Pertumbuhan kota Jakarta yang pesat telah mendorong aglomerasi wilayah yang melewati batas administrasi. Kemacetan menjadi salah satu problem utama layanan transportasi di kota metropolitan seperti Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan pembatasan lalu lintas dengan Sistem Ganjil-Genap untuk mengatasi kemacetan ibukota.
Kebijakan Ganjil-Genap diberlakukan dalam tiga fase, yakni: pertama pada periode 1 Agustus hingga 2 September 2018 selama Asian Games, berlaku sepanjang hari termasuk hari libur. Fase kedua, pada saat Asian Para Games dari 2 September hingga 13 Oktober 2018; berlaku sepanjang hari tetapi tidak di hari libur. Dan, fase ketiga, sistem Ganjil Genap berlaku dari tanggal 15 Oktober dan akan berakhir pada 31 Desember 2018; hanya berlaku di pagi dan sore hari pada jam-jam tertent, tidak termasuk hari libur. Koridor jalan yang terkena kebjakan Ganjil Genap adalah Jl. Jenderal Sudirman, Jl. MH Thamrin, Jl. Gatot Subroto, Jl. S. Parman, Jl. MT Haryono, Jl. HR Rasuna Said, Jl. DI Panjaitan, Jl. Ahmad Yani, Jl. Benyamin Sueb, dan Jl. Metro Pondok Indah. Dari hasil wawancara dengan responden, jalur ganjil genap yang paling banyak dilalui oleh responden adalah Jl. Jendral Sudirman, Jl. MH Thamrin, dan Jl. Gatot Subroto (Grafik 1).
Pengetahuan masyarakat terkait kebijakan ganjil-genap relatif baik. Kebijakan ini dipahami sebagai kebijakan pembatasan kendaraan sesuai plat nomor yang berlaku di ruas-ruas jalan tertentu (33,8%), hanya berlaku bagi kendaraan roda empat, bukan motor (28%), dan hanya diberlakukan pada saat Asian Games, Asian Para Games dan diperpanjang sesudahnya hingga Desember 2018. Pengetahuan terhadap sanksi/denda juga relatif diketahui, sebagaimana dinyatakan oleh 14,4% responden (Grafik 2).
Hasil survei menunjukkan, sepeda motor menjadi andalan sebagai antisipasi Ganjil Genap, jika mereka bepergian di tanggal ganjil tetapi kendaraan berplat nomor genap atau sebaliknya. Hal ini diungkapkan oleh 37,4% responden. Sebagian lagi menggunakan moda transportasi publik dan taksi online. Ada juga yang tetap mengunakan mobil pribadi dengan jalur alternatif non-Ganjil Genap (12 %). Hal yang sama juga dilakukan para pelaku retail, mereka juga mengandalkan sepeda motor (39%) sebagai alternatif perjalanan pada saat plat nomor kendaraan berbeda dengan tanggalnya. Sebagian lagi menggunakan transportasi umum (26%), dan hanya 4% yang tetap menggunakan mobil pribadi karena memiliki lebih dari satu mobil dengan plat nomor yang berbeda (Grafik 3).
Sebagian besar masyarakat (81,1%) tidak menambah mobil untuk menyiasati kebijakan ganjil genap (Grafik 4). Sikap ini relatif konsisten ditunjukkan oleh mereka yang memiliki mobil saja atau memiliki mobil sekaligus motor. Demikian juga dengan pelaku retail, sebagian besar tidak akan membeli atau menambah mobil untuk menyiasati kebijakan ganjil genap (88%). Hanya 2% pelaku ritel yang menambah mobil untuk menyiasati kebijakan ganjil genap
Sebagian besar masyarakat (66,%) menyatakan bahwa kebijakan Ganjil-Genap pada penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games pada bulan Agustus s/d Oktober lalu berhasil mengurangi kemacetan jalan-jalan Ibukota. Dan hanya 11% saja masyarakat yang menyatakan kebijakan ganjil genap tidak berhasil. Penilaian terhadap keberhasilan kebijakan Ganjil Genap relatif konsisten ditunjukkan oleh mereka baik yang tinggal di daerah “spot” atau area kawasan ganjil-genap, non-spot, ataupun mereka yang tinggal di kawasan penyangga di luar wilayah administrasi DKI Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. (Grafik 5).
Kebijakan Ganjil-Genap dinilai sudah tepat oleh sebagian besar masyarakat (73,1%) untuk mengurangi kemacetan jalan-jalan ibukota. Selain menganggap sudah tepat, mayoritas publik DKI Jakarta dan sekitarnya juga setuju (72,3%) atau bahkan sangat setuju (8,6%) dengan penerapan pembatasan lalu lintas dengan sistem Ganjil-Genap ini. (Grafik 6). Sementara untuk responden retail, tidak ada tendensi beda pendapat antara pelaku retail di pasar dan pusat perbelanjaan (mall). Sebagian besar yang menyatakan setuju adalah pedagang yang berada di pusat pembelajaan/ mall sebesar 55% begitu juga pelaku ritel yang berada di pasar menyatakan setuju sebesar 47,5%.
