Internet for Trust (I4T) Global Knowledge Network

Internet for Trust (I4T) Global Knowledge Network

Seperti judulnya, tujuan seminar ini adalah untuk membentuk semacam global knowledge network yang isinya masyarakat sipil (leading think tank and research center) yang bertujuan untuk membangun kerjasama think tank dan pusat penelitian lintas negara untuk mendorong terwujudnya tata kelola ruang digital yang lebih baik.

Network ini baru lahir dan diresmikan 22 Februari lalu, dan LP3ES menjadi salah satu think tank yang ikut membidani kelahirannya.

Penting dicatat bahwa “14T Global Knowledge Network” ini mendapat support dari UNESCO, tapi independen dari lembaga dunia ini.

Salah satu kerja kita adalah melihat bagaimana dampak guideline yang dikeluarkan UNESCO tentang pengaturan platform digital.

Penting digarisbawahi bahwa kerja kita bukan untuk mempromosikan guideline UNESCO itu namun untuk secara kritis melihat dan memonitor bagaimana dampaknya.

Misi besarnya tentunya adalah untuk melihat seberapa jauh tata kelola platforms di berbagai negara telah melindungi kebebasan berekspresi dan hak-hak asasi manusia lainnya, juga untuk memberikan rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan hak-hak itu secara lebih baik dan bermakna di masa depan.

Karena network ini masih baru, ada peluang sangat besar bagi LP3ES untuk turut mewarnai dan mengarahkan diskursus global tentang topik ini.

 

Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 15.35 sd. 17.40 WIB, telah berlangsung Serial diskusi “INDONESIA REBORN” bertajuk Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024 secara hybrid di Kantor LP3ES Jln. Pangkalan Jati 71 Cinere. Selain sebagai penghormatan atas peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78, juga sebagai bagian dari rangkaian selebrasi HUT ke 52 lembaga ini berbakti kepada nusa dan bangsa. Narasumber utama dalam diskusi ini yaitu Fachri Ali, Didik J Rachbini dan Bivitri Susanti. Selengkapnya acara ini bisa diikuti di kanal youtube LP3ESTV
https://www.youtube.com/watch?v=n7Fr2nG7ZAM&t=75

Diskusi dipandu oleh Wijayanto, salah satu elit LP3ES yang juga Pakar Ilmu Pemerintahan.

Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa menyebut bahwa kegiatan seperti ini akan digelar terus menerus secara terjadwal sampai dengan 14 Februari 2024 (countdown), sebagai bentuk kepedulian masyarakat sipil atas sepinya diskusi publik mengapa Pemilu 2024  penting buat bangsa ini. Lebih lanjut Fahmi menyampaikan keprihatinannya atas sesaknya pemberitaan media dengan “pertunjukan sirkus” tokoh partai politik menggadang-gadang jago Capres Cawapres-nya, tanpa sedikitpun penyinggung kontribusi yang akan mereka lakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa ke depan. Oleh karenanya, lanjut Fahmi, LP3ES akan mendiskusikan isu-isu strategis countdown 14 Februari 2024 terutama untuk tema-tema seperti Masa Depan Papua dan Kawasan Timur Indonesia Pasca Pemilu 2024, Masa Depan IKN dan PSN Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilu 2024, Lingkungan dan Tata Kelola Pertambangan Pasca Pemilu 2024, Tata Kelola Energi Pasca Pemilu 2024, Ruang Digital dan Kebebasan Sipil Pasca Pemilu 2024, Demokrasi Lokal dan Oligarki Politik Pasca Pemilu 2024, Pemerintahan Desa dan Pembangunan Kesejahteraan Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Industri dan Kesejahteraan Buruh Pasca Pemilu 2024, Partai Politik dan Relawan Politik Pasca Pemilu 2024 dan Masa Depan Ideologi dan Etika Berbangsa Pasca Pemilu 2024.

Dalam penjelasannya, secara ekonomi, Didik Rachbini menyoroti tingginya ketimpangan ekonomi yang bisa menjadi faktor distabilitas dalam berdemokrasi. Kapasitas ekonomi yang besar, dengan pertumbuhan investasi yang terus menjulang, tidak akan memberikan efek kesejahteraan rakyat karena dana APBN banyak digelontorkan dalam bentuk aneka subsidi. Memang secara politik banyaknya subsidi yang diberikan kepada rakyat akan membuat siapapun presidennya populis. Namun ke depan, Didik mengingatkan, Bangsa ini akan tetap dalam middle income trap bila presiden hasil Pemilu 2024 nanti meneruskan kebiasaan presiden-presiden sebelumnya seperti SBY dan Jokowi, yang banyak menebar subsidi tanpa dimbangi dengan peningkatan kebijakan mendasar untuk industrialisasi yang memajukan rakyat.

Dari sisi hukum, Bivitri Susanti menyampaikan bahwa KUHP masih dengan wajah paradigma kolonial dimana hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan keinginan penguasa. Demikian halnya dengan turunan hukumnya pun masih sama. Berita bohong yang menimbulkan keonaran digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Hukum sebagai alat untuk meraih capaian pembangunan seperti undang-undang cipta kerja dalam mengejar capaian ekonomi. Dan cenderung abai terhadap hak-hak manusia dan lingkungan. Demikian juga UU Minerba yang dibuat dalam paradigma capaian ekonomi atau investasi yang menguntungkan bagi invenstor tapi tidak bagi rakyat

Kedepan, lanjut Bivitri, Presiden yang layak pilih  yaitu presiden yang mampu mengubah cara pandang hukum, sehingga menjadi instrumen bagi negara untuk memenuhi hak konstiusional warga. Presiden mendatang mesti bisa menempatkan tata kelola di bidang hukum berjalan secara teknokratis.

