Maisie Sagita, analyst Continuum Big Data memaparkan hasil riset Continuum periode 01-31 Mei 2023 yang menemukan fakta-fakta menarik seputar kecenderungan netizen di media sosial twitter tentang popularitas Partai Politik saat ini.
Data yang diambil dari 485,743 perbincangan di media sosial dan terdiri dari 139,942 akun media sosial twitter.Data yang didapat oleh Continuum telah disaring terlebih dulu dari buzzer dan BOT, sehingga dapat diperoleh pendapat dari akun akun masyarakat pada umumnya.
Dari hasil pengumpulan data, dari 18 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu 2024, saat ini terdapat 5 partai politik yang paling popular di media massa yakni : Partai Nasdem, PDIP, PKS, PKB dan Gerindra.
“Partai Nasdem menjadi partai paling popular dengan tingkat penerimaan paling tinggi dan proporsi perbincangan positif yakni 77% atau 140 ribu lebih perbincangan oleh 26.056 akun medsos,” terang Maisie Sagita
Popularitas tersebut dikarenakan Partai Nasdem dan PKS (39 ribu perbincangan) menjadi partai populer karena langkahnya yang berani menyalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dan dinilai menyelamatkan demokrasi.
Selain itu menurut Maisie, Partai Nasdem juga dianggap menyebabkan kader partai lain pindah ke Nasdem.
“Di sisi lain, publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader Partai Nasdem dan meminta untuk menyelidiki aliran dan korupsi ke partai. Publik juga curiga dengan biaya pembangunan Nasdem Tower,” ungkapnya.
Selain itu partai PKB dengan 38 ribu perbincangan juga populer karena ada narasi perbedaan dukungan di akar rumput antara mendukung Anies Baswedan dan Prabowo.
Sementara PDIP (110 ribu perbincangan positif oleh 30,785 akun medsos) meraih 71,5% tingkat popularitas positif karena Bacapres Ganjar Pranowo. Gerindra dengan 35,400 perbincangan populer karena didorong percakapan bacapres Prabowo.
Sementara 58,5% percakapan pendukung PDIP berisi dukungan kepada Ganjar Pranowo. Di sisi lain publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader PDIP. Padahal dulu PDIP memperjuangkan reformasi tetapi justru sekarang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.
PKS, partai Islam memperoleh 39,542 perbincangan oleh 14,137 akun medsos dan memperoleh positive rate 80,9%. Elektabilitas PKS menjadi semakin naik karena mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024 dan menyelamatkan demokrasi.
Namun, PKS juga dikritik karena tindakan kekerasan oleh kadernya, dan menyoroti kader PKS lain yang menolak UU tindak pidana kekerasan seksual. Isu majunya Kaesang sebagai calon Walikota Depok juga memunculkan keinginan publik untuk menyingkirkan PKS dari Depok.
Partai Gerindra, mendapat 35,350 perbincangan oleh 16,132 akun medsos. 58,1 percakapan berisi dukungan publik untuk kepada Prabowo.
“Publik juga mengapresiasi tim Gerindra yang mampu membangun citra Prabowo dengan sangat baik. Tetapi di sisi lain tindakan Prabowo yang menggandeng keluarga Jokowi menyebabkan publik menilai Gerindra gagal dalam mengkader bibit bibit dalam partai,” jelas Maisie.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto dalam paparannya menyebut dari perspektif normatif tentang Pemilu maka itu artinya berbicara ihwal demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin.
“Oleh karenanya kemudian pemilu digunakan sebagai cara bagi warga negara untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pada pemimpin,” terangnya.
Menurut Wijayanto, sayangnya, saat ini pemilu di Indonesia ditempatkan dalam konteks kemunduran demokrasi sebagaimana telah muncul banyak catatan tentang pemilu yang berlangsung dalam suasana yang hampir ditunda, dan hampir jadi 3 periode petahana presiden.
“Pemilu diiringi dengan cawe-cawe presiden yang aktif memberikan dukungannya kepada dua capres. Hal itu menimbulkan pertanyaan dan protes publik. Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya. Menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” jelasnya.
Selanjutnya Dr Wijayanto juga memberikan opini terkait riset popularitas partai, tetapi ada satu hal penting, bahwa pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara. Lalu dibicarakan juga apa solusinya.
“Dari perbicangan riset Continuum yang ada nampaknya kita terjebak pada perbincangan tentang “pacuan kuda”. Kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali,” katanya.
Menurut Wijayanto, saat ini kita tidak mendengar itu semua dari partai-partai yang bersaing. Yang muncul hanya PKS Nasdem PDIP terkenal karena mendukung bacapres-bacapres Anies atau Ganjar Pranowo. Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada. Atau populernya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai,” ujarnya.
“Seharusnya mendekati pemilu 2204 yang sisa 7 bulan lagi, ada solusi atau konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa mulai dari HAM, kemiskinan, lapangan pekerjaan, isu lingkungan dan isu isu pro publik lainnya,” tegas Wijayanto.
