Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024

Pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 15.35 sd. 17.40 WIB, telah berlangsung Serial diskusi “INDONESIA REBORN” bertajuk Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024 secara hybrid di Kantor LP3ES Jln. Pangkalan Jati 71 Cinere. Selain sebagai penghormatan atas peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78, juga sebagai bagian dari rangkaian selebrasi HUT ke 52 lembaga ini berbakti kepada nusa dan bangsa. Narasumber utama dalam diskusi ini yaitu Fachri Ali, Didik J Rachbini dan Bivitri Susanti. Selengkapnya acara ini bisa diikuti di kanal youtube LP3ESTV
https://www.youtube.com/watch?v=n7Fr2nG7ZAM&t=75

Diskusi dipandu oleh Wijayanto, salah satu elit LP3ES yang juga Pakar Ilmu Pemerintahan.

Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa menyebut bahwa kegiatan seperti ini akan digelar terus menerus secara terjadwal sampai dengan 14 Februari 2024 (countdown), sebagai bentuk kepedulian masyarakat sipil atas sepinya diskusi publik mengapa Pemilu 2024  penting buat bangsa ini. Lebih lanjut Fahmi menyampaikan keprihatinannya atas sesaknya pemberitaan media dengan “pertunjukan sirkus” tokoh partai politik menggadang-gadang jago Capres Cawapres-nya, tanpa sedikitpun penyinggung kontribusi yang akan mereka lakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa ke depan. Oleh karenanya, lanjut Fahmi, LP3ES akan mendiskusikan isu-isu strategis countdown 14 Februari 2024 terutama untuk tema-tema seperti Masa Depan Papua dan Kawasan Timur Indonesia Pasca Pemilu 2024, Masa Depan IKN dan PSN Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilu 2024, Lingkungan dan Tata Kelola Pertambangan Pasca Pemilu 2024, Tata Kelola Energi Pasca Pemilu 2024, Ruang Digital dan Kebebasan Sipil Pasca Pemilu 2024, Demokrasi Lokal dan Oligarki Politik Pasca Pemilu 2024, Pemerintahan Desa dan Pembangunan Kesejahteraan Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Industri dan Kesejahteraan Buruh Pasca Pemilu 2024, Partai Politik dan Relawan Politik Pasca Pemilu 2024 dan Masa Depan Ideologi dan Etika Berbangsa Pasca Pemilu 2024.

Dalam penjelasannya, secara ekonomi, Didik Rachbini menyoroti tingginya ketimpangan ekonomi yang bisa menjadi faktor distabilitas dalam berdemokrasi. Kapasitas ekonomi yang besar, dengan pertumbuhan investasi yang terus menjulang, tidak akan memberikan efek kesejahteraan rakyat karena dana APBN banyak digelontorkan dalam bentuk aneka subsidi. Memang secara politik banyaknya subsidi yang diberikan kepada rakyat akan membuat siapapun presidennya populis. Namun ke depan, Didik mengingatkan, Bangsa ini akan tetap dalam middle income trap bila presiden hasil Pemilu 2024 nanti meneruskan kebiasaan presiden-presiden sebelumnya seperti SBY dan Jokowi, yang banyak menebar subsidi tanpa dimbangi dengan peningkatan kebijakan mendasar untuk industrialisasi yang memajukan rakyat.

Dari sisi hukum, Bivitri Susanti menyampaikan bahwa KUHP masih dengan wajah paradigma kolonial dimana hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan keinginan penguasa. Demikian halnya dengan turunan hukumnya pun masih sama. Berita bohong yang menimbulkan keonaran digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Hukum sebagai alat untuk meraih capaian pembangunan seperti undang-undang cipta kerja dalam mengejar capaian ekonomi. Dan cenderung abai terhadap hak-hak manusia dan lingkungan. Demikian juga UU Minerba yang dibuat dalam paradigma capaian ekonomi atau investasi yang menguntungkan bagi invenstor tapi tidak bagi rakyat

Kedepan, lanjut Bivitri, Presiden yang layak pilih  yaitu presiden yang mampu mengubah cara pandang hukum, sehingga menjadi instrumen bagi negara untuk memenuhi hak konstiusional warga. Presiden mendatang mesti bisa menempatkan tata kelola di bidang hukum berjalan secara teknokratis.

Secara politik, Fachry Ali memberi ilustrasi yang sangat runtut dan menarik, dengan mengambil pelajaran fenomena berharga 100 tahun lalu, sekitar tahun 1924 manakala para intelektual dan cendekiawan menjamur dan leluasa mengartikulasikan tujuan kemerdekaan. Saat itu, bibit kaum terpelajar melahirkan gerakan nasional yang memunculkan gagasan dan ide kemerdekaan 1945.

Saat ini partai politik mengalami krisis gagasan ideal tentang Indonesia ke depan. Krisis gagasan ini menyebabkan panggung politik Indonesia sepi dari perbincangan tentang gagasan Indonesia pasca pemilu 2024. Reintelektualisasi politik Indonesia mendesak untuk dilakukan.

Lebih lanjut Fachri menyatakan, partai politik lah yang seharusnya merumuskan Indonesia ke depan, bukan hanya sibuk karena bingung untuk sekedar menentukan cawapres pemilu 2024 mendatang. Artinya, reintelektualisasi Politik Indonesia penting dan mendesak untuk dilakukan supaya pilihan-pilihan politik tidak semata disandarkan pada political forces (basis massa pendukung) seperti yang berlangsung saat ini namun juga ditentukan oleh kalkulasi ideologis yang bermuatan gagasan ideal tentang masa depan Indonesia.