Secara politik, Fachry Ali memberi ilustrasi yang sangat runtut dan menarik, dengan mengambil pelajaran fenomena berharga 100 tahun lalu, sekitar tahun 1924 manakala para intelektual dan cendekiawan menjamur dan leluasa mengartikulasikan tujuan kemerdekaan. Saat itu, bibit kaum terpelajar melahirkan gerakan nasional yang memunculkan gagasan dan ide kemerdekaan 1945.

Saat ini partai politik mengalami krisis gagasan ideal tentang Indonesia ke depan. Krisis gagasan ini menyebabkan panggung politik Indonesia sepi dari perbincangan tentang gagasan Indonesia pasca pemilu 2024. Reintelektualisasi politik Indonesia mendesak untuk dilakukan.

Lebih lanjut Fachri menyatakan, partai politik lah yang seharusnya merumuskan Indonesia ke depan, bukan hanya sibuk karena bingung untuk sekedar menentukan cawapres pemilu 2024 mendatang. Artinya, reintelektualisasi Politik Indonesia penting dan mendesak untuk dilakukan supaya pilihan-pilihan politik tidak semata disandarkan pada political forces (basis massa pendukung) seperti yang berlangsung saat ini namun juga ditentukan oleh kalkulasi ideologis yang bermuatan gagasan ideal tentang masa depan Indonesia.

Rapat Konsolidasi Persiapan Penyusunan Buku Refleksi 20 Tahun RPJPN 2005-2025 dan Visi Pembangunan 2025-2045

Rapat Konsolidasi Persiapan Penyusunan Buku Refleksi 20 Tahun RPJPN 2005-2025 dan Visi Pembangunan 2025-2045

15 Juni 2023, Presiden Joko Widodo telah menegaskan pada kesempatan acara peluncuran Indonesia Emas 2045 dan RPJPN 2025-2045 bahwa Indonesia memerlukan stabilitas, keberlanjutan, serta kepemimpinan yang kuat dan berani dalam mencapai Indonesia Emas 2045. Kepala negara memberikan highlights tiga pilar sebagai prasyarat (prerequisite) dalam perjalanan menuju Indonesia Emas.

Pertama, stabilitas bangsa merupakan kunci penting dalam meraih kemakmuran. Tanpa stabilitas, tak satu pun negara yang berkonflik mampu mencapai tujuan mulia tersebut. Kedua adalah keberlanjutan dan kesinambungan kepemimpinan. Untuk menjamin kesinambungan ini, perekatnya adalah RPJPN 2025-2045.  Siapapun pemimpin yang mendapat amanah rakyat,  hasil dari transisi kepemimpinan nasional tahun 2024 nanti, tidak boleh lepas dari koridor RPJPN untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Kepemimpinan nasional hasil Pemilu, juga harus memperharikan RPJPN hasil aspirasi rakyat ini. Ketiga Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki fisik, keterampilan, karakter produktif, dan semangat juang yang unggul.

Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa Dalam kesempatan ini, kami ingin melaporkan bahwa setelah sekitar 2 bulan pasca MoU, kami bersama dengan rekan-rekan di Bappenas, terutama di unit PAKK, telah menyusun langkah-langkah operasional untuk menulis dan menerbitkan buku telaah RPJPN ini. Secara garis besar, prosesnya terdiri dari dua fase, yaitu fase penulisan dan fase penerbitan. Untuk fase penulisan, kami akan membagi para penulis dan perencana Bappenas ke dalam 5 kelompok kerja tematik, mengikuti struktur dan sistematika RPJPN. Kegiatan dua hari ini merupakan konsolidasi (kick off) antara seluruh tim penulis dan reviewer dari LP3ES maupun perencana Bappenas. Sebelumnya, masing-masing pihak (Bappenas dan LP3ES) telah melakukan persiapan yang diperlukan.

Selanjutnya, proses penyusunan naskah akan berlangsung selama 4 bulan, dari Juni ini sampai dengan September. Dalam proses penulisan, akan dilakukan berbagai bentuk kegiatan pendalaman seperti FGD, Webinar, Workshop dan mini riset. Setelah naskah tulisan selesai, proses selanjutnya adalah keredaksian dan penerbitan. Proses membutuhkan waktu selama 3 Bulan. Sehingga In sya Allah 30 Desember 2023, buku sudah terbit secara resmi.

Dinamika Politik Menuju 2024: Apa Kata Big Data?

Dinamika Politik Menuju 2024: Apa Kata Big Data?

Diskusi Dinamika Politik Menuju 2024 dibuka oleh Fahmi Wibawa selaku Direktur Eksekutif LP3ES. Fahmi Wibawa menekankan harus ada ‘langkah konkret’ terkait mundurnya demokrasi dengan mengenali aktor-aktor yang ada di dalam konstelasi demokrasi Indonesia dan jalannya pemilu nanti oleh pembelot yang bersembunyi dibalik layar. 

