15 Juni 2023, Presiden Joko Widodo telah menegaskan pada kesempatan acara peluncuran Indonesia Emas 2045 dan RPJPN 2025-2045 bahwa Indonesia memerlukan stabilitas, keberlanjutan, serta kepemimpinan yang kuat dan berani dalam mencapai Indonesia Emas 2045. Kepala negara memberikan highlights tiga pilar sebagai prasyarat (prerequisite) dalam perjalanan menuju Indonesia Emas.
Pertama, stabilitas bangsa merupakan kunci penting dalam meraih kemakmuran. Tanpa stabilitas, tak satu pun negara yang berkonflik mampu mencapai tujuan mulia tersebut. Kedua adalah keberlanjutan dan kesinambungan kepemimpinan. Untuk menjamin kesinambungan ini, perekatnya adalah RPJPN 2025-2045. Siapapun pemimpin yang mendapat amanah rakyat, hasil dari transisi kepemimpinan nasional tahun 2024 nanti, tidak boleh lepas dari koridor RPJPN untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Kepemimpinan nasional hasil Pemilu, juga harus memperharikan RPJPN hasil aspirasi rakyat ini. Ketiga Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki fisik, keterampilan, karakter produktif, dan semangat juang yang unggul.
Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa Dalam kesempatan ini, kami ingin melaporkan bahwa setelah sekitar 2 bulan pasca MoU, kami bersama dengan rekan-rekan di Bappenas, terutama di unit PAKK, telah menyusun langkah-langkah operasional untuk menulis dan menerbitkan buku telaah RPJPN ini. Secara garis besar, prosesnya terdiri dari dua fase, yaitu fase penulisan dan fase penerbitan. Untuk fase penulisan, kami akan membagi para penulis dan perencana Bappenas ke dalam 5 kelompok kerja tematik, mengikuti struktur dan sistematika RPJPN. Kegiatan dua hari ini merupakan konsolidasi (kick off) antara seluruh tim penulis dan reviewer dari LP3ES maupun perencana Bappenas. Sebelumnya, masing-masing pihak (Bappenas dan LP3ES) telah melakukan persiapan yang diperlukan.
Selanjutnya, proses penyusunan naskah akan berlangsung selama 4 bulan, dari Juni ini sampai dengan September. Dalam proses penulisan, akan dilakukan berbagai bentuk kegiatan pendalaman seperti FGD, Webinar, Workshop dan mini riset. Setelah naskah tulisan selesai, proses selanjutnya adalah keredaksian dan penerbitan. Proses membutuhkan waktu selama 3 Bulan. Sehingga In sya Allah 30 Desember 2023, buku sudah terbit secara resmi.
Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diumumkan oleh Pemerintah pada 3 September 2022 lalu menuai polemik. Mulai dari pemenuhan hak rakyat secara demokratis, munculnya gerakan mahasiswa hingga upaya alternatif bagi Kelompok rentan. Berdasarkan hal tersebut, Scholarium LP3ES berkolaborasi dengan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan (IPPMK) Jadetabek mengadakan diskusi dengan tema “Menyoal Harga BBM, Negara Kesejahteraan, dan Kelompok Rentan.” yang diselenggarakan di kantor LP3ES. Jumat, 16 September 2022.
Malik Ruslan, Peneliti Senior LP3ES, selaku pemateri diskusi menjelaskan Kenaikan harga BBM erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat secara luas. “ Yang menjadi titik tekannya adalah kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan saja” ujarnya.
Pasalnya, hal tersebut sudah diatur didalam konstitusi. Negara tidak hanya semata-mata menjaga keamanan dan ketertiban. Tetapi, memikul tanggungjawab keadilan sosial, Kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat.
Dalam hal ini, menurutnya kita harus merujukan pada alenia keempat dalam UUD 1945 yang menjelaskan bahwa tujuan bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum meliputi antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.
“Kombinasi tersebut sudah diramu oleh Bung Hatta yang ia sebut sebagai demokrasi ekonomi dan Bung Karno sebagai sosio demokrasi atau demokrasi Politik” tegasnya.
Namun ia sangat menyayangkan dewasa ini pemerintah lebih banyak bicara tentang demokrasi politik dibandingkan demokrasi ekonomi.