Balada Korupsi di Negara Hukum dan Demokrasi

Balada Korupsi di Negara Hukum dan Demokrasi

Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) kembali mengadakan Scholarium, kali ini dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia yang bertepatan pada Jumat, 9 Desember 2022. Acara ini diselenggarakan secara sistem hybrid dan dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat. Menghadirkan narasumber ahli dibidangnya, tema yang dibahas mengenai “Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia: Peran Intelektual dan Kemunduran Demokrasi”.

Demokrasi Tak Menjamin Mengerem Laju Korupsi

Malik Ruslan, selaku narasumber ahli mengawali pembicaraannya dengan berulang kali  mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya. Ia menganalogikan budaya korupsi seperti pohon besar yang tumbuh rimbun, tinggi, berbatang kokoh, serta akarnya yang menghujam bumi, namun tindakan yang dilakukan untuk merobohkan pohon [baca: korupsi] justru dengan menebasnya menggunakan pisau silet [baca: hukuman ringan]. Akibatnya tidak ada efek jera yang muncul, di tingkat pejabat pemerintahan misalnya, korupsi meningkat karena ketidakberdayaan hukum untuk merefleksikan sepenuhnya dampak korupsi bagi kerugian negara dan masyarakat.

“Di tahun 2021 ada 686 oknum kades korupsi dana desa, kalau dibandingkan di tahun 2019 masih sekitar 400-an. Artinya ada peningkatan, jadi dimana kita bisa mengatakan bahwa kita berhasil mencegah korupsi. Semakin banyak uang yang mengalir, semakin banyak pelaku korupsi”, terang peneliti dan editor senior LP3ES ini.

Korupsi dalam ranah kekuasaan memang sangat rentan, kepemilikan jabatan dimanfaatkan pejabat untuk melakukan korupsi jual beli jabatan. “Pejabat publik katakanlah kepala dinas mengelola uang 6 miliar untuk pengadaan proyek, maka 10% nya menjadi milik dia. Seperti kasus pembangunan jembatan di Surabaya yang nilai pembangunannya 5 miliar, itu walikota dapat 10% nya. Cara berpikir itu di tahun 90-an sudah ada terbawa hingga sekarang”, lanjutnya.

Bahkan menurutnya bentuk pemerintahan demokrasi belum bisa menghambat korupsi. Dalam kasus di Indonesia katanya tidak ada hubungan kausal antara demokratisasi dengan menurunnya korupsi. Norma atau perilaku yang ditimbulkan oleh demokrasi tidak cukup untuk menghilangkan praktik korupsi yang masif. Menurutnya mengangkat isu moralitas menjadi penting, karena korupsi pada dasarnya sebagai masalah moralitas. Hilangnya moral dalam kehidupan keseharian menjadi pemicu utama membudayanya korupsi.

“Muhsin al Attas bilang begini, kalau suatu negara mempunyai kebebasan pers, akan menghambat korupsi pada tingkat atas. Kalau di kita nggak kan, persnya kita sudah bebas, tapi korupsi tetap jalan terus. Juga seharusnya bila ekonomi maju, pendidikan turut ikut berkembang, besar kemungkinan pendidikan menjadi instrumen terbentuknya nilai-nilai kejujuran, dengan begitu menjadi alat untuk menghambat korupsi. Di sini juga nggak. Jadi Indonesia tempat mengubur seluruh tesis-tesis tentang hubungan antara demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebebasan pers kaitannya dengan korupsi”, pungkasnya.

Sementara menurut Andri S Nugraha, pengamat di Public Virtue Research Institute menyatakan hubungan kausalitas antara faktor-faktor yang seharusnya menjadi penghambat korupsi tidak langsung memiliki efek yang signifikan. Terdapat faktor lain yang menyebabkan diantara beberapa faktor saling tarik menarik.

“Mungkin saja dalam tata kelola pemerintahannya sudah cukup transparan, sistem pengawasannya baik namun masih terdapat celah-celah untuk kolusi. Misalkan kasus pengadaan barang dan jasa yang telah terikat janji penerimaan hadiah, bila dimenangkan kerabat atau rekanannya kemudian mendapat imbal hasil”.

Berbicara mengenai korupsi sebagai tanda-tanda kemunduran demokrasi, berdasar hasil riset yang dikeluarkan oleh Ekonomi Intelligence Unit (EUI), Indonesia dikategorisasikan masuk sebagai negara demokrasi mengambang. Meskipun begitu peringkat Indonesia berada di atas rata-rata penilaian demokrasi  dunia secara akumulatif.

Tapi dalam kurun waktu 2 hingga 3 tahun terakhir kasus yang terjadi di Indonesia telah memberi sinyal bahwa Indonesia mengalami regresi demokrasi. Regresi demokrasi bisa diidentifikasi melalui gejala-gejala diantaranya penyalahgunaan hukum dan keberpihakan aparat penegak hukum, pertarungan politik zero sum game, kuatnya pengaruh oligarki, dan desain pemilu yang melanggengkan barrier to entry.

