

Materi II dibawakan oleh Prof. Anhar Gonggong. Beliau salah satu tokoh sejarahwan idola saya. Agak tertegun saat moderator bertanya ke peserta, ternyata masih ada yang belum mengenal beliau. Tapi tidak jadi masalah, kita maklum sebab memang yang hadir tidak semua berlatar belakang sejarah.

Pembahasan Prof. Anhar lebih banyak mengenai aspek sejarah berdirinya PNI-Baru yang dipimpin oleh Bung Hatta. Dalam analisa beliau, berbeda dengan Partindo yang dibubarkan oleh Pemerintah Hindia, Belanda tidak berani membubarkan partai ini karena khawatir pihak komunis akan masuk bila terjadi kekosongan. Namun demikian, berbeda pula dengan partai lain yang berbasis massa, partai berbasis pendidikan dan pengkaderan yang didirikan oleh Hatta justru dianggap yang paling berbahaya oleh Belanda.

Kenapa zaman itu menjadi zaman keemasan. Sebab, kata Prof. Anhar, “Banyak di antara pendiri bangsa kita yang terdidik dan tercerahkan.” Terdidik-tercerahkan, itulah dua kata inti dari beliau. Dua kosa kata yang tidak atau jarang kita temukan pada para pemimpin kiwari. Tidak heran kalau dalam sesi tanya jawab, yang terjadi justru sebaliknya, beliau tampak pesimis dengan jargon Indonesia Emas 2045. Namun beliau lekas pula menolak bila dikatan ia sebagai seorang pesimis. “Saya hanya menjawab apa adanya berdasarkan analisa saya.”

Memang, jika kita melakukan pendekatan berdasarkan perspektif sejarah, alasan beliau sangat bisa kita pahami. Sebab, diksi terdidik-dan-tercerahkan itu tidaklah lahir dari ruang hampa. Para calon pemimpin itu dibesarkan dalam kultur yang sangat melek terhadap ilmu pengetahuan disertai integritas yang tinggi, terutama di dua dekade awal abad ke-20. Sementara generasi yang hidup di dua dekade awal abad ke-21 ini, apakah sudah menyamai atau bahkan melampui mereka? Saya mulai ragu. Tapi ini memang pertanyaan yang untuk dijawab sendiri-sendiri, sebagai bahan instropeksi.

Materi III (terakhir) dibawakan oleh Prof. Mahfud MD. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, materi yang beliau sampaikan sebenarnya sama dengan yang dibawakan oleh Pak Sukidi, namun dengan gaya retorika yang lebih menarik. Tentu ini terkait kemampuan monolog beliau sudah tidak kita ragukan. Dan memang pantas beliau ditempatkan di sesi terakhir.

Namun ada satu pembahasan penting yang tidak kita dapatkan dari dua pemateri sebelumnya. Yakni, dua sisi gelap demokrasi menurut Bung Hatta, yang kemudian dielaborasi oleh Prof. Mahfud dan dikaitkan dengan konteks atau realitas hari ini.

Dua sisi gelap itu pertama, demokrasi bisa membunuh demokrasi. Dengan cara apa? Kartelisasi dan oligarki. Partai-partai bisa saja berkomplot (bahasa halusnya berkoalisi) untuk menjatuhkan pemimpin atau calon pemimpin sekalipun ia punya integritas yang tinggi. Puncaknya adalah lahirnya kediktatoran yang didukung oleh partai-partai yang membentuk kartel tadi. Dan termasuk para oligark menopang calon-calon tertentu yang dianggap menguntungkan mereka.

Sisi gelap kedua, demokrasi menimbulkan anarki karena kebebasan yang berlebihan (kerusuhan, pemogokan, penjarahan). Saya kira poin kedua ini nyambung dengan penanya di sesi tanya-jawab yang membuat korelasi antara demokrasi dan tingkat pendidikan seseorang.

Prof. Mahfud kemudian memuji Bung Hatta yang sudah memprediksi sisi gelap ini dalam salah satu tulisannya sejak 1931, yang satu dekade kemudian dibuktikan oleh lahirnya Partai Nazi dibawah pimpinan Hitler.