Padahal menurutnya demokrasi ekonomi sudah diatur dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Penulis buku “Politik Anti Korupsi” ini juga menjelaskan, bahwa Demokrasi Ekonomi merupakan Rumah bagi Negara Kesejahteraan. “Tempat Negara Kesejahteraan didalam Demokrasi Ekonomi itu. Itu adalah rumahnya, ketika itu di angkat dan dikeluarkan dari dalam maka kesejahteraan tidak punya rumah Karena rumahnya dalam demokrasi ekonomi” jelasnya.
Disisi lain ia juga menekankan perlunya porsi yang tepat dalam menempatkan demokrasi ekonomi untuk mewujudkan demokrasi dalam negara kesejahteraan.
“Paradigma ekonomi didalam demokrasi juga harus ditempatkan pada porsi yang tepat , tidak hanya soal investasi saja, melainkan juga penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak rakyat “ tegasnya.
Dalam hal ini konsep negara kesejahteraan umum juga merujuk pada sila kelima pancasila- keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya pemerintah gagal dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam konteks ini ditandai dengan kegagalan dalam menyalurkan subsidi BBM yang diperuntukan untuk masyarakat.
Jika merujuk pada masa pemerintahan Presiden SBY subsidi mencapai angka kisaran 300 Triliun dan pada masa Pemerintahan Jokowi mencapai 502 Triliun. Namun masih menghadapi masalah yang tak kunjung usai; salah sasaran. Menurutnya persoalan salah sasaran tersebut terletak pada management penyaluran subsidi yang dilakukan pemerintah.
BLT; Obat Tidur Kenaikan BBM
Diyah Miftah, Pemateri dari IPPMK dalam hal ini merespon kenaikan BBM sangat berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas.
“Imbasnya kepada masyarakat, BBM naik dan perekonomian terganggu”
Menurut Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah tersebut, Masalah yang di timbulkan oleh kenaikan BBM tidak hanya terhenti pada respon masyarakat saja- pro atau kontra. Namun, apa solusi yang ditawarkan pemerintah kepada masayarakat sebagai kelompok yang terkena imbas dari kenaikan BBM. Sebagai langkah menepis ketimpangan yang akan terjadi.
“Ini tidak diimbangi dengan solusinya , dengan apa yang masyarakat dapatkan.” Tegasnya.
Disisi lain, menurut Diyah permasalahan ini juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Ia menilai pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat bukan langkah yang solutif dan berkelanjutan.
“BLT hanya sebagai obat tidur yang sifatnya hanya sementara. Tapi untuk kedepannya tidak ada hal konkrit yang berkelanjutan” Tegasnya.
Dalam hal ini Antika Septi, Mahasiswa Brawijaya, selaku pemateri juga menilai bahwa Kenaikan BBM tersebut mendapat respon yang tegas dari mahasiswa. Namun ia juga menilai, mahasiswa perlunya menawarkan langkah alternatif kepada pemerintah.
“Respon mahasiswa terkait menolak bbm sudah benar, tinggal bagaimana cara nya menawarkan solusi tandingan.“ Jelasnya.
Menurutnya langkah yang harus ditawarkan mahasiswa kepada pemerintah adalah beralih kepada energi terbarukan. Pasalnya energi terbarukan sudah menempuh kajian panjang dari berbagai akademisi. Peralihan dari BBM ke energi terbarukan tersebut lebih menekankan pada energi yang lebih ramah lingkungan dan tidak merusak alam.
Sebab, berdasarkan data yang ia peroleh, 61% pembangkit tenaga listrik adalah tenaga uap dengan bahan bakar batu bara. Menurutnya Ini sangat kontradiktif, pasalnya penggunakan batu bara sebagai bahan bakar akan berdampak pada kerusakan alam. Padahal selama ini kita selaku mahasiswa berupaya mengadvokasi masyarakat yang tergusur karena tambang dan juga merusak lingkungan.
Ia berpendapat bahwa energi terbarukan adalah solusi dari permasalahan yang ada sekarang. merealisasikan kajian yang telah dilakukan oleh para ahli dalam peralihan energi terbarukan..
“Menurut saya kita perlu ngomongin hal lain dari kenaikan BBM; energi terbarukan dan dampak lingkungan” tegasnya.
Merespon hal tersebut, Erfan Maryono, Direktur Eksekutif LP3ES menjelaskan jika hal tersebut diwujudkan maka biaya produksi yang akan dihabiskan dalam menuju energi yang ramah lingkungan sangat mahal.