“Analisa yang saya lakukan beberapa waktu lalu dapat disimpulkan bahwa kondisi demokrasi, termasuk penegakkan hukum dan praktik koruptif dihasilkan dari reformasi yang tidak tuntas. Agenda reformasi hukum sebetulnya perlu dikedepankan, namun belakangan reformasi hukum malah melempem. Konsen pada kualitas hukum punya kaitan yang sangat erat dengan kondisi demokrasi dan praktik koruptif di Indonesia. Satu kerusakan dari sisi hukum akan berpengaruh terhadap sendi-sendi negara yang lain. Itu disebabkan karena hukum menjadi alat atau akses utama pelaksanaan demokrasi”, pungkasnya.

Korupsi dan Hilangnya Kepekaan Publik

Beda halnya dengan yang diungkapkan Bilal Soekarno, ia menyorot hal prinsipal seperti pendefinisian korupsi yang ia sebut perlu diperiksa ulang. Secara KBBI korupsi hanya didefinisikan sebagai penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, padahal menurutnya korupsi tidak memiliki bentuk sesederhana itu.

“Misalkan dalam bentuk lainnya korupsi bisa bermakna sebagai perilaku koruptif dalam penegakkan atau pembentukkan produk hukum yang tidak berpihak pada keadilan masyarakat. Pada tahun ini saja sudah disahkannya Undang-Undang (UU) kontroversial yaitu UU Minerba dan UU Omnibus Law yang menuai polemik dan kecaman dari berbagai elemen masyarakat”, terang Ketua BEM UPN Veteran Jakarta ini.

Bilal mempertanyakan ketidakadilan hukum di negeri ini yang jelas-jelas merugikan masyarakat umum namun tidak pernah dinyatakan sebagai perbuatan koruptif. “Untuk demikian itu sebenarnya belum sampai kita rumuskan. Korupsi jangan hanya didefinisikan sebagai penyelewengan uang saja, karena banyak sekali tingkah laku penyelenggaraan negara yang seharusnya layak dikatakan korupsi”.

Menurutnya lagi pelabelan untuk seorang koruptor sudah hilang kesakralannya. Justru oknum-oknum yang terjerat dalam kasus korupsi masih memperoleh pembelaan dari segelintir publik. Padahal menurutnya oknum yang melakukan tindakan korupsi tidak lagi memiliki rasa cinta atau jiwa nasionalisme untuk membangun bangsa dan kepentingan umum.

Bilal memaparkan bahwa tindakan korupsi yang didominasi kalangan pejabat pemerintahan dan pemilik modal diakibatkan semakin berkembangnya sistem kapitalisme. Asas kapitalisme yaitu dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya memfasilitasi manusia untuk serakah karena mendasarkan dirinya pada penuhanan individualisme. Karena sistem ini sudah menghipnotis hampir semua kalangan penguasa di berbagai tingkatan baik secara pikiran, moral, dan budaya, sehingga pengumpulan kekayaan materi melalui korupsi menjadi semakin merajalela.

Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES)
Universitas Negeri Jakarta.

Agama, Politik dan Negara : Dari Oligarki Hingga Khilafahisme

Agama, Politik dan Negara : Dari Oligarki Hingga Khilafahisme

Pada Senin 5 Desember 2022 dilaksanakan Peluncuran Buku baru Terbitan LP3ES yaitu ‘Teokrasi, Sekularisme, dan KhilafahIsme’ serta ‘Oligarki dan Totalitarianisme Baru’, yang ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie. Peluncuran buku tersebut sekaligus acara pemberian rekor muri kepada Prof. Jimly sebagai  penulis indonesia yang menerbitkan buku  tentang Hukum, Demokrasi dan Sosial terbanyak yaitu 75 buku, Selain itu juga pada acara tersebut sekaligus meluncurkan Jimly Books Corner di 10 Universitas.

Buku yang berjudul Teokrasi, Sekularisme, dan KhilafahIsme, menyajikan kumpulan tulisan yang berkaitan dengan eksistensi paham ketuhanan dan keagamaan dalam konteks kehidupan bernegara, termasuk relasi antara hukum agama dengan sistem hukum nasional. Berbagai paham tersebut hadir sebagai mazhab berpikir yang sejak akhir abad ke-20 kembali mengemuka sebagai gagasan bahkan diasumsikan sebagai prinsip ideal untuk dipraktekkan di zaman modern.

“Umat Islam harus mengakui bahwa “khalifah dan kekhalifahan” itu hanyalah istilah. Esensi pelembagaannya ada, dikenal, dan dipraktikkan di dan oleh semua agama dan peradaban di sepanjang sejarah umat manusia. Yang berbeda hanya istilahnya saja, sesuai dengan tradisi bahasa masing-masing kebudayaan dan peradaban. Karena itu, jangan ada pemutlakan atas ajaran kekhalifahan yang oleh ilmu pengetahuan dipandang sudah “ketinggalan zaman” yang jika dipaksakan untuk diterapkan justru akan menimbulkan konflik, perpecahan dan permusuhan”– hlm 170 

Selain itu dalam buku yang berjudul Oligarki dan Totalitarianisme Baru Prof Jimly memberikan penjelasan terkait dengan oligarki yang justru di indonesia saat ini bermain di depan layar. Terlebih lagi bahwa saat ini kekuatan oligarki harus dapat dicegah dan tidak boleh kekuaasaan dipegang satu tangan

