by lp3es2022 | Feb 18, 2025 | Demokrasi, Politik
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar seminar daring untuk meluncurkan buku berjudul Refleksi 2024, Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik di Tengah Pusaran Oligarki pada Minggu (16/2/2025).
Acara ini diikuti oleh para pakar, akademisi, dan pengamat politik yang membahas tantangan besar bagi demokrasi Indonesia di masa depan.
Dalam pembukaan acara, Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia tengah berada dalam kondisi kritis. Ia mengutip buku How Democracies Die yang menyatakan bahwa kematian demokrasi bukanlah hal mustahil.
“Apakah demokrasi masih bisa diselamatkan, atau otoritarianisme akan kembali tumbuh? Kita perlu memperkuat gerakan masyarakat sipil sebagai benteng utama dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi,” ujarnya.
Dalam sesi pemaparan pertama, Peneliti LP3ES Malik Ruslan menyampaikan materi berjudul Tantangan Presiden Prabowo: Konteks Penanggulangan Korupsi. Malik menyoroti melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan meningkatnya pengaruh oligarki yang menyebabkan korupsi masif dan sistematis.
Ia menyebut bahwa Indonesia kini dalam kondisi darurat korupsi dan menekankan perlunya langkah tegas dari Presiden Prabowo untuk memperkuat lembaga antikorupsi serta menciptakan efek jera bagi koruptor.
Malik juga menguraikan strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah, termasuk memperkuat independensi KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menghentikan politisasi pemberantasan korupsi, serta menerapkan pendekatan budaya dalam upaya pencegahan korupsi sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menegaskan bahwa reformasi politik telah berakhir. Hal ini menjadi dasar pemilihan judul buku yang diluncurkan.
Menurutnya, berbagai warisan reformasi telah dianulir, mulai dari pelemahan KPK, pengembalian dwi fungsi militer dan kepolisian, hingga lemahnya penegakan hukum.
“Buku Menyelamatkan Demokrasi yang diterbitkan LP3ES pada 2019 sudah memperingatkan ancaman kembalinya otoritarianisme. Kini kita melihat bahwa pelemahan KPK adalah bagian dari ancaman serius terhadap demokrasi,” kata Wijayanto.
Ia juga menyoroti bahwa saat ini tidak ada oposisi politik yang kuat, kebebasan pers semakin terancam, dan media yang kritis sulit bertahan.
“Media seperti Tempo memang masih kritis, tetapi sebagian besar media dikuasai oleh elite ekonomi yang dekat dengan kekuasaan,” tambahnya.
Kebebasan Pers Terancam
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2021-2024, Ika Ningtyas, dalam materinya Kebebasan Pers 2025: Dalam Bayang-Bayang Militer dan Politik Dinasti, mengungkapkan bahwa kebebasan pers di Indonesia semakin tertekan.
Ia mengutip data dari Dewan Pers yang menunjukkan bahwa media siber mendominasi lanskap informasi politik, dengan TikTok sebagai platform utama penyebaran informasi.
“Media sosial seperti TikTok kini menguasai ruang informasi, yang mengancam peran media independen,” kata Ika.
Ia juga mengkritik penggunaan buzzer dan influencer oleh pemerintah untuk membentuk opini publik.
“Kepercayaan publik terhadap media semakin menurun akibat maraknya konten manipulatif,” tegasnya.
Selain itu, revisi Undang-Undang Penyiaran semakin membatasi kebebasan pers, sementara kondisi ekonomi memperburuk situasi media independen.
Menurut Ika, kebijakan ini mengarah pada penurunan kualitas demokrasi karena masyarakat semakin sulit mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus peneliti LP3ES, Herlambang P. Wiratraman, dalam materinya Represi dan Manipulasi: Tren Menguatnya Serangan terhadap Kebebasan Ekspresi, menyoroti peningkatan represi terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, khususnya di tahun 2024.
Ia mengkritik penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam kritik.
“Kasus aktivis lingkungan Daniel dari Karimunjawa dan buruh Septia yang menghadapi proses hukum panjang menunjukkan bagaimana represi semakin menguat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Herlambang menilai bahwa penguatan militerisme di bawah pemerintahan Prabowo menjadi ancaman besar bagi kebebasan sipil.
