Agar tidak hilang ditelan zaman, saya ingin membuat semacam kronik, terkait acara yang sudah digelar di Universitas Paramadina kemarin.
Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Hatta bersama LP3ES. Materinya diambil dari (jilid I) Karya Lengkap Bung Hatta yang jumlahnya 10 jilid, dengan masing-masing ketebelan bervariasi 300-600an halaman, yang sudah dikelompokkan berdasarkan tema.
Ini adalah proyek panjang (1995- sekarang) yang melibatkan banyak pakar. Bahkan jilid pertama, yang dijadikan bahan pertama kuliah kemarin, butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menyelesaikannya. Hari ini, setelah 29 tahun berlalu, yang berhasil dicetak masih sampai jilid ke-9. Sementara jilid ke-10 baru rencana terbit tahun depan.
Begitu lamanya rentang waktu, sampai tiga pakar yang terlibat dalam penyusunan tidak sempat melihat hasil lengkapnya, beliau-beliau yang sudah meninggal dunia: Prof. Sjofjan Asnawi, Prof. Deliar Noer, dan Prof. Dawam Rahardjo. Kita berdo’a semoga Allah berikan mereka tempat yang terbaik di sisi-NYA.
***
Mungkin karena beberapa kali belanja buku langsung ke penerbitnya, admin LP3ES terlebih dahulu mengabari saya melalui pesan WA. Poster acaranya dibuat sejak akhir bulan Juni bersamaan dengan saya mendapat kabar tersebut. Jadilah saya sebagai pendaftar pertama.
Di luar peserta daring, kelas pemikiran (angkatan pertama) ini awalnya hanya membuka 25 kursi untuk kelas luring. Karena peminat lebih dari 50 orang, akhirnya acara harus dipindah ke tempat yang lebih besar dan luas, yang sedianya hendak diselenggarakan di kantor LP3ES yang terletak di Depok.
Peserta dihadiri oleh berbagai kalangan dan profesi. Ada guru, jurnalis, pustakawan, peneliti, dosen, aktivis, mahasiswa, dan lain-lain. Dua nama di awal adalah yang duduk di sebalah kiri dan kanan saya. Nama yang terakhir cukup membanggakan, mereka termasuk generasi Gen Z, namun punya pertanyaan yang menurut saya berbobot saat sesi tanya jawab.
Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari beberapa kalangan. Yang berhasil saya catat dan menurut saya layak untuk dibagikan ke publik (yang belum mengetahui) adalah apa yang disampaikan oleh Ibu Meutia sebagai putri sulung Bung Hatta. Dalam sambutan itu beliau menegaskan bahwa sang ayah pernah membuat surat wasiat, beliau menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Sebaliknya beliau ingin dimakankan di taman makam biasa. “Alasan beliau supaya lebih dekat dengan rakyat yang selalu ada di hatinya,” kenang Ibu Meutia.
Sambutan dari Ibu Gemala Hatta yang saya catat adalah terkait maklumat yang sering salah dikutip oleh beberapa kalangan. Selama menjabat wakil presiden, Bung Hatta hanya dua kali membuat maklumat. Pertama: Maklumat X, banyak yang salah, mengira itu adalah maklumat untuk pembentukan partai-partai. Padahal yang dimaksud maklumat tersebut adalah hak untuk menyusun GBHN, karena waktu itu belum ada DPR dan MPR. Adapun terkait pembentukan partai-partai, itu ada di maklumat kedua: Maklumat Wakil Presiden.
***
Sambutan-sambutan selesai. Acara inti dibuka oleh Prof. Emil Salim sebagai keynote speaker. Beliau hanya berbicara sekitar 15 menit, namun pembukaan dari beliau ini yang paling meninggalkan bekas di hati.
Mata saya ikut berkaca saat Prof. Emil menangis demi mengenang Bung Hatta yang setelah wafatnya meninggalkan dompet berisi lipatan kertas iklan (advertisement) sepatu Bally made in Swiss. Sepatu yang sangat diimpikannya tapi tidak sanggup membelinya sampai meninggal dunia.
“Tidak mungkin ada pemimpin (sejati) yang ia semakin kaya sementara rakyatnya semakin miskin,” tegas Prof. Emil.
Materi I dibawakan oleh Pak Sukidi (Doktor alumnus Harvard), yang dalam banyak poin mirip dengan apa yang dibahas pula oleh Prof. Mahfud MD (yang menjadi pembicara di sesi terakhir).
Yang saya catat dari materi yang disampaikan Pak Sukidi adalah, bahwa Bung Hatta menginginkan negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab bila yang terakhir ini dijadikan landasan bernegara, yang terjadi adalah hukum dijadikan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan-lawannya (mengutip pendapat Steven Levitski, professor bidang politik di Universitas Harvard). “Inilah yang terjadi saat ini,” tukas beliau. Sungguh miris. Saya pribadi sepakat dengan kesimpulan ini. Inilah yang menjadi realitas kehidupan politik kita hari ini.