One of the most important parts of Indonesia’s presidential election phase is the announcement of long-term development planning (RPJPN) 2025-2045. It is because all of the candidates have to adopt the RPJPN in their vision and mission. On May 22-23, 2023, Bappenas (the National Development Planning Agency) held the National Development Plan Deliberation (Musrenbangnas) 2023, for the formulation of the National Long-Term Development Plan (RPJPN) 2025-2045. This momentous event went unnoticed by the public amidst the noisy roadshows conducted by potential presidential candidates to capture public attention.
The Musrenbangnas 2023 was intended to ensure that development progresses in a directed, integrated, and clearly defined manner, in order to address the future needs of the nation. The aspirations and goals of Indonesia’s independence in 2045 when Indonesia celebrates 100 years’ independence day, are expected to face increasingly challenging and complex circumstances. On the global stage (external aspect), Indonesia must emerge as a competitive nation, a key player rather than a mere spectator. Internally, Indonesia must strive to become a self-reliant and advanced nation. In line with circumstances, a nation with such qualifications must reflect justice and prosperity in every aspect of life, ensuring equal distribution of development benefits. In particular, all people should have equal opportunities to access social services, education, healthcare, and employment, express their opinions and ideas publicly, exercise political rights, receive protection and equality before the law, and attain a better life, as reflected in improved socio-economic welfare.
The keyword for the development plan in realizing Indonesia Emas 2045 (Golden Indonesia 2045) is “Transform”. The reforms are no longer sufficient, but they need to be reinforced by comprehensive transformations in various development sectors. This transformation is crucial to achieving competitive development driven by inclusive and sustainable high productivity. The main focus of transformation includes social, economic, and governance aspects. A successful transformation is supported by a strong foundation of national stability, which encompasses the rule of law, substantial democracy, national security, and economic stability, creating a conducive domestic environment, as well as robust diplomacy to strengthen the role on the international stage. The rule of law ensures legal certainty and justice, while substantial democracy produces effective and responsive governance. Strong national security protects the country and creates a safe environment, while economic stability supports the well-being of society. When these four aspects are stable, the country will have a strong foundation to implement inclusive and sustainable development, attract investments, create decent jobs, and allocate resources effectively.
An interesting breakthrough from the Musrenbangnas 2023 is the approach to involve all elements of the nation. Fundamental issues that have yet to be resolved during the development process, such as poverty and inequality, are no longer addressed through programs and projects that are mere “inputs,” with the poor seeking assistance from poverty alleviation projects. Instead, communities living in inadequate conditions are approached, surveyed, and their basic service needs that have not been met are identified, and gradually fulfilled over time.
Intellectuals understand that development goes beyond economic growth and other measures of modernization such as urbanization and industrialization. It encompasses broader aspects such as equality, human progress, environment, democracy, social institutions, cultural values and civilization. Suppose development is merely aimed at addressing national challenges through the process of modernization. In that case, the outcome tends to benefit the elite, and perpetuate oligarchic hegemony, while leaving the lower class behind due to widening inequality.
Diskusi Dinamika Politik Menuju 2024 dibuka oleh Fahmi Wibawa selaku Direktur Eksekutif LP3ES. Fahmi Wibawa menekankan harus ada ‘langkah konkret’ terkait mundurnya demokrasi dengan mengenali aktor-aktor yang ada di dalam konstelasi demokrasi Indonesia dan jalannya pemilu nanti oleh pembelot yang bersembunyi dibalik layar.
Menurutnya kita selaku masyarakat sipil pun juga memiliki peran dengan mengawal langkah konkret tersebut. Diadakannya diskusi ini merupakan wujud pengamalan demokrasi tersebut. Bersamaan dengan tema diskusi sore hari ini, big data merupakan medium bagi ‘langkah konkret’ tersebut, melalui analisis data yang kelak dapat membantu kita untuk memetakan aktor-aktor politik yang memiliki peran signifikan, serta mengurai proses perilaku dari setiap aktor – baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
Ritual Oligarki
Diskusi diawali oleh Wijayanto selaku Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES serta Dewan Pakar Continuum, yang mengutip Refleksi Outlook 2022/2023 Ritual Oligarki menuju 2024, “Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia”.
Menurutnya hal yang penting dalam situasi demokrasi saat ini adalah Memonitor percakapan publik, mengutip apa yang dikatakan Ben Anderson bahwa informasi yang benar dalam negara demokrasi diibaratkan seperti oksigen, oleh karenanya informasi menjadi hal yang penting saat ini, baik akademisi, politisi dan masyarakat pada umumnya. LP3ES dan Continuum pun bekerja sama dalam melakukan monitor percakapan publik tersebut.