“Dalam buku saya ini saya menggambarkan bahwa kekuasaan itu filosofinya harus dicegah, jangan dipegang di satu tangan. Intinya, kekuasaan itu harus check and balance,” Ujarnya 

***

Degradasi dan Penyimpangan dalam Sistem Penegakkan Hukum di Indonesia

Degradasi dan Penyimpangan dalam Sistem Penegakkan Hukum di Indonesia

Sekolah Hukum Kritis angkatan pertama resmi diselenggarakan selama tiga hari yakni pada  tanggal 17 – 19 Oktober 2022. Peserta terdiri dari mahasiswa dengan latar belakang hukum, pengacara, staf YLBHI-LBH, LSM, pers mahasiswa, dan internship LP3ES. Sekolah Hukum Kritis yang diselenggarakan LP3ES ini bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Mengundang sejumlah narasumber ahli yang berkompeten pada bidangnya, Sekolah Hukum Kritis yang dilaksanakan secara hybrid meeting ini mengusung tajuk “Peningkatan Kapasitas Mengawal dan Mengadvokasi Kasus Hukum dan Pelanggaran HAM terkait Proyek Strategis Nasional (PSN).”

Sekolah hukum kritis dilaksanakan untuk memberi jawaban atas kebutuhan dan kegelisahan penstudi hukum mengenai pergulatan kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi yang saling tarik menarik. Selubung relasi kekuasaan dengan relasi ekonomi yang kerap mengintervensi hukum menyebabkan produk hukum rentan akan tabir ketidaksempurnaan. Ikhtiar sekolah hukum kritis adalah memahami wajah hukum dengan sebenar-benarnya melalui pemikiran-pemikiran dalam studi hukum kritis menurut konteks perkembangan hukum di Indonesia.

Logika Hukum Critical Legal Studies

Berangkat dari diskursus pemikiran dalam studi hukum kritis, Widodo Dwi Putro selaku narasumber ahli menyampaikan bahasan perihal filsafat hukum kritis. Pembicara yang juga merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia menekankan pemahaman studi hukum Critical Legal Studies (CLS) untuk memahami persoalan hukum secara utuh dan kritis melalui penggabungan perspektif ilmu hukum dan ilmu sosial.

Menurut Widodo lahirnya CLS dapat dilacak berdasarkan aliran hukum yang mendahuluinya, realisme hukum menjadi sumber inspirasi di balik kemunculan CLS dalam menganalisa permasalahan dan kenyataan hukum. “Realisme hukum melihat dan memahami realitas seperti apa adanya, tidak bertanya secara kritis. Pandangan hukum perlu dianalisis dari faktor-faktor non hukum, melalui pendekatan ilmu sosial,” ujarnya.

Berkembangnya CLS memberikan alternatif pemikiran dan metodologi untuk digunakan para peneliti hukum dalam mengetahui persoalan hukum secara lebih humanis. CLS berupaya memberikan jawaban atas kesenjangan antara idealitas norma dengan realitas sosial.

“Hukum tidak semata-mata diputuskan melalui apa yang tersampaikan secara teks, namun juga perlu memberi makna atas konteks. Disanalah hukum seharusnya bekerja dengan melihat kenyataan di luar dari dinamika perbuatan hukum itu sendiri.”

CLS mengungkap analisis dan budaya hukum dengan menawarkan analisis kritis terhadap hukum sebagai produk yang tidak netral. Produk hukum bertumpu pada  pada kepentingan-kepentingan yang tersembunyi di belakangnya, mempertimbangkan berbagai faktor seperti preferensi ideologis, nilai-nilai, konteks politik, dan jalinan ekonomi.

Fachrizal Afandi, selaku narasumber ahli, sekaligus dosen Fakultas Hukum Brawijaya memaparkan bahwa nya studi hukum kritis dapat dikaji berdasarkan pendekatan interdisipliner. Misalnya praktisi hukum yang sedang mempelajari hukum sebagai entitas sosial akan menggunakan studi interdisipliner untuk mencari jawaban dengan merangkul penafsiran sosiologi hukum, atau hukum dan ekonomi. “Model kontekstual untuk studi hukum ini mengambil pendekatan kontekstual yang luas. Memeriksa legitimasi tatanan hukum dari perspektif yang lebih kaya,” terang Fachrizal.

Pendekatan interdisipliner memungkinkan persoalan-persoalan hukum menemukenali jawaban hukum yang holistik. Artinya melalui lintas ilmu yang relevan memberi justifikasi tentang paradigma-paradigma hukum.  Pembentukan hukum senantiasa mengadakan interaksi dan negosiasi berbagai kelompok masyarakat. Hukum sarat akan dimensi yang mempertemukan diskursus antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Hukum doktrinal hanya akan mengisolasi hukum dari konteks sosial politik, dan membuat hukum tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial, diskriminasi ras, gender, kelas, atau agama.

Menguak Dominasi pada Legitimasi Hukum

Di hari kedua sekolah hukum kritis, Herlambang Wiratraman, Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES berbicara mengenai analisis diskursus sebagai studi linguistik.  Ini merupakan suatu kajian terhadap analisis wacana yang secara khusus mengkaji  makna atau pesan yang bukan dari unsur kebahasaannya, melainkan mengaitkannya dengan konteks. Cara yang digunakan untuk membongkar makna atau pesan komunikasi yang terdapat dalam suatu teks. “Ucapan bisa kita analisis, tulisan bisa kita gugat. Kata perkata, ungkapan, bahkan intonasi menjadi penting dalam ilmu kebahasaan,” terangnya.