Materi II dibawakan oleh Prof. Anhar Gonggong. Beliau salah satu tokoh sejarahwan idola saya. Agak tertegun saat moderator bertanya ke peserta, ternyata masih ada yang belum mengenal beliau. Tapi tidak jadi masalah, kita maklum sebab memang yang hadir tidak semua berlatar belakang sejarah.
Pembahasan Prof. Anhar lebih banyak mengenai aspek sejarah berdirinya PNI-Baru yang dipimpin oleh Bung Hatta. Dalam analisa beliau, berbeda dengan Partindo yang dibubarkan oleh Pemerintah Hindia, Belanda tidak berani membubarkan partai ini karena khawatir pihak komunis akan masuk bila terjadi kekosongan. Namun demikian, berbeda pula dengan partai lain yang berbasis massa, partai berbasis pendidikan dan pengkaderan yang didirikan oleh Hatta justru dianggap yang paling berbahaya oleh Belanda.
Kenapa zaman itu menjadi zaman keemasan. Sebab, kata Prof. Anhar, “Banyak di antara pendiri bangsa kita yang terdidik dan tercerahkan.” Terdidik-tercerahkan, itulah dua kata inti dari beliau. Dua kosa kata yang tidak atau jarang kita temukan pada para pemimpin kiwari. Tidak heran kalau dalam sesi tanya jawab, yang terjadi justru sebaliknya, beliau tampak pesimis dengan jargon Indonesia Emas 2045. Namun beliau lekas pula menolak bila dikatan ia sebagai seorang pesimis. “Saya hanya menjawab apa adanya berdasarkan analisa saya.”
Memang, jika kita melakukan pendekatan berdasarkan perspektif sejarah, alasan beliau sangat bisa kita pahami. Sebab, diksi terdidik-dan-tercerahkan itu tidaklah lahir dari ruang hampa. Para calon pemimpin itu dibesarkan dalam kultur yang sangat melek terhadap ilmu pengetahuan disertai integritas yang tinggi, terutama di dua dekade awal abad ke-20. Sementara generasi yang hidup di dua dekade awal abad ke-21 ini, apakah sudah menyamai atau bahkan melampui mereka? Saya mulai ragu. Tapi ini memang pertanyaan yang untuk dijawab sendiri-sendiri, sebagai bahan instropeksi.
Materi III (terakhir) dibawakan oleh Prof. Mahfud MD. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, materi yang beliau sampaikan sebenarnya sama dengan yang dibawakan oleh Pak Sukidi, namun dengan gaya retorika yang lebih menarik. Tentu ini terkait kemampuan monolog beliau sudah tidak kita ragukan. Dan memang pantas beliau ditempatkan di sesi terakhir.
Namun ada satu pembahasan penting yang tidak kita dapatkan dari dua pemateri sebelumnya. Yakni, dua sisi gelap demokrasi menurut Bung Hatta, yang kemudian dielaborasi oleh Prof. Mahfud dan dikaitkan dengan konteks atau realitas hari ini.
Dua sisi gelap itu pertama, demokrasi bisa membunuh demokrasi. Dengan cara apa? Kartelisasi dan oligarki. Partai-partai bisa saja berkomplot (bahasa halusnya berkoalisi) untuk menjatuhkan pemimpin atau calon pemimpin sekalipun ia punya integritas yang tinggi. Puncaknya adalah lahirnya kediktatoran yang didukung oleh partai-partai yang membentuk kartel tadi. Dan termasuk para oligark menopang calon-calon tertentu yang dianggap menguntungkan mereka.
Sisi gelap kedua, demokrasi menimbulkan anarki karena kebebasan yang berlebihan (kerusuhan, pemogokan, penjarahan). Saya kira poin kedua ini nyambung dengan penanya di sesi tanya-jawab yang membuat korelasi antara demokrasi dan tingkat pendidikan seseorang.
Prof. Mahfud kemudian memuji Bung Hatta yang sudah memprediksi sisi gelap ini dalam salah satu tulisannya sejak 1931, yang satu dekade kemudian dibuktikan oleh lahirnya Partai Nazi dibawah pimpinan Hitler.
Demikianlah tiga materi untuk Kelas Pemikiran Bung Hatta angkatan pertama.
***
Ada hal-hal di luar acara formal yang menurut saya menarik juga untuk saya ceritakan di sini.
Begitu serangkaian acara selesai, banyak peserta yang mengajak para pembicara untuk foto bersama. Tentu saja Prof. Mahfud yang paling menjadi ikonik. Ini pula kali pertama saya melihat langsung dan berjabat tangan dengannya. Dari dekat, tampak beliau sebagai sosok yang low profile.
Yang unik, ada satu tokoh penting yang menurut saya kurang jadi perhatian peserta. Entah karena tidak kenal kepakarannya, atau pangling dengan wajahnya. Seperti halnya Prof. Anhar Gonggong, yang jelas saya bisa maklum kalau ada dari peserta yang belum mengenal beliau, apalagi dalam acara ini memang beliau tidak menjadi pemateri. Buktinya, tidak banyak yang menyambut beliau saat berjalan keluar meninggalkan ruangan lewat pintu belakang.
