Ruang Aktivisme Digital dan Gerakan Sosial

Ruang Aktivisme Digital dan Gerakan Sosial

Ruang demokrasi modern saat ini merupakan suatu model representasi representation democracy untuk menghadirkan dan mengartikulasikan kepentingan publik yang begitu luas agar direalisasikan dalam bentuk kebijakan, namun dalam kenyataannya yang terjadi pada konteks saat ini, representasi demokrasi tidak berjalan maksimal karena posisi wakil rakyat yang menjadi saluran representasi publik menurut (Soeseno :2013) antara ada dan tiada being present and yet not present.

Ketidakefektifan tersebut memberikan dampak terhadap tidak berfungsinya saluran saluran representatif terhadap ruang publik. Pada akhirnya kemudian, ruang publik berikut pula representasi politik tidak berjalan efektif dan efisien dalam mengartikulasikan kepentingan publik untuk dieksekusi dalam kebijakan.  Oleh karenanya pada saat ruang publik sebagai pilar utama dalam berjalannya demokrasi secara prosedural tidak berjalan dengan baik. Maka kebutuhan untuk membentuk saluran representasi maupun ruang publik baru menjadi sangat urgent dan signifikan dalam masyarakat Indonesia. 

Dengan begitu ketika penetrasi internet sudah sedemikian masif dalam masyarakat kita dewasa ini, maka saat itulah kemudian internet ditempatkan sebagai ruang publik dan saluran representasi baru publik yang disebut sebagai ruang publik digital atau cyberspace. Kemunculan cyberspace melalui sosial media ini menarik untuk dibahas karena mampu mentransformasi ruang publik dalam bentuk digital. Dibandingkan dengan ruang publik, cyberspace mampu menarik perhatian bagi setiap segmen publik untuk komunikasi dan berinteraksi.

Terlebih dalam beberapa tahun terakhir , indonesia mengalami kondisi penyempitan ruang sipil (shrinking civic spaces) terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Freedom house mencatat bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan ditahun 2021 skor indeks demokrasi di Indonesia turun kembali menjadi 59, yang menempatkan Indonesia pada kategori bebas sebagian (partly free).Gejala menyempitnya ruang sipil ini telah banyak dirasakan di kalangan masyarakat sipil, ditandai dengan semakin banyaknya kasus – kasus kriminalisasi terhadap aktor sipil, menggunakan pasal-pasal karet, misalnya dalam UU ITE, yang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu, para aktor sipil juga kerap menerima berbagai bentuk ancaman, baik fisik maupun non-fisik. Di internet, bentuk-bentuk gangguan berupa doxing, perundungan dan ujaran kebencian, telah lazim diterima oleh aktor sipil.

Untuk itu dalam konteks ini aktivisme digital pada akhirnya bergerak menuju sebuah gerakan sosial untuk mengembalikan marwah rakyat yang mengutamakan nilai-nilai demokrasi. Seperti yang dirujuk pada konsep Giddens (1993 : 642) mendefinisikan gerakan sosial sebagai bentuk upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai suatu tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) diluar lingkup lembaga-lembaga mapan. Hal ini juga diperjelas oleh Wasisto Pengamat Politik Brin dalam webinar Scolarium LP3ES.

“Dalam perspektif teoritis, aktivisme ini dibagi dalam dua hal yakni sebagai gerakan moral yaitu bagaimana teman teman aktivis berkembang nantinya menjadi kelompok kepentingan yaitu mengembalikan lagi marwah demos sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Kedua tentang gerakan politik yang berkembang sebagai semacam kelompok penekan yaitu upaya melakukan perubahan secara sistemik” Ujar Wasisto dalam Forum Scholarium LP3ES 23/08/2022.

Ibu Kota Baru, Masalah Baru?

Ibu Kota Baru, Masalah Baru?