“Militerisme yang seharusnya dihapuskan justru menguat. Ini adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita,” tegasnya.
Ia juga mengkritik politik transaksional yang semakin memperlemah hak asasi manusia.
“Produk hukum kini menjadi komoditas yang bisa dibeli, dan HAM hanya menjadi aksesoris penguasa,” jelas Herlambang.
Dalam sesi tanya jawab, Peneliti Senior KITLV Leiden, Ward Berenschot, diminta memberikan pandangannya mengenai situasi demokrasi Indonesia.
Ia menyatakan bahwa reformasi politik telah berakhir dan Indonesia telah memasuki era pasca-reformasi.
“Jokowi terpilih dengan janji memperkuat demokrasi, namun hal itu tidak terjadi. Sementara Prabowo terpilih tanpa janji demokrasi dan justru menegaskan bahwa itu bukan prioritasnya,” ujar Ward.
Menurutnya, kondisi demokrasi di Indonesia semakin memburuk, dan ironisnya, pelemahan demokrasi ini mendapat dukungan publik sebagaimana terlihat dari kemenangan Prabowo.
“Tidak ada lagi pemimpin yang berkomitmen terhadap reformasi, dan tidak ada lagi janji untuk memperkuat demokrasi,” pungkasnya.
di terbitan juga di : https://www.zonasi.id/lp3es-luncurkan-buku-outlook-2024-2025-demokrasi-kritis-dan-reformasi-sudah-berakhir/
by lp3es2022 | Jan 31, 2025 | Uncategorized
Dalam rangka memeringati Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 2024 dicetuskan untuk menulis tentang patriotisme Bung Hatta. Kata patriotisme yang dipakai bukan nasionalisme karena terkait dengan masalah kemanusiaan yang bersifat universal. Menurut hemat saya, nasionalisme tanpa humanisme akan membangun masyarakat yang tertutup dan menghambat pemajuan peradaban manusia.
Patriotisme Bung Hatta memiliki banyak wajah. Salah satu yang penting dan membantu menjawab masalah kebangsaan yang sedang terjadi adalah demokrasi. Bung Hatta adalah seorang demokrat sejati yang terus-menerus merelisasikan imajinasi menjadi bangsa Indonesia dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia. Ia sosok luar biasa yang bisa menjadi teladan. Mengapa? Ia berpegang pada ajaran Islam yang telah memberinya karakter yang kuat. Dari karakter kuatnya ini, Bung Hatta bisa mengintegrasikan diri ke konteks modern yang kemudian melahirkan satu pemikiran bernegara yang menjadi landasan Indonesia sekarang ini.
Indonesia terkhusus di masa Pemilu 2024 dihadapkan pada masalah demokrasi karena ada peristiwa kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh presiden terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden, dengan pelibatan adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, sebagai Ketua MK. Setelah ini, terjadi peristiwa pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia yang meloloskan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Pelolosan KPU terjadi dengan belum mencabut peraturan sebelumnya yang tak mungkinkan Gibran bisa menjadi wakil presiden. Alasan inilah yang kemudian membuat Partai Demokrat Indonesia (PDI) Perjuangan menggugat Gibran ke pengadilan.
Peristiwa itu kemudian membawa serangkaian peristiwa pelanggaran etika dan moral yang dipersoalkan oleh aktivis dan akademisi. Meski Ketua MK telah ditetapkan sebagai pelanggar etik namun keputusan MK tidak bisa dibatalkan. Lalu terjadilah polemik dalam melihat kedudukan etika dan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum yang dipakai saat perdebatan itu adalah hukum mengabaikan dimensi etika dan moral, atau hukum ada di bawah etika dan moral.