Siapa gerangan? Dialah Prof. Taufik Abdullah, sejarahwan yang banyak memberi kata pengantar terhadap buku-buku bertema sejarah, tidak terkecuali buku-buku karangan Bung Hatta. Beliau adalah satu anggota tim redaksi Karya Lengkap Bung Hatta. Bahkan, buku jilid I yang tebal itu diberi Kata Pengantar yang panjang oleh beliau.
Jujur saja, yang membuat saya tertarik membaca Memoir-nya Bung Hatta sampai khatam, salah satunya adalah karena pemantik dari beliau yang benar-benar menghidupkan imajinasi pembaca melalui pertanyaan di akhir kata pengantar, apa jadinya bila Bung Hatta meneruskan memoarnya sampai periode paska Konferensi Meja Bundar (KMB)?
Memang sangat disayangkan bahwa Memoir yang kemudian diterbitkan kembali oleh Kompas dengan judul berganti menjadi Untuk Negeriku itu hanya memuat peristiwa hidup beliau sampai tahun 1950. Imajinasi dan dugaan saya: memoar itu sengaja dibuat Bung Hatta untuk mengenang hal-hal yang baik-baik saja, terutama terkait romantisisme-nya ketika berjuang bersama Sukarno sebagai dwi-tunggal.
Mungkin dalam buku itu Bung Hatta ingin menjadi sosok yang dalam Bahasa Jawa dikenal: mikul dhuwur mendem jero –hanya mengingat hal-hal yang baik dari seorang sahabat.
Berawal dari memoar Bung Hatta itu, saya akhirnya mengoleksi semua karya lengkapnya, termasuk hal-hal terkait ia yang ditulis oleh orang lain.
Kalau ada yang bertanya kepada saya buku apa yang sebaiknya dibaca terlebih dahulu untuk mengenal sosok Hatta, maka memoarnya inilah sebagai buku yang pertama-tama wajib dibaca menurut saya.
Kembali ke Prof. Taufik Abdullah. Melihat dari jauh beliau hendak keluar lewat pintu belakang, saya mengejarnya untuk meminta tanda tangan di buku jilid ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang saya bawa. Beliau agak lama memandangi buku itu, untuk kemudian berkata, “Wah, saya malah belum punya jilid yang ini.”
Tampak ia tersenyum gembira waktu saya katakan bahwa saya beberapa kali membeli buku hanya karena di buku itu ada pengantar dari Prof. Taufik Abdullah. Dengan bangga beliau menanggapi, “Wah, kalau masalah memberi kata pengantar, saya memang rajanya. Kadang ada penulis yang tidak saya kenal minta diberi kata pengantar, saya bilang, tunggu dulu ya, saya baca dulu isinya.”
Sebuah kehormatan buat saya bisa ketemu dan bercengkrama singkat dengan beliau.[]
Pada Rabu 8 Maret 2023 telah dilaksanakan Penandatangan MoU dan kerjasama penulisan dan penerbitan buku sejarah Universitas Krisnadwipayana antara LP3ES dengan Universitas Krisnadwipayana (Unkris). MoU tersebut ditandatangani oleh Direktur eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa dan Rektor Unkris Dr. Ir. Ayub Muktiono, M.SIP, CIQaR, dan ketua pengurus yayasan Unkris Amir Karyatin S.H. Turut juga hadir ketua pembina yayasan Unkris Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H, Direktur Program Penerbitan Widjanarko, Peneliti dan Editor LP3ES Malik Ruslan dan Associate LP3ES Meddy Iswandarto.
Dalam sambutannya Prof Gayus Lumbuun menjelaskan kondisi Universitas Krisnadwipayana dari waktu ke waktu, beliau menjelaskan berbagai macam tantangan dan dinamika di Unkris, meskipun begitu semua civitas academica mampu merapatkan barisan. Beliau juga berharap LP3ES dapat menjadi mitra yang baik untuk Unkris kedepannya.
Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa mengatakan penting untuk menggali dan mengetahui value / nilai Universitas Krisnadwipayana kepada generasi sekarang ini bukan hanya untuk civitas Unkris secara khusus namun masyarakat luas pada umumnya, apalagi banyak tokoh-tokoh publik yang lahir di Unkris.
Selain itu ditemui setelah acara ketua pengurus yayasan Unkris Amir Karyatin mengatakan bahwa penandatangan ini penting sebagai legal basic dari adanya dua lembaga yang melaksanakan kegiatan bersama menyangkut penelitian dan riset bidang sosial, hukum dan ekonomi. Beliau juga menjelaskan mengenai belum adanya penulisan sejarah yang lengkap dari Sejarah Unkris dari awal hingga saat ini. Beliau berharap upaya kerjasama ini dapat bermanfaat kedepannya.
