Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) kembali mengadakan Scholarium, kali ini dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia yang bertepatan pada Jumat, 9 Desember 2022. Acara ini diselenggarakan secara sistem hybrid dan dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat. Menghadirkan narasumber ahli dibidangnya, tema yang dibahas mengenai “Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia: Peran Intelektual dan Kemunduran Demokrasi”.

Demokrasi Tak Menjamin Mengerem Laju Korupsi

Malik Ruslan, selaku narasumber ahli mengawali pembicaraannya dengan berulang kali  mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya. Ia menganalogikan budaya korupsi seperti pohon besar yang tumbuh rimbun, tinggi, berbatang kokoh, serta akarnya yang menghujam bumi, namun tindakan yang dilakukan untuk merobohkan pohon [baca: korupsi] justru dengan menebasnya menggunakan pisau silet [baca: hukuman ringan]. Akibatnya tidak ada efek jera yang muncul, di tingkat pejabat pemerintahan misalnya, korupsi meningkat karena ketidakberdayaan hukum untuk merefleksikan sepenuhnya dampak korupsi bagi kerugian negara dan masyarakat.

“Di tahun 2021 ada 686 oknum kades korupsi dana desa, kalau dibandingkan di tahun 2019 masih sekitar 400-an. Artinya ada peningkatan, jadi dimana kita bisa mengatakan bahwa kita berhasil mencegah korupsi. Semakin banyak uang yang mengalir, semakin banyak pelaku korupsi”, terang peneliti dan editor senior LP3ES ini.

Korupsi dalam ranah kekuasaan memang sangat rentan, kepemilikan jabatan dimanfaatkan pejabat untuk melakukan korupsi jual beli jabatan. “Pejabat publik katakanlah kepala dinas mengelola uang 6 miliar untuk pengadaan proyek, maka 10% nya menjadi milik dia. Seperti kasus pembangunan jembatan di Surabaya yang nilai pembangunannya 5 miliar, itu walikota dapat 10% nya. Cara berpikir itu di tahun 90-an sudah ada terbawa hingga sekarang”, lanjutnya.

Bahkan menurutnya bentuk pemerintahan demokrasi belum bisa menghambat korupsi. Dalam kasus di Indonesia katanya tidak ada hubungan kausal antara demokratisasi dengan menurunnya korupsi. Norma atau perilaku yang ditimbulkan oleh demokrasi tidak cukup untuk menghilangkan praktik korupsi yang masif. Menurutnya mengangkat isu moralitas menjadi penting, karena korupsi pada dasarnya sebagai masalah moralitas. Hilangnya moral dalam kehidupan keseharian menjadi pemicu utama membudayanya korupsi.

“Muhsin al Attas bilang begini, kalau suatu negara mempunyai kebebasan pers, akan menghambat korupsi pada tingkat atas. Kalau di kita nggak kan, persnya kita sudah bebas, tapi korupsi tetap jalan terus. Juga seharusnya bila ekonomi maju, pendidikan turut ikut berkembang, besar kemungkinan pendidikan menjadi instrumen terbentuknya nilai-nilai kejujuran, dengan begitu menjadi alat untuk menghambat korupsi. Di sini juga nggak. Jadi Indonesia tempat mengubur seluruh tesis-tesis tentang hubungan antara demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebebasan pers kaitannya dengan korupsi”, pungkasnya.

Sementara menurut Andri S Nugraha, pengamat di Public Virtue Research Institute menyatakan hubungan kausalitas antara faktor-faktor yang seharusnya menjadi penghambat korupsi tidak langsung memiliki efek yang signifikan. Terdapat faktor lain yang menyebabkan diantara beberapa faktor saling tarik menarik.

“Mungkin saja dalam tata kelola pemerintahannya sudah cukup transparan, sistem pengawasannya baik namun masih terdapat celah-celah untuk kolusi. Misalkan kasus pengadaan barang dan jasa yang telah terikat janji penerimaan hadiah, bila dimenangkan kerabat atau rekanannya kemudian mendapat imbal hasil”.