Esai ini berpihak pada paradigma peletakan hukum di bawah etika dan moral berdasarkan pemikiran Bung Hatta tentang Pancasila. Argumentasi yang dipakai merujuk tulisan Bung Hatta yang ada di Buku 9 dengan penerbit LP3ES dan Universitas Bung Hatta yang berjudul Agama, Dasar Negara dan Karakter Bangsa. Menurut Yudi Latif yang memberi Kata Pengantar buku tersebut, Bung Hatta meletakkan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila berikut. Lalu di halaman XXXV tertulis tentang sikap Bung Hatta bahwa “Fundamen etik dikedepankan, fundamen politik berada di belakang”. Argumentasi ini secara implisit menyatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila yang lain. Di mana hukum termasuk empat sila di bawah sila pertama. Jadi, Bung Hatta sebagai salah satu pendiri negara telah memberi bangunan kebangsaan Indonesia dengan meletakkan nilai etika dan moral bersumber pada Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar tindakan bernegara di ranah praksis.
Menurut saya apa yang telah dikonsepkan Bung Hatta memiliki landasan kuat dalam menginterpretasikan Pancasila. Pancasila dan UUD 45 adalah fondasi dan sumber hukum Indonesia yang memungkinkan kebangsaan Indonesia bisa diwujudkan.
Sekarang, selain kita menghadapi masalah peletakan etika dan moral dalam tata kelola negara, juga muncul ancaman demokrasi populis, yakni demokrasi yang telah membuka peluang bagi munculnya pemimpin yang otoriter dan fasis. Sisi gelap demokrasi memungkinkan muncul pemimpin diktator dan fasis seperti Hitler. Ini masalah demokrasi yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia tetapi juga oleh banyak negara di dunia.
Sistem demokrasi akan bermanfaat untuk masyarakat jika pemimpin yang terpilih bisa menggunakan kebebasannya untuk menghasilkan karya bagi kepentingan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Beruntung Indonesia memiliki contoh pemimpin yang membuat sistem demokrasi berwajah menguntungkan rakyat. Kita mempunyai pemimpin yang telah mewujudkan praktik tentang ketaatannya pada aturan dan berorientasi pada kepentingan semua yang dipimpin. Sosok ini adalah Bung Hatta—aktivis politik yang kemudian berdwi-tunggal dengan Bung Karno dengan menjadi Wakil Presiden.
Meneladani Bung Hatta
Bung Hatta adalah contoh terbaik tentang agen yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai agama yang terwujud dalam karakternya. Ini yang kemudian menjadikannya seorang demokrat dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia yang dipilih secara musyawarah mufakat di sidang BPUPKI-PPKI. Para pendiri bangsa termasuk Bung Hatta melepaskan diri dari ikatan primordial yang ada (etnis, agama dan kelas), lalu memutuskan gambaran negara yang hendak dimerdekakan. Gambaran itu diwujudkan dalam sistem republik demokrasi dengan bahasa persatuan bernama Bahasa Indonesia. Ini transendensi kolektif yang luar biasa karena para pengambil keputusan kebanyakan adalah priayi dan intelektual yang hidup dalam sistem feodal dengan kebanyakan belum lancar berbahasa Indonesia. Namun mereka mengabaikan bentuk negara kerajaan dan bahasa yang mereka kuasai. Mereka memilih masa depan yang memerdekaan semua warganegara.
Setelah dicapai kesepakatan tentang tata kelola negara berasaskan republik demokrasi, Bung Hatta lalu membangun sistem negara baru berdasarkan kesepakatan tersebut. Bung Hatta yang menginisiasi pendirian multipartai sebagai pertanda negara demokrasi. Inisiasi ini membungkam wacana yang beredar tentang negara boneka bikinan Belanda. Dengan cara yang ditempuh Bung Hatta dan kawan-kawan, pengakuan Indonesia merdeka dari PBB bisa diwujudkan segera.
Selain itu, jasa Bung Hatta yang tak boleh dilupakan adalah kontribusinya dalam munculnya ayat 28 di UUD 45 yang menetapkan tentang kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Ayat ini mewujudkan ruang publik bagi warga negara berkontribusi memberikan pendapatnya. Dengan demikian, hidup bersama berdasarkan kesepakatan bersama dijamin oleh konstitusi.
