Sekolah Hukum Kritis angkatan pertama resmi diselenggarakan selama tiga hari yakni pada tanggal 17 – 19 Oktober 2022. Peserta terdiri dari mahasiswa dengan latar belakang hukum, pengacara, staf YLBHI-LBH, LSM, pers mahasiswa, dan internship LP3ES. Sekolah Hukum Kritis yang diselenggarakan LP3ES ini bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Mengundang sejumlah narasumber ahli yang berkompeten pada bidangnya, Sekolah Hukum Kritis yang dilaksanakan secara hybrid meeting ini mengusung tajuk “Peningkatan Kapasitas Mengawal dan Mengadvokasi Kasus Hukum dan Pelanggaran HAM terkait Proyek Strategis Nasional (PSN).”
Sekolah hukum kritis dilaksanakan untuk memberi jawaban atas kebutuhan dan kegelisahan penstudi hukum mengenai pergulatan kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi yang saling tarik menarik. Selubung relasi kekuasaan dengan relasi ekonomi yang kerap mengintervensi hukum menyebabkan produk hukum rentan akan tabir ketidaksempurnaan. Ikhtiar sekolah hukum kritis adalah memahami wajah hukum dengan sebenar-benarnya melalui pemikiran-pemikiran dalam studi hukum kritis menurut konteks perkembangan hukum di Indonesia.
Logika Hukum Critical Legal Studies
Berangkat dari diskursus pemikiran dalam studi hukum kritis, Widodo Dwi Putro selaku narasumber ahli menyampaikan bahasan perihal filsafat hukum kritis. Pembicara yang juga merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia menekankan pemahaman studi hukum Critical Legal Studies (CLS) untuk memahami persoalan hukum secara utuh dan kritis melalui penggabungan perspektif ilmu hukum dan ilmu sosial.
Menurut Widodo lahirnya CLS dapat dilacak berdasarkan aliran hukum yang mendahuluinya, realisme hukum menjadi sumber inspirasi di balik kemunculan CLS dalam menganalisa permasalahan dan kenyataan hukum. “Realisme hukum melihat dan memahami realitas seperti apa adanya, tidak bertanya secara kritis. Pandangan hukum perlu dianalisis dari faktor-faktor non hukum, melalui pendekatan ilmu sosial,” ujarnya.
Berkembangnya CLS memberikan alternatif pemikiran dan metodologi untuk digunakan para peneliti hukum dalam mengetahui persoalan hukum secara lebih humanis. CLS berupaya memberikan jawaban atas kesenjangan antara idealitas norma dengan realitas sosial.
“Hukum tidak semata-mata diputuskan melalui apa yang tersampaikan secara teks, namun juga perlu memberi makna atas konteks. Disanalah hukum seharusnya bekerja dengan melihat kenyataan di luar dari dinamika perbuatan hukum itu sendiri.”
CLS mengungkap analisis dan budaya hukum dengan menawarkan analisis kritis terhadap hukum sebagai produk yang tidak netral. Produk hukum bertumpu pada pada kepentingan-kepentingan yang tersembunyi di belakangnya, mempertimbangkan berbagai faktor seperti preferensi ideologis, nilai-nilai, konteks politik, dan jalinan ekonomi.
Fachrizal Afandi, selaku narasumber ahli, sekaligus dosen Fakultas Hukum Brawijaya memaparkan bahwa nya studi hukum kritis dapat dikaji berdasarkan pendekatan interdisipliner. Misalnya praktisi hukum yang sedang mempelajari hukum sebagai entitas sosial akan menggunakan studi interdisipliner untuk mencari jawaban dengan merangkul penafsiran sosiologi hukum, atau hukum dan ekonomi. “Model kontekstual untuk studi hukum ini mengambil pendekatan kontekstual yang luas. Memeriksa legitimasi tatanan hukum dari perspektif yang lebih kaya,” terang Fachrizal.
Pendekatan interdisipliner memungkinkan persoalan-persoalan hukum menemukenali jawaban hukum yang holistik. Artinya melalui lintas ilmu yang relevan memberi justifikasi tentang paradigma-paradigma hukum. Pembentukan hukum senantiasa mengadakan interaksi dan negosiasi berbagai kelompok masyarakat. Hukum sarat akan dimensi yang mempertemukan diskursus antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Hukum doktrinal hanya akan mengisolasi hukum dari konteks sosial politik, dan membuat hukum tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial, diskriminasi ras, gender, kelas, atau agama.
