Mencari Jalan Arah Pergerakan Masyarakat Sipil

Mencari Jalan Arah Pergerakan Masyarakat Sipil

Memahami NGO dan civil society merupakan hal yang paling fundamental untuk membaca kompleksitas pergerakan sosial. Berangkat dari urgensi tersebut, kajian yang dilaksanakan pada Jumat, 14 Oktober 2020 mengusung tajuk “NGO dan Gerakan Civil Society”. Bersama dengan narasumber ahli Nana Setiana Peneliti LP3ES, diskusi yang berlangsung di aula rapat LP3ES ini menaruh perhatian pada peran LP3ES sebagai NGO dan civil society dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. NGO merupakan akronim yang bila dilafalkan berarti Non Governmental Organizations, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Menurut Nana, eksistensi NGO semakin menguat seiring maraknya penggunaan media sosial. NGO dikenal sebagai wadah yang menaungi pergerakan kritis masyarakat sipil terhadap jalannya kekuasaan. “NGO itu awalnya untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah, mereka menjaga jarak dan saling berbenturan. Namun belakangan ini sifatnya lebih moderat, NGO tidak bisa bekerja sendiri tanpa pemerintah untuk memberdayakan masyarakat,“ tutur peneliti senior LP3ES ini. Peran NGO sebagai wadah civil society sempat dipertanyakan karena banyaknya konsep tentang civil society. Ini juga yang membuat Nana merasa perlu memeriksa ulang konsep dasar civil society. “Banyak yang menyebut civil society sebagai masyarakat madani atau masyarakat kewarganegaraan.”

LP3ES dan Civil Society

Keresahan untuk mencari konsep civil society yang sebenarnya membuat LP3ES menginisiasi seminar “Mencari Konsep Civil Society Untuk Indonesia” pada tahun 1994 silam. Menurut penuturan Nana, seminar tersebut dipicu  akibat pernyataan Soeharto yang mengatakan bahwa gerakan-gerakan masyarakat bukan menjadi kekhawatiran sebab nilai-nilai Pancasila sudah kuat.  “Ketika Pak Harto menyatakan demikian, tokoh-tokoh di kalangan LP3ES terpancing bergerak untuk mencari jalan terkait gerakan civil society,” paparnya. Sebagai NGO yang lahir sejak zaman Orde Baru, LP3ES pada masa itu dibangun untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. LP3ES mengawali keberdiriannya dengan mengambil sikap yang kritis dan berdaya untuk memengaruhi ide-ide Orde Baru. Waktu terus berjalan, gugurnya Orde Baru menjadi pertanda bahwa rezim telah berganti. Penting bagi LP3ES untuk menumbuhkan kembali peran sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman.

Dalam melakukan konsolidasi, LP3ES bekerjasama dengan pemerintah, swasta, LSM, atau lembaga asing. LP3ES memainkan pendekatan yang berbeda, secara khusus ketersediaan dana menjadi tantangan untuk secara konsisten menginisiasi pergerakan pembangunan yang lebih adil, merata, dan demokratis. Untuk mewujudkan gerakan civil society yang dimulai dari bawah, NGO termasuk LP3ES menggandeng peran berbagai pihak, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Ini guna memaksimalkan pengaruh dengan berkorelasi membawa perbaikan di masyarakat.

Model NGO

Kendati demikian, upaya pembenahan yang dilakukan setiap NGO memiliki modelnya tersendiri dengan mengacu pada fokus bidang yang ditekuni. Setidaknya terdapat empat jenis NGO yang dibedakan menurut keberpartisipasian peran di tengah-tengah masyarakat. Sebut saja charitable orientation, salah satu jenis NGO yang kegiatannya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Contoh lainnya adalah empowering orientation, berfokus pada pengembangan pemahaman terkait urusan sosial, ekonomi, dan politik dengan menyasar pada kehidupan masyarakat awam. “Dahulu LP3ES kegiatannya mencakup keseluruhan bidang dari keempat jenis NGO tersebut. Sekarang lebih berfokus pada pengembangan penelitian dan pendidikan,” kenang Nana. Dalam kerentanan dinamika agenda pembangunan yang terus berubah. Ruh penting menguatnya gerakan kritis adalah kemerdekaan dan kemandirian NGO untuk memobilisasi peran masyarakat sipil.

Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES) Universitas Negeri Jakarta

Gerakan Perubahan dan Ketimpangan dengan Nalar Penguasa

Gerakan Perubahan dan Ketimpangan dengan Nalar Penguasa

Diskusi hangat dengan pembahasan yang menarik berlangsung di halaman belakang kantor LP3ES, Jumat 30 September 2022. Meski dihadiri oleh jumlah peserta yang terbatas, namun tidak menyurutkan antusias peserta dalam mengikuti rangkaian program diskusi Jumat rutin ini. Mengusung tajuk “Gerakan Mahasiswa dan Perkembangan Masyarakat,” Abdul Hamid selaku Ketua Dewan Pengurus LP3ES didapuk sebagai pembicara ahli pada kesempatan diskusi sore hari lalu.

Pada kesempatan awal Abdul Hamid berbicara mengenai pemahaman dasar perubahan menurut kebahasaan filsafat. Abdul Hamid meminjam terminologi yang diungkapkan filsuf Yunani Kuno, Heraclitus, “panta rei” yang bila diterjemahkan secara sederhana berarti “yang abadi adalah perubahan.”

Lebih lanjut Abdul Hamid menegaskan kembali “Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, dalam filsafat dikatakan segala yang hidup di dalam waktu bersifat fana, semua hal yang berada di pusat fana mengikuti hukum perubahan.” Di samping itu wawasan mengenai kesejarahan menurut Abdul Hamid menjadi tonggak yang sangat penting, sejarah menjadi ruh bangsa, teladan, terlebih untuk mempelajari perubahan secara esensial.

Posisi pemuda dalam hal ini mahasiswa terkait perubahan sejatinya sebagai agen perubahan. Menurut Abdul Hamid alasan pemuda di cap sebagai agen perubahan berkenaan secara biologis. “Mahasiswa berada pada pusaran dinamika yang luar biasa. Nafsu, ambisi, dan kecerdasan sedang tumbuh pada usia tersebut.”

Kendati demikian setiap generasi memiliki zamannya sendiri, manusia akan hidup di zaman yang berbeda. Perubahan yang dibangun akan menyongsong, mendesain, dan memengaruhi zaman yang akan terjadi. “Manusia harus berpikir tentang perubahan, perubahan ditentukan oleh langkah hari ini,” ucapnya.

Terlebih mahasiswa memiliki kemampuan strategis untuk melakukan sesuatu, usaha membuka jalan secara kolektif akan membentuk masa depan.

“Mahasiswa harus care melihat perkembangan lingkungannya, melakukan tindakan yang memengaruhi perubahan. Andalah yang akan hidup di masa yang akan datang, menjadi subjek pembangunan bangsa,” tegasnya.

Kepentingan Publik sebagai Tanggung Jawab Etis Negara

Untuk memahami tanggung jawab dalam level negara, Abdul Hamid menekankan mahasiswa perlu memahami apa itu negara. Merujuk pada konsep negara yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes, masyarakat bernegara didasari atas keterikatan yang ia sebut sebagai kontrak sosial. Pemahaman tersebut juga tak jauh berbeda menurut ilmu agama, negara lahir dari kesepakatan yang luhur.

“Bangsa Indonesia dibentuk melalui kesepakatan yang dihasilkan oleh BPUPKI. Hasil sidang yang ditetapkan diumpamakan sebagai kontrak sosial merujuk konsep yang ditawarkan Hobbes.”

Bila ditelusuri dari akar sejarahnya, negara bangsa sebetulnya baru muncul pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1648. Menurut Abdul Hamid, konsep negara bangsa sebenarnya bersandar pada kekuatan kesukuan, namun dikembangkan sedemikian rupa sehingga memunculkan konsep negara bangsa.