Menurutnya kita selaku masyarakat sipil pun juga memiliki peran dengan mengawal langkah konkret tersebut. Diadakannya diskusi ini merupakan wujud pengamalan demokrasi tersebut. Bersamaan dengan tema diskusi sore hari ini, big data merupakan medium bagi ‘langkah konkret’ tersebut, melalui analisis data yang kelak dapat membantu kita untuk memetakan aktor-aktor politik yang memiliki peran signifikan, serta mengurai proses perilaku dari setiap aktor – baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.

Ritual Oligarki

Diskusi diawali oleh Wijayanto selaku Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES serta Dewan Pakar Continuum, yang mengutip Refleksi Outlook 2022/2023 Ritual Oligarki menuju 2024, “Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia”.

Menurutnya hal yang penting dalam situasi demokrasi saat ini adalah Memonitor percakapan publik, mengutip apa yang dikatakan Ben Anderson bahwa informasi yang benar dalam negara demokrasi diibaratkan seperti oksigen, oleh karenanya informasi menjadi hal yang penting saat ini, baik akademisi, politisi dan masyarakat pada umumnya. LP3ES dan Continuum pun bekerja sama dalam melakukan monitor percakapan publik tersebut. 

Percakapan publik yang kerap hangat muncul di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini adalah Masa Jabatan Kepala Desa – yang paling banyak mendapat perhatian. Duo PKB Muhaimin Iskandar dan Abdul Halim menjadi aktor yang disorot selaku pencetus ide tersebut. Selain itu isu Penundaan pemilu, Kredibilitas KPU, Kemunduran Demokrasi dan Politik Dinasti – Mayoritas perbincangan-perbincangan isu ini sarat dengan kritik dan respon negatif oleh masyarakat.

Demokrasi Masuk Jurang

Senada dengan Wijayanto, Prof Didik juga menjelaskan terdapat lima masalah yang dapat menggiring ‘demokrasi masuk jurang’. Senada dengan Wijayanto, diskusi dipantik oleh Prof Didik dengan kembali menekankan lima isu politik krusial yang hangat dalam perbincangan publik yakni, perpanjangan masa jabatan kades, penundaan pemilu, kredibilitas KPU, politik dinasti, dan kemunduran demokrasi.  

Terkait isu Perpanjangan Masa Jabatan Kades, mestinya inti demokrasi adalah pembatasan kekuasaan – oleh karena itu seharusnya  terdapat batasan jabatan publik. Inti dari kekuasaan politik itu tersendiri merupakan adanya check and balance. Menurutnya upaya perpanjangan masa jabatan kades tersebut merupakan bentuk kolusi politik serta praktek najis bagi demokrasi – sama halnya dengan praktek jabatan seumur hidup. 

Isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan upaya menjajal arus gelombang rakyat pertahanan demokrasi di akar rumput. Tentu masyarakat menolak wacana tersebut. Kendati ditolak, tetap ada upaya penggiringan isu perpanjangan kekuasaan melalui isu penundaan pemilu.

Dari hasil riset big data, kredibilitas KPU dipertanyakan secara prihatin oleh publik. Komisioner yang menjabat sekarang, dipertanyakan, karena status posisi mereka merupakan hasil perebutan pengaruh dan kolusi di bawah tanah dengan partai-partai politik. 

Di Indonesia politik dinasti yang bercampur oligarki juga menjadi temuan dalam perbincangan publik. Campuran politik dinasti dengan sistem oligarki juga akan menggiring demokrasi ke jurang. Kendati tidak tidak haram, praktek ini tetap dapat menggiring ‘demokrasi ke dalam jurang’. 

Pelaku demokrasi (politisi dan partai yang berkuasa saat ini) justru mengkhianati demokrasi yang mengarah kepada kemunduran, continuum menemukan ada watak otoriter dibalik aktor aktor demokrasi.

Antara Negara, Oligarki dan Partai Politik

Abdul Hamid selaku Dewan Pengurus LP3ES juga memberikan pendapatnya terkait dengan keadaan kondisi bangsa saat ini. Menurutnya Negara telah mengubah dirinya menjadi “horor”, sehingga kritik apapun yang diajukan untuk negara tidak dapat bermakna, Dalam konteks ini negara telah melakukan kolusi antara parlemen dengan eksekutif yang mengakibatkan negara tidak lagi independen yang justru menghilangkan  tugas tugas etis (keadilan/kesejahteraan) dalam bernegara. Negara berubah fungsi menjadi alat teror diantara masyarakat.

menurutnya partai politik mesti menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam menghadapi situasi saat ini. Selain itu  kelompok masyarakat sipil juga penting untuk tetap menyuarakan hal-hal ini. Abdul Hamid juga menilai Indonesia kedepannya cenderung dalam situasi bahaya – melihat dari ketiga kekuatan politik; negara atau oligarki yang sudah menyatu dengan partai politik, serta orientasi masyarakat yang sudah terpecah. Diperlukan analisis yang mendalam untuk mencarikan jalan keluarnya, dalam melihat kegaduhan dalam perbincangan publik. Abdul hamid mengatakan :

“Big data merupakan data verbal. Data verbal bukan berarti tidak memiliki fungsi apa-apa. Kendati berakar dari persepsi, tetapi persepsi merupakan wujud kepercayaan. Oleh karena itu, hasil analisa big data Continuum merupakan hasil kepercayaan dari opini publik. “

Perbincangan Publik dan Elektabilitas Tokoh

Selain itu menurut Wahyu Tri Utomo Data Analyst Continuum, sosial media kini telah digunakan sebagai strategi bagi suatu aktor politik dalam mencapai kepentingan politik mereka. Dari hasil riset Continuum, terdapat empat tokoh yang dikaitkan sebagai capres, yakni Anies, Prabowo, Puan dan Ganjar.  Anies menjadi tokoh yang paling banyak dikaitkan sebagai capres, dengan AHY kerap dikaitkan sebagai cawapres. Pasangan lainnya adalah Ganjar – Erick Thohir. Sementara nama Puan belum memiliki nama cawapres yang signifikan.