Kemudian Bung Hatta merumuskan pandangannya tentang demokrasi. Bagi Bung Hatta, ada demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Demokrasi adalah sistem terbaik untuk merealisasikan kebaikan untuk semua warga negara Indonesia. Kebangsaan dan kerakyatan tidak boleh terpisah. Demokrasi Indonesia dikembangkan dari demokrasi yang ada di desa-desa yang telah mempraktikkan musyawarah mufakat dan gotong royong. Dengan demikian, Bung Hatta menghendaki demokrasi khas Indonesia yang tidak bersifat individualis seperti yang terjadi di Barat tetapi mementingkan kolektivitas. Jadi, Bung Hatta mengembangkan demokrasi Barat yang hanya berdimensi politik dengan menambahkan demokrasi ekonomi.
Demokrasi ekonomi Indonesia dari kemerdekaan hingga sekarang terus dieksperimen oleh para pemegang kebijakan dan pakar. Bung Hatta menawarkan sistem koperasi. Sistem koperasi di Indonesia belum berkembang. Yang berkembang saat ini barulah UMKM. Gagasan demokrasi ekonomi yang cocok untuk Indonesia terus dicari, yang bersemangatkan kerakyatan dan menghendaki kesejahteraan untuk semuanya. Dengan kata lain, ada gagasan tentang membangun sistem ekonomi yang sesuai untuk Indonesia.
Membangun Budaya Demokrasi
Apa yang dinilai Bung Hatta tentang demokrasi masih relevan dibicarakan yakni belum adanya demokrasi ekonomi. Yang terjadi baru demokrasi politik melalui pemilihan pemimpin secara teratur. Demokrasi politik saja tidak cukup. Demokrasi sosial dan ekonomi jalannya dikawal agar tetap berlangsung.
Presiden Jokowi bukan seorang demokrat dalam sistem republik terutama di periode kedua masa kepemimpinannya sebagai presiden. Kebijakan-kebijakan yang dibuat Presiden Jokowi kurang melalui diskusi publik. Bahwa ada beberapa pakar politik yang menilai Presiden Jokowi adalah pemimpin populis yang bersifat otoriter. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan Pemilu 2024 berpotensi menghancurkan bangunan demokrasi yang telah terbangun. Budaya demokrasi yang masih rapuh nyaris hancur.
Karena itu, isu menjaga dan mengembangkan budaya demokrasi yang berorientasi kebangsaan dan kerakyatan yang digagas Bung Hatta harus kita lakukan. Rakyat biasa seperti kita juga bisa menjadi negarawan yang memiliki hak bersikap dan bertindak membela negara dengan menjaga sistem yang telah diputuskan. Sistem itu adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem Demokrasi. Cara pelaksanaannya seperti apa? Merujuk pada konsep yang ditawarkan Romo Haryatmoko tentang Menjadi Warganegara Kompeten dalam politik kewargaan. Politik kewargaan adalah konsep yang saya ambil dari pakar politik dari Universitas Airlangga tentang ruang baru untuk warganegara berpolitik nonpartisan partai politik. Politik adalah bagian hidup setiap warganegara. Baik buruk hidup bersama tergantung pada partisipasi semuanya.
Untuk bisa menjadi warganegara kompeten menjaga negara maka prasyarat yang diperlukan adalah memahami sejarah perjalanan bangsa. Dalam kontek sini, salah satu tokoh yang wajib dipahami sejarah dan pemikirannya adalah Bung Hatta. Untuk ini, penulis bermaksud membentuk Book Club Bung Hatta. Harapannya akan ada bedah buku Bung Hatta yang terbuka untuk umum secara periodik. Sebagai patriot demokrasi, perjalanan hidup dan pemikiran Bung Hatta perlu dibedah. Book club adalah salah satu bentuk politik kewargaan yang membuka kemungkinan bagi kita untuk menjadi warganegara kompeten.*
Penulis: Esthi Susanti Hudiono
Bibliografi
Bahar, S., & Hudawati, N. (Ed.). 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Edisi ke-2. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. ISBN: 978-602-12345-6-7.
Hatta, M. 2018. Demokrasi Kita: Pikiran-pikiran tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Cetakan ke-4. Sega Arsy.