“Didalam proses penulisan sejarah ini karena ditangan profesional kita harapkan bisa sangat berguna bagi semua pihak khususnya keluarga besar Unkris” Ujarnya.
Diskusi Dinamika Politik Menuju 2024 dibuka oleh Fahmi Wibawa selaku Direktur Eksekutif LP3ES. Fahmi Wibawa menekankan harus ada ‘langkah konkret’ terkait mundurnya demokrasi dengan mengenali aktor-aktor yang ada di dalam konstelasi demokrasi Indonesia dan jalannya pemilu nanti oleh pembelot yang bersembunyi dibalik layar.
Menurutnya kita selaku masyarakat sipil pun juga memiliki peran dengan mengawal langkah konkret tersebut. Diadakannya diskusi ini merupakan wujud pengamalan demokrasi tersebut. Bersamaan dengan tema diskusi sore hari ini, big data merupakan medium bagi ‘langkah konkret’ tersebut, melalui analisis data yang kelak dapat membantu kita untuk memetakan aktor-aktor politik yang memiliki peran signifikan, serta mengurai proses perilaku dari setiap aktor – baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
Ritual Oligarki
Diskusi diawali oleh Wijayanto selaku Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES serta Dewan Pakar Continuum, yang mengutip Refleksi Outlook 2022/2023 Ritual Oligarki menuju 2024, “Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia”.
Menurutnya hal yang penting dalam situasi demokrasi saat ini adalah Memonitor percakapan publik, mengutip apa yang dikatakan Ben Anderson bahwa informasi yang benar dalam negara demokrasi diibaratkan seperti oksigen, oleh karenanya informasi menjadi hal yang penting saat ini, baik akademisi, politisi dan masyarakat pada umumnya. LP3ES dan Continuum pun bekerja sama dalam melakukan monitor percakapan publik tersebut.
Percakapan publik yang kerap hangat muncul di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini adalah Masa Jabatan Kepala Desa – yang paling banyak mendapat perhatian. Duo PKB Muhaimin Iskandar dan Abdul Halim menjadi aktor yang disorot selaku pencetus ide tersebut. Selain itu isu Penundaan pemilu, Kredibilitas KPU, Kemunduran Demokrasi dan Politik Dinasti – Mayoritas perbincangan-perbincangan isu ini sarat dengan kritik dan respon negatif oleh masyarakat.
Demokrasi Masuk Jurang
Senada dengan Wijayanto, Prof Didik juga menjelaskan terdapat lima masalah yang dapat menggiring ‘demokrasi masuk jurang’. Senada dengan Wijayanto, diskusi dipantik oleh Prof Didik dengan kembali menekankan lima isu politik krusial yang hangat dalam perbincangan publik yakni, perpanjangan masa jabatan kades, penundaan pemilu, kredibilitas KPU, politik dinasti, dan kemunduran demokrasi.
Terkait isu Perpanjangan Masa Jabatan Kades, mestinya inti demokrasi adalah pembatasan kekuasaan – oleh karena itu seharusnya terdapat batasan jabatan publik. Inti dari kekuasaan politik itu tersendiri merupakan adanya check and balance. Menurutnya upaya perpanjangan masa jabatan kades tersebut merupakan bentuk kolusi politik serta praktek najis bagi demokrasi – sama halnya dengan praktek jabatan seumur hidup.
Isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan upaya menjajal arus gelombang rakyat pertahanan demokrasi di akar rumput. Tentu masyarakat menolak wacana tersebut. Kendati ditolak, tetap ada upaya penggiringan isu perpanjangan kekuasaan melalui isu penundaan pemilu.
Dari hasil riset big data, kredibilitas KPU dipertanyakan secara prihatin oleh publik. Komisioner yang menjabat sekarang, dipertanyakan, karena status posisi mereka merupakan hasil perebutan pengaruh dan kolusi di bawah tanah dengan partai-partai politik.
Di Indonesia politik dinasti yang bercampur oligarki juga menjadi temuan dalam perbincangan publik. Campuran politik dinasti dengan sistem oligarki juga akan menggiring demokrasi ke jurang. Kendati tidak tidak haram, praktek ini tetap dapat menggiring ‘demokrasi ke dalam jurang’.
Pelaku demokrasi (politisi dan partai yang berkuasa saat ini) justru mengkhianati demokrasi yang mengarah kepada kemunduran, continuum menemukan ada watak otoriter dibalik aktor aktor demokrasi.