Demikianlah tiga materi untuk Kelas Pemikiran Bung Hatta angkatan pertama.

***

Ada hal-hal di luar acara formal yang menurut saya menarik juga untuk saya ceritakan di sini.

Begitu serangkaian acara selesai, banyak peserta yang mengajak para pembicara untuk foto bersama. Tentu saja Prof. Mahfud yang paling menjadi ikonik. Ini pula kali pertama saya melihat langsung dan berjabat tangan dengannya. Dari dekat, tampak beliau sebagai sosok yang low profile.

Yang unik, ada satu tokoh penting yang menurut saya kurang jadi perhatian peserta. Entah karena tidak kenal kepakarannya, atau pangling dengan wajahnya. Seperti halnya Prof. Anhar Gonggong, yang jelas saya bisa maklum kalau ada dari peserta yang belum mengenal beliau, apalagi dalam acara ini memang beliau tidak menjadi pemateri. Buktinya, tidak banyak yang menyambut beliau saat berjalan keluar meninggalkan ruangan lewat pintu belakang.

Siapa gerangan? Dialah Prof. Taufik Abdullah, sejarahwan yang banyak memberi kata pengantar terhadap buku-buku bertema sejarah, tidak terkecuali buku-buku karangan Bung Hatta. Beliau adalah satu anggota tim redaksi Karya Lengkap Bung Hatta. Bahkan, buku jilid I yang tebal itu diberi Kata Pengantar yang panjang oleh beliau.

Jujur saja, yang membuat saya tertarik membaca Memoir-nya Bung Hatta sampai khatam, salah satunya adalah karena pemantik dari beliau yang benar-benar menghidupkan imajinasi pembaca melalui pertanyaan di akhir kata pengantar, apa jadinya bila Bung Hatta meneruskan memoarnya sampai periode paska Konferensi Meja Bundar (KMB)?

Memang sangat disayangkan bahwa Memoir yang kemudian diterbitkan kembali oleh Kompas dengan judul berganti menjadi Untuk Negeriku itu hanya memuat peristiwa hidup beliau sampai tahun 1950. Imajinasi dan dugaan saya: memoar itu sengaja dibuat Bung Hatta untuk mengenang hal-hal yang baik-baik saja, terutama terkait romantisisme-nya ketika berjuang bersama Sukarno sebagai dwi-tunggal.

Mungkin dalam buku itu Bung Hatta ingin menjadi sosok yang dalam Bahasa Jawa dikenal: mikul dhuwur mendem jero –hanya mengingat hal-hal yang baik dari seorang sahabat.

Berawal dari memoar Bung Hatta itu, saya akhirnya mengoleksi semua karya lengkapnya, termasuk hal-hal terkait ia yang ditulis oleh orang lain.

Kalau ada yang bertanya kepada saya buku apa yang sebaiknya dibaca terlebih dahulu untuk mengenal sosok Hatta, maka memoarnya inilah sebagai buku yang pertama-tama wajib dibaca menurut saya.

Kembali ke Prof. Taufik Abdullah. Melihat dari jauh beliau hendak keluar lewat pintu belakang, saya mengejarnya untuk meminta tanda tangan di buku jilid ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang saya bawa. Beliau agak lama memandangi buku itu, untuk kemudian berkata, “Wah, saya malah belum punya jilid yang ini.”

Tampak ia tersenyum gembira waktu saya katakan bahwa saya beberapa kali membeli buku hanya karena di buku itu ada pengantar dari Prof. Taufik Abdullah. Dengan bangga beliau menanggapi, “Wah, kalau masalah memberi kata pengantar, saya memang rajanya. Kadang ada penulis yang tidak saya kenal minta diberi kata pengantar, saya bilang, tunggu dulu ya, saya baca dulu isinya.”

