by lp3es2022 | Jun 30, 2022 | Gender, Hukum dan HAM
Direktur Pusat Gender dan Demokrasi Julia Suryakusuma mengungkapkan bahwa dari ketiga kekerasan yang dihadapi perempuan kekerasan struktural merupakan jenis kekerasan terburuk karena seperti tidak disengaja dan lebih sulit untuk ditangani, hal itu disampaikan pada webinar pusat gender dan demokrasi 30/6/2022.
“Kekerasan struktural merupakan jenis kekerasan yang terburuk karena tidak langsung dan seperti tidak disengaja, misalnya kelaparan kekurangan pangan, kelangkaan minyak goreng, tidak ada akses terhadap pelayanan kesehatan, yang merupakan hasil kebijakan ekonomi kapitalis dan distribusi kekayaan yang tidak adil. Hal ini terkadang menyebabkan penyebab kekerasan struktural tidak terlihat jelas sehingga lebih sulit ditangani.” Ujarnya
Menurutnya kekerasan struktural itu muncul akibat stratifikasi sosial sehingga pemenuhan kebutuhan dasar manusia yaitu kelangsungan hidup, kesejahteraan, identitas yaitu suku agama dan seksual kebebasan berpendapat, dan lain lain tidak terpenuhi bahkan secara aktif dihalangi.
Ketidakadilan Sistemik Perempuan
Selain itu senada dengan Julia, Direktur Pusat Hukum dan HAM LP3ES, Herlambang P. WIratraman menyatakan kekerasan struktural itu telah diperkuat dan diawetkan oleh ketidakadilan sistemik melalui korupsi.
“Ketidakadilan struktural ini begitu sistemik dan itu menguatkan dan mengawetkan lapisan kekerasan struktural, misalnya Korupsi Sistemik yang begitu banyak melahirkan kekerasan struktural karena dampaknya sungguh nyata terhadap perlindungan pemenuhan hak ekonomi, sosial budaya yang jelas jelas akan menyingkirkan hak perempuan.” Ucapnya
Herlambang juga menjelaskan kekerasan struktural juga terus dilakukan melalui 3 hal utama yaitu institusionalisasi yang menggunakan instrumen demokrasi–sistem hukum untuk menindas perempuan, poverty lingkaran setan kemiskinan, dan tantangan proses serangan siber manipulasi dan pendangkalan informasi.
Wiyanti Eddyono yang merupakan dosen hukum pidana UGM juga menambahkan Dalam kondisi sekarang perempuan kerap terjerat diskriminasi yang berlapis baik karena perempuan agama minoritas, perempuan sebagai kepala keluarga yang terkadang oleh hukum tidak dipertimbangkan dan menurutnya sering kali Hukum sering melihat perempuan sebagai salah satu aspek dan homogen. Padahal homogenitas itu melanggengkan diskriminasi yang berlapis.
Normalisasi Kekerasan Terhadap Perempuan
Lebih lanjut Wiyanti berpendapat ada upaya-upaya untuk menormalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan , pesantren dan kampus. Menurutnya normalisasi kekerasan telah mempengaruhi anggapan masyarakat.
” Normalisasi kekerasan ini sangat muncul pada dunia dunia pendidikan , pesantren, dimana kampus kampus, sempat pada kondisi menutup nutupi apa yang terjadi pada kampusnya sendiri demi atas nama baik kampus itu sendiri, nah ketika kekerasan dianggap normal sehingga orang yang dilaporkan yang dianggap bermasalah” Ujarnya.
Dekonstruksi Struktur Sosial di Masyarakat
Selain itu menurut Marianna Amiruddin dari Komnas Perempuan, kekerasan langsung sebetulnya merupakan buah dari kekerasan budaya dan struktural dan itu adalah basis dari kekerasan. Kekerasan struktural melahirkan kekerasan simbolik yang terjadi pada gender perempuan.
Oleh karenanya menurut Marianna perlu melakukan dekonstruksi dari semua aspek baik budaya struktur sosial dan kebaruan simbol-simbol yang menunjukan kesetaraan dan kedamaian yang bisa berasal dari aturan-aturan, dalam wejangan-wejangan supaya tidak ada kekerasan terhadap perempuan ucapnya.***
by lp3es2022 | Oct 7, 2021 | Hukum dan HAM
Kamis, 7 Oktober 2021 – DPR akhirnya menyetujui Surat Presiden (Surpres) Presiden Joko Widodo yang berencana memberikan Amnesti kepada Dr. Saiful Mahdi dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022.