Istilah negara yang dipahami dewasa ini menurut Abdul Hamid disimpulkan menurut dua hal, pengertian secara objektif dan subjektif. “Negara dalam pengertian objektif adalah kekuasaan dengan segala institusi yang ada di dalamnya. Negara dalam pengertian subjektif adalah pemerintah. Penyelenggara dari segenap tujuan-tujuan etis bernegara adalah pemerintah.”

Abdul Hamid mengungkapkan bahwa negara memiliki kewenangan berdasarkan konstitusi tujuan bernegara. “Pertama negara harus menegakkan ketertiban, kedua negara dibentuk untuk menegakkan keadilan sosial. Dari sini kemudian muncul konsep republik yang akarnya telah ada sejak zaman Aristoteles.”

Kendati demikian pengertian republik dalam konteks bernegara baru-baru menguap setelah masa modern ini. Menurut bahasa, republik memiliki pengertian kepentingan umum. Abdul Hamid mengedepankan makna orisinil republik yang menekankan pada kata “umum.” Menurut konteks bernegara kata umum atau publik ini memiliki makna yang vital.

“Kekuasaan itu untuk kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok. Kepentingan publik dengan kepentingan mayoritas itu berbeda. Pada prinsipnya manusia memiliki dua jenis kepentingan, yaitu kepentingan khas yang bersifat individu dan kepentingan umum. Negara harus menjangkau kepentingan publik setiap warga negara,” jelasnya.

Kepentingan publik sangat memungkinkan terancam bila peran negara sebagai penyelenggara pemerintah gagal mengorientasikan kebijakan menurut kebutuhan-kebutuhan publik secara menyeluruh. Bila negara dikelilingi oligarki, kebijakan yang dibangun negara akan cenderung berkiblat pada kepentingan oligarki. Haluan oligarki yang mengejar keuntungan bisnis sangat berbahaya bagi masa depan kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat.

“Kalau oligarki yang mengontrol kebijakan, maka kebijakan tidak berorientasi pada kepentingan publik. Bisnis tidak punya pikiran tentang keadilan sosial. Di sini terjadi benturan antara nalar penguasa dengan nalar rakyat.”

Aksi yang dilakukan mahasiswa merupakan respon dari benturan nalar penguasa yang condong menuhankan kepentingan bisnis dengan nalar rakyat yang selaras dengan kepentingan publik dan cita-cita bangsa adil dan sejahtera. Abdul Hamid menyebut situasi ini sangat berbahaya, apalagi oligarki yang tengah eksis bersifat oligarki tertutup. Ia sebut demikian sebab yang mengendalikan kebijakan-kebijakan negara adalah sekelompok oligarki dengan wajah itu-itu saja. Lapisan masyarakat di luar oligarki sulit mengintervensi karena akses yang tertutup. Padahal kebijakan negara seharusnya berorientasi pada nalar publik.

“Terbenturnya nalar rakyat dengan nalar oligarki berimplikasi mengerikan, akan sejalan dengan terjadinya kemacetan politik. Ini sangat mungkin karena institusi negara sedang kehilangan citranya. Tanpa adanya demo sekalipun oleh berbagai elemen mahasiswa, secara alamiah akan terjadi kemacetan politik,” tekannya.

Penyadaran Untuk Pergerakan Kaum Tertindas

Menanggapi arah pembicaraan yang memasuki pertunjukkan klimaksnya, Fikri salah satu peserta memberi pernyataan yang ia sadur dari buku gubahan Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Sikap dari perubahan menurutnya adalah menggerakan kaum yang tertindas. Metode pendidikan menjadi skema mujarab untuk membangkitkan gairah perjuangan kaum tertindas. Tapi alih-alih upaya tersebut mampu menstimulus, menurutnya pada saat ini kaum tertindas sulit diajak kompromi dalam melakukan gerakan perubahan.