Sebuah kehormatan buat saya bisa ketemu dan bercengkrama singkat dengan beliau.[]

Sukabumi, 16 Agustus 2024
Iwan Mariono

Internet for Trust (I4T) Global Knowledge Network

Internet for Trust (I4T) Global Knowledge Network

Seperti judulnya, tujuan seminar ini adalah untuk membentuk semacam global knowledge network yang isinya masyarakat sipil (leading think tank and research center) yang bertujuan untuk membangun kerjasama think tank dan pusat penelitian lintas negara untuk mendorong terwujudnya tata kelola ruang digital yang lebih baik.

Network ini baru lahir dan diresmikan 22 Februari lalu, dan LP3ES menjadi salah satu think tank yang ikut membidani kelahirannya.

Penting dicatat bahwa “14T Global Knowledge Network” ini mendapat support dari UNESCO, tapi independen dari lembaga dunia ini.

Salah satu kerja kita adalah melihat bagaimana dampak guideline yang dikeluarkan UNESCO tentang pengaturan platform digital.

Penting digarisbawahi bahwa kerja kita bukan untuk mempromosikan guideline UNESCO itu namun untuk secara kritis melihat dan memonitor bagaimana dampaknya.

Misi besarnya tentunya adalah untuk melihat seberapa jauh tata kelola platforms di berbagai negara telah melindungi kebebasan berekspresi dan hak-hak asasi manusia lainnya, juga untuk memberikan rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan hak-hak itu secara lebih baik dan bermakna di masa depan.

Karena network ini masih baru, ada peluang sangat besar bagi LP3ES untuk turut mewarnai dan mengarahkan diskursus global tentang topik ini.

 

Netralitas Aparat Negara dalam Pemilu 2024

Netralitas Aparat Negara dalam Pemilu 2024

Netralitas dan profesionalitas aparatur pemerintah sangat penting untuk mewujudkan pemilu yang demokratis. Oleh karenanya, semua pihak dalam hal ini peserta dan penyelenggara pemilu harus bersikap adil dan setara.

Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Krisnadwipayana, Ade Reza Hariyadi dalam serial diskusi LP3ES bertajuk “Netralitas Aparat Negara dalam Pemilu 2024” pada Selasa (26/12).

“Pemilu demokratis itu diikuti oleh peserta pemilu yang kompetitif bersaing dalam arena kontestasi yang adil dan setara,” kata Ade.
Dia menyebut, adil dan setara hanya bisa terwujud apabila penyelenggara negara tidak ikut campur dalam pesta demokrasi.

“Tentu pemilu ini milik sepenuhnya peserta pemilu dan masyarakat juga pemilih, sehingga tidak dicampuri oleh tangan-tangan kekuasaan,” tuturnya.

Sebab, sambungnya, jika penyelenggara negara ikut campur dalam perhelatan demokrasi maka akal sulit terwujud pemilu yang demokratis.

“Karena setiap bentuk campur tangan kekuasaan ini akan membuat pemilu tidak setara dan tidak adil,” pungkasnya

Telah dimuat di https://politik.rmol.id/

Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 15.35 sd. 17.40 WIB, telah berlangsung Serial diskusi “INDONESIA REBORN” bertajuk Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024 secara hybrid di Kantor LP3ES Jln. Pangkalan Jati 71 Cinere. Selain sebagai penghormatan atas peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78, juga sebagai bagian dari rangkaian selebrasi HUT ke 52 lembaga ini berbakti kepada nusa dan bangsa. Narasumber utama dalam diskusi ini yaitu Fachri Ali, Didik J Rachbini dan Bivitri Susanti. Selengkapnya acara ini bisa diikuti di kanal youtube LP3ESTV
https://www.youtube.com/watch?v=n7Fr2nG7ZAM&t=75

Diskusi dipandu oleh Wijayanto, salah satu elit LP3ES yang juga Pakar Ilmu Pemerintahan.

Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa menyebut bahwa kegiatan seperti ini akan digelar terus menerus secara terjadwal sampai dengan 14 Februari 2024 (countdown), sebagai bentuk kepedulian masyarakat sipil atas sepinya diskusi publik mengapa Pemilu 2024  penting buat bangsa ini. Lebih lanjut Fahmi menyampaikan keprihatinannya atas sesaknya pemberitaan media dengan “pertunjukan sirkus” tokoh partai politik menggadang-gadang jago Capres Cawapres-nya, tanpa sedikitpun penyinggung kontribusi yang akan mereka lakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa ke depan. Oleh karenanya, lanjut Fahmi, LP3ES akan mendiskusikan isu-isu strategis countdown 14 Februari 2024 terutama untuk tema-tema seperti Masa Depan Papua dan Kawasan Timur Indonesia Pasca Pemilu 2024, Masa Depan IKN dan PSN Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilu 2024, Lingkungan dan Tata Kelola Pertambangan Pasca Pemilu 2024, Tata Kelola Energi Pasca Pemilu 2024, Ruang Digital dan Kebebasan Sipil Pasca Pemilu 2024, Demokrasi Lokal dan Oligarki Politik Pasca Pemilu 2024, Pemerintahan Desa dan Pembangunan Kesejahteraan Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Industri dan Kesejahteraan Buruh Pasca Pemilu 2024, Partai Politik dan Relawan Politik Pasca Pemilu 2024 dan Masa Depan Ideologi dan Etika Berbangsa Pasca Pemilu 2024.

Dalam penjelasannya, secara ekonomi, Didik Rachbini menyoroti tingginya ketimpangan ekonomi yang bisa menjadi faktor distabilitas dalam berdemokrasi. Kapasitas ekonomi yang besar, dengan pertumbuhan investasi yang terus menjulang, tidak akan memberikan efek kesejahteraan rakyat karena dana APBN banyak digelontorkan dalam bentuk aneka subsidi. Memang secara politik banyaknya subsidi yang diberikan kepada rakyat akan membuat siapapun presidennya populis. Namun ke depan, Didik mengingatkan, Bangsa ini akan tetap dalam middle income trap bila presiden hasil Pemilu 2024 nanti meneruskan kebiasaan presiden-presiden sebelumnya seperti SBY dan Jokowi, yang banyak menebar subsidi tanpa dimbangi dengan peningkatan kebijakan mendasar untuk industrialisasi yang memajukan rakyat.

Dari sisi hukum, Bivitri Susanti menyampaikan bahwa KUHP masih dengan wajah paradigma kolonial dimana hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan keinginan penguasa. Demikian halnya dengan turunan hukumnya pun masih sama. Berita bohong yang menimbulkan keonaran digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Hukum sebagai alat untuk meraih capaian pembangunan seperti undang-undang cipta kerja dalam mengejar capaian ekonomi. Dan cenderung abai terhadap hak-hak manusia dan lingkungan. Demikian juga UU Minerba yang dibuat dalam paradigma capaian ekonomi atau investasi yang menguntungkan bagi invenstor tapi tidak bagi rakyat

Kedepan, lanjut Bivitri, Presiden yang layak pilih  yaitu presiden yang mampu mengubah cara pandang hukum, sehingga menjadi instrumen bagi negara untuk memenuhi hak konstiusional warga. Presiden mendatang mesti bisa menempatkan tata kelola di bidang hukum berjalan secara teknokratis.

Secara politik, Fachry Ali memberi ilustrasi yang sangat runtut dan menarik, dengan mengambil pelajaran fenomena berharga 100 tahun lalu, sekitar tahun 1924 manakala para intelektual dan cendekiawan menjamur dan leluasa mengartikulasikan tujuan kemerdekaan. Saat itu, bibit kaum terpelajar melahirkan gerakan nasional yang memunculkan gagasan dan ide kemerdekaan 1945.

Saat ini partai politik mengalami krisis gagasan ideal tentang Indonesia ke depan. Krisis gagasan ini menyebabkan panggung politik Indonesia sepi dari perbincangan tentang gagasan Indonesia pasca pemilu 2024. Reintelektualisasi politik Indonesia mendesak untuk dilakukan.

Lebih lanjut Fachri menyatakan, partai politik lah yang seharusnya merumuskan Indonesia ke depan, bukan hanya sibuk karena bingung untuk sekedar menentukan cawapres pemilu 2024 mendatang. Artinya, reintelektualisasi Politik Indonesia penting dan mendesak untuk dilakukan supaya pilihan-pilihan politik tidak semata disandarkan pada political forces (basis massa pendukung) seperti yang berlangsung saat ini namun juga ditentukan oleh kalkulasi ideologis yang bermuatan gagasan ideal tentang masa depan Indonesia.