Ibu Kota Baru Indonesia yang telah diresmikan dengan nama Nusantara menjadi perbincangan hangat saat ini. Ibu kota baru yang berada di kabupaten Penajam Paser Utara ini terdiri dari 4 kecamatan yaitu kecamatan Sepaku, kecamatan Waru , kecamatan Penajam dan kecamatan Babulu meliputi luas wilayah daratan 265.142 hektar dan perairan seluas 68.189 hektar yang akan dilakukan pembangunan dan pemindahan secara bertahap.

Alasan pemindahan ibu kota menurut Bappenas dinilai tidak memadainya syarat kelayakan kota Jakarta sebagai situs kantor pusat pengurus negara, soal udara bersih, air bersih, transportasi, dan kepadatan penduduk, selain itu alasan untuk menaikan laju pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pertumbuhan keluar dari Jawa menuju Kalimantan juga menjadi fokus pemerintah.

Namun, perdebatan pun muncul terkait dengan permasalahan yang akan timbul terkait dengan pembangunan ibu kota baru. Mulai dari masalah pendanaan, masalah perpindahan lembaga negara , ASN dan lainnya bahkan hingga permasalahan urgensi dari tujuan utama pemindahan ibu kota baru tersebut.

Pembiayaan Ibu Kota Baru

Dalam buku saku IKN yang diperoleh dari situs IKN pendanaan pemindahan ibu kota akan menelan biaya hingga Rp 466 triliun yang disebut dari skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU. Pemerintah menyebut pembangunan IKN Nusantara hingga 2024 akan dibebankan pada APBN Yakni 53,3 persen dan sisanya didapat dari KPBU sebesar 46,7%[1]. Hal ini berarti pembiayaan Ibukota Baru akan membebani APBN. Apalagi Kemenkeu juga berencana menggunakan Anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pembangunan ibu kota baru pada tahun 2022.

Menariknya, seperti yang dikutip dari pinterpolitik[2]presiden Jokowi juga disebut membentuk Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru yang didalamnya beranggotakan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair serta Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed Bin Zayed (MBZ). Hal ini juga disinyalir sebagai bentuk untuk meningkatkan kepercayaan investor asing khususnya untuk menginvestasikan dananya di ibu kota baru ini.

Oleh karenanya banyak yang menyebut investasi yang besar dari asing dapat berpengaruh terhadap penguasaan atas lahan di ibu kota. Terlebih memang kewenangan khusus yang diberikan kepada Otorita Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara dinilai lebih kental dengan urusan bisnis dan investasi dan justru kurang mencerminkan kebutuhan sebagai pusat pemerintahan.

Minim Partisipasi Publik?

Rancangan Undang-undang dan tentang Ibu Kota Negara tuntas dibahas hanya dalam waktu 43. Itu pun sebenarnya terpotong masa reses sekitar 25 hari. Dengan demikian, praktis, hanya 18 hari Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU Ibu Kota Negara.

Payung hukum pembangunan IKN memang sudah disahkan. Namun sangat disayangkan partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU IKN masih sangat minim. Pembahasan RUU IKN ini cenderung top down dan belum melibatkan partisipasi publik sebagaimana mestinya. Padahal, RUU itu mengatur hal yang sangat penting, yakni pemindahan ibu kota.

Ibu Kota Baru Masalah Baru?

Terlebih dengan adanya hal seperti itu kita dapat melihat bahwa arah orientasi pemerintah bertujuan untuk mendapatkan modal yang cukup besar, dan sudah barang tentu arah tujuan adanya ibukota patut dipertanyakan. Disaat seperti ini yang seharusnya alokasi APBN diarahkan untuk pemulihan ekonomi nyatanya hanya untuk pembangunan ibu kota baru yang terkesan terburu-buru. Polemik baru bermunculan seperti apakah nantinya presiden selanjutnya akan melanjutkan proyek ini atau tidak, karena dengan modal yang begitu besar tentu pemerintah terus melakukan upaya penambahan modal dan berdampak pada perekonomian di Indonesia.