Merespon atas pernyataan yang diajukan, Antika Septi membangun narasi yang mengusulkan  pada upaya-upaya solutif. “Perubahan membutuhkan waktu yang sangat lama, karena perkaranya masyarakat kerap tidak menyadari situasi yang sebenarnya. Hal utama yang mesti dilakukan adalah penyadaran terkait masalah-masalah yang menimpa masyarakat tersebut. Dibutuhkan observasi, riset, metode yang tepat, serta kepercayaan masyarakat terhadap fasilitator,” imbuhnya.

Menangkap dari pengalaman yang sudah-sudah. Secara teori gerakan mahasiswa membuktikan bahwa penyadaran terhadap kaum tertindas tidak bisa menjamin masyarakat berubah sampai ke akar ideologis.

“Gerakan mahasiswa meninggalkan tesis bahwa penyadaran terhadap kaum tertindas pada akhirnya yang bergerak adalah mahasiswa, karena yang punya kesadaran itu mahasiswa. Kaum miskin belum bisa terbebas dari belenggu kepercayaan tentang nasib dan takdir,” beber Abdul Hamid.

Agar lebih gamblang Abdul Hamid mengambil kasus besar, gerakan masif pada tahun 1998. Dua hari setelah Pak Soeharto kembali dilantik sebagai presiden, gejolak tersebut sedemikian rupa menjalar dalam waktu yang sangat cepat. Hasilnya adalah reformasi, namun penyadaran bagi kaum-kaum kecil ternyata tidak dilihat nihil bagi Abdul Hamid.

“Terjadi demo besar-besaran, bersamaan itu terjadi penjarahan. Pelaku penjarahan adalah rakyat miskin kota, di berbagai daerah di Indonesia serupa.”

Kesadaran jangka pendek dan bersifat pragmatis yang kemudian memicu ekspresi spontan (penjarahan) pada kalangan masyarakat bawah. Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Makna kesadaran menjadi sukar untuk ditebak karena bentuk aksi yang berbeda.

“Perpaduan aksi demonstrasi dan kekacauan tersebut menyebabkan orde baru jatuh. Menariknya tesis yang diungkapkan Paulo Freire menjadi tidak relevan. Jika sebuah bangsa kebijakannya itu berorientasi pada kepentingan publik kekecewaan tidak akan meletus, karena orientasinya untuk mencapai keadilan sosial.” tutupnya.

Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES)

Universitas Negeri Jakarta.

Ibu Kota Baru, Masalah Baru?

Ibu Kota Baru, Masalah Baru?

Ibu Kota Baru Indonesia yang telah diresmikan dengan nama Nusantara menjadi perbincangan hangat saat ini. Ibu kota baru yang berada di kabupaten Penajam Paser Utara ini terdiri dari 4 kecamatan yaitu kecamatan Sepaku, kecamatan Waru , kecamatan Penajam dan kecamatan Babulu meliputi luas wilayah daratan 265.142 hektar dan perairan seluas 68.189 hektar yang akan dilakukan pembangunan dan pemindahan secara bertahap.

Alasan pemindahan ibu kota menurut Bappenas dinilai tidak memadainya syarat kelayakan kota Jakarta sebagai situs kantor pusat pengurus negara, soal udara bersih, air bersih, transportasi, dan kepadatan penduduk, selain itu alasan untuk menaikan laju pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pertumbuhan keluar dari Jawa menuju Kalimantan juga menjadi fokus pemerintah.

Namun, perdebatan pun muncul terkait dengan permasalahan yang akan timbul terkait dengan pembangunan ibu kota baru. Mulai dari masalah pendanaan, masalah perpindahan lembaga negara , ASN dan lainnya bahkan hingga permasalahan urgensi dari tujuan utama pemindahan ibu kota baru tersebut.