Menurutnya, hal ini juga harus menjadi pertimbangan serius bagi negara. Karena jika hal tersebut tidak segera dilakukan akan berimplikasi besar terhadap lingkungan.
“Jadi tinggal gimana ngitungnya , jangka pendek atau jangka panjang, jika jangka panjang yang kita harus investasi untuk pengalihan sumber energi ini harus dilakukan.” Jelasnya.
Penulis: Muhammad Alfaridzi (Internship LP3ES) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar diskusi bertajuk “Manajemen Kebijakan Publik Masa Krisis Covid-19” pada Rabu (6/5) kemarin. Diskusi yang diselenggarakan secara daring tersebut dihadiri Fadillah Putra wakil direktur Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, Tanri Abeng mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Fachru Novian dan Didik J Rachbini dari LP3ES.
Fadillah Putra mengatakan bahwa krisis yang ditimbulkan oleh COVID-19 tidak hanya menimbulkan dampak buruk, tetapi juga dapat memicu lahirnya hal baik. Perubahan baik itu justru harus diteruskan meski krisis telah berakhir.
Saat ini banyak orang seakan-akan merindukan untuk kembali hidup seperti semula. Menurut Fadil, berbagai perubahan yang telah dijalani selama masa krisis pandemi justru membuatnya tidak ingin kembali pada kebiasaan sebelum adanya COVID-19.
“Saya berharap segalanya akan menjadi baru setelah ini”. Tutur Fadil lugas.
Penulis Buku Analisis Kebijakan Publik Neo-Institusionalisme yang diterbitkan oleh LP3ES tahu 2019 itu mencontohkan, salah satu perubahan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah terjadinya pemangkasan belanja perjalanan dinas di berbagai daerah, lalu direalokasikan untuk mendukung penanganan COVID-19.
Di satu kabupaten, lanjut dia, ternyat dapat memangkas belanja perjalanan dinas sampai Rp22 miliar dan belanja rapat dinas sampai belasan miliar rupiah, tujuan jelas untuk membiayai penanganan COVID-19 di daerahnya.
“Meski dipangkas, namun efektivitas rapat yang dilakukan para pegawai negeri sipil juga tidak mengalami penurunan”.
Fadil menilai, masa krisis yang ditimbulkan oleh COVID-19 rupanya mampu merubah perilaku kerja aparatur pemerintah yang selama ini dikesankan boros, tidak efisien dan tidak efektif. Dengan sedikit belajar, mereka dapat menyesuaikan diri untuk memanfaatkan fasilitas rapat daring dari telpon pintar masing-masing.
“Ini normalitas baru saya kira. Saya ingin ini jadi permanen. Efisiensi bisa jalan”. Pungkasnya.
Pertumbuhan kota Jakarta yang pesat telah mendorong aglomerasi wilayah yang melewati batas administrasi. Kemacetan menjadi salah satu problem utama layanan transportasi di kota metropolitan seperti Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan pembatasan lalu lintas dengan Sistem Ganjil-Genap untuk mengatasi kemacetan ibukota.
Kebijakan Ganjil-Genap diberlakukan dalam tiga fase, yakni: pertama pada periode 1 Agustus hingga 2 September 2018 selama Asian Games, berlaku sepanjang hari termasuk hari libur. Fase kedua, pada saat Asian Para Games dari 2 September hingga 13 Oktober 2018; berlaku sepanjang hari tetapi tidak di hari libur. Dan, fase ketiga, sistem Ganjil Genap berlaku dari tanggal 15 Oktober dan akan berakhir pada 31 Desember 2018; hanya berlaku di pagi dan sore hari pada jam-jam tertent, tidak termasuk hari libur. Koridor jalan yang terkena kebjakan Ganjil Genap adalah Jl. Jenderal Sudirman, Jl. MH Thamrin, Jl. Gatot Subroto, Jl. S. Parman, Jl. MT Haryono, Jl. HR Rasuna Said, Jl. DI Panjaitan, Jl. Ahmad Yani, Jl. Benyamin Sueb, dan Jl. Metro Pondok Indah. Dari hasil wawancara dengan responden, jalur ganjil genap yang paling banyak dilalui oleh responden adalah Jl. Jendral Sudirman, Jl. MH Thamrin, dan Jl. Gatot Subroto (Grafik 1).