Terlebih selain masalah pendanaan dan gangguan alasan yang paling penting menurut riset Jean Gottmann, mengatakan bahwa suatu ibu kota existing yang telah berfungsi dalam jangka waktu yang lama ketika dicopot fungsi utamanya akan berpotensi menimbulkan gesekan antar daerah. Terlebih lagi, kekuatan politik yang lama ada di ibu kota lama tidak sepenuhnya dapat bermigrasi dan terwadahi ditempat baru dan berpotensi menciptakan friksi antar elit.

Belum lagi masalah lingkungan dan tanah adat yang telah ada, misalnya masyarakat asli kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi permasalahan lainnya. Selain itu persoalan krisis ekologi dari pulau Jawa terkhusus jakarta yang mestinya harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah.

Emil Salim salah satu pendiri LP3ES mengatakan bahwa: “Justru karena ini maka tantangan pulau Jawa perlu ditangani dengan pengembangan social & technical engineering selamatkan ekosistem pulau Jawa dan pulau pulau Indonesia lainnya dgn ancaman sama.”Oleh karenanya disaat seperti ini prioritas APBN haruslah untuk pemenuhan dan kebutuhan rakyat serta hak-hak rakyat, pembahasan mengenai ibu kota baru harus dikaji secara lebih dalam dengan partisipasi publik secara luas.


[1] Lihat Kompas, sumber : https://nasional.kompas.com/read/2022/01/23/12574201/kritik-faisal-basri-soal-proyek-ikn-yang-bebani-apbn-hingga-peluang-jadi, diakes pada 24 Januari 2022

[2] Lihat pinter politik ,Jokowi dan perangkap ibu kota baru. Sumber:https://www.pinterpolitik.com/in-depth/jokowi-dan-perangkap-ibu-kota-baru, diakses pada 24 Januari 2022.

Malik Ruslan: Pemberantasan Korupsi Terjebak Politik Saling Amputasi Di Kalangan Elit

Malik Ruslan: Pemberantasan Korupsi Terjebak Politik Saling Amputasi Di Kalangan Elit

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan ancaman ke dalam narasi tebang pilih untuk menghabisi lawan politik.

Hal itu disampaikan oleh peneliti senior LP3ES, Malik Ruslan di acara webinar bertajuk “Evaluasi dan Prospek Hukum Demokrasi: Mungkinkah KPK Bangkit Kembali?” yang membeberkan beberapa ancaman bagi KPK.

Menurut Malik, politik saat ini saling mengamputasi antar elit partai politik dan antar pendukung pemerintah versus oposisi.

“Politik saling mengamputasi antar elite parpol, antar pendukung pemerintah vs oposisi, akan menyeret lembaga KPK ke dalam narasi tebang pilih untuk menghabisi lawan politik,” ujar Malik Ruslan, Minggu (29/11).

Malik pun merasa bahwa aroma tebang pilih untuk menghabisi lawan politik sudah mulai terasa saat ini. Terutama, setelah KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.

“Aroma-aroma ini mulai kelihatan, jadi kemarin ketua KPK mengatakan, ini tidak ada kepentingan politik dengan penangkapan ini. Orang mengatakan kok kader Gerindra cepat amat ditangkap begitu mudah, tapi kadernya PDIP kok enggak ketangkap-tangkap?” kata Malik.

Padahal kata Malik, Harun Masiku yang merupakan kader PDIP bukanlah orang yang hebat yang bisa menghilang begitu lama setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020.

“Harun Masiku itu bukan siapa-siapa. Dia orang sipil. Dia tidak punya ilmu untuk menghilang sebegitu lama,” pungkasnya.