Pembiayaan Ibu Kota Baru

Dalam buku saku IKN yang diperoleh dari situs IKN pendanaan pemindahan ibu kota akan menelan biaya hingga Rp 466 triliun yang disebut dari skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU. Pemerintah menyebut pembangunan IKN Nusantara hingga 2024 akan dibebankan pada APBN Yakni 53,3 persen dan sisanya didapat dari KPBU sebesar 46,7%[1]. Hal ini berarti pembiayaan Ibukota Baru akan membebani APBN. Apalagi Kemenkeu juga berencana menggunakan Anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pembangunan ibu kota baru pada tahun 2022.

Menariknya, seperti yang dikutip dari pinterpolitik[2]presiden Jokowi juga disebut membentuk Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru yang didalamnya beranggotakan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair serta Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed Bin Zayed (MBZ). Hal ini juga disinyalir sebagai bentuk untuk meningkatkan kepercayaan investor asing khususnya untuk menginvestasikan dananya di ibu kota baru ini.

Oleh karenanya banyak yang menyebut investasi yang besar dari asing dapat berpengaruh terhadap penguasaan atas lahan di ibu kota. Terlebih memang kewenangan khusus yang diberikan kepada Otorita Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara dinilai lebih kental dengan urusan bisnis dan investasi dan justru kurang mencerminkan kebutuhan sebagai pusat pemerintahan.

Minim Partisipasi Publik?

Rancangan Undang-undang dan tentang Ibu Kota Negara tuntas dibahas hanya dalam waktu 43. Itu pun sebenarnya terpotong masa reses sekitar 25 hari. Dengan demikian, praktis, hanya 18 hari Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU Ibu Kota Negara.

Payung hukum pembangunan IKN memang sudah disahkan. Namun sangat disayangkan partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU IKN masih sangat minim. Pembahasan RUU IKN ini cenderung top down dan belum melibatkan partisipasi publik sebagaimana mestinya. Padahal, RUU itu mengatur hal yang sangat penting, yakni pemindahan ibu kota.

Ibu Kota Baru Masalah Baru?

Terlebih dengan adanya hal seperti itu kita dapat melihat bahwa arah orientasi pemerintah bertujuan untuk mendapatkan modal yang cukup besar, dan sudah barang tentu arah tujuan adanya ibukota patut dipertanyakan. Disaat seperti ini yang seharusnya alokasi APBN diarahkan untuk pemulihan ekonomi nyatanya hanya untuk pembangunan ibu kota baru yang terkesan terburu-buru. Polemik baru bermunculan seperti apakah nantinya presiden selanjutnya akan melanjutkan proyek ini atau tidak, karena dengan modal yang begitu besar tentu pemerintah terus melakukan upaya penambahan modal dan berdampak pada perekonomian di Indonesia.

Terlebih selain masalah pendanaan dan gangguan alasan yang paling penting menurut riset Jean Gottmann, mengatakan bahwa suatu ibu kota existing yang telah berfungsi dalam jangka waktu yang lama ketika dicopot fungsi utamanya akan berpotensi menimbulkan gesekan antar daerah. Terlebih lagi, kekuatan politik yang lama ada di ibu kota lama tidak sepenuhnya dapat bermigrasi dan terwadahi ditempat baru dan berpotensi menciptakan friksi antar elit.

Belum lagi masalah lingkungan dan tanah adat yang telah ada, misalnya masyarakat asli kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi permasalahan lainnya. Selain itu persoalan krisis ekologi dari pulau Jawa terkhusus jakarta yang mestinya harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah.

Emil Salim salah satu pendiri LP3ES mengatakan bahwa: “Justru karena ini maka tantangan pulau Jawa perlu ditangani dengan pengembangan social & technical engineering selamatkan ekosistem pulau Jawa dan pulau pulau Indonesia lainnya dgn ancaman sama.”Oleh karenanya disaat seperti ini prioritas APBN haruslah untuk pemenuhan dan kebutuhan rakyat serta hak-hak rakyat, pembahasan mengenai ibu kota baru harus dikaji secara lebih dalam dengan partisipasi publik secara luas.