Menurut Continuum, Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY merupakan tokoh yang paling banyak menjadi perbincangan. Anies juga menjadi tokoh dengan tingkat penerimaan yang tinggi sebesar 85%. Dari hasil penelitian big data yang dilakukan continuum dengan LP3ES, dalam aspek politik terdapat tokoh-tokoh yang paling mendominasi dalam perbincangan publik yaitu Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY.

***

Rilis media:

Kolom Opini  : Menilik Latar Belakang Genosida Rohingya Oleh Pemerintah Myanmar

Kolom Opini : Menilik Latar Belakang Genosida Rohingya Oleh Pemerintah Myanmar

Sebelum membahas latar belakang kasus atau isu genosida Etnis Rohingya, penulis akan menjabarkan terlebih dahulu tentang pengertian Genosida. Genosida dalam buku Raphael Lemkin yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan tahun 1944 di Amerika Serikat merupakan “pembantaian besar-besaran yang terencana dan sistematis pada satu suku bangsa atau kelompok suku bangsa dengan tujuan memusnahkan bangsa tersebut”. Selain itu pengertian Genosida dalam Pasal 6, Statuta Roma, adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau keagamaan. Sedangkan dalam KBBI sendiri Genosida adalah pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.

Dalam hal ini mengenai Genosida Etnis Rohingya ialah, dimana Etnis Asli Burma di Myanmar menginginkan Etnis Rohingya musnah atau pergi dari Tanah Myanmar, hal tersebut timbul karena kebencian sejarah Etnis Asli Burma terhadap Etnis Rohingya yang berdampak hingga saat ini.

Hubungan Genosida Etnis Rohingya dengan Kondisi Sosiografis Myanmar

Etnis Rohingya identik dengan kelompok etnis Indo-Arya yang berada di Rakhine, Myanmar Barat. Mereka kelompok etnis yang berasal dari Sub-benua India, terutama dari India dan Bangladesh, dan juga mayoritas dari mereka beragama Islam. Rakhine sendiri berbatasan dengan Teluk Benggala dan Benggali atau Bangladesh. Myanmar sendiri merupakan negara multikultural layaknya Indonesia. Mayoritas Suku di Myanmar adalah Suku Birma atau Bamar kurang lebih sekitar 68%, lalu Suku Shan kurang lebih 9%, dan Suku sisanya adalah Kachin, Chin, Kaya, Kayin, Mon, dan Magh dari kurang lebih 60 juta penduduk Myanmar.

Untuk Indonesia sendiri, mayoritas pertama ialah Suku Jawa dengan persentase kurang lebih 40%, lalu dilanjut dengan Suku Sunda kurang lebih 17 %, lalu Suku Batak kurang lebih 4% dan seterusnya. Dalam hal tersebut, Myanmar jauh lebih jomplang perbandingannya antara satu suku, yakni Suku Birma dengan Suku minoritas lainnya. Wajar Myanmar yang kita kenal dahulu di era kerajaan hingga era negara-bangsa sekarang bernama Burma. Karena diambil dari suku yang paling dominan, berkuasa, dan mayoritas di kawasan tersebut, yaitu Suku Birma atau Bamar. Sesuatu hal yang tidak sama dengan Indonesia.

Dari Suku Birma dan suku-suku minoritas inilah mereka dikenal dengan sebutan Etnis Asli Burma atau Myanmar. Sedangkan untuk Etnis Rohingya sendiri, keberadaannya hingga saat ini tidak diakui, bahkan Pemerintah Burma atau Myanmar dari era kerajaan-kerajaan dahulu hingga era negara-bangsa saat ini berkeinginan untuk membumi hanguskan Etnis Rohingya di Tanah Rakhine, tetapi nahasnya keinginan tersebut terputus dengan adanya penjajahan Inggris pada tahun 1824 dan keterlibatan dunia internasional pada akhir abad 21 hingga saat ini.