Sumber : rmol.id

Searching Needles In The Hastag : Peran Buzzer Dalam Mendistorsi Opini Publik

Searching Needles In The Hastag : Peran Buzzer Dalam Mendistorsi Opini Publik

“If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it.” – Joseph Goebbels

Depok, LP3ES – Sama seperti di dunia nyata, dunia maya Indonesia diisi oleh keberagaman. Berbagai kelompok masyarakat kita ikut meramaikan dunia maya. Tiap pemuda yang mencari pamor, tiap pasien yang mencari donor, tiap penggemar K-POP yang mengikuti gerak-gerik idolanya, tiap artis dan orang yang mencari sensasi, tiap aktivis dan pejuang keadilan hingga tiap macam kriminal, semua ada di sana. 

Negara demokrasi yang memasuki fase aqil baligh ini begitu aktif berpolitik di dunia maya. Setidaknya sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012 sampai protes #ReformasiDikorupsi terkini, gejolak politik ikut menggoncang media sosial. Berlaku sebaliknya, media sosial juga mampu menggerakkan proses politik nasional. Mudahnya menjangkau banyak orang di sosial media membentuk lanskap politik baru di Indonesia. Kala itu, pasangan Jokowi Ahok bisa berhasil memenangkan Pilkada DKI Jakarta melalui giatnya kampanye sosial media. Dengan pengaruh sebesar ini, media sosial menjadi senjata mutakhir yang kerap dipakai untuk mengumpulkan pundi-pundi suara. Terbukti, belakangan, kursi DKI 1 harus Jokowi tinggalkan sebab ia berhasil mencapai posisi RI 1. Hingga saat ini, Jokowi berhasil menempati posisi RI 1 sebanyak dua kali dengan memanfaatkan keajaiban sosial media.

Tak hanya dalam proses politik formal, yang lebih sering menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan informasi dari satu episentrum ke jutaan pengguna media sosial (one-to many) keajaiban ini bisa bekerja. Ketika suara para demonstran tak didengar di jalan, kalah oleh bisingnya lalu lalang kendaraan, media sosial menjadi pilihan rasional untuk menyalurkan aspirasi. Tak terhitung juga, begitu banyak kasus yang langsung diusut setelah gempar di dunia maya, termasuk ‘kasus besar’ penistaan agama oleh mantan gubernur DKI Jakarta pada 2016 silam dan ‘kasus’ pasar Muammalah di Depok pada awal 2021. Media sosial bekerja sebaliknya, ia menampung jutaan suara penduduk digital dan membuatnya lebih nyaring. Sayangnya, belakangan ini, kekuatan many-to-one tersebut semakin melemah.

Mengapa demikian? Mari kita kembali ulas pemanfaatan senjata ini, sebab fenomena dua tahun terakhir merupakan episode lanjutan dari dua pertarungan kursi RI 1 sebelumnya. Memutar ulang ingatan kita, kedua kubu yang bertarung dalam pemilihan presiden saling serang melalui positive, negative, juga black campaign. Kuatnya pengaruh kedua kelompok melahirkan polarisasi stereotip media sosial: cebong, pendukung Joko Widodo1 dan kadrun yang mendukung Prabowo Subianto2 pada pemilihan presiden. Kedua belah pihak sama-sama menggunakan buzzer / pendengung untuk mengeraskan kampanye mereka. Media sosial di Indonesia, yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyaluran aspirasi dieksploitasi oleh kelompok kepentingan tertentu baik dari oposisi maupun pemerintah. Kebiasaan inilah yang membuat ramainya media sosial datang dari kelompok ‘tentara digital’, memanipulasi kebenaran dan mendistorsi diskursus kebijakan publik.