“Analisis wacana kritis dapat digunakan untuk menyelidiki bagaimana bahasa dijadikan alat bagi kelompok sosial yang saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Analisis wacana kritis berupaya membongkar maksud-maksud terselubung dari sebuah wacana yang beredar di masyarakat,” ucapnya.

Herlambang mencontohkan narasi dominan “Good Governance,” yang bila diharfiahkan berarti manajemen atau tata kelola pemerintahan yang baik. Ia menyebut konsep good governance ini sangat dominan dalam memproduksi atau melipat gandakan wacana.

“Sebenarnya yang dikritik dari good governance itu adalah watak liberalisme politik dan ekonominya. Orientasinya pada keuntungan bisnis, sehingga watak pembaharuan hukum justru memperlihatkan pembaharuan yang ramah pasar,” tutupnya

Hukum juga menjadi problematis bagi permasalahan-permasalahan gender, secara menyeluruh hukum belum sepenuhnya mewakili harapan-harapan mengenai kesetaraan dan keadilan gender. Sekolah hukum kritis mencoba menggugat langgengnya penormalisasian ketidakadilan yang selama ini memasung kebebasan perempuan, materi yang disampaikan Lena Hanifah akan berfokus pada feminisme sebagai hukum legal teori.

Teori feminisme legal lahir dari pemikiran kaum feminis, suatu gerakan yang berpandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin, dan kelas (relasi patriarki dan kapitalisme) sehingga perlu memperjuangkan untuk penghapusan tersebut dengan meningkatkan otonomi dan hak-hak perempuan.

Ketertindasan gender akibat relasi dominasi yang dipertahankan hingga saat ini muncul dalam bentuk yang mengerikan, misalnya kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap perempuan. Produksi ulang pemikiran-pemikiran tubuh perempuan sebagai properti menyebabkan perempuan dijadikan komoditas dan instrumen seksualitas. Doktrinasi tubuh perempuan menggulirkan dampak yang sangat serius, kasus pemerkosaan kerap tidak berperspektif pada keadilan korban, secara proses hukum tidak setuntasnya menyelamatkan dan melindungi hak-hak perempuan.

Menurutnya lagi di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perkawinan, teks hukum berpotensi diinterpretasi secara bias sehingga keberpihakan terhadap perempuan masih sangat dipertanyakan. Instrumen hukum yang perlu diperiksa ulang misalnya pada peraturan perundang-undangan pasal 31 ayat 3, kemudian bersambung lagi pada pasal 34 ayat 1 dan 2.

Bunyi pasal tersebut menurutnya menimbulkan interpretasi bias. Sehingga bila terjadi kekerasan rumah tangga  dengan alasan istrinya tidak bisa memasak, suami yang melakukan kekerasan tersebut beranggapan bahwa istri tidak menjalankan dan mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dalam tanda kutip hal ini menjadi dibenarkan sebagai alasan berbuat kekerasan. Termasuk yang dianggap oleh masyarakat akibat terinternalisasi pikiran yang tumbuh di masyarakat sejak lama, sehingga berpotensi timbulnya tuduhan-tuduhan yang tidak diinginkan kepada pihak perempuan. “Permasalahan hukum yang dihadapi dalam isu gender ini adalah permasalahan yang sensitif, rumit, dan diskriminatif,” ujarnya.

Melihat hukum dengan perspektif yang lebih luas, maka yang tak luput menjadi perhatian adalah konteks gerakan adat di Indonesia dalam studi mengenai gerakan hukum adat. Yance Arizona, Dosen Fakultas Hukum UGM melihat terbentuknya masyarakat adat yang secara signifikan berkembang selepas kolonial belanda membuat hukum adat memiliki posisi penting dalam fondasi pembangunan hukum nasional. Menguatnya hak adat sebagai konstitusional diatur setelah amandemen UUD 1945 tentang pengujian UU kehutanan dan hutan adat dalam wilayah masyarakat adat.  Kasusnya seperti yang terjadi pada kawasan Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Setelah melalui perjuangan oleh masyarakat adat, rencana operasi perusahaan penebangan kayu dibatalkan dan penetapan hutan adat diberlakukan.

Dalam sangkut pautnya mengenai perlawanan oleh masyarakat adat. Yance memberi gambaran sosok inspiratif bernama Jaro Wahid, berasal dari Kabupaten Lebak, Banten, ia adalah kepala desa yang menginisiasi gerakan masyarakat dan membangun NGO kala wilayah yang dikepalainya terdampak perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak pada tahun 2013. Jaro memperkuat institusi adat dan lembaga sosial inklusif yang mengedepankan partisipasi antara perempuan dan pemuda.