Alasan Genosida Rohingya oleh Pemerintah Etnis Asli Burma dari Masa ke Masa

Terdapat 6 alasan kuat yang melatarbelakangi Etnis Asli Burma, terutama Pemerintah Myanmar menolak Identitas Rohingya di negaranya, utamanya Rakhine, diantaranya : Pertama, adanya latar belakang sejarah, dimana Etnis Rohingya merupakan para pendatang dari Sub-benua India yang hingga kini disebut oleh mayoritas Etnis Asli Burma dan juga Pemerintah Myanmar sebagai “Pedagang Illegal atau Orang Pendatang”. Kedua, Etnis Rohingya memiliki budaya, bahasa, dan agama yang sangat berbeda dari kebanyakan Etnis Asli Burma (Suku-Suku Asli Myanmar) di Myanmar. Ketiga, Etnis Rohingya memiliki bentuk fisik yang juah berbeda dengan kebanyakan Etnis Asli Burma, Etnis Rohingya cenderung seperti Kebanyakan orang Sub-benua India, sedangkan Etnis Asli Burma memiliki bentuk fisik seperti kebanyakan masyarakat pribumi di Asia Timur dan Asia Tenggara. Keempat, Etnis Rohingya merupakan ancaman bagi Etnis Asli Burma, utamanya Pemerintah Myanmar. Dimana dalam perjalanannya, Etnis Rohingya selalu meminta wilayah tempat tinggalnya dijadikan otonomi khusus, terlepas dari Myanmar. Kelima, adanya ketimpangan sosial-ekonomi antar masyarakat di Myanmar, terutama di Negara Bagian Rakhine dengan Negara Bagian lainnya. Dimana pada akhirnya Etnis Asli Burma menyalahkan keberadaan Etnis Rohingya di Rakhine. Keenam, Etnis Rohingya mayoritas beragama Islam, dari kepercayaan ini dan perbedaan-perbedaan lainnya, Etnis Rohingya dianggap tidak menghargai budaya atau kepercayaan Budha, budaya kebanyakan Etnis Asli Birma, dan gaya hidup kebanyakan masyarakat Myanmar.

Dari permasalahan-permasalahan tersebutlah, dari dulu hingga saat ini, mayoritas Etnis Asli Burma dan juga didukung oleh pemerintah setiap zaman menolak keberadaan Etnis Rohingya di Burma atau Myanmar.

Sejarah Singkat Myanmar dari masa Kerajaan hingga Kolonialisme

Singkat Cerita, jauh sebelum Negara Bangsa Myanmar berdiri. Burma (Myanmar) sempat dipersatukan oleh 3 Dinasti dalam setiap zaman. Dimana yang pertama, Burma pernah dipersatukan oleh Dinasti Pagan pada tahun 849 dibawah kekuasaan Suku Birma, hingga akhirnya runtuh tahun 1287. Setelah Kerajaan Pagan runtuh, akhirnya wilayah Kerajaan Pagan terpecah-pecah menjadi Kerajaan-Kerajaan kecil, hingga muncullah Kerajaan Ava dibawah kekuasaan Suku Burma pada 1364 yang memiliki ambisi demikian. Namun sayangnya bukanlah Kerajaan Ava yang dapat mempersatukan kembali, melainkan Kerajaan bawahannya yang bernama Kerajaan Taungu.

Dinasti yang kedua mempersatukan ialah Kerajaan Taungu dibawah kekuasaan Suku Birma, Kerajaan Taungu berdiri pada 1485 dibawah kedigdayaan Kerajaan Ava. Kemudian, Kerajaan Taungu merdeka dari Kerajaan Ava pada 1510, dan akhirnya Kerajaan Taungu menjadi Kerajaan besar dan berhasil mempersatukan Burma, sedangkan Kerajaan Ava harus sakit-sakitan dan runtuh pada 1555.

Dan Dinasti terakhir yang mempersatukan Burma ialah Dinasti Konbaung (1752–1885), kalahnya Dinasti Konbaung (Burma) oleh Inggris (EIC) pada 1824 turut menjadi kesedihan tersendiri bagi sebagian besar Masyarakat Burma (Myanmar), terutama Suku Birma, sampai akhirnya Kerajaan Konbaung benar-benar runtuh pada tahun 1885. Kemudian Jepang memberikan sedikit harapan pada 1942 dengan mengusir penjajah Inggris karena melemahnya Blok Sekutu di Eropa, namun tidak lama Blok Poros memperoleh kekalahan pada 1945 dan Inggris Kembali lagi menjajah Burma. hingga akhirnya Burma merdeka dari Inggris pada tahun 4 januari 1948, kemudian mengganti nama negara mereka dari Burma menjadi Myanmar, sebagai bentuk (suku mayoritas) menghargai suku-suku minoritas lainnya yang bukan termasuk Suku Birma atau Bamar dan juga bentuk persatuan.

Sejarah Konflik Etnis Asli Burma dengan Rohingya di masa Kerajaan

Kembali ke masa Kerajaan Ava (1364-1555), tepatnya tahun 1485. Dimana Kerajaan Ava pernah melakukan suatu penyerangan ke Kerajaan Arakan, yang sekarang berada di Rakhine. Penyerangan tersebut akhirnya membuat Raja Narameikhla mengungsi ke negeri Bengali (kini Bangladesh). Pada saat itu Kerajaan Arakan masih bercorak Buddha Theravada yang murni, sama dengan Dinasti Taungu (Burma). Di Bengali, Raja Narameikhla menjalin persahabatan dengan Sultan Bengali, ia juga mempelajari agama Islam dan menggantikan Namanya menjadi Solaiman Shah. Pada 1428, Raja Narameikhla memutuskan kembali ke Arakan dan merebut kembali wilayah tersebut dengan modal bala bantuan dari Sultan Bengali. Hal tersebut berhasil, dimana Arakan kembali dikuasai Solaiman Shah pada tahun 1430.