Hasilnya, setelah berhasil meraih kursi RI 1 kedua kalinya, pemerintahan Jokowi memberangus seluruh oposannya, lalu, menggunakan taktik perang yang sama, membentuk opini di media sosial atas kebijakan yang diterapkannya. Kekuatan ini sulit dibendung, apalagi ditandingi. Para pendengung yang direkrut melalui jaringan pertemanan pendukung pemerintah

1 Yang belakangan diasosiasikan dengan pendukung pemerintah.

2 Juga diasosiasikan dengan pendukung Anies Baswedan. Kelompok ini belakangan lebih kental  diasosiasikan dengan kelompok ekstremis Islam dan kontra pemerintah.

merupakan pekerja, dengan kata lain tentara swasta yang dibayar untuk membentengi pemerintah. Uang sudah berbicara, sehingga, pasukan digital ini siap mengorbankan segalanya demi membentuk opini publik seakan-akan masyarakat mendukung penuh kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan, kritik pemerintah salah total, dan mereka yang tidak setuju merupakan kelompok anti-Pancasila.

Revisi UU KPK menguatkan KPK. COVID-19 tidak berbahaya, dukungan sektor pariwisata merupakan peluang emas, dan Anies Baswedan yang was-was menunjukkan kebodohannya sebagai seorang ‘gabener’. Indonesia siap menerima kehidupan normal baru. Otonomi khusus di Papua memajukan dan menyejahterakan rakyat Papua. Omnibus Law Cipta Kerja merupakan terobosan pemulihan ekonomi yang brilian. Para penyidik KPK yang tidak lolos TWK terlibat dengan Taliban, ISIS, HTI, atau apapun itu kelompok Islamis radikal yang buzzer sebutkan. Kira-kira, inilah opini yang berhasil kelompok pendengung tadi ciptakan. Berbeda dengan kelompok kepentingan tak terorganisasi dan tak dibayar yang menyuarakan sebaliknya, tagar mereka hanya bisa bertahan sekejap dibandingkan tentara digital pemerintah.

Semua ini tertangkap dengan begitu jernih melalui analisis media sosial, menggunakan Big Data. Merekam seluruh opini pengguna Twitter dan pemberitaan digital media nasional, penelitian LP3ES menemukan bahwa kelompok pendengung tersebut berhasil menciptakan opini publik alternatif. Khususnya di media sosial, percakapan mengenai kebijakan publik begitu ramai didominasi tentara digital. Jika kebohongan ini terus didengungkan, orang akan mempercayainya dan menjadikannya sebagai kebenaran, sesuai dengan kutipan pembuka dari Goebbels.

Ke depan, wacana kebijakan publik akan terus dimanipulasi. Lebih mudah untuk menciptakan kebenaran alternatif di dunia maya, bahwa masyarakat puas dengan kebijakan pemerintah dan kebijakan seolah-olah bekerja dengan baik, ketimbang mewujudkannya dalam dunia nyata. Dalam beberapa waktu ke depan, nampaknya menarik untuk melihat bagaimana isu-isu ini dimainkan: pemilihan Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, kebijakan ekonomi hijau Indonesia, peraturan mengenai kasus kekerasan seksual (RUU PKS dan Permendikbud PKS), juga tak ketinggalan isu Anies Baswedan dan Formula-E DKI Jakarta. Tak sulit bagi para pendengung, yang di masa lalu menyoroti pelanggaran HAM Prabowo Subianto untuk menghapus dugaan pelanggaran HAM oleh Andika Perkasa. Tak sulit juga, bagi mereka, untuk membelokkan opini lainnya di dunia maya asalkan sesuai dengan narasi yang diinginkan pemerintah.

Hasil penelitian ini seharusnya membuat pemerintah berkaca diri dan kembali ke jalan yang benar, yakni berhenti memanipulasi opini publik. Seperti yang pemateri tekankan, sebagai lembaga swadaya, ada peran LP3ES untuk menggunakan hasil riset ini sebagai landasan bertindak: misalnya dengan mengampanyekan / membuat sosialisasi mengenai literasi digital. Jika kesadaran masyarakat akan isu-isu ini bisa ditingkatkan, pengaruh one-to-many yang didengungkan tentara digital tentu dapat diredam. Pertanyaannya, mampukah satu pihak saja melakukannya? Penduduk Indonesia tidak memiliki fondasi literasi dasar yang baik, bahkan masih belum teratasi sepenuhnya oleh puluhan tahun pembangunan nasional. Lembaga perlu melakukan maraton kampanye yang panjang dan intens, melawan arus deras opini tentara digital pemerintah. Mencabut duri buzzer dari tumpukan opini sosial media tidak akan semudah menemukannya.