Percakapan publik yang kerap hangat muncul di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini adalah Masa Jabatan Kepala Desa – yang paling banyak mendapat perhatian. Duo PKB Muhaimin Iskandar dan Abdul Halim menjadi aktor yang disorot selaku pencetus ide tersebut. Selain itu isu Penundaan pemilu, Kredibilitas KPU, Kemunduran Demokrasi dan Politik Dinasti – Mayoritas perbincangan-perbincangan isu ini sarat dengan kritik dan respon negatif oleh masyarakat.
Demokrasi Masuk Jurang
Senada dengan Wijayanto, Prof Didik juga menjelaskan terdapat lima masalah yang dapat menggiring ‘demokrasi masuk jurang’. Senada dengan Wijayanto, diskusi dipantik oleh Prof Didik dengan kembali menekankan lima isu politik krusial yang hangat dalam perbincangan publik yakni, perpanjangan masa jabatan kades, penundaan pemilu, kredibilitas KPU, politik dinasti, dan kemunduran demokrasi.
Terkait isu Perpanjangan Masa Jabatan Kades, mestinya inti demokrasi adalah pembatasan kekuasaan – oleh karena itu seharusnya terdapat batasan jabatan publik. Inti dari kekuasaan politik itu tersendiri merupakan adanya check and balance. Menurutnya upaya perpanjangan masa jabatan kades tersebut merupakan bentuk kolusi politik serta praktek najis bagi demokrasi – sama halnya dengan praktek jabatan seumur hidup.
Isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan upaya menjajal arus gelombang rakyat pertahanan demokrasi di akar rumput. Tentu masyarakat menolak wacana tersebut. Kendati ditolak, tetap ada upaya penggiringan isu perpanjangan kekuasaan melalui isu penundaan pemilu.
Dari hasil riset big data, kredibilitas KPU dipertanyakan secara prihatin oleh publik. Komisioner yang menjabat sekarang, dipertanyakan, karena status posisi mereka merupakan hasil perebutan pengaruh dan kolusi di bawah tanah dengan partai-partai politik.
Di Indonesia politik dinasti yang bercampur oligarki juga menjadi temuan dalam perbincangan publik. Campuran politik dinasti dengan sistem oligarki juga akan menggiring demokrasi ke jurang. Kendati tidak tidak haram, praktek ini tetap dapat menggiring ‘demokrasi ke dalam jurang’.
Pelaku demokrasi (politisi dan partai yang berkuasa saat ini) justru mengkhianati demokrasi yang mengarah kepada kemunduran, continuum menemukan ada watak otoriter dibalik aktor aktor demokrasi.
Antara Negara, Oligarki dan Partai Politik
Abdul Hamid selaku Dewan Pengurus LP3ES juga memberikan pendapatnya terkait dengan keadaan kondisi bangsa saat ini. Menurutnya Negara telah mengubah dirinya menjadi “horor”, sehingga kritik apapun yang diajukan untuk negara tidak dapat bermakna, Dalam konteks ini negara telah melakukan kolusi antara parlemen dengan eksekutif yang mengakibatkan negara tidak lagi independen yang justru menghilangkan tugas tugas etis (keadilan/kesejahteraan) dalam bernegara. Negara berubah fungsi menjadi alat teror diantara masyarakat.
menurutnya partai politik mesti menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam menghadapi situasi saat ini. Selain itu kelompok masyarakat sipil juga penting untuk tetap menyuarakan hal-hal ini. Abdul Hamid juga menilai Indonesia kedepannya cenderung dalam situasi bahaya – melihat dari ketiga kekuatan politik; negara atau oligarki yang sudah menyatu dengan partai politik, serta orientasi masyarakat yang sudah terpecah. Diperlukan analisis yang mendalam untuk mencarikan jalan keluarnya, dalam melihat kegaduhan dalam perbincangan publik. Abdul hamid mengatakan :
“Big data merupakan data verbal. Data verbal bukan berarti tidak memiliki fungsi apa-apa. Kendati berakar dari persepsi, tetapi persepsi merupakan wujud kepercayaan. Oleh karena itu, hasil analisa big data Continuum merupakan hasil kepercayaan dari opini publik. “
Perbincangan Publikdan Elektabilitas Tokoh
Selain itu menurut Wahyu Tri Utomo Data Analyst Continuum, sosial media kini telah digunakan sebagai strategi bagi suatu aktor politik dalam mencapai kepentingan politik mereka. Dari hasil riset Continuum, terdapat empat tokoh yang dikaitkan sebagai capres, yakni Anies, Prabowo, Puan dan Ganjar. Anies menjadi tokoh yang paling banyak dikaitkan sebagai capres, dengan AHY kerap dikaitkan sebagai cawapres. Pasangan lainnya adalah Ganjar – Erick Thohir. Sementara nama Puan belum memiliki nama cawapres yang signifikan.
Menurut Continuum, Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY merupakan tokoh yang paling banyak menjadi perbincangan. Anies juga menjadi tokoh dengan tingkat penerimaan yang tinggi sebesar 85%. Dari hasil penelitian big data yang dilakukan continuum dengan LP3ES, dalam aspek politik terdapat tokoh-tokoh yang paling mendominasi dalam perbincangan publik yaitu Anies, Prabowo, Ganjar dan AHY.