Meskipun tadinya pembahasan Surpres tidak masuk dalam agenda pembahasan, namun di tengah persidangan anggota DPR Hamid Noor Yasin menyatakan interupsi dan menyampaikan pertimbangan dalam rapat paripurna DPR.
“Pemberian amnesti kepada saudara Saiful Mahdi merupakan jalan keluar yang perlu kita dukung bersama-sama. Kasus yg menjerat Saiful Mahdi merupakan fenomena gunung es di Indonesia yang diakibatkan kelemahan dalam UU ITE, baik substansi formal maupun penerapannya masih banyak kasus semacam Saiful Mahdi yang sedang maupun telah dipidana akibat pemberlakuan UU ITE,” jelas Hamid Noor Yasin dalam rapat paripurna.
Atas interupsi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan permintaan persetujuan anggota DPR oleh Pimpinan Sidang. Tidak lama kemudian, persetujuan pemberian pertimbangan amnesti untuk Dr. Saiful Mahdi kemudian diambil dan diketuk.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi mengapresiasi Presiden dan DPR dalam merespon cepat dan mengabulkan permohonan amnesti ini. Kami juga berterima kasih pada dukungan Menkopolhukam Mahfud Md yang turut mendorong percepatan proses pemberian amnesti ini. Kami tetap memantau dan mendesak agar Keputusan Presiden berisi Pemberian Amnesti ini segera diterima oleh Dr. Saiful Mahdi dan segera membebaskan beliau dari penjara.
Dian Rubianty, istri dari Dr. Saiful Mahdi menyatakan bahwa amnesti adalah wujud Negara yang hadir untuk rakyat, ketika keadilan tidak hadir dan kebenaran dibungkam.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang bersama-sama memberikan dukungan untuk membebaskan Saiful Mahdi. Lebih dari 85 ribu orang telah menandatangani petisi online di www.change.org/AmnestiUntukSaifulMahdi, dan juga lebih dari 50 lembaga serta individu memberikan dukungan pemberian amnesti.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi juga mengucapkan terima kasih atas dukungan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Akademisi Ilmuwan Muda, Forum 100 Ilmuwan Indonesia, Asosiasi Profesor Indonesia (API), Indonesian Regional Science Association (IRSA), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Asosiasi Socio-Legal Indonesia, Lokataru Law and Human Rights Office, The Institute for Digital Law & Society (Tordillas), Radio SBS Indonesia di Australia, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Asosiasi Profesor Indonesia (API), Remotivi, PPMN, Koalisi masyarakat sipil Aceh untuk amnesti Saiful Mahdi, ELSAM, ICJR, Konferensi WaliGereja Indonesia, Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Sajogjo Institute, dan Pimpinan Wilayah Muda Muhammadiyah Aceh, Akademisi Perwakilan Australian academics working on Indonesia dari ANU Australia, Univ Sidney, Leiden University, British Library, Melbourne University, Flinders University, dan 14 (empat belas) Pusat Studi di Universitas di Indonesia.
“Selain itu, kami juga ingin berterima kasih kepada Prof. Ni’matul Huda, Zainal Arifin Mochtar dan Herlambang Wiratraman, rekan rekan yg telah menuliskan Amicus Curiae, Eksaminasi Publik, menuliskan surat pada Presiden, menuliskan petisi bersama, menemani proses advokasi, melakukan dukungan baik di dalam negeri maupun hingga Internasional, juga kepada kawan kawan media yg selalu membersamai,” tutur Syahrul Putra Mutia, LBH Banda Aceh dan kuasa hukum Saiful Mahdi.
Syahrul menambahkan bahwa pihaknya masih memantau dengan seksama, agar surat persetujuan DPR tersebut segera keluar dan disampaikan sehingga Dr. Saiful Mahdi secepatnya dibebaskan dari jeruji besi.
Koordinator PAKU ITE, Muhammad Arsyad juga merespon baik terhadap keputusan Presiden dan DPR memberikan Amnesti untuk Dr. Saiful Mahdi. Meski begitu, Arsyad menilai kasus-kasus seperti yang dialami Dr. Saiful Mahdi masih banyak dan akan terus bertambah jika pemerintah tidak menyelesaikan akar permasalahannya.
