Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Herlambang Wiratraman menyebut pemerintah gagal melindungi rakyat dari lonjakan COVID-19.
Herlambang menyebut, ada tiga fakta yang membuktikan kegagalan tersebut. Pertama, lonjakan kasus dan peningkatan kematian COVID-19 yang sedang terjadi. Ditambah, dengan merebaknya varian baru COVID-19 di Indonesia.
“Angka kasus harian hari-hari ini meningkat tajam, diiringi dengan realitas angka kematiannya tinggi. Ini bukan tidak diingatkan oleh banyak pihak. Ini sudah diingatkan banyak pihak, desakan bahkan untuk lockdown atau tarik rem darurat dari para ahli maupun tokoh,” kata Herlambang dalam diskusi virtual, Senin, 5 Juli.
Kedua, fasilitas pelayanan kesehatan saat ini, menurut Herlambang bisa dikatakan ambruk atau kolaps. Banyak pengakuan rumah sakit hari ini yang tak sanggup lagi menerima pasien COVID-19, sehingga penolakan terjadi di mana-mana.
Akibatnya, kata Herlambang, banyak pasien COVID-19 yang kondisi kesehatannya semakin memburuk akibat tak mendapat layanan kesehatan. Bahkan, tak sedikit warga positif COVID-19 meninggal dunia.
“Banyak orang yang seharusnya mendapatkan layanan ruang isolasi khusus, tetapi tidak mendapatkan akses. Sehingga, tidak mengejutkan tiba-tiba kita mendapati fakta, berdasarkan data dari LaporCovid-19, 265 pasien isolasi mandiri meninggal dunia,” ungkap Herlambang.
Fakta ketiga gagalnya negara melindungi rakyat adalah tingginya jumlah nakes yang terpapar dan meninggal. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat per 27 Juni, ada 405 dokter meninggal.
“Angkanya sungguh meningkat tajam. Per 1 sampai 27 juni bertambah 31 orang. jadi dalam sebulan menambah 31 orang. Laporan dari Persatuan perawat nasional Indonesia juga menyebut per 28 Juni, sudah 326 perawat yang meninggal,” tutur Herlambang.
“Jadi, tiga fakta ini saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengatakan negara gagal melindungi rakyatnya,” lanjutnya.
Herlambang juga membeberkan 5 penyebab negara gagal melindungi rakyatnya dari lonjakan kasus COVID-19. Pertama,negara gagal karena pemerintah abai dan tidak mengantisipasi adanya varian baru COVID-19.
“Sebenarnya kita sudah ada pengalaman, pengetahuan, tentang bagaimana mencegah varian baru. Akses masuk bisa di-block atau perjalanan luar negeri dihentikan untuk sementara waktu, atau ditutup. tapi alih-alih menutup, justru yang ada promosi (wisata),” ucapnya.
Kedua, pemerintah lambat melakukan tindakan tindakan yang seharusnya dilakukan. seperti desakan tarim rem darurat atau lockdown.
Ketiga, pemerintah lebih mengorientasikan pertimbangan ekonomi daripada keselamatan warga, tenaga kesehatan, atau memperkuat fasilitas kesehatan dan layanan publik.
Keempat, pemerintah lebih sibuk menyangkal kegagalan yang terjadi. “Yang ada justru mereproduksi kebijakan yang kontraproduktif. Narasi dan politik hukumnya justru menegasikan hal yang paling mendasar dalam penanganan pandemi,” kata Herlambang.
Kelima, pemerintah tidak serius untuk mengupayakan secara sistematik terhadap upaya penangana pandemi dalam bentuk testing, tracing, maupun treatment (3T).
“Lima sebab itu sebagai penjelas mengapa negara gagal menyelamatkan rakyatnya dan pandemi ini sebenarnya tidak hanya menguji sistem pelayanan kesehatan, tapi sistem negara ini juga ikut diuji, termasuk menguji apakah negara hadir atau tidak, terutama dalam menjalankan mandat konstitusi,” imbuh dia.
Sumber : voi.id