Hari ini, Minggu, 29 Januari 2023, LP3ES me-release outlook demokrasi yang merupakan buku kelima selama lima tahun terakhir. Hadir sebagai pembicara adalah para penulis buku antara lain: Wijayanto, Titi Anggraini, Herlambang P Wiratraman, Bangkit Wiryawan, dan Malik Ruslan. Webinar diawali Sambutan Direktur Ekesekutif LP3ES.
Fahmi Wibawa, Direktur Eksekutif LP3ES
Mengawali webinar, Fahmi Wibawa memberi pengantar diskusi mengenai situasi demokrasi sekarang ini yang sedang tidak baik-baik saja. Sampai dengan akhir tahun 2022 lalu, lahirnya beberapa produk peraturan perundang-undangan yang didorong pemerintah, seperti revisi UU KPK, UU Cipta Karya, UU Minerba, dan klimaksnya adalah pengesahan UU KUHP 2022, menempatkan iklim demokrasi Indonesia di titik nadir. Berbagai produk hukum oligarkis tersebut, yang diklaim sebagai formula mengantisipasi ancaman resesi ekonomi global sekaligus menyongsong Pemilu 2024, sejatinya malah memasung demokrasi dan mengerdilkan peran rakyat.
Demokrasi di Indonesia dinilai cacat yang ditandai dengan oposisi yang lemah, kebebasan sipil yang menurun, dan menguatnya negara dalam menekan kritik. LP3ES sebagai lembaga intelektual dan cendekiawan yang sudah berdiri sejak tahun 1971, melihat situasi ini dan memberikan perhatian pada upaya mencari solusi atas permasalahan yang terjadi dengan menerbitkan buku refleksi dan outlook demokrasi. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan kita semua tentang masalah serius yang terjadi pada demokrasi kita saat ini dan upaya untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang ada.
Wijayanto, Direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES
Sebagai pembicara pertama pada webinar ini, Wijayanto menekankan tentang pemilu kita yang diibaratkan sebagai suatu ritual yang seperti “ritual pacuan kuda” ,dalam artian bahwa dari pemilu ke pemilu merupakan suatu kompetisi yang justru tidak menjawab tujuan pemilu itu sendiri, padahal pemilu adalah untuk memilih pemimpin untuk sirkulasi kekuasaan yang bertujuan untuk mementingkan kepentingan publik, namun demokrasi kita malah mengalami kemunduran dan menuju pada otoritarianisme. Hanya sirkulasi kekuasaan diantara elite bukan untuk kepentingan umum.
Sayangnya menuju pemilu 2024, kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoriterisme masih juga berlangsung yang antara lain ditandai dengan: diabaikannya aturan main demokratis, absennya oposisi karena pelemahan sistematis oleh negara, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan, dan pembrangusan kebebasan sipil termasuk media.
Pertama, diabaikannya aturan main demokratis nampak pada terus mengemukanya wacana penundaan pemilu dan pemecatan hakim MK secara sepihak oleh DPR. Pindah ibu kota yang UU nya baru disahkan 2022 tapi sebenarnya sudah diputuskan sejak 2019 tanpa konsultasi public adalah penanda lainnya.
Kedua, absennya lawan politik memberi kita parlemen yang menjadi paduan suara Bersama pemerintah dalam berbagai hal: UU Cipta Kerja, RKUHP, juga pelemahan KPK. Ia memberi kita salah satu periode paling membosankan dalam sejarah parlemen Indonesia. One hundred years of solitude, mungkin pas untuk menggambarkan bungkamnya parlemen kita untuk memperjuangkan kepentingan warga.
Ketiga, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan terjadi pada kasus Kanjuruhan, kasus Ferdy Sambo, dan berbagai data lain (lihat PPT). Kasus Sambo memberikan satu pesan, yang mengutip Goenawan Mohamad: “Banyak yang tahu, di kamar-kamar tahanan polisi, penyiksaan dan pemerasan tak jarang dilakukan, dan hampir selamanya dibiarkan. Pelan-pelan, brutalitas itu jadi “kebudayaan”.”
Keempat, pemberangusan kebebasan sipil termasuk media. Terdapat 263 kasus hingga kuartal ketiga 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun lalu dengan 193 kasus (2021) dan 147 kasus (2020). Serangan digital ini juga berpengaruh terhadap kebebasan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa ada setidaknya 14 kasus serangan digital terhadap wartawan dan media pada tahun 2022.
Berbagai gejala kemunduran demokrasi itu pada dasarnya merefleksikan dominannya kuasa oligarki dalam sistem politik Indonesia. Di sini, oligarki didefinisikan sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya (Robison dan Hadiz, 2013). Ia juga dapat didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya (Winters, 2013).
Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis ini, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi yang lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Titi Anggraini, Dewan Pembina PERLUDDEM
Titi Anggraini melanjutkan diskusi dengan memberi tajuk “Cakap Tak Serupa Bikin : Jalan Terjal Pemilu 2024 dan Resiliensi Masyarakat Sipil”. Titi memantik diskusi dengan menekankan bahwa bukan masyarakat namun elite yang membuat jalan menjadi terjal, contohnya adalah penundaan pemilu, sampai penghujung 2022 masih terdapat wacana untuk menimbang kembali pemilu 2024. Pada 2022, persiapan pemilu tersendat, selain itu pada tahun ini muncul indikasi kecurangan verifikasi faktual partai politik secara struktural, berikut adanya yudisialisasi politik peraturan pemilu akibat tidak direvisinya UU Pemilu, contohnya mantan terpidana, penataan daerah pemilihan dan upaya melalui uji materiil sistem pemilu. Dan adanya anomali penjabat kepala daerah.
Masyarakat sipil dapat berperan dalam mengantisipasi ini dengan menunjukan resiliensinya, contohnya transformasi pemantauan pemilu, adanya adaptasi kelenturan pada advokasi yudisial, dan kemampuan mendapatkan kepercayaan informan whistle blower.
Pada 2023, Titi memprediksikan bahwa situasi serupa akan tetap terjadi. Elite akan tetap gaduh dan tetap minus politik gagasan diskursus, dan sangat ‘elitis’. Serta mereka cenderung menginginkan masa kampanye yang pendek namun di saat yang sama, ingin bersosialisasi di ‘masa tunggu’, guna menghindari akuntabilitas di masa kampanye.
Serangkaian peristiwa 2022, bahwa upaya mewujudkan demokrasi prosedural sekalipun bukanlah sesuatu yang mudah termasuk juga bagian substansinya. Praktik pemilu selama ini reguler dilakukan bahkan mendapatkan tantangan yang justru datang dari para elite politik hasil dari proses pemilu itu sendiri. Elite politik sangat cakap dan fasih saat mengumumkan jargon-jargon mereka, akan tetapi dalam pelaksanaannya cenderung inkonsistensi. Alias cakap tak serupa bikin.
Oleh karena itu masyarakat sipil perlu bersikap resilien dalam menghadapi situasi di pemilu 2024. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah merebut Pemilu 2024 melalui penetrasi pada pemilih muda yang jumlahnya lebih dari 50% dari 200 juta lebih pemilih Indonesia pada 2024 (dengan 15% di antaranya adalah pemilih berusia 17-23 tahun).
Bangkit A. Wiryawan, Dosen FISIP UNDIP/LP3ES
Pembicara ketiga yaitu Bangkit A. Wiryawan, mengawali pemaparannya mengenai dinasti politik. Bangkit menyebutkan bahwa dinasti politik juga berkontribusi terhadap buruknya demokrasi di Indonesia. Adanya celah pada instrumen hukum negara menjadi salah satu faktor langgengnya praktik dinasti politik di Indonesia, yakni Putusan MK No. 33 2015. Argumen ini berangkat dari hasil penelitian pengukuran dampak perubahan kepemimpinan untuk konteks pilkada dari kurun waktu 2013-2017.
Dampak dari dinasti politik biasanya muncul pada tahun politik, yaitu sekitar satu tahun sebelum penyelenggaraan pilkada. Dari 15 daerah hanya 3 daerah terdapat pertumbuhan pengeluaran perkapita, tingkat pengeluaran perkapita selama dinasti politik di tahun pertama dan kedua disetiap daerah rata-rata negatif.
Concern terhadap semakin menguatnya dinasti politik menarik untuk dikaji secara ilmiah, spesifiknya untuk mengukur dampak fenomena tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat di tingkat daerah. Sebanyak 15 kasus dinasti politik di tataran eksekutif daerah kabupaten/kota berhasil dihimpun. Tahun penyelenggaraan pilkada, atau tahun sebelumnya apabila pilkada dilaksanakan pada awal tahun, menjadi tahun observasi. Sebagai pembanding, digunakan data rata-rata provinsi. Hasilnya ditemukan bahwa bahwa dinasti politik daerah secara rata-rata ikut menyumbang penurunan pertumbuhan kesejahteraan sebesar 0.8% dibandingkan rata-rata provinsi. Dinasti politik juga turut menyumbang terhadap meningkatnya indeks keparahan kemiskinan sebesar 0.7% dibandingkan dengan rata-rata provinsi.
Herlambang P. Wiratraman, Direktur Pusat Hukum dan HAM LP3ES
Posisi negara hukum Indonesia memperlihatkan perlindungan warga negara masih jauh ideal, realitas dari waktu ke waktu sepanjang 2022 tidak ada yang mengejutkan, karena sudah dapat terlihat dari peraturan yang dibuat. Refleksi tersebut dapat dilihat pada 3 poin utama pertama pembentukan hukum semakin otokratis, kedua penegakan hukum bagaimana hukum bekerja, dan pelanggaran HAM dan Impunitas.Sepanjang tahun 2022 ada beberapa produk hukum yang akan besar dampaknya, misalnya RKHUP dan UU Cipta Kerja .