“Selain kasus Pak Saiful Mahdi, sangat banyak kasus serupa di mana masyarakat dibungkam dan dikriminalisasi dengan pasal-pasal di UU ITE hanya karena kritik dan pendapatnya. Meskipun Pedoman Implementasi UU ITE sudah dikeluarkan oleh tiga lembaga negara, nyatanya korban kriminalisasi UU ITE juga terus bertambah. Makanya revisi total UU ITE semakin dibutuhkan. Koalisi Masyarakat Sipil juga telah mengeluarkan kertas kebijakan dengan rekomendasi untuk menghapus dan merevisi pasal-pasal tersebut,” papar Arsyad.
Koalisi juga mendesak agar Pemerintah dan DPR juga serius membahas revisi UU ITE secara terbuka melibatkan korban dan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat-pegiat hak asasi manusia dalam merumuskan perubahan pasal-pasal UU ITE yang bermasalah.
Kasus Saiful Mahdi menunjukkan bahwa pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah untuk memberikan perlindungan kebebasan akademik. Tanpa revisi UU ITE maka korban yang dikriminalisasikan atas nama pencemaran nama baik akan terus berjatuhan.
Herlambang P Wiratraman, Dewan Pengarah KIKA menyatakan “Bagi Unsyiah, nama baik Dr. Saiful Mahdi harus segera dipulihkan. Pimpinan kampus harus menyampaikan permintaan maaf kepada beliau, sekaligus belajar lebih bijak atas proses hukum dan proses politik yang sungguh pembelajaran cerdas republik ini untuk tidak terulang. Apa yang disuarakan Saiful Mahdi harus diberikan dukungan dan dibuka, apa yang sesungguhnya terjadi di balik kasus hukum ini.”
Sumber Foto: elsam.or.id
by lp3es2022 | Jul 5, 2021 | Hukum dan HAM
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Herlambang Wiratraman menyebut pemerintah gagal melindungi rakyat dari lonjakan COVID-19.
Herlambang menyebut, ada tiga fakta yang membuktikan kegagalan tersebut. Pertama, lonjakan kasus dan peningkatan kematian COVID-19 yang sedang terjadi. Ditambah, dengan merebaknya varian baru COVID-19 di Indonesia.
“Angka kasus harian hari-hari ini meningkat tajam, diiringi dengan realitas angka kematiannya tinggi. Ini bukan tidak diingatkan oleh banyak pihak. Ini sudah diingatkan banyak pihak, desakan bahkan untuk lockdown atau tarik rem darurat dari para ahli maupun tokoh,” kata Herlambang dalam diskusi virtual, Senin, 5 Juli.
Kedua, fasilitas pelayanan kesehatan saat ini, menurut Herlambang bisa dikatakan ambruk atau kolaps. Banyak pengakuan rumah sakit hari ini yang tak sanggup lagi menerima pasien COVID-19, sehingga penolakan terjadi di mana-mana.
Akibatnya, kata Herlambang, banyak pasien COVID-19 yang kondisi kesehatannya semakin memburuk akibat tak mendapat layanan kesehatan. Bahkan, tak sedikit warga positif COVID-19 meninggal dunia.
“Banyak orang yang seharusnya mendapatkan layanan ruang isolasi khusus, tetapi tidak mendapatkan akses. Sehingga, tidak mengejutkan tiba-tiba kita mendapati fakta, berdasarkan data dari LaporCovid-19, 265 pasien isolasi mandiri meninggal dunia,” ungkap Herlambang.
Fakta ketiga gagalnya negara melindungi rakyat adalah tingginya jumlah nakes yang terpapar dan meninggal. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat per 27 Juni, ada 405 dokter meninggal.
“Angkanya sungguh meningkat tajam. Per 1 sampai 27 juni bertambah 31 orang. jadi dalam sebulan menambah 31 orang. Laporan dari Persatuan perawat nasional Indonesia juga menyebut per 28 Juni, sudah 326 perawat yang meninggal,” tutur Herlambang.
“Jadi, tiga fakta ini saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengatakan negara gagal melindungi rakyatnya,” lanjutnya.
