Kamis, 7 Oktober 2021 – DPR akhirnya menyetujui Surat Presiden (Surpres) Presiden Joko Widodo yang berencana memberikan Amnesti kepada Dr. Saiful Mahdi dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022.
Meskipun tadinya pembahasan Surpres tidak masuk dalam agenda pembahasan, namun di tengah persidangan anggota DPR Hamid Noor Yasin menyatakan interupsi dan menyampaikan pertimbangan dalam rapat paripurna DPR.
“Pemberian amnesti kepada saudara Saiful Mahdi merupakan jalan keluar yang perlu kita dukung bersama-sama. Kasus yg menjerat Saiful Mahdi merupakan fenomena gunung es di Indonesia yang diakibatkan kelemahan dalam UU ITE, baik substansi formal maupun penerapannya masih banyak kasus semacam Saiful Mahdi yang sedang maupun telah dipidana akibat pemberlakuan UU ITE,” jelas Hamid Noor Yasin dalam rapat paripurna.
Atas interupsi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan permintaan persetujuan anggota DPR oleh Pimpinan Sidang. Tidak lama kemudian, persetujuan pemberian pertimbangan amnesti untuk Dr. Saiful Mahdi kemudian diambil dan diketuk.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi mengapresiasi Presiden dan DPR dalam merespon cepat dan mengabulkan permohonan amnesti ini. Kami juga berterima kasih pada dukungan Menkopolhukam Mahfud Md yang turut mendorong percepatan proses pemberian amnesti ini. Kami tetap memantau dan mendesak agar Keputusan Presiden berisi Pemberian Amnesti ini segera diterima oleh Dr. Saiful Mahdi dan segera membebaskan beliau dari penjara.
Dian Rubianty, istri dari Dr. Saiful Mahdi menyatakan bahwa amnesti adalah wujud Negara yang hadir untuk rakyat, ketika keadilan tidak hadir dan kebenaran dibungkam.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang bersama-sama memberikan dukungan untuk membebaskan Saiful Mahdi. Lebih dari 85 ribu orang telah menandatangani petisi online di www.change.org/AmnestiUntukSaifulMahdi, dan juga lebih dari 50 lembaga serta individu memberikan dukungan pemberian amnesti.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi juga mengucapkan terima kasih atas dukungan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Akademisi Ilmuwan Muda, Forum 100 Ilmuwan Indonesia, Asosiasi Profesor Indonesia (API), Indonesian Regional Science Association (IRSA), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Asosiasi Socio-Legal Indonesia, Lokataru Law and Human Rights Office, The Institute for Digital Law & Society (Tordillas), Radio SBS Indonesia di Australia, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Asosiasi Profesor Indonesia (API), Remotivi, PPMN, Koalisi masyarakat sipil Aceh untuk amnesti Saiful Mahdi, ELSAM, ICJR, Konferensi WaliGereja Indonesia, Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Sajogjo Institute, dan Pimpinan Wilayah Muda Muhammadiyah Aceh, Akademisi Perwakilan Australian academics working on Indonesia dari ANU Australia, Univ Sidney, Leiden University, British Library, Melbourne University, Flinders University, dan 14 (empat belas) Pusat Studi di Universitas di Indonesia.
“Selain itu, kami juga ingin berterima kasih kepada Prof. Ni’matul Huda, Zainal Arifin Mochtar dan Herlambang Wiratraman, rekan rekan yg telah menuliskan Amicus Curiae, Eksaminasi Publik, menuliskan surat pada Presiden, menuliskan petisi bersama, menemani proses advokasi, melakukan dukungan baik di dalam negeri maupun hingga Internasional, juga kepada kawan kawan media yg selalu membersamai,” tutur Syahrul Putra Mutia, LBH Banda Aceh dan kuasa hukum Saiful Mahdi.
Syahrul menambahkan bahwa pihaknya masih memantau dengan seksama, agar surat persetujuan DPR tersebut segera keluar dan disampaikan sehingga Dr. Saiful Mahdi secepatnya dibebaskan dari jeruji besi.
Koordinator PAKU ITE, Muhammad Arsyad juga merespon baik terhadap keputusan Presiden dan DPR memberikan Amnesti untuk Dr. Saiful Mahdi. Meski begitu, Arsyad menilai kasus-kasus seperti yang dialami Dr. Saiful Mahdi masih banyak dan akan terus bertambah jika pemerintah tidak menyelesaikan akar permasalahannya.
“Selain kasus Pak Saiful Mahdi, sangat banyak kasus serupa di mana masyarakat dibungkam dan dikriminalisasi dengan pasal-pasal di UU ITE hanya karena kritik dan pendapatnya. Meskipun Pedoman Implementasi UU ITE sudah dikeluarkan oleh tiga lembaga negara, nyatanya korban kriminalisasi UU ITE juga terus bertambah. Makanya revisi total UU ITE semakin dibutuhkan. Koalisi Masyarakat Sipil juga telah mengeluarkan kertas kebijakan dengan rekomendasi untuk menghapus dan merevisi pasal-pasal tersebut,” papar Arsyad.
Koalisi juga mendesak agar Pemerintah dan DPR juga serius membahas revisi UU ITE secara terbuka melibatkan korban dan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat-pegiat hak asasi manusia dalam merumuskan perubahan pasal-pasal UU ITE yang bermasalah.
Kasus Saiful Mahdi menunjukkan bahwa pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah untuk memberikan perlindungan kebebasan akademik. Tanpa revisi UU ITE maka korban yang dikriminalisasikan atas nama pencemaran nama baik akan terus berjatuhan.
Herlambang P Wiratraman, Dewan Pengarah KIKA menyatakan “Bagi Unsyiah, nama baik Dr. Saiful Mahdi harus segera dipulihkan. Pimpinan kampus harus menyampaikan permintaan maaf kepada beliau, sekaligus belajar lebih bijak atas proses hukum dan proses politik yang sungguh pembelajaran cerdas republik ini untuk tidak terulang. Apa yang disuarakan Saiful Mahdi harus diberikan dukungan dan dibuka, apa yang sesungguhnya terjadi di balik kasus hukum ini.”
Sumber Foto: elsam.or.id