Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar seminar daring untuk meluncurkan buku berjudul Refleksi 2024, Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik di Tengah Pusaran Oligarki pada Minggu (16/2/2025).

Acara ini diikuti oleh para pakar, akademisi, dan pengamat politik yang membahas tantangan besar bagi demokrasi Indonesia di masa depan.

Dalam pembukaan acara, Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia tengah berada dalam kondisi kritis. Ia mengutip buku How Democracies Die yang menyatakan bahwa kematian demokrasi bukanlah hal mustahil.

“Apakah demokrasi masih bisa diselamatkan, atau otoritarianisme akan kembali tumbuh? Kita perlu memperkuat gerakan masyarakat sipil sebagai benteng utama dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi,” ujarnya.

Dalam sesi pemaparan pertama, Peneliti LP3ES Malik Ruslan menyampaikan materi berjudul Tantangan Presiden Prabowo: Konteks Penanggulangan Korupsi. Malik menyoroti melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan meningkatnya pengaruh oligarki yang menyebabkan korupsi masif dan sistematis.

Ia menyebut bahwa Indonesia kini dalam kondisi darurat korupsi dan menekankan perlunya langkah tegas dari Presiden Prabowo untuk memperkuat lembaga antikorupsi serta menciptakan efek jera bagi koruptor.

Malik juga menguraikan strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah, termasuk memperkuat independensi KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menghentikan politisasi pemberantasan korupsi, serta menerapkan pendekatan budaya dalam upaya pencegahan korupsi sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menegaskan bahwa reformasi politik telah berakhir. Hal ini menjadi dasar pemilihan judul buku yang diluncurkan.

Menurutnya, berbagai warisan reformasi telah dianulir, mulai dari pelemahan KPK, pengembalian dwi fungsi militer dan kepolisian, hingga lemahnya penegakan hukum.

“Buku Menyelamatkan Demokrasi yang diterbitkan LP3ES pada 2019 sudah memperingatkan ancaman kembalinya otoritarianisme. Kini kita melihat bahwa pelemahan KPK adalah bagian dari ancaman serius terhadap demokrasi,” kata Wijayanto.

Ia juga menyoroti bahwa saat ini tidak ada oposisi politik yang kuat, kebebasan pers semakin terancam, dan media yang kritis sulit bertahan.

“Media seperti Tempo memang masih kritis, tetapi sebagian besar media dikuasai oleh elite ekonomi yang dekat dengan kekuasaan,” tambahnya.

Kebebasan Pers Terancam

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2021-2024, Ika Ningtyas, dalam materinya Kebebasan Pers 2025: Dalam Bayang-Bayang Militer dan Politik Dinasti, mengungkapkan bahwa kebebasan pers di Indonesia semakin tertekan.

Ia mengutip data dari Dewan Pers yang menunjukkan bahwa media siber mendominasi lanskap informasi politik, dengan TikTok sebagai platform utama penyebaran informasi.

“Media sosial seperti TikTok kini menguasai ruang informasi, yang mengancam peran media independen,” kata Ika.

Ia juga mengkritik penggunaan buzzer dan influencer oleh pemerintah untuk membentuk opini publik.

“Kepercayaan publik terhadap media semakin menurun akibat maraknya konten manipulatif,” tegasnya.

Selain itu, revisi Undang-Undang Penyiaran semakin membatasi kebebasan pers, sementara kondisi ekonomi memperburuk situasi media independen.

Menurut Ika, kebijakan ini mengarah pada penurunan kualitas demokrasi karena masyarakat semakin sulit mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.

Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus peneliti LP3ES, Herlambang P. Wiratraman, dalam materinya Represi dan Manipulasi: Tren Menguatnya Serangan terhadap Kebebasan Ekspresi, menyoroti peningkatan represi terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, khususnya di tahun 2024.

Ia mengkritik penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam kritik.

“Kasus aktivis lingkungan Daniel dari Karimunjawa dan buruh Septia yang menghadapi proses hukum panjang menunjukkan bagaimana represi semakin menguat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Herlambang menilai bahwa penguatan militerisme di bawah pemerintahan Prabowo menjadi ancaman besar bagi kebebasan sipil.

“Militerisme yang seharusnya dihapuskan justru menguat. Ini adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita,” tegasnya.

Ia juga mengkritik politik transaksional yang semakin memperlemah hak asasi manusia.

“Produk hukum kini menjadi komoditas yang bisa dibeli, dan HAM hanya menjadi aksesoris penguasa,” jelas Herlambang.

Dalam sesi tanya jawab, Peneliti Senior KITLV Leiden, Ward Berenschot, diminta memberikan pandangannya mengenai situasi demokrasi Indonesia.

Ia menyatakan bahwa reformasi politik telah berakhir dan Indonesia telah memasuki era pasca-reformasi.

“Jokowi terpilih dengan janji memperkuat demokrasi, namun hal itu tidak terjadi. Sementara Prabowo terpilih tanpa janji demokrasi dan justru menegaskan bahwa itu bukan prioritasnya,” ujar Ward.

Menurutnya, kondisi demokrasi di Indonesia semakin memburuk, dan ironisnya, pelemahan demokrasi ini mendapat dukungan publik sebagaimana terlihat dari kemenangan Prabowo.

“Tidak ada lagi pemimpin yang berkomitmen terhadap reformasi, dan tidak ada lagi janji untuk memperkuat demokrasi,” pungkasnya.

di terbitan juga di : https://www.zonasi.id/lp3es-luncurkan-buku-outlook-2024-2025-demokrasi-kritis-dan-reformasi-sudah-berakhir/

Share This