Berbicara mengenai korupsi sebagai tanda-tanda kemunduran demokrasi, berdasar hasil riset yang dikeluarkan oleh Ekonomi Intelligence Unit (EUI), Indonesia dikategorisasikan masuk sebagai negara demokrasi mengambang. Meskipun begitu peringkat Indonesia berada di atas rata-rata penilaian demokrasi  dunia secara akumulatif.

Tapi dalam kurun waktu 2 hingga 3 tahun terakhir kasus yang terjadi di Indonesia telah memberi sinyal bahwa Indonesia mengalami regresi demokrasi. Regresi demokrasi bisa diidentifikasi melalui gejala-gejala diantaranya penyalahgunaan hukum dan keberpihakan aparat penegak hukum, pertarungan politik zero sum game, kuatnya pengaruh oligarki, dan desain pemilu yang melanggengkan barrier to entry.

“Analisa yang saya lakukan beberapa waktu lalu dapat disimpulkan bahwa kondisi demokrasi, termasuk penegakkan hukum dan praktik koruptif dihasilkan dari reformasi yang tidak tuntas. Agenda reformasi hukum sebetulnya perlu dikedepankan, namun belakangan reformasi hukum malah melempem. Konsen pada kualitas hukum punya kaitan yang sangat erat dengan kondisi demokrasi dan praktik koruptif di Indonesia. Satu kerusakan dari sisi hukum akan berpengaruh terhadap sendi-sendi negara yang lain. Itu disebabkan karena hukum menjadi alat atau akses utama pelaksanaan demokrasi”, pungkasnya.

Korupsi dan Hilangnya Kepekaan Publik

Beda halnya dengan yang diungkapkan Bilal Soekarno, ia menyorot hal prinsipal seperti pendefinisian korupsi yang ia sebut perlu diperiksa ulang. Secara KBBI korupsi hanya didefinisikan sebagai penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, padahal menurutnya korupsi tidak memiliki bentuk sesederhana itu.

“Misalkan dalam bentuk lainnya korupsi bisa bermakna sebagai perilaku koruptif dalam penegakkan atau pembentukkan produk hukum yang tidak berpihak pada keadilan masyarakat. Pada tahun ini saja sudah disahkannya Undang-Undang (UU) kontroversial yaitu UU Minerba dan UU Omnibus Law yang menuai polemik dan kecaman dari berbagai elemen masyarakat”, terang Ketua BEM UPN Veteran Jakarta ini.

Bilal mempertanyakan ketidakadilan hukum di negeri ini yang jelas-jelas merugikan masyarakat umum namun tidak pernah dinyatakan sebagai perbuatan koruptif. “Untuk demikian itu sebenarnya belum sampai kita rumuskan. Korupsi jangan hanya didefinisikan sebagai penyelewengan uang saja, karena banyak sekali tingkah laku penyelenggaraan negara yang seharusnya layak dikatakan korupsi”.

Menurutnya lagi pelabelan untuk seorang koruptor sudah hilang kesakralannya. Justru oknum-oknum yang terjerat dalam kasus korupsi masih memperoleh pembelaan dari segelintir publik. Padahal menurutnya oknum yang melakukan tindakan korupsi tidak lagi memiliki rasa cinta atau jiwa nasionalisme untuk membangun bangsa dan kepentingan umum.

Bilal memaparkan bahwa tindakan korupsi yang didominasi kalangan pejabat pemerintahan dan pemilik modal diakibatkan semakin berkembangnya sistem kapitalisme. Asas kapitalisme yaitu dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya memfasilitasi manusia untuk serakah karena mendasarkan dirinya pada penuhanan individualisme. Karena sistem ini sudah menghipnotis hampir semua kalangan penguasa di berbagai tingkatan baik secara pikiran, moral, dan budaya, sehingga pengumpulan kekayaan materi melalui korupsi menjadi semakin merajalela.

Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES)
Universitas Negeri Jakarta.

Share This