Pemilu Harus Dievaluasi Rakyat

Pemilu Harus Dievaluasi Rakyat

Jakarta – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina melalui Paramadina Communication Institute (PCI) membuat forum seminar dan peluncuran buku dengan tema “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024”. Dalam peluncuran buku ini, Universitas Paramadina menggandeng LP3ES.

“Saya berterima kasih karena ini merupakan kegiatan yang sangat peduli tentang pengembangan peradaban ilmiah dan macam-macam. Kami dari LP3ES menyambut baik atas kerjasamanya,” kata Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Abdul Hamid secara virtual, Kamis, 13 Juli 2023. Abdul Hamid mengatakan hak rakyat di Indonesia memang betul hampa, karena Indonesia sudah mengalami perubahan dalam sistem demokrasi.

“Kalau saya lihat Indonesia ini negara sebagai pedagang dengan menghimpun oligarki kemudian rakyat seluruh memberi seperti toko klontong, sehingga rakyat tidak mempunyai hak,” katanya.

Abdul Hamid menilai kehampaan yang dirasakan pada rakyat itu harus dievaluasi oleh negara, terlebih menjelang Pemilu 2024 mendatang.  “Harus dievaluasi selama 5 tahun, tidak cukup saat pemilu. Tapi evaluasi kinerja, yang parameternya adalah pancasila,” ucapnya.

Menurutnya, penyelenggaraan negara yang saat ini akan digelar, yaitu Pemilu harus dievaluasi oleh rakyat. Evaluasi itu juga harus sesuai dengan standar dari negara itu sendiri.

“Harus sesuai dengan Pancasila, ya itu parameternya ya 5 sila itu. Apakah semakin berkeadilan, itu penting karena selama ini tidak ada dalam proses bernegara kita,” pungkasnya.  Abdul Hamid mengingatkan jika suatu negara rusak, bukan menjadi tanggungjawab partai politik lagi, melainkan masyarakat.

“Bukan menjadi tanggungjawab partai jika negara rusak. Mohon maaf, tidak ada tanggungjawab partai tidak ada, jika mereka diamanati kemudian rusak, ya rusak saja,” katanya.

Artikel ini sudah tayang di VIVA.co.id pada hari Kamis, 13 Juli 2023 – 19:57 WIB
Judul Artikel : Universitas Paramadina Luncurkan Buku Oligarki, LP3ES: Pemilu Harus Dievaluasi Rakyat
Link Artikel : https://www.viva.co.id/berita/nasional/1617866-universitas-paramadina-luncurkan-buku-oligarki-lp3es-pemilu-harus-dievaluasi-rakyat?page=2
Oleh : Bayu Nugraha,Rahmat Fatahillah Ilham

Popularitas Partai di Media Sosial, Apa Kata Big Data?

Popularitas Partai di Media Sosial, Apa Kata Big Data?

Maisie Sagita, analyst Continuum Big Data memaparkan hasil riset Continuum periode 01-31 Mei 2023 yang menemukan fakta-fakta menarik seputar kecenderungan netizen di media sosial twitter tentang popularitas Partai Politik saat ini.

Data yang diambil dari 485,743 perbincangan di media sosial dan terdiri dari 139,942 akun media sosial twitter.Data yang didapat oleh Continuum telah disaring terlebih dulu dari buzzer dan BOT, sehingga dapat diperoleh pendapat dari akun akun masyarakat pada umumnya.

Dari hasil pengumpulan data, dari 18 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu 2024, saat ini terdapat 5 partai politik yang paling popular di media massa yakni : Partai Nasdem, PDIP, PKS, PKB dan Gerindra.