Herlambang juga membeberkan 5 penyebab negara gagal melindungi rakyatnya dari lonjakan kasus COVID-19. Pertama,negara gagal karena pemerintah abai dan tidak mengantisipasi adanya varian baru COVID-19.
“Sebenarnya kita sudah ada pengalaman, pengetahuan, tentang bagaimana mencegah varian baru. Akses masuk bisa di-block atau perjalanan luar negeri dihentikan untuk sementara waktu, atau ditutup. tapi alih-alih menutup, justru yang ada promosi (wisata),” ucapnya.
Kedua, pemerintah lambat melakukan tindakan tindakan yang seharusnya dilakukan. seperti desakan tarim rem darurat atau lockdown.
Ketiga, pemerintah lebih mengorientasikan pertimbangan ekonomi daripada keselamatan warga, tenaga kesehatan, atau memperkuat fasilitas kesehatan dan layanan publik.
Keempat, pemerintah lebih sibuk menyangkal kegagalan yang terjadi. “Yang ada justru mereproduksi kebijakan yang kontraproduktif. Narasi dan politik hukumnya justru menegasikan hal yang paling mendasar dalam penanganan pandemi,” kata Herlambang.
Kelima, pemerintah tidak serius untuk mengupayakan secara sistematik terhadap upaya penangana pandemi dalam bentuk testing, tracing, maupun treatment (3T).
“Lima sebab itu sebagai penjelas mengapa negara gagal menyelamatkan rakyatnya dan pandemi ini sebenarnya tidak hanya menguji sistem pelayanan kesehatan, tapi sistem negara ini juga ikut diuji, termasuk menguji apakah negara hadir atau tidak, terutama dalam menjalankan mandat konstitusi,” imbuh dia.
Sumber : voi.id
by lp3es2022 | Apr 2, 2021 | Gender, Hukum dan HAM
Peneliti Hukum dan HAM Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Milda Istiqomah mengatakan peran perempuan dalam gerakan terorisme di Indonesia mulai bergeser.
Ia menuturkan, sebelum 2016, para perempuan di lingkungan gerakan teroris hanya bertugas pembawa pesan, perekrutan, mobilisasi, dan alat propaganda. “Namun, setelah 2016, mereka mulai lebih aktif,” kata Milda dalam diskusi pada Jumat, 2 April 2021.
Ia mengatakan pada periode 2016 sampai sekarang, teroris perempuan juga ikut bom bunuh diri, menyediakan senjata, dan merakit bom.
Milda menilai ada tiga alasan kenapa sekarang mereka lebih aktif. Pertama personal factors. Perempuan terlibat karena dijajah pemikirannya dengan pemahaman Islam radikal.
Alasan kedua adalah social-political concerns. “Karena adanya ketimpangan sosial, ketidakadilan, diskriminasi. Mereka mengalami itu,” ucap Milda.
Terakhir adalah karena faktor personal tragedy, di mana perempuan menjadi korban pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya. “Di mana hal itu melahirkan dendam dan melakukan aksi teror adalah cara mereka balas dendam,” ucap Milda.
Milda mengatakan jumlah tahanan dan narapidana perempuan yang terlibat dalam terorisme dalam kurun waktu 2000-2020 mencapai 39 orang. “Jadi dengan angka ini bisa menjelaskan alasan kenapa kemudian keterlibatan perempuan menjadi wake up call atau warning buat kita,” ucap dia.
Sumber : Tempo.co
by lp3es2022 | Mar 16, 2021 | Demokrasi, Hukum dan HAM
Berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hingga kini masih banyak yang belum terselesaikan. Padahal, desakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus disuarakan dari berbagai masa pemerintahan.
Pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengingatkan, saat ini pemerintah harus membuktikan komitmen penyelesaian HAM berat masa lalu.
“Jika tidak ada niat yang serius untuk mengungkap, maka tidak akan pernah selesai sampai sekarang. Impunitas semakin kuat dan tidak tersentuh,” kata Muhammad Isnur, dalam Seri Diskusi Negara Hukum “Peradilan dan Impunitas”, di Jakarta, Selasa (16/3/2021).
Menurutnya, dalam banyak kasus, banyak lembaga peradilan yang justru memang masih tidak independen. Di sisi lain aparat atau pemerintah justru terlibat dalam banyak pelanggaran HAM di dalam proses peradilan.