Konflik antara masyarakat pemilik hak atas tanah dengan hegemonik kapitalisme melalui kegiatannya ekstraktifnya tidak selalu ditampilkan secara terbuka sebagai perlawanan masyarakat adat.  “Meskipun sebenarnya mereka tidak mengeksplisitkan sebagai gerakan masyarakat adat, tapi dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh masyarakat lokal mereka memiliki cara pemahaman kearifan lokal dalam memaknai alam dan kehidupan,” tutupnya

Sehingga yang terpenting bagi Yance adalah bagaimana membangun dialog-dialog pengetahuan yang dimiliki masyarakat dan pengalamannya, dengan pengetahuan yang diproduksi oleh mazhab-mazhab pembangunan untuk menentukan ukuran-ukuran yang bersifat kearifan.

Keroposnya Paradigma Penegakkan Hukum

Hari terakhir penyelenggaraan Sekolah Hukum Kritis, Herlambang Wiratraman dalam pembahasan hukum, impunitas, dan ketidakadilan memberikan wawasan perihal kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang sampai saat ini kasusnya masih belum terselesaikan. Menurut pandangannya, problem HAM yang macet dalam proses pengungkapan kasusnya merupakan refleksi mudahnya hukum menawarkan produk impunitas. Biasanya ini terjadi dari kegagalan pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku.

Imunitas melahirkan sistem sosial budaya yang permisif, menihilkan tindak kesewenang-wenangan. Ini juga menjadi cerminan kuasa politik yang bekerja atas hukum dan penegakannya. “Imunitas direfleksikan dengan adanya problem pertanggungjawaban hukum, ini berpotensi terjadi karena adanya kekacauan secara teknis dan prosedural, menguatnya politik dan politisasi, ketertundukan hukum pada kuasa modal, dan institusionalisasi rasisme seperti dalam kasus Papua,” imbuhnya.

Apalagi kasus pelanggaran HAM berat secara non yuridisial tidak cukup dilakukan dengan dasar keputusan presiden. Tujuan dari Keppres hanya seputar pemenuhan hak korban dan keluarga korban. “Penyelesaian perkara HAM berat harus menggunakan dasar Undang-Undang (UU), Konsekuensi dari UU juga panjang, mulai dari anggaran sampai aturan turunan.”

Rentetan kasus pelanggaran HAM yang belum menemukan titik terangnya menjadi refleksi kritis atas kegagalan hukum untuk melahirkan suatu kepastian hukum. Kasus Munir, kasus Paniai, dan kasus Novel Baswedan seakan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Representasi formal ketatanegaraan yang dikendalikan kuasa oligarki dan sistem yang menguatkan otorianisme menjadi aktor melemahnya kekuatan hukum. “Cerminan merosotnya kehidupan bernegara dalam menyelenggarakan peradilan hukum berarti pula melemahnya perlindungan hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial,” terangnya.

Bersamaan belum integralnya kepastian hukum yang menjamin segenap lapisan masyarakat, catatan hitam lainnya adalah keamanan dan ancaman kebebasan sipil yang memasung kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat sipil. Menurut Milda Istiqomah, Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, meski ancaman terorisme dan keamanan masih ada, namun pendekatan keamanan dan militerisasi harus dikritisi sebab potensi ancaman demokrasi yang sedang meningkat justru pelanggaran terhadap kebebasan dasar manusia.

Corak sistem otoriter bahkan kolonialistik dapat dijumpai dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Alih-alih memperbaiki produk hukum pidana yang masih belum maksimal dan goyah penegakkannya. Justru terbitanya RKHUP ini menjadi kontroversi di masyarakat, beberapa pasal RKUHP dianggap menimbulkan pasal karet. “RKHUP lebih diarahkan untuk melindungi kepentingan politik, negara, dan kelompok masyarakat, ketimbang mencari keseimbangannya dengan kebebasan sipil dan hak-hak individu,” jelasnya.

Akibatnya hukum pidana tidak lagi dilihat sebagai ultimatum remedium, tetapi difungsikan sebagai instrumen penekanan atau pembalasan untuk menjawab semua penyakit masyarakat. Bahkan tindakan hukum yang kerap menyasar masyarakat sipil  tergolong diupayakan dengan cara-cara represif. “Alih-alih mengejar supremasi hukum, pemerintah melegitimasi tindakan melalui pembentukan atau perubahan hukum yang rentan ditafsirkan secara luas,” tutupnya.

Penulis : Yoga Maulana (Internship LP3ES)

Universitas Negeri Jakarta

RKUHP dan Problem Aktivisme Digital Saat Ini

RKUHP dan Problem Aktivisme Digital Saat Ini

Di zaman yang kian dinamis seperti sekarang ini, manusia membutuhkan pemikiran dan gagasan yang dapat menembus zaman dan waktu dalam membebaskan manusia pada  dunia yang absolutisme dan dogmatis. Era revolusi industri 4.0 saat ini yang sudah bergerak ke arah society 5.0 sudah barang tentu memiliki kehidupan yang jauh lebih problematis. Revolusi pengetahuan ke arah yang lebih baik mesti dilakukan untuk menghidupkan kembali kanal-kanal yang redup akibat pertarungan narasi yang justru menguatkan kontroversi dari pada untuk menyelesaikan suatu masalah. Padahal persoalan-persoalan bangsa saat ini jauh lebih serius untuk diselesaikan dari pada hanyut pada hiruk pikuk perang narasi yang tidak kunjung memberikan alternatif jawaban.