Berdirinya kembali Kerajaan Arakan pada 1430, tentunya Kerajaan tersebut mengalami pembaruan-pembaruan dari berbagai sisi dan berbagai bidang yang jauh dari Kerajaan Arakan sebelumnya. Dari sisi eksternal, Kerajaan Arakan dibawah Solaiman Shah dan seterusnya mengakui kedigdayaan Kesultanan Bengali dengan menjadikan Kerajaan Arakan bawahan dari Kesultanan Bengali. Lalu Solaiman Shah memberikan beberapa wilayah kepada Sultan Bengali, bahkan wilayah Arakan bagian utara hingga masuk ke kawasan Bengali (Bangladesh sekarang). Di Internal, Ia juga melakukan percampuran antara Budaya Budha dengan Islam, lalu membangun masjid, mereformasi sistem peradilan, mendirikan sebuah kota bernama Mrauk U, memberikan gelar muslim bagi raja-raja penerus Arakan meski raja tersebut beragama Budha. Oleh karena itu, kendati demikian, Kerajaan Arakan tetap merupakan Kerajaan bercorak Budha.

Dari hubungan antara Kerajaan Arakan dan Kesultanan Bengali inilah Kaum muslim dari Bengali ke Arakan semakin bertambah dan semakin kuat, dan kaum muslim yang berdatangan inilah yang nantinya dipanggil dengan sebutan “Rohingya”. Ditambah pada saat itu dominasi Bengali begitu kuat dan Wilayah Kerajaan Arakan tidak hanya berada di Myanmar saat ini (Rakhine), tetapi wilayah Utaranya berada di kawasan Bengali (Bangladesh sekarang). Oleh sebab itu, mengapa kebanyakan Orang Myanmar lebih suka memanggil mereka Orang Bengali dibandingkan Orang Rohingya, ditambah penekanan penamaan tersebut “Orang Bengali” didukung pemerintah.

Melihat keadaan yang sangat mengancam di sisi barat, Dinasti Konbaung (Burma) tidak hanya diam. Pada tahun 1784, Raja Burma yang bernama Bodawpaya dari Dinasti Konbaung (1752-1885) menyerang Arakan sangat agresif. Dimana, hasil akhirnya dari penyerangan tersebut, ribuan orang Arakan tewas dan puluhan ribu ditawan oleh Dinasti Konbaung (Burma). Hal ini tercatat oleh sejarawan Inggris G. E. Harvey dalam Outline of Burmese History.

Jatuhnya Kerajaan Arakan dan tentu juga Mrauk U pada tahun 1785 kepada Dinasti Konbaung (Burma) merupakan awal mula gesekan antara Etnis Rohingya dengan suku-suku di Myanmar (Etnis Asli Burma) terjadi, terutama Suku Burma dan Suku Magh di Rakhine, bahkan gesekan tersebut nyatanya berlarut-larut hingga saat ini.

Sejarah Konflik Etnis Asli Burma dengan Rohingya di Era Kolonialisme Inggris dan Jepang

Perang Anglo-Burma I pada 1823, yang terjadi antara Inggris dan Burma nyatanya tidak menyurutkan sedikitpun perseteruan antara Etnis Asli Burma dengan Etnis Rohingya. Setelah menangnya Inggris pada perang Anglo-Burma 1824, dimana jatuhnya wilayah Burma, maka jatuh pula wilayah Arakan kepada Inggris. Pada saat itulah, Inggris justru mendatangkan kembali orang-orang muslim (Etnis Rohingya atau Orang Bengali) yang sudah diusir oleh Burma untuk bekerja di lahan-lahan pertanian serta membangun infrastruktur. Dari kebijakan Inggris tersebutlah api kecemburuan Etnis Asli Burma terhadap Etnis Rohingya membara.

Pada tahun 1942, Jepang menginvasi Burma Britania. Dengan mundurnya Inggris di kawasan tersebut, maka terbukalah pintu berupa kesempatan bagi Etnis Asli Burma (di luar Arakan) untuk memprovokasi penduduk asli Arakan, yakni Suku Magh, yang menganut agama Budha. Dari provokasi tersebut, berakibat 100 ribu muslim Etnis Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya melarikan diri ke Bengali (Bangladesh). Dibawah kekuasaan Jepang inilah, Umat Budha Asli Etnis Burma menjadi mayoritas di Arakan. Dari Kerusuhan yang terjadi di Arakan, akhirnya menjadikan wilayah tersebut terbagi 2 kawasan, dimana kawasan utara mayoritas masih dihuni muslim Rohingya dan selatan mayoritas dihuni penganut Budha Asli Etnis Burma (utamanya Suku Magh).

Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, pada 1943, Inggris masih mendominasi kawasan Arakan Utara, dimana Jepang sudah menguasai Arakan Selatan, yang berakibat terdesaknya Inggris oleh Jepang. Oleh karena itu, Inggris memutuskan melatih orang-orang Rohingya di Utara Arakan sebagai calon tentara, yang nantinya akan digabungkan dengan “V Force”. Tentara Arakan yang bergabung dengan “V Force” tersebutlah yang berperan penting dalam upaya Inggris merebut kembali seluruh Arakan pada 1945 dari Jepang.