Penulis : Hardy Salim, Mahasiswa Magang LP3ES , Universitas Indonesia

Meneguhkan Keberadaban Sipil dan Keadilan Sosial

Meneguhkan Keberadaban Sipil dan Keadilan Sosial

Menandai ulang tahun emas, LP3ES menyelenggarakan sarasehan kebangsaan (19/08/21) yang  dihadiri oleh tokoh publik seperti Menko PMK Muhadjir Effendy, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil, Ekonom Senior Emil Salim, Didiek J Rachbini, Ismid Hadad, Fachry Ali, dan sejumlah tokoh publik lainnya. Sarasehan kebangsaan tokoh publik LP3ES membeberkan beberapa agenda penting dalam membangun keberadaban dan keadilan sosial bangsa Indonesia kedepan.

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tahun ini genap berusia 50 tahun. Lembaga yang berdiri 19 Agustus 1971 ini dikenal sebagai lembaga penelitian tertua dan berpengaruh di Indonesia. LP3ES terbentuk tepat 5 tahun setelah rezim orde lama tumbang dan rezim orde baru sedang memulai kekuasaan di Indonesia. Pada masa Orde Baru, LP3ES bersama aktor masyarakat sipil lainnya secara serius memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial melalui berbagai aktifitas penelitian, penerbitan dan aktifitas akademis lainnya. Ketika reformasi lahir para aktor masyarakat sipil terjebak dalam situasi euforia demokrasi dan masuk dalam perangkap politik praktis, sebagian lagi berpindah kuadran menjadi aktor sektor negara.

Kolega LP3ES, Stephane Dovert dari Kedubes Perancis menyebutkan peneliti Indonesia pada tahun 1971 adalah orang-orang yang berani dan LP3ES telah membuktikan hal tersebut dalam beberapa dekade selalu hadir dalam isu-isu demokrasi dan keadilan sosial. Menurutnya LP3ES tidak bisa dipisahkan dari sejarah intelektual bangsa Indonesia

“LP3ES menjadi lembaga yang melindungi kebebasan Intelektual. LP3ES melindungi dan memelihara demokrasi melalui agenda kegiatannya. Semoga kedepan semakin banyak pemikiran LP3ES yang dipertimbangkan pengambil keputusan ” jelas Stephane Dovert

Penyeimbang Aktor Negara

Selama 50 tahun terakhir LP3ES telah membangun civil society di Indonesia. Sistem gagasan LP3ES lebih ditujukan pada perubahan kebijakan negara.

“LP3ES menekankan perhatian yang serius dan memberikan kesadaran kepada partai politik dan perguruan tinggi yang tidak lagi memiliki suara kritis padahal mereka adalah pilar demokrasi” ujar Fachry Ali, Pengamat Politik yang juga pernah berkiprah di LP3ES

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Prof. Dr. Muhadjir Effendy dalam sarasehan kebangsaan LP3ES menyampaikan LP3ES telah menggoreskan tinta emas dalam perjalanan sejarah bangsa ini terutama dimasa awal kemerdekaan. Menurutnya saat ini perjalanan masyarakat sipil dan demokrasi di Indonesia perlu dikritisi. Muhadjir mendorong lembaga yang berisi cendekiawan seperti LP3ES untuk berbicara secara kritis.

“LP3ES memiliki otoritas untuk memberikan masukan secara kritis arah pembangunan bangsa ini. Kami merindukan kebangkitan intelektual LP3ES untuk menuju Indonesia yang lebih beradab” jelas Muhadjir Effendy yang juga pernah terlibat dalam kegiatan penelitian LP3ES.