Pengetahuan masyarakat terkait kebijakan ganjil-genap relatif baik. Kebijakan ini dipahami sebagai kebijakan pembatasan kendaraan sesuai plat nomor yang berlaku di ruas-ruas jalan tertentu (33,8%), hanya berlaku bagi kendaraan roda empat, bukan motor (28%), dan hanya diberlakukan pada saat Asian Games, Asian Para Games dan diperpanjang sesudahnya hingga Desember 2018. Pengetahuan terhadap sanksi/denda juga relatif diketahui, sebagaimana dinyatakan oleh 14,4% responden (Grafik 2).
Hasil survei menunjukkan, sepeda motor menjadi andalan sebagai antisipasi Ganjil Genap, jika mereka bepergian di tanggal ganjil tetapi kendaraan berplat nomor genap atau sebaliknya. Hal ini diungkapkan oleh 37,4% responden. Sebagian lagi menggunakan moda transportasi publik dan taksi online. Ada juga yang tetap mengunakan mobil pribadi dengan jalur alternatif non-Ganjil Genap (12 %). Hal yang sama juga dilakukan para pelaku retail, mereka juga mengandalkan sepeda motor (39%) sebagai alternatif perjalanan pada saat plat nomor kendaraan berbeda dengan tanggalnya. Sebagian lagi menggunakan transportasi umum (26%), dan hanya 4% yang tetap menggunakan mobil pribadi karena memiliki lebih dari satu mobil dengan plat nomor yang berbeda (Grafik 3).
Sebagian besar masyarakat (81,1%) tidak menambah mobil untuk menyiasati kebijakan ganjil genap (Grafik 4). Sikap ini relatif konsisten ditunjukkan oleh mereka yang memiliki mobil saja atau memiliki mobil sekaligus motor. Demikian juga dengan pelaku retail, sebagian besar tidak akan membeli atau menambah mobil untuk menyiasati kebijakan ganjil genap (88%). Hanya 2% pelaku ritel yang menambah mobil untuk menyiasati kebijakan ganjil genap
Sebagian besar masyarakat (66,%) menyatakan bahwa kebijakan Ganjil-Genap pada penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games pada bulan Agustus s/d Oktober lalu berhasil mengurangi kemacetan jalan-jalan Ibukota. Dan hanya 11% saja masyarakat yang menyatakan kebijakan ganjil genap tidak berhasil. Penilaian terhadap keberhasilan kebijakan Ganjil Genap relatif konsisten ditunjukkan oleh mereka baik yang tinggal di daerah “spot” atau area kawasan ganjil-genap, non-spot, ataupun mereka yang tinggal di kawasan penyangga di luar wilayah administrasi DKI Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. (Grafik 5).
Kebijakan Ganjil-Genap dinilai sudah tepat oleh sebagian besar masyarakat (73,1%) untuk mengurangi kemacetan jalan-jalan ibukota. Selain menganggap sudah tepat, mayoritas publik DKI Jakarta dan sekitarnya juga setuju (72,3%) atau bahkan sangat setuju (8,6%) dengan penerapan pembatasan lalu lintas dengan sistem Ganjil-Genap ini. (Grafik 6). Sementara untuk responden retail, tidak ada tendensi beda pendapat antara pelaku retail di pasar dan pusat perbelanjaan (mall). Sebagian besar yang menyatakan setuju adalah pedagang yang berada di pusat pembelajaan/ mall sebesar 55% begitu juga pelaku ritel yang berada di pasar menyatakan setuju sebesar 47,5%.
Secara keseluruhan pendapat pelaku ritel berdasarkan lokasi ini memiliki sikap yang sama terhadap kebijakan ganjil genap. Juga tidak ada tendensi beda pendapat jika dilihat berdasarkan sektornya, baik perdagangan maupun jasa. kedua sektor memiliki pendapat yang reatif sama terkait kebijakan ganjil genap. Sektor perdaganagan 52,7% menyatakan setuju dengan kebijakan ganjil genap, begitu juga dengan sektor jasa 42,9 % pedagang ritel di sektor jasa mengatakan setuju dengan kebijakan ganjl genap (Grafik 7).