――――. 2023. Agama, Dasar Negara, dan Karakter Bangsa: Karya Lengkap Bung Hatta Buku 9. Depok: LP3ES dan Universitas Bung Hatta.
――――. 1981. Mohammad Hatta: Memoir . C.L.M. Penders (Ed.). Jakarta: Gunung Agung.
Haryatmoko. 2023. Prinsip-prinsip Etika: Landasan teori untuk memecahkan kasus-kasus dilema moral. Jakarta: Gramedia.
Semua Materi dari Nara Sumber Sekolah Pemikiran Bung Hatta Angkatan #1 yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2024.
by lp3es2022 | Jan 31, 2025 | Demokrasi
Patriotisme sejati bukan sekadar cinta Tanah Air yang ditunjukkan melalui slogan atau simbol yang sering kali tampak di permukaan. Di era globalisasi, nilai patriotisme dapat didefinisikan ulang sebagai bentuk keberanian dalam menghadapi arus perubahan tanpa kehilangan jati diri. Patriotisme tidak harus berarti menutup diri dari pengaruh luar, tetapi bagaimana kita bisa memilih dan memilah nilai-nilai yang sesuai dengan identitas bangsa.
Di masa kini, patriotisme bukan lagi tentang melawan penjajah, tetapi tentang melawan ancaman terhadap identitas dan karakter bangsa yang berasal dari dalam diri sendiri. Ketika nilai-nilai pragmatisme, konsumerisme, dan individualisme semakin menguasai pikiran, dibutuhkan keberanian untuk tetap mempertahankan nilai-nilai nasional yang mendasar. Generasi muda harus menyadari bahwa menjaga karakter bangsa adalah bentuk perjuangan modern yang sama pentingnya dengan perjuangan fisik yang dilakukan oleh para pahlawan terdahulu.[1] Patriotisme dalam bentuk ini menuntut pengorbanan. Namun, seperti yang ditunjukkan Mohammad Hatta dan pahlawan nasional lainnya, seorang patriot sejati akan tetap teguh dalam keyakinannya, terlepas dari pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Ia berjuang bukan untuk mendapatkan pengakuan. Ia tahu bahwa mempertahankan prinsip adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada bangsa.[2]
Menghidupkan nilai patriotisme di tengah generasi muda saat ini adalah tantangan yang semakin kompleks. Di satu sisi, akses ke informasi dan teknologi memberikan peluang besar bagi anak muda untuk memperkaya pengetahuan dan membuka wawasan mereka tentang dunia. Namun, di sisi lain, arus globalisasi juga membawa berbagai budaya dan nilai yang tidak selalu sejalan dengan identitas bangsa, bahkan sering kali memengaruhi pola pikir pragmatisme dan individualisme yang tinggi. Dalam situasi demikian, generasi muda dihadapkan pada pilihan-pilihan pragmatis yang terkadang mengorbankan nilai-nilai luhur demi kepentingan instan, menimbulkan kebingungan budaya yang kian mengikis karakter bangsa.[3] Salah satu efek globalisasi yang signifikan adalah dominasi budaya populer dari negara-negara maju yang sering kali dipandang sebagai standar kehidupan modern. Anak muda kerap terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan berorientasi pada kesuksesan materi, yang pada gilirannya menggeser nilai-nilai nasionalisme dan kebersamaan.[4] Akibatnya, konsep patriotisme yang berakar pada kecintaan kepada Tanah Air dan komitmen terhadap kebenaran terasa semakin jauh, terutama ketika nilai-nilai tersebut dianggap tidak relevan dalam mencapai kesuksesan pribadi. Hal ini menciptakan tantangan besar untuk menanamkan kembali semangat patriotisme yang tulus, yang tidak lagi sekadar simbol, tetapi menjadi nilai yang benar-benar dihidupi dalam tindakan sehari-hari.