Media Sosial dan Aktivisme

Dalam sekitar satu dekade terakhir kebanyakan masyarakat Indonesia begitu antusias mengadopsi berbagai platform digital di media sosial dan aplikasi pesan instan. Penetrasi teknologi yang begitu pesat kerap kali dibungkus dalam narasi techno-utapianism yang terkait dengan harapan pertumbuhan ekonomi. Namun pemanfaatan platform media sosial juga mesti dilihat pada konteks penguatan demokrasi dan perubahan sosial dimasyarakat yang kerap kali menjadi tantangan Indonesia kedepan.

Oleh karenanya istilah aktivisme digital atau peran masyarakat dalam menggunakan teknologi digital dalam berbagai gerakan sosial di masyarakat khususnya di Indonesia menjadi penting untuk diamati. Hal ini juga terkait dengan algoritma yang mendasari bagaimana media sosial bekerja, sehingga pelaku aktivisme digital dapat terlihat / visible dan “populer”  pada  masyarakat luas dengan tanpa menghilangkan esesnsi dan substansi dari aktivisme tersebut. Dengan begitu kita dapat membandingkan bagaimana aktivisme itu bekerja dari waktu ke waktu dengan berbagai perubahan teknologi yang massif, misalnya pada aktivisme tahun 66, 98 dan hingga masa kini.

Ruang Publik Digital

Untuk itu penting melihat ekosistem aktivisme secara komprehensif dan holistis dengan tidak hanya memperlihatkan faktor teknologi, namun faktor kondisi sosial dan budaya serta konteks historis dari aktivisme dan berbagai gerakan sosial yang muncul dan berkembang dimasyarakat. Dalam konteks ini rasionalitas masyarakat dalam bermedia sosial mestinya ditingkatkan agar tidak terjadinya perdebatan publik yang emosional dan menuju kepada irasionalitas.

Menurut Habermas, ruang publik atau yang disebut sebagai public sphere, harusnya dapat meningkatkan diskursus dimasyarakat—namun dalam kenyataannya di Indonesia malah menimbulkan emosional yang mendalam diantara kelompok masyarakat dan menimbulkan polarisasi yang cukup tajam. Menurut Ubedillah Badrun yang merupakan dosen UNJ sekaligus aktivis 98 beliau mengatakan :

“ Masyarakat kita sudah mengalami irasionalitas didalam digital public sphere itu, nah pr kita bagaimana menggiring netizen itu menjadi rasional, dengan menumbuhkan rasionalitas maka diskursus menjadi lebih hidup dan isu isu publik harus menjadi bahan perdebatan, bukan bahan caci maki, perlu ada edukasi digital”, ujarnya dalam podcast LP3ES

Oleh karenanya dibutuhkan kembali pemikiran yang rasional di era digital saat ini agar perdebatan publik menjadi semakin berisi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Dalam buku Nestapa Demokrasi : Dimasa Pandemi, Refleksi 2021 Outlook 2021 dijelaskan bahwa semakin banyak akun –akun anonim (Buzzers) dan bahkan akun-akun robot  (bots) yang justru  lebih mengejar kuantitas semata untuk memadati ruang publik ketimbang bobot argumentasi.[1]

Dampak RKUHP

Apalagi saat ini perdebatan publik mengenai Rancangan UU KUHP yang masih menuai pro dan kontra. Banyak akademisi menilai bahwa RKHUP ini berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi para aktivis. Dalam webinar LP3ES Milda Istiqomah peneliti LP3ES mengatakan bahwa :

“Mengapa RKUHP ini masih berpotensi mengancam demokrasi? Mengapa saya masih menggunakan kata berpotensi karena harapannya RKUHP ini tidak mengancam demokrasi. Karena sudah banyak pakar hukum dan politik yang mengatakan bahwa rezim ini sudah beranjak ke sistem otoriter. Apakah RKUHP ini akan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan? Inilah yang harus kita jawab bersama.”

Terlebih juga alih-alih mendemokratiskan hukum pidana, RKUHP disinyalir ini mengancam kebebasan dasar & HAM. RKUHP lebih digunakan untuk melindungi kepentingan politik negara dan kelompok masyarakat ketimbang mencari keseimbangannya dengan kebebasan sipil dan hak-hak individu.

 Jumhur Hidayat yang merupakan aktivis dan penulis  buku Bumi Putera Menggugat juga mengatakan bahwa UU yang berkaitan langsung dengan kebebasan sipil dan politik ini mestinya harus segera dicabut seperti misalnya yang tercantum Peraturan Hukum Pidana tahun 1946, pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum dan pasal penghasutan, serta pasal-pasal ujaran kebencian (hate speech) dan pencemaran nama baik dalam dalam UU ITE.

Menurutnya Setidak-tidaknya pasal-pasal yang karet tersebut tidak lagi digunakan untuk menjerat pemikran kritis dari kalangan masyarakat sipil dan politik dalam hal ini adalah yang beroposisi dengan penguasa. Siapapun yang berkuasa baik itu pada cabang eksekutif maupun legislatif bertanggung jawab untuk segera mencabut atau menghapuskan atau setidak-tidaknya membuat aturan turunannya sehingga tidak bisa lagi menjerat masyarakat sipil dan politik yang mengritik atau bahkan mengecam pemerintah yang berkuasa.