Secara keseluruhan pendapat pelaku ritel berdasarkan lokasi ini memiliki sikap yang sama terhadap kebijakan ganjil genap. Juga tidak ada tendensi beda pendapat jika dilihat berdasarkan sektornya, baik perdagangan maupun jasa. kedua sektor memiliki pendapat yang reatif sama terkait kebijakan ganjil genap. Sektor perdaganagan 52,7% menyatakan setuju dengan kebijakan ganjil genap, begitu juga dengan sektor jasa 42,9 % pedagang ritel di sektor jasa mengatakan setuju dengan kebijakan ganjl genap (Grafik 7).
Sebagian besar masyarakat (62,4%). Penerapan sistem ganjil genap di waktu tertentu pagi dan sore hari seperti yang berlaku saat ini dianggap lebih efektif dibandingkan sistem ganjil-genap berlaku sepanjang hari seperti pada saat penyelenggaran Asian Games dan Asian Para Games 2018. (Grafik 8).
Mayoritas masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya meyakini bahwa kebijakan ganjil genap memiiki dampak positif dalam mengurangi kemacetan (73%), mengurangi polusi udara (58%), dan menambah kecepatan rata-rata berkendara (65%). Hal ini dinyatakan oleh sebagian besar masyarakat (73,1%) yang beranggapan bahwa kebijakan ini sudah tepat untuk mengurangi kemacetan jalan-jalan ibukota. Pandangan ini terbagi secara konsisten di antara mereka yang tinggal di daerah spot/area jalur Ganjil-Genap, non spot dan juga daerah penyangga. Demikian juga jika didasarkan pada kepemilikan kendaraan (Grafik 9).
Diantara mereka yang setuju, mayoritas masyarakat (93%) juga setuju jika kebijakan pembatasan lalu lintas dengan sistem Ganjil-Genap ini diberlakukan secara permanen untuk mengatasi masalah kemacetan ibukota. Pandangan yang setuju terhadap pemberlakukan kebijakan Ganjil-Genap secara permanen ini relatif merata, dinyatakan oleh mereka yang tinggal di daerah sekitar area Ganjil-Genap maupun di luarnya (termasuk yang tinggal di daerah penyangga). Demikian juga jika didasarkan pada kepemilikian kendaraan, pandangan yang setuju terhadap pemberlakukan kebijakan Ganjil-Genap secara permanen ini juga terjadi relatif merata baik diantara mereka yang hanya memiliki motor, mobil ataupun keduanya (Grafik 10).
Meski cenderung setuju terhadap kebijakan Ganjil-Genap, tetapi masyarakat cenderung tidak setuju jika kebijakan ini diberlakukan untuk kendaraan bermotor roda dua. Hal ini dinyatakan oleh mayoritas responden (75,8%), dan dinyatakan secara merata berdasarkan domisili (daerah spot dan non-spot) serta berdasarkan kepemilikan kendaraan (Grafik 11).
Berbagai temuan survei yang sebagaimana dikemukakan di atas sejalan dengan pemberitaan media online dan dan perbincangan media sosial (twitter). Analisis yang dilakukan terhadap kedua jenis media maya ini secara konsisten menempatkan sentimen negatif terhadap kebijakan Ganjil Genap selalu dibawah sentimen positif dan netral.
Kesimpulan dari studi ini adalah, terdapat hasil yang paralel baik dari hasil survei yang ditujukan kepada responden masyarakat maupun pelaku retail, hasil crawling pemberitaan media online serta perbincangan media sosial. Masyarakat dan pelaku retail di Jabodetabek menunjukkan pendapat dan sikap yang moderat, yakni mendukung kebijakan Ganjil Genap diterapkan di pagi dan sore hari, mendukung kebijakan jika dipermanenkan, namun belum dapat diterima jika diperluas untuk kendaraan roda dua (motor). Pandangan dan sikap moderat masyarakat, didukung oleh sentimen netral yang ditunjukkan oleh media online dan media sosial dapat menjadi landasan bahwa apabila kebijakan ini dipertahankan (bahkan jika dipermanenkan) tidak menimbulkan protes masyarakat.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metoda campuran (mix-method), yakni survei dan analisis sentimen media online/sosial. Survei digunakan untuk mencari pola umum atau generalisasi pendapat masyarakat dan pelaku retail, sementara Analisis Sentimen Media Sosial digunakan untuk melihat kecenderungan intensitas perbincangan media online serta pendapat dan sikap netizen dalam memandang implementasi kebijakan Ganjil-Genap.
Survei dilakukan di lima wilayah DKI Jakarta dan daerah penyangga Ibukota (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Total sampel adalah 1000 orang, terdiri atas responden masyarakat (n=900) dan pelaku retail di mall dan pasar (n=100). Margin of error dari survei ini adalah sebesar +/- 3,3% untuk responden masyarakat, dan +/- 9,8% untuk responden pelaku retail; pada tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakungan pada tanggal 1 hingga 10 Desember melalui metoda wawancara tatap muka.