[1] Lihat Kompas, sumber : https://nasional.kompas.com/read/2022/01/23/12574201/kritik-faisal-basri-soal-proyek-ikn-yang-bebani-apbn-hingga-peluang-jadi, diakes pada 24 Januari 2022

[2] Lihat pinter politik ,Jokowi dan perangkap ibu kota baru. Sumber:https://www.pinterpolitik.com/in-depth/jokowi-dan-perangkap-ibu-kota-baru, diakses pada 24 Januari 2022.

Mengawinkan Penelitian Dan Kebijakan Yang Memberdayakan Masyarakat Melalui Riset Aksi Partisipatoris

Mengawinkan Penelitian Dan Kebijakan Yang Memberdayakan Masyarakat Melalui Riset Aksi Partisipatoris

Alkisah, ada sebuah desa yang masyarakatnya belum memiliki tempat khusus untuk MCK (Mandi-Cuci-Kakus). Mereka masih memanfaatkan sungai untuk menjawab panggilan alam. Mengetahui hal ini, seorang pejabat yang baik hati memutuskan membangun fasilitas MCK tersebut. Tidak tanggung-tanggung, dibangunkan begitu banyaknya di sepanjang sungai. Biar mudah juga aksesnya. Dengan harapan masyarakat sekitar menjadi lebih ‘beradab’, pejabat tersebut meninjau kembali. Ia kaget bukan kepalang. Deretan MCK yang dibangun tersebut seperti tak tersentuh. Tidak ada masyarakat sekitar yang memakainya. Perilaku mereka tidak berubah, meski kebijakan sudah dieksekusi.

Sketsa di atas hanya mewakili sedikit dari sekian banyaknya kebijakan yang, meskipun didesain dengan penuh perhatian dan diawali dengan niat mulia, gagal total setelah dieksekusi. Pembaca mungkin menyarankan pejabat tersebut untuk melakukan studi / penelitian terhadap masyarakat setempat, baru membuat fasilitas MCK. Namun, apa jaminannya kebijakan tersebut akan berhasil? Terlebih lagi, di negara berkembang, sangat sulit untuk sebuah penelitian ilmiah bisa memanjat tebing birokrasi yang begitu tinggi.

Salah satu alternatif riset yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah riset aksi partisipatoris. Bukan untuk mengidentifikasi masalah, riset ini bisa dipakai untuk mengatasi masalah, sebab mengawinkan penelitian sosial dan kebijakan pemberdayaan yang memperkuat pembangunan masyarakat dari dalam.

Apa Itu Riset Aksi Partisipatoris (RAP)?

Seperti yang tercermin dari namanya, riset ini menggabungkan aksi dan partisipasi si peneliti dalam menjawab masalah yang dihadapi oleh ‘objek penelitian’. Dalam kasus pembangunan MCK di atas, peneliti mengkaji perilaku masyarakat setempat, namun mengajak mereka berpartisipasi dalam diskusi untuk merumuskan masalah yang dihadapi.

Peran peneliti jauh lebih aktif. Jika pada penelitian konvensional, tahapan penelitian terdiri dari 1) pengumpulan data (mengobservasi-mengukur perilaku, mewawancara, dll), 2) analisis, dan 3) pembuatan laporan, dalam RAP penelitian akan terdiri dari 1) pengumpulan data (observasi perilaku), 2) pemetaan sosial, 3) FGD, dan 4) aksi pemberdayaan. Dalam RAP, masyarakat diajak memetakan (secara sosial maupun geografis) kondisi sekitarnya. Dalam tahap FGD, peneliti mengarahkan ‘objek penelitian’-nya untuk menyadari masalah sekitar, agar terbangun kesadaran dalam masyarakat sendiri.

Dalam RAP, sebenarnya tidak pas menyebut ‘objek penelitian’, sebab partisipasi aktif mereka dalam mengidentifikasi mereka. Mereka ikut menjadi subjek, yang dibantu oleh peneliti untuk merumuskan masalah dan berupaya untuk memperbaikinya. Peneliti banyak melibatkan peran masyarakat dalam menentukan nasib mereka sendiri, menggabungkan elemen-elemen riset (pencaritahuan masalah) dan kebijakan pemberdayaan (pengentasan masalah secara mandiri).