Dari refleksi tersebut ada begitu banyak pasal pasal justru akan mengancam kebebasan sipil. Pembatasan digunakan seakan akan tepat namun tidak menjawab permasalahan mendasar contohnya kritik terhadap presiden dan lembaga pemerintah, dari sisi penegakan hukum refleksi 2022 ada beberapa kasus yang dapat dilihat kurangnya perlindungan hukum kepada masyarakat misalnya kasus wadas (serangan yang sistematis dan terencana). Peristiwa peristiwa tersebut juga memperlihatkan birokrasi menyumbang pembusukan pada negara hukum,
Sejumlah peristiwa HAM yang terjadi, banyak yang tertutup dengan peristiwa besar lainnya. Seperti peristiwa anak-anak muda yang dipenjara dengan tuduhan yang tidak mereka lakukan. Peristiwa ini menjadi potret dimana hukum tidak bekerja secara adil.
Refleksi akhir dari situasi 2022 guna melihat situasi di tahun 2023, kurang lebih akan serupa. Kekerasan, impunitas, dan lemahnya penegakan hukum dan HAM menjadi warna dominan sepanjang tahun 2022, sebagai salah satu akibat dari melemahnya demokrasi. Pada waktu yang sama, pembentukan hukum merefleksikan menguatnya karakter legalisme otokratis. Pengesahan KUHP dan UUCK menjadi penanda yang sangat kuat. Sementara itu, penegakan hukum dan HAM yang tidak serius, paralel dengan lumpuhnya penopang perlindungan hak-hak dasar warga, tak terkecuali lemahnya politik hukum kekuasaan untuk memangkas mata rantai impunitas.
Malik Ruslan, Peneliti/Editor Senior LP3ES
Malik ruslan menutup diskusi dengan pemaparannya mengenai politik anti korupsi. Malik menekankan terdapat semacam arus balik yang semakin mengkhawatirkan terutama dalam kaitannya negara dalam melawan korupsi. Menurutnya Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, misalnya dicabutnya PP No. 99 Tahun 2012 kemudian lahirnya uu 22 tahun 2022. Dengan dicabutnya uu tersebut maka semua orang atau tersangka berhak mendapatkan remisi.
Politik anti korupsi mengalami involusi, konsekuensi negara menafsirkan korupsi–memberikan arti bahwa hukum saat ini tidak lagi mendukung korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi lalu dianggap menjadi kejahatan biasa.
Apa yang akan dihadapi oleh indonesia pada tahun 2023 nanti?persoalan yang terjadi akan sama seperti yang sudah terjadi pada tahun 2022. Tahun 2022 ditandai, antara lain, dengan kian menguatnya tanda-tanda involusi politik antikorupsi yang sifatnya fundamental.
Pada ulang tahun yang kelimapuluh, LP3ES menerbitkan buku refleksi 100 ilmuwan sosial politik yang melibatkan 136 ilmuwan sosial politik dari seluruh dunia untuk melakukan refleksi tentang situasi demokrasi di Indonesia. Selain isu-isu demokrasi yang media sepeti: reformasi partai politik dan pemilu, penagakan hukum, kebebasan sipil dan media, buku ini juga membahas problem yang seringkali tidak disingguh ketika membicara demokrasi, yaitu penurunan kualitas lingkungan/kerusakan alam Karena berbagai hal: perubahan iklim, ledakan populasi, dan banyak lainnya.
Berbagai studi menunjukkan kualitas demokrasi dan kapasitas pemerintahan berkorelasi positif dengan kapasitas pencegahan dan respon pemerintah atas kerusakan lingkungan. Semakin bak kualitas demokrasi dan kapasitas pemerintah, semakin baik kapasitas pencegahan dan respon pemerintah atas kerusakan lingkungan. Dengan kata lain: akan semakin mampu pemerintah untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
Buku ini sebenarnya merupakan refleksi komiten LP3ES sebagai salah satu lembaga pemikir tertua di Indonesia dalam upaya mendorong demokratisasi pada umumnya, dan mengatasi kerusakan lingkungan pada khususnya. Kita tahu di sini ada nama-nama yang sudah lama konsern pada isu lingkungan seperti Emil Salim, Ismid Hadad, Erwan Maryono, dan pada generasi terbaru seperti Fahmi Wibawa, Triyaka, dan Yogi Setya Permana.
Apa yang menjadi concern LP3ES sejak lama ini relevan tengan seminar kita pada siang hari ini tentang mengawal hasil pertemuan G20 dan COP 27. Perlu saya sampaikan bahwa seminar pada siang hari ini merupakan kerjasama antara LP3ES dan kemitraan.