Pada kesempatan yang sama, Ismid Hadad sebagai salah satu pendiri LP3ES menjelaskan saat ini di LP3ES telah lahir generasi baru yang tidak kalah kritisnya dengan generasi tahun 1970-an

“Regenerasi menjadi penting bagi LP3ES untuk terus menumbuhkan peran masyarakat sipil yang kritis dan berdaya sebagai penyeimbang aktor negara dan swasta sehingga demokrasi di Indonesia bisa berjalan lebih sehat dan adil” jelas Ismid Hadad

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Libanon, Abdullah Syarwani yang juga generasi pertama LP3ES menyampaikan generasi kedepan tidak cukup hanya mengedepankan intelektual namun juga memiliki watak dan kepribadian dasar yang baik dan sehat

“Belakangan ini kita melihat tidak sedikit pelaku korupsi adalah kalangan yang memiliki intelektual yang baik. LP3ES tidak hanya meletakkan dasar pemikiran namun juga membentuk watak dan kepribadian dasar yang penting dalam membangun demokrasi dan keberadaban masyarakat sipil” jelas Abdullah Syarwani.

Menyikapi pragmatisme politik yang terjadi dalam demokrasi Indonesia, Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan / Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menerangkan permasalahan besar yang tidak bisa dihindari dari kualitas demokrasi di Indonesia di antaranya politik di Indonesia masih berbiaya mahal. Masalah lain adalah sumber pendanaan masih bersumber pada kalangan tertentu yang berasal dari penguasaan sumber daya alam yang tidak adil.

“Kita sebenarnya membutuhkan penataan cara penguasaan sumber-sumber ekonomi dengan (cara) mencari (jalan) bagaimana pejabat, mantan pejabat, politisi dilarang duduk dalam bisnis-bisnis penguasaan sumber daya alam,” ujar Andrinof.

Menurut dia, penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan demokrasi, tidak bisa diselesaikan lewat pemetaan semata. Persoalan-persoalan demokrasi, termasuk demokrasi ekonomi, setelah memetakan inilah harus dicarikan jalan keluar yang konkret.

“Jalan keluar yang konkrit adalah sumbangan pemikiran penting untuk mengimbangi hambatan demokrasi sosial dan ekonomi” terang Andrinof Chaniago

Memperkuat Akar Rumput dan Kelembagaan Desa

Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia mengungkap fakta kesenjangan sosial masih menjadi masalah bangsa ini. Akses terhadap vaksin, siapa yang bisa bekerja dirumah dan keluar rumah menunjukkan ada masalah yang belum diatasi oleh demokrasi kita.

Pada era tahun 1970 an LP3ES menjadi suluh yang mencerahkan. LP3ES adalah tempat mendapatkan inspirasi yang membentuk cara berpikir. Saat ini LP3ES berhadapan dengan arus informasi yang besar. LP3ES perlu mencari nice market baru yang memiliki dampakjangka Panjang. Salah satu market baru tersebut adalah kelembagaan sosial dan ekonomi perdesaan.

“Masyarakat kita seperti di perdesaan masih perlu di perkuat. LP3ES perlu memperkuat kelembagaan ekonomi yang ada di desa” jelas Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia

Dalam testimoninya, Direktur INDEF Tauhid Ahmad menjelaskan LP3ES menanamkan idealisme yang  kuat dalam membela dimensi ketidakadilan dalam sosial ekonomi masyarakat. LP3ES memiliki kekuatan dalam melakukan konektifitas dan sistem pada akar rumput.