“Partai Nasdem menjadi partai paling popular dengan tingkat penerimaan paling tinggi dan proporsi perbincangan positif yakni 77% atau 140 ribu lebih perbincangan oleh 26.056 akun medsos,” terang Maisie Sagita

Popularitas tersebut dikarenakan Partai Nasdem dan PKS (39 ribu perbincangan) menjadi partai populer karena langkahnya yang berani menyalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dan dinilai menyelamatkan demokrasi.

Selain itu menurut Maisie, Partai Nasdem juga dianggap menyebabkan kader partai lain pindah ke Nasdem.

“Di sisi lain, publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader Partai Nasdem dan meminta untuk menyelidiki aliran dan korupsi ke partai. Publik juga curiga dengan biaya pembangunan Nasdem Tower,” ungkapnya.

Selain itu partai PKB dengan 38 ribu perbincangan juga populer karena ada narasi perbedaan dukungan di akar rumput antara mendukung Anies Baswedan dan Prabowo.

Sementara PDIP (110 ribu perbincangan positif oleh 30,785 akun medsos) meraih 71,5% tingkat popularitas positif karena Bacapres Ganjar Pranowo. Gerindra dengan 35,400 perbincangan populer karena didorong percakapan bacapres Prabowo.

Sementara 58,5% percakapan pendukung PDIP berisi dukungan kepada Ganjar Pranowo. Di sisi lain publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader PDIP. Padahal dulu PDIP memperjuangkan reformasi tetapi justru sekarang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.

PKS, partai Islam memperoleh 39,542 perbincangan oleh 14,137 akun medsos dan memperoleh positive rate 80,9%. Elektabilitas PKS menjadi semakin naik karena mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024 dan menyelamatkan demokrasi.

Namun, PKS juga dikritik karena tindakan kekerasan oleh kadernya, dan menyoroti kader PKS lain yang menolak UU tindak pidana kekerasan seksual. Isu majunya Kaesang sebagai calon Walikota Depok juga memunculkan keinginan publik untuk menyingkirkan PKS dari Depok.

Partai Gerindra, mendapat 35,350 perbincangan oleh 16,132 akun medsos. 58,1 percakapan berisi dukungan publik untuk kepada Prabowo.

“Publik juga mengapresiasi tim Gerindra yang mampu membangun citra Prabowo dengan sangat baik. Tetapi di sisi lain tindakan Prabowo yang menggandeng keluarga Jokowi menyebabkan publik menilai Gerindra gagal dalam mengkader bibit bibit dalam partai,” jelas Maisie.

Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto dalam paparannya menyebut dari perspektif normatif tentang Pemilu maka itu artinya berbicara ihwal demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin.

“Oleh karenanya kemudian pemilu digunakan sebagai cara bagi warga negara untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pada  pemimpin,” terangnya.

Menurut Wijayanto, sayangnya, saat ini pemilu di Indonesia ditempatkan dalam konteks kemunduran demokrasi sebagaimana telah muncul banyak catatan tentang pemilu yang berlangsung dalam suasana yang hampir ditunda, dan hampir jadi 3 periode petahana presiden.

“Pemilu diiringi dengan cawe-cawe presiden yang aktif memberikan dukungannya kepada dua capres. Hal itu menimbulkan pertanyaan dan protes publik. Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya. Menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” jelasnya.

Selanjutnya Dr Wijayanto juga memberikan opini terkait riset popularitas partai, tetapi ada satu hal penting, bahwa pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara. Lalu dibicarakan juga apa solusinya.

“Dari perbicangan riset Continuum yang ada nampaknya kita terjebak pada perbincangan tentang “pacuan kuda”. Kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali,” katanya.

Menurut Wijayanto, saat ini kita tidak mendengar itu semua dari partai-partai yang bersaing. Yang muncul hanya PKS Nasdem PDIP terkenal karena mendukung bacapres-bacapres Anies atau Ganjar Pranowo. Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada. Atau populernya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai,” ujarnya.

“Seharusnya mendekati pemilu 2204 yang sisa 7 bulan lagi, ada solusi atau konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa mulai dari HAM, kemiskinan, lapangan pekerjaan, isu lingkungan dan isu isu pro publik lainnya,” tegas Wijayanto.

Sumber: Barisan.co