“Malah ada modus memburu legal standing masyarakat dan menyalahkan korban peradilan yang konservatif (sembunyi di balik administrasi dan menghilangkan substansi),” ucapnya.
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Herlambang P Wiratraman menilai, seperi kasus pembela HAM Munir, nampak ada pembiaran atas tidak adanya pengungkapan kebenaran kasus pembunuhan tersebut.
“Ini jelas bentuk kualifikasi pelanggaran HAM berat. Sudah melibatkan institusi negara. Tidak ada komitmen politik untuk menuntaskan dan sejauh ini penyelesaiannya hanya jadi ritual dan komoditas politik kekuasaan,” ucapnya.
Menurutnya, impunitas adalah sebagai salah satu bentuk kejahatan negara. Ada bentuk penyimpangan kelembagaan organisasi yang secara terbuka, terang-terangan, dalam rangka memenuhi tujuan kelembagaan negara itu sendiri. Impunitas merusak pondasi negara hukum,” kata Herlambang.
Salah satu jalan keluar dari berbagai persoalan tersebut, yaitu perlu adanya upaya penguatan agenda kekuasaan kehakiman. Termasuk harus lugas membatasi campur tangan politik kekuasaan eksekutif, legislatif dan kuasa ekonomi lainnya.
“Termasuk memperkuat integritas sistem bekerjanya hukum seperti memperkuat Komisi Yudisial, Lembaga HAM, LPSK, Komnas perempuan, dan lain-lain. Termasuk memperkuat kapasitas hakim,” ujarnya
Sumber: BeritaSatu.com
by lp3es2022 | Jun 6, 2020 | Hukum dan HAM
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, (LP3ES) bekerja sama dengan Universitas Diponegoro, hadir kembali menyapa publik dan mengundang kawan-kawan akademisi, jurnalis dan aktivis, dalam diskusi mingguan dengan topik yang sangat penting, “Jaminan Kesehatan di Masa New Normal dan Kinerja BPJS”, Jumat (5/6).
Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Wijayanto menyebut diskusi ini mengangkat topik setidaknya tiga persoalan utama, Pertama, pada masa pendemi saat ini, kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan merupakan isu yang penting bagi warga negara melampaui isu-isu lainnya.
“Satu pelayanan kesehatan yang bisa diakses setiap warga negara merupakan satu kebutuhan yang mendesak dan tak dapat ditunda lagi. Mengingat betapa pentingnya akses kesehatan ini, maka tidak mengherankan jika penelitian LP3ES bekerjasama dengan Drone Emprit menemukan bahwa berita tentang kenaikan tarif premi BPJS kesehatan menjadi peredebatan hangat di kalangan netizen selama 1 bulan terakhir,” kata Wijayanto di Jakarta, Jumat (5/6).
Kedua, lanjut Wijayanto, kaitannya dengan poin sebelumnya, maka sangat penting untuk mendengarkan penjelasan langsung dari pihak yang berkompeten dari BPJS untuk memberikan pencerahan kepada publik dan meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah. Selain penjelasan terkait kenaikan tarif BPJS, apa yang tampaknya penting bagi publik adalah mendengar program BPJS dan langkah-langkah antisipasi yang dilakukan dalam masa pandemi ini terutama dalam menyongsong masa-masa New Normal ini.
“Ketiga, topik ini penting juga untuk mengupas apa itu sesungguhnya “New Normal” dalam tinjauan akademis dan bagaimana dinamika percakapan publik terkait hal itu di media sosial. Untuk memperkaya cakrawala pandang kita pengalaman dari luar negeri juga kita hadirkan, tidak hanya untuk belajar dari pengalaman keberhasilannya namun juga kekurangan dan kegagalannya untuk kita hindari,” katanya.
Wiyanto mengatakan, elemen perbandingan akan menjadi salah satu titik penting dalam diskusi kali ini. Dalam hal ini, Belanda menjadi tempat untuk belajar bukan hanya karena kedekatan sejarah Indonesia dengan negara itu namun juga karena pertimbangan lainnya, yakni mereka memiliki sistem jaminan kesehatan yang lebih maju namun juga tetap tak lepas dari kesulitan melawan corona.