Menghidupkan ide patriotisme di era digital artinya menyebarkan gagasan ini kepada generasi yang tumbuh dengan internet, media sosial, dan koneksi global tanpa batas—terutama generasi Z. Gen Z, yang lahir antara akhir 1990-an dan awal 2010-an, adalah generasi pertama yang sepenuhnya menyatu dengan teknologi digital sejak usia dini. Bagi mereka, interaksi dengan dunia dilakukan melalui layar, dan akses informasi mereka lebih cepat serta lebih luas dibanding generasi sebelumnya. Gaya hidup digital ini memengaruhi cara mereka membentuk identitas, memahami dunia, dan menyerap nilai-nilai, termasuk patriotisme.[5]
Namun, bagi Gen Z, patriotisme mungkin terasa sebagai konsep yang abstrak atau bahkan ketinggalan zaman, terutama dalam konteks modern yang lebih berorientasi pada individualitas dan keberhasilan personal.[6] Ini berbeda dengan generasi sebelumnya, yang mungkin lebih dekat dengan sejarah perjuangan atau ikatan emosional pada Tanah Air melalui pengalaman kolektif. Oleh karena itu, menyampaikan nilai patriotisme pada Gen Z membutuhkan pendekatan yang relevan dengan cara berpikir, bahasa, dan medium yang mereka pahami—yakni dunia digital.[7]
Penyebaran ide-ide patriotisme di dunia digital dapat dilakukan dengan mengoptimalkan platform media sosial yang paling sering digunakan oleh generasi muda, seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan Twitter. Platform-platform tersebut menawarkan peluang untuk menciptakan konten visual yang kuat dan berdaya tarik tinggi. Konten yang menggunakan gambar, video pendek, dan infografis dapat memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan teks panjang yang mungkin kurang menarik bagi audiens muda. Sebagai contoh, video pendek yang menggambarkan kisah heroik pahlawan nasional, lengkap dengan visual yang menawan dan narasi yang kuat, dapat membuat nilai patriotisme terasa lebih nyata dan inspiratif bagi anak muda.[8] Langkah taktis berikutnya adalah menggunakan pendekatan storytelling digital. Kisah-kisah tentang perjuangan, pengorbanan, dan komitmen terhadap bangsa dapat diceritakan ulang dalam format yang lebih modern melalui media digital. Misalnya, cerita tentang perjuangan Soekarno-Hatta dalam mempertahankan kemerdekaan bisa dijadikan serial video pendek atau animasi. Melalui pendekatan storytelling ini, anak muda dapat merasakan emosi dan nilai-nilai yang melekat pada sejarah, bukan hanya sekadar informasi yang terkesan jauh dari kehidupan mereka sehari-hari.[9]
Selain itu, penggunaan influencer atau figur publik yang berpengaruh di media sosial dapat menjadi strategi efektif. Influencer yang dikenal oleh anak muda bisa dijadikan penggerak kampanye digital untuk menyebarkan nilai-nilai patriotisme. Ketika seorang influencer yang diikuti oleh banyak anak muda menyuarakan pentingnya cinta Tanah Air atau bahkan melakukan aksi sosial untuk bangsa, pesan tersebut akan lebih mudah diterima dan diikuti. Hal ini bukan hanya meningkatkan awareness, tetapi juga menciptakan keterlibatan langsung dari audiens yang ingin terlibat dalam aksi serupa.[10]
Pemanfaatan gamifikasi juga bisa menjadi cara yang kreatif untuk menyampaikan nilai patriotisme. Dengan membuat aplikasi atau permainan digital yang berbasis sejarah Indonesia atau nilai kebangsaan, kita bisa mengajarkan nilai-nilai patriotisme dengan cara yang menyenangkan dan interaktif. Dalam permainan ini, anak muda bisa diajak menyelesaikan misi-misi yang menggambarkan perjuangan para pahlawan atau menjaga aset nasional. Gamifikasi tidak hanya menarik tetapi juga memberikan pengalaman yang mengesankan dan mendalam tentang nilai-nilai kebangsaan.[11]
Di samping itu, kampanye digital bertema patriotisme dapat diperkuat melalui tagar atau hashtag yang menghubungkan berbagai konten terkait di media sosial. Hashtag seperti #CintaIndonesia atau #BelaNegara dapat membantu mengorganisasikan konten-konten yang relevan sehingga mudah diakses oleh siapa pun yang tertarik dengan topik tersebut. Hashtag yang tepat dan populer dapat meningkatkan kesadaran serta keterlibatan anak muda untuk ikut serta menyebarkan nilai patriotisme di media sosial mereka.[12]