Ya, jika dibandingkan dengan riset konvensional, RAP memang tidak memberi jarak antara peneliti dan yang diteliti. Lagipula, ini adalah riset sosial, sehingga, subjektivitas adalah hal yang tak terelakkan. RAP memang hadir untuk menanggapi penelitian sosial yang memaksakan positivisme ilmu alam yang dipenuhi asumsi-asumsi tidak akurat mengenai perilaku manusia. Meskipun demikian, penelitian ini tidak tak cocok dengan penelitian konvensional. Memang lebih baik jika keduanya dijalankan beriringan, memenuhi fungsinya masing-masing.

Signifikansi dan Relevansi RAP

Dalam pembangunan masyarakat, banyak kebijakan berbasis paternalisme begitu terpisah dengan kondisi masyarakat, sehingga gagal mengubah perilaku masyarakat. Kebijakan yang bermuara dari satu otoritas sentral juga cenderung tidak menyesuaikan situasi yang berbeda, menciptakan ‘sepatu satu ukuran’ untuk kaki yang berbeda-beda.

Maka dari itu, RAP bisa menjadi model riset ideal untuk mengisi kekurangan ini. Di dalamnya, ia juga memberdayakan masyarakat untuk menjadi mandiri, agar dapat menopang keberlangsungan hidupnya sendiri. Sukses atau tidaknya RAP bergantung pada kemampuan kepemimpinan peneliti dalam menggerakkan masyarakat.

Penulis: Hardy Salim, Universitas Indonesia (Mahasiswa Magang LP3ES)

Menggali Berkah Minyak  Catatan Kaki Praktisi Perminyakan Indonesia

Menggali Berkah Minyak  Catatan Kaki Praktisi Perminyakan Indonesia

Oleh. Risky Pratama, Sukiman, Nurul Khaliza Ferliana (Mahasiswa Magang LP3ES)

Dalam kurun waktu 1968 sampai 2000 minyak dan gas bumi menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Sektor unggulan ini bahkan mampu menyumbang 60% APBN pada masa itu. Sebagai mantan karyawan yang berkarir selama 30 tahun di Pertamina dan 20 tahun sebagai konsultan perminyakan, Yoga Pratama Mulhadiono berbagi pengalaman pengelolaan perminyakan di tanah air kepada mahasiswa magang LP3ES (13/11/20).

Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok Ir. Yoga Pratama Mulhadiono, MA (79 tahun) seorang pensiunan Pertamina yang bekerja sejak lulus ITB tahun 1968 di bagian Field and Wellside Geologist Pertamina Jakarta. Yoga muda bekerja di Pertamina ketika dipimpin oleh Direktur Utama pertama Pertamina Ibnu Sutowo.

“Pada masa kepemimpinan pak Ibnu Sutowo kedudukan dan pengelolaan Pertamina cukup independen. Di masa itu Pertamina mampu memproduksi 600 ribu barel minyak setiap hari, bahkan lebih, dan angka itu cukup besar karena penggunaan dalam negeri untuk minyak hanya sekitar 300 ribu barel sehingga kita masih bisa surplus dan bisa melakukan ekspor.” Terang Yoga.

Yoga menambahkan pada masa itu Indonesia juga telah konsisten masuk sebagai anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), keanggotaan Indonesia dalam organisasi pengekspor minyak tesebut tidak stabil, beberapa kali keluar masuk, hingga akhirnya keluar tahun 2016. Meski tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bentuk dan proses penyelewengan pengelolaan (terutama keuangan) pada sektor energi namun menurut Yoga kemunduran pengelolaan perminyakan di Indonesia terjadi akibat lemahnya moral politik para pejabat paska kepemimpinan Ibnu Sutowo.