Adapun pembicara yakni, Didik J Rachbini, merupakan guru besar ekonomi, ekonom senior INDEF dan ketua dewan pengurus LP3ES, adalah anggota DPR yang ikut terlibat dalam proses amandemen konstitusi yang lebih mengakomodir hak asasi ekonomi dan budaya, yang kemudian menjadi dasar bagi lahirnya BPJS.
Direktur Utama BPJS, Fahmi Idris yang merupakan pejabat yang berwenang dan penanggungjawab tertinggi salah satu lembaga paling penting dalam menjalankan fungsi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Budi Setiyono, dikenal guru besar kebijakan publik dan sekaligus Wakil Rektor I Universitas Diponegoro, Semarang yang memiliki keahlian dalam filosofi dan praksis pelayanan publik termasuk pelayanan kesehatan dalam konteks terwujudnya negara kesejahteraan untuk mewujudkan cita-cita konstitusi.
Direktur Drone Emprit, Ismail Fahmi, pakar analisa big data dan media sosial yang baru-baru ini memaparkan analisanya tentang dinamika percakapan netizen terkait konsep New Normal.
Ward Berenschot, diketahui sebagai guru besar kewarganegaraan dan demokrasi dari Universitas Amsterdam dan memiliki keahlian tentang Indonesia. Dia akan memberikan studi komparasi kebijakan pelayanan kesehatan dan kebijakan di masa New Normal di Indonesia dan Belanda.
Dari rangkuman poin-poin diskusi diantaranya yakni Didik menyebut bahwa jaminan kesehatan adalah amanat konstitusi, namun banyak pemberitaan mereka yang covid tidak dilayani oleh BPJS. Apakah ini benar?
Sedangkan Fahmi Idris menyoroti selama 7 tahun ini diskusi selalu deficit, sukses story lain tertutup. Misalnya bahwa BPJS menurunkan ratio gini hingga 13-14% . BPJS juga menjamin orang tidak jatuh ke kemiskinan. Jadi ada banyak prestasi selain deficit.
Begitu pula tentang kenaikan harga itu hanya kelas I dan II mandiri. Kalau tidak mampu, bisa turun ke kelas III. Dan, pemerintah punya skema khusus untuk pengidap covid, semua dilayani dan gratis.
Budi Setiyono menyebut sistem jaminan sosial saat ini tidak terintegrasi.
“Kita harus memakai konsep welfare state dan menerapkannya secara komprehensiv. Tanpa welfare state, maka kita akan selamanya tambal sulam. Kita harus merujuk pada welfare state ini, pada negara maju yang sudah ada. Kita tidak punya pendekatan sistemik yang terintegrasi tapi tambal sulam. Mengelola entitas tapi jalan sendiri-sendiri,” katanya.
Sedangkan Ward Berenschot menilai ada hubungan antar social security dan efektivitas penanganan covid. Negara-negara yang belanja sosial tinggi ternyata faltening the curve juga cepat. Negara dengan anggaran jaminan sosialnya rendah, penangannya lambat.
Anggaran Indonesia dibandingkan GDP dikomparasikan dengan negara-negara welfare state yang hanya 1/10 nya dalam jaminan sosial.
Mengapa anggaran jaminan sosial ini penting?
“Kalau tunjangan pengangguran sedikit, orang harus keluar kerja dan rentan pada transmisi. Selanjutya, mereka yang di kota akan pulang kampung atau desa dan kesehatan mahal, orang tidak keburu dirawat dan kena virus,” katanya.
“Istri saya yang anggota parlemen Belanda mau mengajukan tes. Tapi dokter bilang anggota parlemen menurut list di sini bukanlah pekerjaan vital. Hanya orang dengan pekerjaan vital yang bisa dapat test. Anggota parlemen tidak termasuk. Jadi memang istri saya harus menunggu beberapa hari untuk mendapatkan test. Ini adalah refleksi bahwa prioritas harus berdasar pada sains,” tambahnya.
Ismail Fahmi menganggap Indonesia adalah yang mendominasi wacana new normal di seluruh dunia. Jaringan Polri banyak berperan melahirkan trending topic.
“Ada upaya untuk mengkampanyekan new normal secara terstruktur dan sistematis. Sayangnya, new Normal yang buru-buru ini jutsru bikin distrust yang tinggi bahwa kita siap melakukan new normal,” katanya.
Sumber : gatra.com