Gerakan Sosial Saat ini

Meskipun saat ini perlawanan masyarakat sipil masih lantang bersuara untuk menolak beberapa pasal yang ada di RKHUP, baik akademisi kritis yang berperan sebagai intelektual publik sebagai public opinion leader dan mahasiswa –mahasiswa kritis yang bersedia turun kejalan, namun perlawanan tersebut selalu dilemahkan oleh para oligarki. Misalnya pasukan siber yang berhasil mengalahkan intelektual organik di ruang digital publik. Kampus mengalami normalisasi seperti zaman orde baru, demonstrasi dihadapi dengan represi.

Selain itu juga permasalahan gerakan sosial saat ini adalah perlawanan yang dilakukan masih terfragmentasi dan tidak cukup terkonsolidasi. Untuk itu perlu membangun sinergi dikalangan elemen masyarakat sipil ,aktivis,akademisi, agamawan dan jurnalis agar tidak lagi Indonesia terpelosok ke jurang otoritarianisme.***


[1] Wijayanto et al (2021). NESTAPA DEMOKRASI DI MASA PANDEMI: REFLEKSI 2020, OUTLOOK 2021, 205.

Ketidakadilan Sistemik Masalah Utama Kekerasan Terhadap Perempuan

Ketidakadilan Sistemik Masalah Utama Kekerasan Terhadap Perempuan

Direktur Pusat Gender dan Demokrasi Julia Suryakusuma mengungkapkan bahwa dari ketiga kekerasan yang dihadapi perempuan kekerasan struktural  merupakan jenis  kekerasan terburuk karena seperti tidak disengaja dan lebih sulit untuk ditangani, hal itu disampaikan pada webinar pusat gender dan demokrasi 30/6/2022.

“Kekerasan struktural merupakan jenis kekerasan yang terburuk karena tidak langsung dan seperti tidak disengaja, misalnya kelaparan kekurangan pangan, kelangkaan minyak goreng, tidak ada akses terhadap pelayanan kesehatan, yang merupakan hasil kebijakan ekonomi kapitalis dan distribusi kekayaan yang tidak adil. Hal ini terkadang menyebabkan penyebab kekerasan struktural tidak terlihat jelas sehingga lebih sulit ditangani.” Ujarnya

Menurutnya kekerasan struktural itu muncul akibat stratifikasi sosial sehingga pemenuhan kebutuhan dasar manusia yaitu kelangsungan hidup, kesejahteraan, identitas yaitu suku agama dan seksual kebebasan berpendapat, dan lain lain tidak terpenuhi bahkan secara aktif dihalangi.

Ketidakadilan Sistemik Perempuan

Selain itu senada dengan Julia, Direktur Pusat Hukum dan HAM LP3ES,  Herlambang P. WIratraman menyatakan kekerasan struktural itu telah diperkuat dan diawetkan oleh ketidakadilan sistemik melalui korupsi.

“Ketidakadilan struktural ini begitu sistemik dan itu menguatkan dan mengawetkan lapisan kekerasan struktural, misalnya Korupsi Sistemik yang begitu banyak melahirkan kekerasan struktural karena dampaknya sungguh nyata terhadap perlindungan pemenuhan hak ekonomi, sosial budaya yang jelas jelas akan  menyingkirkan hak perempuan.” Ucapnya

Herlambang juga menjelaskan kekerasan struktural juga terus dilakukan melalui 3 hal utama yaitu institusionalisasi yang menggunakan instrumen demokrasi–sistem hukum untuk menindas perempuan, poverty lingkaran setan kemiskinan, dan tantangan proses serangan siber manipulasi dan pendangkalan informasi.

Wiyanti Eddyono yang merupakan dosen hukum pidana UGM  juga menambahkan Dalam kondisi sekarang perempuan kerap terjerat diskriminasi yang berlapis baik karena perempuan agama minoritas, perempuan sebagai kepala keluarga  yang  terkadang oleh hukum  tidak dipertimbangkan dan menurutnya sering kali Hukum sering melihat perempuan sebagai salah satu aspek dan homogen. Padahal homogenitas itu melanggengkan diskriminasi yang berlapis.

Normalisasi Kekerasan Terhadap Perempuan

Lebih lanjut Wiyanti berpendapat ada upaya-upaya untuk menormalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan , pesantren dan kampus. Menurutnya normalisasi kekerasan telah mempengaruhi anggapan masyarakat.

” Normalisasi kekerasan ini sangat muncul pada dunia dunia pendidikan , pesantren, dimana kampus kampus, sempat pada kondisi menutup nutupi apa yang terjadi pada kampusnya sendiri demi atas nama baik kampus itu sendiri, nah ketika kekerasan dianggap normal sehingga orang yang dilaporkan yang dianggap bermasalah” Ujarnya.

Dekonstruksi Struktur Sosial di Masyarakat

Selain itu menurut Marianna Amiruddin dari Komnas Perempuan, kekerasan langsung sebetulnya merupakan buah dari kekerasan budaya dan struktural dan itu adalah basis dari kekerasan. Kekerasan struktural melahirkan kekerasan simbolik yang terjadi pada gender perempuan.

Oleh karenanya menurut  Marianna perlu melakukan dekonstruksi dari semua aspek baik budaya struktur sosial dan kebaruan simbol-simbol yang menunjukan kesetaraan dan kedamaian yang bisa berasal dari aturan-aturan, dalam wejangan-wejangan supaya tidak ada kekerasan terhadap perempuan ucapnya.***