Setelah Arakan kembali ke tangan Inggris. Orang-orang (Etnis) Rohingya meminta imbalan berupa kemerdekaan di sebuah wilayah bernama Maungdaw di Arakan. Dan akhirnya Inggris mengabulkan permintaan tersebut. Dari pengabulan tersebut, ribuan Etnis Rohingya yang sebelumnya terusir kembali lagi ke Arakan untuk mengamankan kekuasaan mereka. Selain itu, Etnis Rohingya pun tidak memberikan jabatan-jabatan strategis kepada orang-orang Budha Asli Etnis Burma, Bahkan tidak juga bagi Suku Magh yang jelas-jelas pribumi Arakan, suatu keadaan yang memperdalam sentimen kebencian orang-orang Asli Etnis Burma.

Sejarah Genosida Etnis Asli Birma di Masa Kemerdekaan Myanmar

Menjelang tahun 1947, dimana Burma mengadakan sebuah pertemuan yang mengundang seluruh suku-suku di Burma (Myanmar) dalam rangka persiapan mendeklarasikan kemerdekaannya. Semua Suku, baik Suku mayoritas, yaitu Suku Burma ataupun Suku-suku minoritas di Burma (Myanmar) diundang dalam pertemuan tersebut, kecuali Etnis Rohingya.

Pada 4 januari 1948, sebagai hasil dari Konferensi London, Inggris akhirnya memberikan kemerdekaan kepada Burma, dari kemerdekaan Burma inilah, dominasi Burma terhadap Etnis Rohingya semakin besar. Burma-pun tidak mengakui Etnis Rohingya masuk ke dalam kategori kelompok minoritas di dalam draf konstitusi Burma yang baru disusun. Konsekuensinya, Etnis Rohingya tidak memiliki kuasa untuk mendapatkan hak-hak minoritas seperti kuota di parlemen dan perlindungan hukum.

Hal tersebut akhirnya memicu Etnis Rohingya untuk melakukan perlawanan. Dimana, Orang-orang Rohingya berbondong-bondong bergabung dengan gerakan Mujahidin yang dipimpin Jafar Kawal. Gerakan ini ditandingi oleh Burma, dalam bentuk Burma Teritorial Force (BTF), yang dibentuk Jenderal Ne Win. Hasil akhir dari perseteruan antara Burma dan

Rohingya ialah, Ribuan Etnis Rohingya diusir, Ribuan Etnis Rohingya mengalami kejahatan genosida, hingga banyak rumah-rumah milik Etnis Rohingya dimusnahkan oleh pasukan Jenderal Ne Win.

Kendati demikian, tercatat pada tahun 1950, Etnis Rohingya nyaris berhasil menekan pemerintah Burma untuk menjadikan Maungdaw, Rathedaung, dan Buthidaung sebagai daerah atau distrik otonomi di Burma (Myanmar). Tapi berjalannya waktu, hal tersebut nyatanya tidak sedikitpun terselesaikan hingga saat ini.

Genosida Etnis Rohingya oleh Pemerintah Myanmar di Era Kontemporer

Pada tahun 2017, Pemerintah Myanmar melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Etnis Rohingya. Serangan tersebut dinilai cukup besar dalam sejarah penyerangan Kerajaan-kerajaan Burma hingga Negara Bangsa Myanmar terhadap Etnis Rohingya. Kendati demikian, Bau tersebut  kerap tercium oleh dunia Internasional, meskipun Pemerintah Myanmar tidak membenarkan hal tersebut. Sampai akhirnya Pemerintah Myanmar terdesak, dan akhirnya menjelaskan bahwa serangan tersebut adalah serangan balasan, karena pada Oktober 2016, terdapat milisi Rohingya yang melakukan penyerangan terhadap pos polisi. Dengan alasan tersebutlah, Pemerintah Myanmar melakukan serangan balasan, dengan perkiraan jumlah korban Etnis Rohingya dalam kurun waktu satu bulan mencapai 6.700 orang.

Tahun 2020, terdapat beberapa tentara Myanmar yang membelot dan menceritakan apa saja yang mereka lakukan ketika di wilayah Rohingya, Rakhine. Dua diantaranya bernama Myo Win Tun dan Zaw Naing Tun. Myo Win Tun berkata:

“Pemimpin tertinggi kedua di MOC-15, Kolonel Than Htike, memberikan kami perintah ‘Tembak semua yang kamu lihat dan kamu dengar’. Jadi, kami tanpa pandang bulu menembak ke semua yang tiba di Desa Taung Bazar”.

Lalu, Tentara lainnya yang bernama Zaw Naing Tun berkata:

“Ketika kami melakukan operasi pembersihan di Desa Kalar, kami menembak mati dan memusnahkan sesuai dengan perintah membunuh, tidak peduli apakah mereka anak-anak atau orang dewasa”

Menurut jurnal yang ditulis Amnesty International, Negara Bagian Rakhine merupakan negara bagian paling miskin di Myanmar. Suku-suku yang ada di Rakhine ini, utamanya Suku Magh, pada akhirnya merasa terdiskriminasi dan merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat, yang didominasi oleh Suku Birma atau Bamar. Dalam situasi seperti inilah, suku-suku di Rakhine, terutama Suku Magh selaku Pribumi Rakhine, merasa bahwa Etnis Rohingya sebagai pesaing mereka dalam perebutan sumber daya (makanan). Oleh karena itulah, dari sejarah panjang Burma (Myanmar) dan adanya masalah ketimpangan sosial-ekonomi yang begitu besar antar masyarakat, berakibat terhadap diskriminasi hingga genosida Etnis Rohingya di Myanmar. Buruknya hal tersebut didukung oleh Pemerintah di setiap masa.