Antara Negara, Oligarki dan Partai Politik
Abdul Hamid selaku Dewan Pengurus LP3ES juga memberikan pendapatnya terkait dengan keadaan kondisi bangsa saat ini. Menurutnya Negara telah mengubah dirinya menjadi “horor”, sehingga kritik apapun yang diajukan untuk negara tidak dapat bermakna, Dalam konteks ini negara telah melakukan kolusi antara parlemen dengan eksekutif yang mengakibatkan negara tidak lagi independen yang justru menghilangkan tugas tugas etis (keadilan/kesejahteraan) dalam bernegara. Negara berubah fungsi menjadi alat teror diantara masyarakat.
menurutnya partai politik mesti menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam menghadapi situasi saat ini. Selain itu kelompok masyarakat sipil juga penting untuk tetap menyuarakan hal-hal ini. Abdul Hamid juga menilai Indonesia kedepannya cenderung dalam situasi bahaya – melihat dari ketiga kekuatan politik; negara atau oligarki yang sudah menyatu dengan partai politik, serta orientasi masyarakat yang sudah terpecah. Diperlukan analisis yang mendalam untuk mencarikan jalan keluarnya, dalam melihat kegaduhan dalam perbincangan publik. Abdul hamid mengatakan :
“Big data merupakan data verbal. Data verbal bukan berarti tidak memiliki fungsi apa-apa. Kendati berakar dari persepsi, tetapi persepsi merupakan wujud kepercayaan. Oleh karena itu, hasil analisa big data Continuum merupakan hasil kepercayaan dari opini publik. “
Perbincangan Publikdan Elektabilitas Tokoh
Selain itu menurut Wahyu Tri Utomo Data Analyst Continuum, sosial media kini telah digunakan sebagai strategi bagi suatu aktor politik dalam mencapai kepentingan politik mereka. Dari hasil riset Continuum, terdapat empat tokoh yang dikaitkan sebagai capres, yakni Anies, Prabowo, Puan dan Ganjar. Anies menjadi tokoh yang paling banyak dikaitkan sebagai capres, dengan AHY kerap dikaitkan sebagai cawapres. Pasangan lainnya adalah Ganjar – Erick Thohir. Sementara nama Puan belum memiliki nama cawapres yang signifikan.
Menurut Continuum, Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY merupakan tokoh yang paling banyak menjadi perbincangan. Anies juga menjadi tokoh dengan tingkat penerimaan yang tinggi sebesar 85%. Dari hasil penelitian big data yang dilakukan continuum dengan LP3ES, dalam aspek politik terdapat tokoh-tokoh yang paling mendominasi dalam perbincangan publik yaitu Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY.
Hari ini, Minggu, 29 Januari 2023, LP3ES me-release outlook demokrasi yang merupakan buku kelima selama lima tahun terakhir. Hadir sebagai pembicara adalah para penulis buku antara lain: Wijayanto, Titi Anggraini, Herlambang P Wiratraman, Bangkit Wiryawan, dan Malik Ruslan. Webinar diawali Sambutan Direktur Ekesekutif LP3ES.
Fahmi Wibawa, Direktur Eksekutif LP3ES
Mengawali webinar, Fahmi Wibawa memberi pengantar diskusi mengenai situasi demokrasi sekarang ini yang sedang tidak baik-baik saja. Sampai dengan akhir tahun 2022 lalu, lahirnya beberapa produk peraturan perundang-undangan yang didorong pemerintah, seperti revisi UU KPK, UU Cipta Karya, UU Minerba, dan klimaksnya adalah pengesahan UU KUHP 2022, menempatkan iklim demokrasi Indonesia di titik nadir. Berbagai produk hukum oligarkis tersebut, yang diklaim sebagai formula mengantisipasi ancaman resesi ekonomi global sekaligus menyongsong Pemilu 2024, sejatinya malah memasung demokrasi dan mengerdilkan peran rakyat.
Demokrasi di Indonesia dinilai cacat yang ditandai dengan oposisi yang lemah, kebebasan sipil yang menurun, dan menguatnya negara dalam menekan kritik. LP3ES sebagai lembaga intelektual dan cendekiawan yang sudah berdiri sejak tahun 1971, melihat situasi ini dan memberikan perhatian pada upaya mencari solusi atas permasalahan yang terjadi dengan menerbitkan buku refleksi dan outlook demokrasi. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan kita semua tentang masalah serius yang terjadi pada demokrasi kita saat ini dan upaya untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang ada.
Wijayanto, Direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES
Sebagai pembicara pertama pada webinar ini, Wijayanto menekankan tentang pemilu kita yang diibaratkan sebagai suatu ritual yang seperti “ritual pacuan kuda” ,dalam artian bahwa dari pemilu ke pemilu merupakan suatu kompetisi yang justru tidak menjawab tujuan pemilu itu sendiri, padahal pemilu adalah untuk memilih pemimpin untuk sirkulasi kekuasaan yang bertujuan untuk mementingkan kepentingan publik, namun demokrasi kita malah mengalami kemunduran dan menuju pada otoritarianisme. Hanya sirkulasi kekuasaan diantara elite bukan untuk kepentingan umum.
Sayangnya menuju pemilu 2024, kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoriterisme masih juga berlangsung yang antara lain ditandai dengan: diabaikannya aturan main demokratis, absennya oposisi karena pelemahan sistematis oleh negara, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan, dan pembrangusan kebebasan sipil termasuk media.