Seperti kita tahu G20 atau Group of Twenty adalah forum antar pemerintah yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa (UE). Ini berfungsi untuk mengatasi masalah utama yang terkait dengan ekonomi global, seperti stabilitas keuangan internasional, mitigasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.
Pada 15-16 November lalu, Indonesia mendapat kehormatan untuk Dmenjadi tuang rumah dennen membawa 3 pokok agenda yang menjadi pembahasan dalam pertemuan ini, antara lain: Arsitektur Kesehatan Global, Transformasi Ekonomi Digital, dan Transisi Energi.
Pada saat bersamaan Indonesia juga aktiv dalam COP27. COP27 atau Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2022 atau Konferensi Para Pihak UNFCCC (The 2022 United Nations Climate Change Conference or Conference of the Parties of the UNFCCC), lebih sering disebut sebagai COP27 adalah konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-27, yang diadakan dari 6 November hingga 20 November 2022[2] di Sharm El Sheikh, Mesir . Itu terjadi di bawah kepresidenan Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, dengan lebih dari 92 kepala negara dan diperkirakan 35.000 perwakilan, atau delegasi, dari 190 negara hadir.
Segera kita tahu bahwa pertemuan penting itu memiliki satu benang merah: mengawal isu kelestarian lingkungan yang di dalamnya mencakup juga ism perubahan iklim, transiti energi dan banyak lainnya sebagai salah satu fokus utama.
Untuk itu, LP3ES pada seminar siang hari ini telah hadir beragam kita berbagai pembicara yang pakar di bidang masing-masing antara lain: Dian Triansyah Djani (Dubes Indonesia di PBB dan Negosiator Pemerintah dalam G20), Emma Rachmawati (Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK), dan Laode M Syarif (Direktur Eksekutif Kemitraan).
Acara ini diawali dengan sambutan Fahmi Wibawa (Direktur Eksekutif LP3ES), dan dipandu oleh Wijayanto (Direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES)
Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) kembali mengadakan Scholarium, kali ini dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia yang bertepatan pada Jumat, 9 Desember 2022. Acara ini diselenggarakan secara sistem hybrid dan dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat. Menghadirkan narasumber ahli dibidangnya, tema yang dibahas mengenai “Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia: Peran Intelektual dan Kemunduran Demokrasi”.
Demokrasi Tak Menjamin Mengerem Laju Korupsi
Malik Ruslan, selaku narasumber ahli mengawali pembicaraannya dengan berulang kali mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya. Ia menganalogikan budaya korupsi seperti pohon besar yang tumbuh rimbun, tinggi, berbatang kokoh, serta akarnya yang menghujam bumi, namun tindakan yang dilakukan untuk merobohkan pohon [baca: korupsi] justru dengan menebasnya menggunakan pisau silet [baca: hukuman ringan]. Akibatnya tidak ada efek jera yang muncul, di tingkat pejabat pemerintahan misalnya, korupsi meningkat karena ketidakberdayaan hukum untuk merefleksikan sepenuhnya dampak korupsi bagi kerugian negara dan masyarakat.
“Di tahun 2021 ada 686 oknum kades korupsi dana desa, kalau dibandingkan di tahun 2019 masih sekitar 400-an. Artinya ada peningkatan, jadi dimana kita bisa mengatakan bahwa kita berhasil mencegah korupsi. Semakin banyak uang yang mengalir, semakin banyak pelaku korupsi”, terang peneliti dan editor senior LP3ES ini.
Korupsi dalam ranah kekuasaan memang sangat rentan, kepemilikan jabatan dimanfaatkan pejabat untuk melakukan korupsi jual beli jabatan. “Pejabat publik katakanlah kepala dinas mengelola uang 6 miliar untuk pengadaan proyek, maka 10% nya menjadi milik dia. Seperti kasus pembangunan jembatan di Surabaya yang nilai pembangunannya 5 miliar, itu walikota dapat 10% nya. Cara berpikir itu di tahun 90-an sudah ada terbawa hingga sekarang”, lanjutnya.
Bahkan menurutnya bentuk pemerintahan demokrasi belum bisa menghambat korupsi. Dalam kasus di Indonesia katanya tidak ada hubungan kausal antara demokratisasi dengan menurunnya korupsi. Norma atau perilaku yang ditimbulkan oleh demokrasi tidak cukup untuk menghilangkan praktik korupsi yang masif. Menurutnya mengangkat isu moralitas menjadi penting, karena korupsi pada dasarnya sebagai masalah moralitas. Hilangnya moral dalam kehidupan keseharian menjadi pemicu utama membudayanya korupsi.
“Muhsin al Attas bilang begini, kalau suatu negara mempunyai kebebasan pers, akan menghambat korupsi pada tingkat atas. Kalau di kita nggak kan, persnya kita sudah bebas, tapi korupsi tetap jalan terus. Juga seharusnya bila ekonomi maju, pendidikan turut ikut berkembang, besar kemungkinan pendidikan menjadi instrumen terbentuknya nilai-nilai kejujuran, dengan begitu menjadi alat untuk menghambat korupsi. Di sini juga nggak. Jadi Indonesia tempat mengubur seluruh tesis-tesis tentang hubungan antara demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebebasan pers kaitannya dengan korupsi”, pungkasnya.