Sebagian besar masyarakat (62,4%). Penerapan sistem ganjil genap di waktu tertentu pagi dan sore hari seperti yang berlaku saat ini dianggap lebih efektif dibandingkan sistem ganjil-genap berlaku sepanjang hari seperti pada saat penyelenggaran Asian Games dan Asian Para Games 2018. (Grafik 8).
Mayoritas masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya meyakini bahwa kebijakan ganjil genap memiiki dampak positif dalam mengurangi kemacetan (73%), mengurangi polusi udara (58%), dan menambah kecepatan rata-rata berkendara (65%). Hal ini dinyatakan oleh sebagian besar masyarakat (73,1%) yang beranggapan bahwa kebijakan ini sudah tepat untuk mengurangi kemacetan jalan-jalan ibukota. Pandangan ini terbagi secara konsisten di antara mereka yang tinggal di daerah spot/area jalur Ganjil-Genap, non spot dan juga daerah penyangga. Demikian juga jika didasarkan pada kepemilikan kendaraan (Grafik 9).
Diantara mereka yang setuju, mayoritas masyarakat (93%) juga setuju jika kebijakan pembatasan lalu lintas dengan sistem Ganjil-Genap ini diberlakukan secara permanen untuk mengatasi masalah kemacetan ibukota. Pandangan yang setuju terhadap pemberlakukan kebijakan Ganjil-Genap secara permanen ini relatif merata, dinyatakan oleh mereka yang tinggal di daerah sekitar area Ganjil-Genap maupun di luarnya (termasuk yang tinggal di daerah penyangga). Demikian juga jika didasarkan pada kepemilikian kendaraan, pandangan yang setuju terhadap pemberlakukan kebijakan Ganjil-Genap secara permanen ini juga terjadi relatif merata baik diantara mereka yang hanya memiliki motor, mobil ataupun keduanya (Grafik 10).
Meski cenderung setuju terhadap kebijakan Ganjil-Genap, tetapi masyarakat cenderung tidak setuju jika kebijakan ini diberlakukan untuk kendaraan bermotor roda dua. Hal ini dinyatakan oleh mayoritas responden (75,8%), dan dinyatakan secara merata berdasarkan domisili (daerah spot dan non-spot) serta berdasarkan kepemilikan kendaraan (Grafik 11).
Berbagai temuan survei yang sebagaimana dikemukakan di atas sejalan dengan pemberitaan media online dan dan perbincangan media sosial (twitter). Analisis yang dilakukan terhadap kedua jenis media maya ini secara konsisten menempatkan sentimen negatif terhadap kebijakan Ganjil Genap selalu dibawah sentimen positif dan netral.
Kesimpulan dari studi ini adalah, terdapat hasil yang paralel baik dari hasil survei yang ditujukan kepada responden masyarakat maupun pelaku retail, hasil crawling pemberitaan media online serta perbincangan media sosial. Masyarakat dan pelaku retail di Jabodetabek menunjukkan pendapat dan sikap yang moderat, yakni mendukung kebijakan Ganjil Genap diterapkan di pagi dan sore hari, mendukung kebijakan jika dipermanenkan, namun belum dapat diterima jika diperluas untuk kendaraan roda dua (motor). Pandangan dan sikap moderat masyarakat, didukung oleh sentimen netral yang ditunjukkan oleh media online dan media sosial dapat menjadi landasan bahwa apabila kebijakan ini dipertahankan (bahkan jika dipermanenkan) tidak menimbulkan protes masyarakat.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metoda campuran (mix-method), yakni survei dan analisis sentimen media online/sosial. Survei digunakan untuk mencari pola umum atau generalisasi pendapat masyarakat dan pelaku retail, sementara Analisis Sentimen Media Sosial digunakan untuk melihat kecenderungan intensitas perbincangan media online serta pendapat dan sikap netizen dalam memandang implementasi kebijakan Ganjil-Genap.
Survei dilakukan di lima wilayah DKI Jakarta dan daerah penyangga Ibukota (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Total sampel adalah 1000 orang, terdiri atas responden masyarakat (n=900) dan pelaku retail di mall dan pasar (n=100). Margin of error dari survei ini adalah sebesar +/- 3,3% untuk responden masyarakat, dan +/- 9,8% untuk responden pelaku retail; pada tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakungan pada tanggal 1 hingga 10 Desember melalui metoda wawancara tatap muka.