Myanmar sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang dalam membiarkan ketidakpercayaan antar-etnis di masyarakat, bahkan tidak hanya dibiarkan apalagi diajarkan rasa toleransi antar Etnis Rohingya dengan Etnis Asli Burma (antar masyarakat beda etnis). Tetapi hal tersebut malahan dieksploitasi oleh militer Myanmar dengan tujuan memperoleh keuntungan atas status dan kedudukan militernya, dan keuntungan-keuntungan lainnya. Sejak tahun 2017, terdapat 730 ribu orang Rohingya yang kabur dari Myanmar dan mencari pertolongan ke negara-negara lain, terutama ke Bangladesh, dimana Bangladesh sendiri sebagai negara penampung pengungsi Rohingya terbesar di dunia, diperkirakan terdapat 700 ribu pengungsi Rohingya disana.

Meskipun demikian, tidak sedikit Pengungsi Rohingya di Bangladesh yang menginginkan hidup lebih layak, akhirnya mereka mencari negara lain yang lebih tepat agar mereka dapat memperoleh hidup yang lebih baik dari sebelumnya dengan cara mencari kerja. Namun faktanya tidak banyak dari mereka yang sampai ke negara tujuan yang diinginkan, karena beberapa faktor, diantaranya mendapatkan penolakan dari negara yang dituju, mengalami diskriminasi, eksploitasi hingga perdagangan manusia (Rohingya), dan memperoleh kematian di kapal sebelum sampai ke negara yang dituju.

***

Penulis : Fathul Jawad

Universitas Al –Azhar Indonesia

Mahasiswa Magang LP3ES 2021

Ruang Aktivisme Digital dan Gerakan Sosial

Ruang Aktivisme Digital dan Gerakan Sosial

Ruang demokrasi modern saat ini merupakan suatu model representasi representation democracy untuk menghadirkan dan mengartikulasikan kepentingan publik yang begitu luas agar direalisasikan dalam bentuk kebijakan, namun dalam kenyataannya yang terjadi pada konteks saat ini, representasi demokrasi tidak berjalan maksimal karena posisi wakil rakyat yang menjadi saluran representasi publik menurut (Soeseno :2013) antara ada dan tiada being present and yet not present.

Ketidakefektifan tersebut memberikan dampak terhadap tidak berfungsinya saluran saluran representatif terhadap ruang publik. Pada akhirnya kemudian, ruang publik berikut pula representasi politik tidak berjalan efektif dan efisien dalam mengartikulasikan kepentingan publik untuk dieksekusi dalam kebijakan.  Oleh karenanya pada saat ruang publik sebagai pilar utama dalam berjalannya demokrasi secara prosedural tidak berjalan dengan baik. Maka kebutuhan untuk membentuk saluran representasi maupun ruang publik baru menjadi sangat urgent dan signifikan dalam masyarakat Indonesia. 

Dengan begitu ketika penetrasi internet sudah sedemikian masif dalam masyarakat kita dewasa ini, maka saat itulah kemudian internet ditempatkan sebagai ruang publik dan saluran representasi baru publik yang disebut sebagai ruang publik digital atau cyberspace. Kemunculan cyberspace melalui sosial media ini menarik untuk dibahas karena mampu mentransformasi ruang publik dalam bentuk digital. Dibandingkan dengan ruang publik, cyberspace mampu menarik perhatian bagi setiap segmen publik untuk komunikasi dan berinteraksi.

Terlebih dalam beberapa tahun terakhir , indonesia mengalami kondisi penyempitan ruang sipil (shrinking civic spaces) terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Freedom house mencatat bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan ditahun 2021 skor indeks demokrasi di Indonesia turun kembali menjadi 59, yang menempatkan Indonesia pada kategori bebas sebagian (partly free).Gejala menyempitnya ruang sipil ini telah banyak dirasakan di kalangan masyarakat sipil, ditandai dengan semakin banyaknya kasus – kasus kriminalisasi terhadap aktor sipil, menggunakan pasal-pasal karet, misalnya dalam UU ITE, yang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu, para aktor sipil juga kerap menerima berbagai bentuk ancaman, baik fisik maupun non-fisik. Di internet, bentuk-bentuk gangguan berupa doxing, perundungan dan ujaran kebencian, telah lazim diterima oleh aktor sipil.

Untuk itu dalam konteks ini aktivisme digital pada akhirnya bergerak menuju sebuah gerakan sosial untuk mengembalikan marwah rakyat yang mengutamakan nilai-nilai demokrasi. Seperti yang dirujuk pada konsep Giddens (1993 : 642) mendefinisikan gerakan sosial sebagai bentuk upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai suatu tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) diluar lingkup lembaga-lembaga mapan. Hal ini juga diperjelas oleh Wasisto Pengamat Politik Brin dalam webinar Scolarium LP3ES.

“Dalam perspektif teoritis, aktivisme ini dibagi dalam dua hal yakni sebagai gerakan moral yaitu bagaimana teman teman aktivis berkembang nantinya menjadi kelompok kepentingan yaitu mengembalikan lagi marwah demos sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Kedua tentang gerakan politik yang berkembang sebagai semacam kelompok penekan yaitu upaya melakukan perubahan secara sistemik” Ujar Wasisto dalam Forum Scholarium LP3ES 23/08/2022.