Sementara menurut Andri S Nugraha, pengamat di Public Virtue Research Institute menyatakan hubungan kausalitas antara faktor-faktor yang seharusnya menjadi penghambat korupsi tidak langsung memiliki efek yang signifikan. Terdapat faktor lain yang menyebabkan diantara beberapa faktor saling tarik menarik.
“Mungkin saja dalam tata kelola pemerintahannya sudah cukup transparan, sistem pengawasannya baik namun masih terdapat celah-celah untuk kolusi. Misalkan kasus pengadaan barang dan jasa yang telah terikat janji penerimaan hadiah, bila dimenangkan kerabat atau rekanannya kemudian mendapat imbal hasil”.
Berbicara mengenai korupsi sebagai tanda-tanda kemunduran demokrasi, berdasar hasil riset yang dikeluarkan oleh Ekonomi Intelligence Unit (EUI), Indonesia dikategorisasikan masuk sebagai negara demokrasi mengambang. Meskipun begitu peringkat Indonesia berada di atas rata-rata penilaian demokrasi dunia secara akumulatif.
Tapi dalam kurun waktu 2 hingga 3 tahun terakhir kasus yang terjadi di Indonesia telah memberi sinyal bahwa Indonesia mengalami regresi demokrasi. Regresi demokrasi bisa diidentifikasi melalui gejala-gejala diantaranya penyalahgunaan hukum dan keberpihakan aparat penegak hukum, pertarungan politik zero sum game, kuatnya pengaruh oligarki, dan desain pemilu yang melanggengkan barrier to entry.
“Analisa yang saya lakukan beberapa waktu lalu dapat disimpulkan bahwa kondisi demokrasi, termasuk penegakkan hukum dan praktik koruptif dihasilkan dari reformasi yang tidak tuntas. Agenda reformasi hukum sebetulnya perlu dikedepankan, namun belakangan reformasi hukum malah melempem. Konsen pada kualitas hukum punya kaitan yang sangat erat dengan kondisi demokrasi dan praktik koruptif di Indonesia. Satu kerusakan dari sisi hukum akan berpengaruh terhadap sendi-sendi negara yang lain. Itu disebabkan karena hukum menjadi alat atau akses utama pelaksanaan demokrasi”, pungkasnya.
Korupsi dan Hilangnya Kepekaan Publik
Beda halnya dengan yang diungkapkan Bilal Soekarno, ia menyorot hal prinsipal seperti pendefinisian korupsi yang ia sebut perlu diperiksa ulang. Secara KBBI korupsi hanya didefinisikan sebagai penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, padahal menurutnya korupsi tidak memiliki bentuk sesederhana itu.
“Misalkan dalam bentuk lainnya korupsi bisa bermakna sebagai perilaku koruptif dalam penegakkan atau pembentukkan produk hukum yang tidak berpihak pada keadilan masyarakat. Pada tahun ini saja sudah disahkannya Undang-Undang (UU) kontroversial yaitu UU Minerba dan UU Omnibus Law yang menuai polemik dan kecaman dari berbagai elemen masyarakat”, terang Ketua BEM UPN Veteran Jakarta ini.
Bilal mempertanyakan ketidakadilan hukum di negeri ini yang jelas-jelas merugikan masyarakat umum namun tidak pernah dinyatakan sebagai perbuatan koruptif. “Untuk demikian itu sebenarnya belum sampai kita rumuskan. Korupsi jangan hanya didefinisikan sebagai penyelewengan uang saja, karena banyak sekali tingkah laku penyelenggaraan negara yang seharusnya layak dikatakan korupsi”.
Menurutnya lagi pelabelan untuk seorang koruptor sudah hilang kesakralannya. Justru oknum-oknum yang terjerat dalam kasus korupsi masih memperoleh pembelaan dari segelintir publik. Padahal menurutnya oknum yang melakukan tindakan korupsi tidak lagi memiliki rasa cinta atau jiwa nasionalisme untuk membangun bangsa dan kepentingan umum.
Bilal memaparkan bahwa tindakan korupsi yang didominasi kalangan pejabat pemerintahan dan pemilik modal diakibatkan semakin berkembangnya sistem kapitalisme. Asas kapitalisme yaitu dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya memfasilitasi manusia untuk serakah karena mendasarkan dirinya pada penuhanan individualisme. Karena sistem ini sudah menghipnotis hampir semua kalangan penguasa di berbagai tingkatan baik secara pikiran, moral, dan budaya, sehingga pengumpulan kekayaan materi melalui korupsi menjadi semakin merajalela.
Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES) Universitas Negeri Jakarta.