Pertama, diabaikannya aturan main demokratis nampak pada terus mengemukanya wacana penundaan pemilu dan pemecatan hakim MK secara sepihak oleh DPR. Pindah ibu kota yang UU nya baru disahkan 2022 tapi sebenarnya sudah diputuskan sejak 2019 tanpa konsultasi public adalah penanda lainnya.
Kedua, absennya lawan politik memberi kita parlemen yang menjadi paduan suara Bersama pemerintah dalam berbagai hal: UU Cipta Kerja, RKUHP, juga pelemahan KPK. Ia memberi kita salah satu periode paling membosankan dalam sejarah parlemen Indonesia. One hundred years of solitude, mungkin pas untuk menggambarkan bungkamnya parlemen kita untuk memperjuangkan kepentingan warga.
Ketiga, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan terjadi pada kasus Kanjuruhan, kasus Ferdy Sambo, dan berbagai data lain (lihat PPT). Kasus Sambo memberikan satu pesan, yang mengutip Goenawan Mohamad: “Banyak yang tahu, di kamar-kamar tahanan polisi, penyiksaan dan pemerasan tak jarang dilakukan, dan hampir selamanya dibiarkan. Pelan-pelan, brutalitas itu jadi “kebudayaan”.”
Keempat, pemberangusan kebebasan sipil termasuk media. Terdapat 263 kasus hingga kuartal ketiga 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun lalu dengan 193 kasus (2021) dan 147 kasus (2020). Serangan digital ini juga berpengaruh terhadap kebebasan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa ada setidaknya 14 kasus serangan digital terhadap wartawan dan media pada tahun 2022.
Berbagai gejala kemunduran demokrasi itu pada dasarnya merefleksikan dominannya kuasa oligarki dalam sistem politik Indonesia. Di sini, oligarki didefinisikan sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya (Robison dan Hadiz, 2013). Ia juga dapat didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya (Winters, 2013).
Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis ini, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi yang lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Titi Anggraini, Dewan Pembina PERLUDDEM
Titi Anggraini melanjutkan diskusi dengan memberi tajuk “Cakap Tak Serupa Bikin : Jalan Terjal Pemilu 2024 dan Resiliensi Masyarakat Sipil”. Titi memantik diskusi dengan menekankan bahwa bukan masyarakat namun elite yang membuat jalan menjadi terjal, contohnya adalah penundaan pemilu, sampai penghujung 2022 masih terdapat wacana untuk menimbang kembali pemilu 2024. Pada 2022, persiapan pemilu tersendat, selain itu pada tahun ini muncul indikasi kecurangan verifikasi faktual partai politik secara struktural, berikut adanya yudisialisasi politik peraturan pemilu akibat tidak direvisinya UU Pemilu, contohnya mantan terpidana, penataan daerah pemilihan dan upaya melalui uji materiil sistem pemilu. Dan adanya anomali penjabat kepala daerah.
Masyarakat sipil dapat berperan dalam mengantisipasi ini dengan menunjukan resiliensinya, contohnya transformasi pemantauan pemilu, adanya adaptasi kelenturan pada advokasi yudisial, dan kemampuan mendapatkan kepercayaan informan whistle blower.
Pada 2023, Titi memprediksikan bahwa situasi serupa akan tetap terjadi. Elite akan tetap gaduh dan tetap minus politik gagasan diskursus, dan sangat ‘elitis’. Serta mereka cenderung menginginkan masa kampanye yang pendek namun di saat yang sama, ingin bersosialisasi di ‘masa tunggu’, guna menghindari akuntabilitas di masa kampanye.
Serangkaian peristiwa 2022, bahwa upaya mewujudkan demokrasi prosedural sekalipun bukanlah sesuatu yang mudah termasuk juga bagian substansinya. Praktik pemilu selama ini reguler dilakukan bahkan mendapatkan tantangan yang justru datang dari para elite politik hasil dari proses pemilu itu sendiri. Elite politik sangat cakap dan fasih saat mengumumkan jargon-jargon mereka, akan tetapi dalam pelaksanaannya cenderung inkonsistensi. Alias cakap tak serupa bikin.
Oleh karena itu masyarakat sipil perlu bersikap resilien dalam menghadapi situasi di pemilu 2024. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah merebut Pemilu 2024 melalui penetrasi pada pemilih muda yang jumlahnya lebih dari 50% dari 200 juta lebih pemilih Indonesia pada 2024 (dengan 15% di antaranya adalah pemilih berusia 17-23 tahun).
Bangkit A. Wiryawan, Dosen FISIP UNDIP/LP3ES
Pembicara ketiga yaitu Bangkit A. Wiryawan, mengawali pemaparannya mengenai dinasti politik. Bangkit menyebutkan bahwa dinasti politik juga berkontribusi terhadap buruknya demokrasi di Indonesia. Adanya celah pada instrumen hukum negara menjadi salah satu faktor langgengnya praktik dinasti politik di Indonesia, yakni Putusan MK No. 33 2015. Argumen ini berangkat dari hasil penelitian pengukuran dampak perubahan kepemimpinan untuk konteks pilkada dari kurun waktu 2013-2017.