Menguak Dominasi pada Legitimasi Hukum
Di hari kedua sekolah hukum kritis, Herlambang Wiratraman, Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES berbicara mengenai analisis diskursus sebagai studi linguistik. Ini merupakan suatu kajian terhadap analisis wacana yang secara khusus mengkaji makna atau pesan yang bukan dari unsur kebahasaannya, melainkan mengaitkannya dengan konteks. Cara yang digunakan untuk membongkar makna atau pesan komunikasi yang terdapat dalam suatu teks. “Ucapan bisa kita analisis, tulisan bisa kita gugat. Kata perkata, ungkapan, bahkan intonasi menjadi penting dalam ilmu kebahasaan,” terangnya.
“Analisis wacana kritis dapat digunakan untuk menyelidiki bagaimana bahasa dijadikan alat bagi kelompok sosial yang saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Analisis wacana kritis berupaya membongkar maksud-maksud terselubung dari sebuah wacana yang beredar di masyarakat,” ucapnya.
Herlambang mencontohkan narasi dominan “Good Governance,” yang bila diharfiahkan berarti manajemen atau tata kelola pemerintahan yang baik. Ia menyebut konsep good governance ini sangat dominan dalam memproduksi atau melipat gandakan wacana.
“Sebenarnya yang dikritik dari good governance itu adalah watak liberalisme politik dan ekonominya. Orientasinya pada keuntungan bisnis, sehingga watak pembaharuan hukum justru memperlihatkan pembaharuan yang ramah pasar,” tutupnya
Hukum juga menjadi problematis bagi permasalahan-permasalahan gender, secara menyeluruh hukum belum sepenuhnya mewakili harapan-harapan mengenai kesetaraan dan keadilan gender. Sekolah hukum kritis mencoba menggugat langgengnya penormalisasian ketidakadilan yang selama ini memasung kebebasan perempuan, materi yang disampaikan Lena Hanifah akan berfokus pada feminisme sebagai hukum legal teori.
Teori feminisme legal lahir dari pemikiran kaum feminis, suatu gerakan yang berpandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin, dan kelas (relasi patriarki dan kapitalisme) sehingga perlu memperjuangkan untuk penghapusan tersebut dengan meningkatkan otonomi dan hak-hak perempuan.
Ketertindasan gender akibat relasi dominasi yang dipertahankan hingga saat ini muncul dalam bentuk yang mengerikan, misalnya kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap perempuan. Produksi ulang pemikiran-pemikiran tubuh perempuan sebagai properti menyebabkan perempuan dijadikan komoditas dan instrumen seksualitas. Doktrinasi tubuh perempuan menggulirkan dampak yang sangat serius, kasus pemerkosaan kerap tidak berperspektif pada keadilan korban, secara proses hukum tidak setuntasnya menyelamatkan dan melindungi hak-hak perempuan.
Menurutnya lagi di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perkawinan, teks hukum berpotensi diinterpretasi secara bias sehingga keberpihakan terhadap perempuan masih sangat dipertanyakan. Instrumen hukum yang perlu diperiksa ulang misalnya pada peraturan perundang-undangan pasal 31 ayat 3, kemudian bersambung lagi pada pasal 34 ayat 1 dan 2.
Bunyi pasal tersebut menurutnya menimbulkan interpretasi bias. Sehingga bila terjadi kekerasan rumah tangga dengan alasan istrinya tidak bisa memasak, suami yang melakukan kekerasan tersebut beranggapan bahwa istri tidak menjalankan dan mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dalam tanda kutip hal ini menjadi dibenarkan sebagai alasan berbuat kekerasan. Termasuk yang dianggap oleh masyarakat akibat terinternalisasi pikiran yang tumbuh di masyarakat sejak lama, sehingga berpotensi timbulnya tuduhan-tuduhan yang tidak diinginkan kepada pihak perempuan. “Permasalahan hukum yang dihadapi dalam isu gender ini adalah permasalahan yang sensitif, rumit, dan diskriminatif,” ujarnya.
Melihat hukum dengan perspektif yang lebih luas, maka yang tak luput menjadi perhatian adalah konteks gerakan adat di Indonesia dalam studi mengenai gerakan hukum adat. Yance Arizona, Dosen Fakultas Hukum UGM melihat terbentuknya masyarakat adat yang secara signifikan berkembang selepas kolonial belanda membuat hukum adat memiliki posisi penting dalam fondasi pembangunan hukum nasional. Menguatnya hak adat sebagai konstitusional diatur setelah amandemen UUD 1945 tentang pengujian UU kehutanan dan hutan adat dalam wilayah masyarakat adat. Kasusnya seperti yang terjadi pada kawasan Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Setelah melalui perjuangan oleh masyarakat adat, rencana operasi perusahaan penebangan kayu dibatalkan dan penetapan hutan adat diberlakukan.