Pembuatan dokumenter atau mini-series tentang tokoh nasional atau peristiwa penting dalam sejarah Indonesia juga bisa menjadi format yang sangat relevan. Dokumenter dalam bentuk mini-series atau bahkan format pendek yang ditayangkan di Instagram Stories atau YouTube Shorts bisa membangkitkan minat terhadap sejarah nasional. Ketika anak muda melihat sejarah bangsa mereka dikemas dalam bentuk yang menarik dan mudah diakses, rasa kebanggaan dan penghargaan terhadap sejarah tersebut akan tumbuh lebih alami.[13]
Untuk memperkuat pesan ini, penting pula bagi pemerintah dan institusi pendidikan mendukung konten-konten patriotisme dengan data dan sumber yang kredibel. Dengan adanya dukungan dari lembaga resmi, konten digital tentang patriotisme akan mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari publik. Konten edukatif ini bisa meliputi fakta sejarah, infografis tentang perjuangan kemerdekaan, atau penjelasan mengenai pentingnya menjaga persatuan di era modern.[14] Keterlibatan komunitas digital juga sangat efektif dalam menyebarkan nilai patriotisme. Membentuk komunitas daring yang berfokus pada edukasi dan diskusi tentang sejarah atau isu nasional dapat membantu anak muda berinteraksi dengan sesama mereka yang memiliki minat yang sama. Komunitas ini bisa berbentuk grup di Facebook, saluran di Telegram, atau bahkan kelompok diskusi di Reddit. Melalui interaksi ini, anak muda dapat saling berbagi pandangan, memperdalam pemahaman mereka, dan mendiskusikan nilai-nilai patriotisme dalam konteks yang lebih relevan bagi mereka.[15]
Bentuk lain dari kampanye digital yang relevan adalah menyelenggarakan kompetisi atau tantangan yang berkaitan dengan patriotisme. Misalnya, tantangan untuk membuat video pendek tentang makna kemerdekaan atau momen bersejarah dalam hidup mereka bisa menjadi cara untuk melibatkan anak muda secara langsung. Kompetisi semacam ini dapat mendorong mereka berkreasi dan menyampaikan pandangan tentang pentingnya mencintai bangsa, sekaligus memberikan ruang bagi mereka untuk menunjukkan rasa cinta Tanah Air dengan cara yang unik.[16] Kerja sama antara pemerintah, sekolah, dan pihak swasta juga diperlukan dalam membangun infrastruktur digital yang mendukung kampanye patriotisme.
Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, kampanye digital yang bertema patriotisme akan lebih kuat dan luas jangkauannya. Pemerintah dan sekolah dapat menyediakan platform resmi, sedangkan pihak swasta bisa memberikan bantuan teknis, seperti pengembangan aplikasi atau penyediaan platform yang lebih interaktif.[17]
Di era digital, interaksi langsung antara tokoh-tokoh nasional dan generasi muda juga menjadi penting. Tokoh-tokoh pemerintahan atau figur inspiratif yang memiliki akun media sosial bisa melakukan sesi tanya jawab langsung tentang makna patriotisme atau sejarah bangsa. Interaksi ini memberikan kesempatan bagi generasi muda merasa lebih dekat dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh tersebut, serta memberikan mereka pemahaman langsung mengenai perjuangan yang telah dilakukan untuk bangsa.[18] Melalui kanal-kanal ini, generasi muda tidak hanya menjadi penerima pesan, tetapi juga pembuat konten patriotisme yang mereka bagikan sendiri. Konten yang dibuat oleh anak muda untuk sesamanya akan lebih mudah diterima, karena bahasa dan gaya penyampaiannya sesuai dengan apa yang mereka sukai. Kampanye patriotisme yang berbasis pada partisipasi anak muda ini akan menciptakan rasa kepemilikan dan kebanggaan yang lebih kuat.[19]