Dampak dari dinasti politik biasanya muncul pada tahun politik, yaitu sekitar satu tahun sebelum penyelenggaraan pilkada. Dari 15 daerah hanya 3 daerah terdapat pertumbuhan pengeluaran perkapita, tingkat pengeluaran perkapita selama dinasti politik di tahun pertama dan kedua disetiap daerah rata-rata negatif.
Concern terhadap semakin menguatnya dinasti politik menarik untuk dikaji secara ilmiah, spesifiknya untuk mengukur dampak fenomena tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat di tingkat daerah. Sebanyak 15 kasus dinasti politik di tataran eksekutif daerah kabupaten/kota berhasil dihimpun. Tahun penyelenggaraan pilkada, atau tahun sebelumnya apabila pilkada dilaksanakan pada awal tahun, menjadi tahun observasi. Sebagai pembanding, digunakan data rata-rata provinsi. Hasilnya ditemukan bahwa bahwa dinasti politik daerah secara rata-rata ikut menyumbang penurunan pertumbuhan kesejahteraan sebesar 0.8% dibandingkan rata-rata provinsi. Dinasti politik juga turut menyumbang terhadap meningkatnya indeks keparahan kemiskinan sebesar 0.7% dibandingkan dengan rata-rata provinsi.
Herlambang P. Wiratraman, Direktur Pusat Hukum dan HAM LP3ES
Posisi negara hukum Indonesia memperlihatkan perlindungan warga negara masih jauh ideal, realitas dari waktu ke waktu sepanjang 2022 tidak ada yang mengejutkan, karena sudah dapat terlihat dari peraturan yang dibuat. Refleksi tersebut dapat dilihat pada 3 poin utama pertama pembentukan hukum semakin otokratis, kedua penegakan hukum bagaimana hukum bekerja, dan pelanggaran HAM dan Impunitas.Sepanjang tahun 2022 ada beberapa produk hukum yang akan besar dampaknya, misalnya RKHUP dan UU Cipta Kerja .
Dari refleksi tersebut ada begitu banyak pasal pasal justru akan mengancam kebebasan sipil. Pembatasan digunakan seakan akan tepat namun tidak menjawab permasalahan mendasar contohnya kritik terhadap presiden dan lembaga pemerintah, dari sisi penegakan hukum refleksi 2022 ada beberapa kasus yang dapat dilihat kurangnya perlindungan hukum kepada masyarakat misalnya kasus wadas (serangan yang sistematis dan terencana). Peristiwa peristiwa tersebut juga memperlihatkan birokrasi menyumbang pembusukan pada negara hukum,
Sejumlah peristiwa HAM yang terjadi, banyak yang tertutup dengan peristiwa besar lainnya. Seperti peristiwa anak-anak muda yang dipenjara dengan tuduhan yang tidak mereka lakukan. Peristiwa ini menjadi potret dimana hukum tidak bekerja secara adil.
Refleksi akhir dari situasi 2022 guna melihat situasi di tahun 2023, kurang lebih akan serupa. Kekerasan, impunitas, dan lemahnya penegakan hukum dan HAM menjadi warna dominan sepanjang tahun 2022, sebagai salah satu akibat dari melemahnya demokrasi. Pada waktu yang sama, pembentukan hukum merefleksikan menguatnya karakter legalisme otokratis. Pengesahan KUHP dan UUCK menjadi penanda yang sangat kuat. Sementara itu, penegakan hukum dan HAM yang tidak serius, paralel dengan lumpuhnya penopang perlindungan hak-hak dasar warga, tak terkecuali lemahnya politik hukum kekuasaan untuk memangkas mata rantai impunitas.
Malik Ruslan, Peneliti/Editor Senior LP3ES
Malik ruslan menutup diskusi dengan pemaparannya mengenai politik anti korupsi. Malik menekankan terdapat semacam arus balik yang semakin mengkhawatirkan terutama dalam kaitannya negara dalam melawan korupsi. Menurutnya Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, misalnya dicabutnya PP No. 99 Tahun 2012 kemudian lahirnya uu 22 tahun 2022. Dengan dicabutnya uu tersebut maka semua orang atau tersangka berhak mendapatkan remisi.
Politik anti korupsi mengalami involusi, konsekuensi negara menafsirkan korupsi–memberikan arti bahwa hukum saat ini tidak lagi mendukung korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi lalu dianggap menjadi kejahatan biasa.
Apa yang akan dihadapi oleh indonesia pada tahun 2023 nanti?persoalan yang terjadi akan sama seperti yang sudah terjadi pada tahun 2022. Tahun 2022 ditandai, antara lain, dengan kian menguatnya tanda-tanda involusi politik antikorupsi yang sifatnya fundamental.
Depok, LP3ES -Lembaga Penelitian , Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) resmi melantik Direktur Eksekutif periode 2022-2026 yaitu Fahmi Wibawa pada selasa, 1 November 2022. Dalam kesempatan tersebut hadir Abdul Hamid sebagai Ketua Dewan Pengurus LP3ES dan beberapa tokoh LP3ES.