Dalam sangkut pautnya mengenai perlawanan oleh masyarakat adat. Yance memberi gambaran sosok inspiratif bernama Jaro Wahid, berasal dari Kabupaten Lebak, Banten, ia adalah kepala desa yang menginisiasi gerakan masyarakat dan membangun NGO kala wilayah yang dikepalainya terdampak perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak pada tahun 2013. Jaro memperkuat institusi adat dan lembaga sosial inklusif yang mengedepankan partisipasi antara perempuan dan pemuda.
Konflik antara masyarakat pemilik hak atas tanah dengan hegemonik kapitalisme melalui kegiatannya ekstraktifnya tidak selalu ditampilkan secara terbuka sebagai perlawanan masyarakat adat. “Meskipun sebenarnya mereka tidak mengeksplisitkan sebagai gerakan masyarakat adat, tapi dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh masyarakat lokal mereka memiliki cara pemahaman kearifan lokal dalam memaknai alam dan kehidupan,” tutupnya
Sehingga yang terpenting bagi Yance adalah bagaimana membangun dialog-dialog pengetahuan yang dimiliki masyarakat dan pengalamannya, dengan pengetahuan yang diproduksi oleh mazhab-mazhab pembangunan untuk menentukan ukuran-ukuran yang bersifat kearifan.
Keroposnya Paradigma Penegakkan Hukum
Hari terakhir penyelenggaraan Sekolah Hukum Kritis, Herlambang Wiratraman dalam pembahasan hukum, impunitas, dan ketidakadilan memberikan wawasan perihal kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang sampai saat ini kasusnya masih belum terselesaikan. Menurut pandangannya, problem HAM yang macet dalam proses pengungkapan kasusnya merupakan refleksi mudahnya hukum menawarkan produk impunitas. Biasanya ini terjadi dari kegagalan pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku.
Imunitas melahirkan sistem sosial budaya yang permisif, menihilkan tindak kesewenang-wenangan. Ini juga menjadi cerminan kuasa politik yang bekerja atas hukum dan penegakannya. “Imunitas direfleksikan dengan adanya problem pertanggungjawaban hukum, ini berpotensi terjadi karena adanya kekacauan secara teknis dan prosedural, menguatnya politik dan politisasi, ketertundukan hukum pada kuasa modal, dan institusionalisasi rasisme seperti dalam kasus Papua,” imbuhnya.
Apalagi kasus pelanggaran HAM berat secara non yuridisial tidak cukup dilakukan dengan dasar keputusan presiden. Tujuan dari Keppres hanya seputar pemenuhan hak korban dan keluarga korban. “Penyelesaian perkara HAM berat harus menggunakan dasar Undang-Undang (UU), Konsekuensi dari UU juga panjang, mulai dari anggaran sampai aturan turunan.”
Rentetan kasus pelanggaran HAM yang belum menemukan titik terangnya menjadi refleksi kritis atas kegagalan hukum untuk melahirkan suatu kepastian hukum. Kasus Munir, kasus Paniai, dan kasus Novel Baswedan seakan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Representasi formal ketatanegaraan yang dikendalikan kuasa oligarki dan sistem yang menguatkan otorianisme menjadi aktor melemahnya kekuatan hukum. “Cerminan merosotnya kehidupan bernegara dalam menyelenggarakan peradilan hukum berarti pula melemahnya perlindungan hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial,” terangnya.
Bersamaan belum integralnya kepastian hukum yang menjamin segenap lapisan masyarakat, catatan hitam lainnya adalah keamanan dan ancaman kebebasan sipil yang memasung kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat sipil. Menurut Milda Istiqomah, Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, meski ancaman terorisme dan keamanan masih ada, namun pendekatan keamanan dan militerisasi harus dikritisi sebab potensi ancaman demokrasi yang sedang meningkat justru pelanggaran terhadap kebebasan dasar manusia.
Corak sistem otoriter bahkan kolonialistik dapat dijumpai dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Alih-alih memperbaiki produk hukum pidana yang masih belum maksimal dan goyah penegakkannya. Justru terbitanya RKHUP ini menjadi kontroversi di masyarakat, beberapa pasal RKUHP dianggap menimbulkan pasal karet. “RKHUP lebih diarahkan untuk melindungi kepentingan politik, negara, dan kelompok masyarakat, ketimbang mencari keseimbangannya dengan kebebasan sipil dan hak-hak individu,” jelasnya.
Akibatnya hukum pidana tidak lagi dilihat sebagai ultimatum remedium, tetapi difungsikan sebagai instrumen penekanan atau pembalasan untuk menjawab semua penyakit masyarakat. Bahkan tindakan hukum yang kerap menyasar masyarakat sipil tergolong diupayakan dengan cara-cara represif. “Alih-alih mengejar supremasi hukum, pemerintah melegitimasi tindakan melalui pembentukan atau perubahan hukum yang rentan ditafsirkan secara luas,” tutupnya.
Penulis : Yoga Maulana (Internship LP3ES)
Universitas Negeri Jakarta