Kolega LP3ES di University of Melbourne, Vedi Hadiz menjelaskan karakteristik masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang memiliki pendidikan dan aspirasi untuk mobilitas sosial demikian halnya dengan kelas menengah adalah kelas menengah rentan miskin sehingga dalam kondisi krisis seperti pandemi, kelompok masyarakat ini menjadi kelompok rentan dalam pembangunan demokrasi

“Demokrasi di Indonesia tidak serta merta menghadirkan keadilan sosial. Meningkatnya kesenjangan sosial menjadi tantangan bagi LP3ES. Generasi peneliti penerus LP3ES harus berkontribusi untuk mengatasi masalah fundamental dalam demokrasi dan masyarakat kita ini” jelas Vedi Hadiz

Hal senada di sampaikan oleh Asfinawati, direktur YLBHI menurutnya dalam situasi bangsa saat ini, tumpuan untuk mencari pendekatan baru dalam penegakan hukum dan demokrasi ada pada LP3ES

Naning Mardiniah, konsultan ADB yang juga mantan peneliti LP3ES mengusulkan selain mengembangkan pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan demokrasi di tingkat akar rumput termasuk pemimpin komunitas. LP3ES perlu memperkuat social protection dan safe guarding terhadap kelompok rentan dan orang-orang termarginalkan.

Pemanfaatan teknologi informasi menjadi salah satu isu penting yang muncul dalam sarasehan kebangsaan LP3ES. Adopsi teknologi informasi dan digitalisasi produk pengetahuan diharapkan bisa memperluas jangkauan gagasan pemikiran LP3ES.  Kerjasama pemanfaatan Big Data dalam melakukan riset dan publikasi hasil penelitian perlu diperkuat sebagai kontribusi LP3ES dalam menyelesaikan masalah bangsa. Direktur LP3ES Fajar Nursahid menjelaskan selain sarasehan kebangsaan, serangkaian telah dilakukan dalam menyambut 50 tahun LP3ES. Kegiatan berupa penerbitan buku “Apa dan Siapa orang-orang LP3ES dan “Demokrasi tanpa Demos”, lomba resensi buku untuk mahasiswa, sekolah riset, sekolah demokrasi, bedah pemikiran Bung Hatta, serial podcast, webinar, dan peluncuran program magang mahasiswa 2021.

Terpilih secara Demokratis, Politisi Sipil Justru Rusak Demokrasi

Terpilih secara Demokratis, Politisi Sipil Justru Rusak Demokrasi

Ada yang menarik dari temuan LP3ES  soal politisi sipil. Ternyata, demokrasi justru dirusak oleh politisi sipil yang terpilih secara demokratis dalam ajang pemilu.

“Kemunduran demokrasi ini bukan dilakukan oleh kudeta militer. Namun, justru terjadi karena politisi sipil yang terpilih secara demokratis yang justru mencederai nilai-nilai demokrasi,” ujar Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, dalam webinar bertajuk Kemunduran Demokrasi dan Intervensi Negara ke Civil Society yang digelar oleh LP3ES pada Rabu, (9/6).

“Politisi sipil yang terpilih secara demokratis justru mengabaikan oposisi, media independen, dan memberangus masyarakat sipil,” tambahnya.

Wijayanto menyinggung kemunduran demokrasi yang dialami Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Ia merujuk pada rilis indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economic Intelligence Unit (EIU) tahun lalu.

Dalam rilis tersebut, Indonesia disebut mengalami kemerosotan indeks demokrasi dengan memperoleh nilai 6,3 dan menempati peringkat 64 di dunia sehingga dikategorikan sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Rilis indeks tersebut juga memaparkan nilai dari instrumen kebebasan sipil. Dalam instrumen tersebut, Indonesia memperoleh nilai 5,59.

“Kebebasan sipil ini perlu mendapat catatan yang sangat serius karena memang itu situasinya yang kita hadapi hari ini,” ujar Wijayanto.

Sebagai contoh, Wijayanto merujuk pada hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada tahun 2020 kemarin. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa bahwa sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga semakin takut menyatakan pendapat. Lalu sebanyak 21,9 persen responden menyatakan sangat setuju bahwa warga semakin takut menyatakan pendapat.

“Jadi hampir 70 persen setuju warga makin takut menyatakan pendapat,” pungkas Wijayanto

Sumber : m.merdekanews.co