Dalam sambutannya Direktur Eksekutif Fahmi Wibawa menyampaikan terimakasih kepada seluruh keluarga LP3ES yang telah memberikan amanah dalam menahkodai badan pelaksana LP3ES.
“Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi saya mendapat amanah dari Dewan Pengurus LP3ES untuk menahkodai badan pelaksana dalam menjalankan kegiatan-kegiatan pencapaian visi dan misi LP3ES. In sya Allah saya akan menjalankan amanah yang sungguh berat dan mulia ini dengan tulus dan kerendahan hati, dengan penuh dedikasi dan segenap integritas demi pencapaian kinerja yang optimal terbaik. Segala prestasi, nama besar dan sumbangsih LP3ES kepada negeri tercinta ini merupakan pelecut dan modalitas untuk melangkah ke depan” Ujarnya.
Fahmi Wibawa juga menjelaskan bahwa perjumpaan dengan LP3ES berlangsung cukup lama, ketika beliau menjadi mahasiswa di UGM tahun 1990-an,beliau juga menjelaskan bahwa LP3ES merupakan lembaga yang dibangun dengan fondasi intelektualitas dan menjadi wadah yang kondusif untuk mengasah budaya intelektual yang kuat dan melahirkan pemimpin bangsa yang handal.
Disamping itu beliau juga meyakini bahwa dengan semangat para tokoh pendiri , LP3ES akan terus berupaya menghasilkan kinerja yang terbaik.
“Saya meyakini, dengan menjaga harmoni yang sudah tercipta ini, In sya Allah LP3ES akan tetap eksis dan terus berkiprah untuk kemaslahatan negeri tercinta 50 tahun lagi dan lagi, 50 tahun selanjutnya. Para tokoh yang melegenda seperti Ismid Hadad, M Dawam Rahardjo, Daniel Dhakidae, Soedjatmoko, Taufik Abdullah, Nono Anwar Makarim, SB Judono, Dorodjatun Kuntjara-Jakti, Arief Budiman, Adnan Bujung Nasution, Harlan Bekti, Jusuf Jonodipuro, Sjahrir, Abdullah Sjarwani, Manuel Kaisiepo, Rustam Ibrahim, Imam Ahmad, Ison Basuni, Didik Racbini, Fajar Nursaid, Gus Hamid dan Erfan Maryono menjadi inspirasi dan teladan kami dalam berupaya menghasilkan kinerja terbaik LP3ES.” ujarnya
Selain itu dalam menghadapi tantangan diera digital, beliau menyampaikan bahwa LP3ES akan diarahkan menjadi lembaga yang dapat memberikan edukasi dan tutunan kepada masyarakat.
“Setelah 50 tahun berkiprak, ditandai dengan naik turun perhimpunan baik secara master piece (maha karya) maupun kelembagaan, 50 tahun ke depan LP3ES diharapkan bertransformasi menghadapi tantangan milenials yang sangat dinamis. Ditandai dengan ketepatan dan kecepatan eksekusi kegiatan. Tantangan yang kadang juga menjadi tuntutan dari masyarakat, ke depan lebih diarahkan pada “edukasi” institusi pengembang. In sya Allah tidak lama lagi LP3ES akan memainkan peran strategis dalam salah satu agenda bangsa yaitu mengatasi stunting. Meskipun program ini dijalankan pemerintah, namun karena merupakan agenda bangsa maka dalam pencapaiannya membutuhkan dukungan dan kontribusi segenap anak bangsa termasuk mitra pembangunan. Dalam program ini, selain melakukan advokasi kebijakan, LP3ES juga akan melakukan pendampingan pada institusi pengembang (LSM) daerah.”
Menurutnya LP3ES mesti melakukan strategi menghadapi tantangan ke depan yang setidaknya setidaknya akan bertumpu pada 4 langkah. Pertama, menata organisasi agar langgamnya tararah, teratur namun tetap gesit (agile), responsive, adaptive dan tetap efisien. Dengan eksekutor professional yang dilengkapi TIK yang memadai, diharapkan akan tercapai kinerja LP3ES yang mantap
Kedua, menggerakkan sumber daya dan jejaring LP3ES untuk menjadi income generator lembaga dengan cara-cara kreatif inovatif solutif.
Ketiga, mengelola proses pengawalan bangsa dalam berdemokrasi dan menghormati harkat dan martabat kemanusiaan termasuk HAM. Dalam hal ini termasuk mendorong harmoni dalam kesetaraan Gender dan inklusi sosial.
Keempat, mengembangkan sistem manajemen perubahan yang bersifat continues improvement, yang menempatkan pentingnya partisipasi dari seluruh keluarga LP3ES dalam melakukan transformasi. Passion dan komitmen bersama harus terus dipupuk. Visi, tujuan dan sasaran serta langkah pencapaiannya akan selalu dikomunikasikan supaya tercipta solidaritas lembaga.