Yoga dengan fasih menceritakan bagaimana kepemimpinan dan kepiawaian Ibnu Sutowo dalam menangkap ide bawahan dan meyakinkan atasan yaitu presiden Soeharto, bagaimana proses penemuan minyak pada masa lampau di Wonocolo oleh Jati Kusumo, Pengelolaan Gas Alam Cair yang membuat Indonesia sebagai negara eksportir terbesar, penanganan insiden kebakaran di sumur bor Jatibarang, bagaimana mentalitas pejabat dan pengalaman lainnya selama hampir 50 tahun berkiprah di perminyakan.

Kepada para mahasiswa, Yoga berpesan untuk pentingnya memiliki moral dan akhlak yang baik dalam membangun karir dalam bidang apapun. Yoga mencontohkan salah satu kebiasaan yang dilakukan dia dan rekan-rekannya ketika menghadapi insiden kebakaran sumur bor di Jatibarang. “Kita dulu memiliki kebiasaan untuk sholat jumat bareng dan kita kumpul berdoa agar kebakaran di Jatibarang bisa dipadamkan, agar diberikan jalan oleh Allah agar sumur itu mati, dan terjadilah keajaiban, sumur itu mati atas kekuasaan Allah”.

Yoga hadir di LP3ES untuk berbagi pengalaman dengan para mahasiswa peserta Program Magang LP3ES Tahun 2020 dalam sesi Friday Course, sebuah sesi berbagi pengalaman dari para intelektual, praktisi dan aktifis jaringan LP3ES yang dilaksanakan secara rutin setiap hari Jumat. Sesi ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan praktis kepada mahasiswa sebelum berkiprah di tengah-tengah masyarakat. ***

Efek Reisa dan Sentimen Netizen terhadap Penanganan Covid-19

Efek Reisa dan Sentimen Netizen terhadap Penanganan Covid-19

Founder analisis media sosial Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkap pengaruh Reisa Effect dalam membangun kepercayaan dan sentimen warganet terhadap komunikasi Pemerintah menyiapkan tatanan normal baru atau new normal.

Ia mengatakan, Reisa Broto Asmoro menjadi orang yang banyak dibicarakan di media sosial, khususnya twitter, sejak dua hari tampil mendampingi Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto.

Reisa yang seorang dokter saat ini merupakan Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

“Begitu Reisa menjadi salah satu juru bicara tim komunikasi, saya gunakan (pencarian) Reisa, akun Reisa untuk percakapan, itu langsung naik cukup tinggi, meskipun secara volume nggak besar-besar amat tapi lumayan tinggi untuk penyebutan Reisa,” ujar Ismail saat menjadi narasumber di Paparan virtual Hasil Big Data LP3ES tentang kebijakan New Normal, Selasa (9/6).

Ia menerangkan, bahkan sentimen warganet sangat positif mencapai 78 persen dan sentimen negatif enam persen. Ia menjelaskan, enam persen sentimen negatif itu juga tidak terklaster dalam kelompok pro pemerintah maupun oposisi.

“Dari publik, kebanyakan kalanagan umum, negatifnya kecil, (komentar) kok ngeselin ya bacanya, yang terjadi kemudian foto-foto Reisa sangat aktif dishare seolah menyihir, publik disihir,” ungkap Ismail.

Karena itu, ia menilai sentimen positif ini bisa dimanfaatkan Pemerintah sebagai strategi komunikasi persiapan menuju new normal dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Mulai dengan menggunakan masker, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan, dan rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Ia beralasan, ini bisa dilihat dengan cuitan warganet yang optimistis dengan kehadiran Reisa

“Banyak yang optimis, masyarakat Indonesia bisa lebih teredukasi, lalu optimis gunakan masker akan bagus, ini strategi yang sangat bagus, brilian  dan saya liat dalam konteks mengkampanyekan new normal ini akan memberikan efek,” katanya.

Setelah kurang lebih tiga bulan, sejak awal Maret 2020, Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad  Yurianto selalu seorang diri dalam menyampaikan perkembangan data kasus Covid-19 di Tanah Air. Namun, mulai Senin (8/6) kemarin, kini Yuri didampingi Reisa yang merupakan Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.