Penyampaian nilai patriotisme juga bisa dilakukan dengan memasukkan unsur humor atau tren populer. Meme atau video lucu yang menyertakan elemen nasionalisme bisa menjadi cara yang ringan namun efektif untuk menarik perhatian anak muda. Dengan format yang akrab dan mudah diterima, nilai-nilai patriotisme dapat tersebar luas tanpa terkesan kaku atau membosankan.[20]
Pembuatan aplikasi edukasi atau situs web yang berisi konten sejarah dan budaya Indonesia yang mudah diakses juga menjadi upaya penting. Aplikasi ini bisa menjadi sumber informasi bagi generasi muda yang ingin memperdalam pemahaman mereka tentang bangsa, dengan konten interaktif yang mudah diakses dari mana saja dan kapan saja. Konten ini bisa meliputi trivia sejarah, kuis tentang tokoh nasional, atau galeri foto digital tentang peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.[21]
Sebagai tambahan, media sosial bisa digunakan menyebarkan nilai-nilai patriotisme dengan memanfaatkan video berdurasi pendek yang menginspirasi. Anak muda cenderung menghabiskan waktu pada konten singkat yang menarik. Video inspiratif yang menyampaikan pesan tentang cinta Tanah Air, kerja keras, atau pengabdian kepada bangsa bisa menjadi sumber inspirasi bagi mereka, terutama ketika disampaikan dengan gaya yang sesuai dengan tren saat ini.[22] Pembuatan podcast juga bisa menjadi alternatif yang menarik. Banyak anak muda saat ini menyukai podcast, terutama ketika membahas topik yang inspiratif atau informatif. Podcast tentang nilai patriotisme yang dikemas dalam bentuk cerita sejarah atau diskusi dengan tokoh-tokoh nasional bisa membantu generasi muda lebih memahami nilai-nilai ini dengan cara yang santai tetapi mendalam.[23]
Tentu saja, evaluasi terhadap efektivitas kampanye digital ini sangat penting. Melalui analisis data, seperti jumlah penonton, tingkat keterlibatan, dan respons audiens, kita dapat mengetahui format dan pendekatan apa yang paling sesuai untuk menyampaikan nilai patriotisme di era digital.[24] Dengan data ini, penyampaian nilai patriotisme dapat terus disesuaikan agar lebih relevan dan berdampak.
Akhirnya, tantangan terbesar dalam menyampaikan nilai patriotisme di era digital adalah mempertahankan konsistensi pesan di tengah arus informasi yang sangat deras. Oleh karena itu, komitmen semua pihak diperlukan untuk terus menyebarkan nilai-nilai tersebut secara berkesinambungan. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya mendapatkan inspirasi sesaat, tetapi juga benar-benar menanamkan nilai patriotisme dalam diri mereka sebagai bagian dari identitas bangsa. Dengan pendekatan ini, patriotisme dapat hidup dan relevan dalam dunia digital, menciptakan generasi muda yang tidak hanya bangga terhadap bangsanya, tetapi juga siap berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik. Nilai-nilai ini tidak hanya memperkuat jati diri bangsa, tetapi juga menjadi dasar bagi generasi muda untuk menghadapi tantangan global dengan kepala tegak dan hati yang penuh cinta pada Tanah Air.*
Penulis: Roni Pradana
Bibliografi
Arnett, Jeffrey Jensen. 2004. Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens Through the Twenties. Oxford: Oxford University Press.
Aufderheide, Patricia. 2014. Visual Storytelling in Digital Culture. London: Routledge.
Buckingham, David. 2008. Youth, Identity, and Digital Media. Cambridge, MA: MIT Press.
Burgess, Jean & Joshua Green. 2018. YouTube: Online Video and Participatory Culture. Cambridge: Polity.
Burns, Axel & Jean Burgess. 2017. The Routledge Companion to Social Media and Politics. New York: Routledge.
Castells, Manuel. 2013. Communication Power. Oxford: Oxford University Press.
Duffy, Brooke Erin. 2013. Remake, Remodel: Women’s Magazines in the Digital Age. Urbana: University of Illinois Press.
Gauntlett, David. 2018. Making is Connecting: The Social Power of Creativity. London: Polity.
Jenkins, Henry. 2006. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
Kahneman, Daniel. 2011. Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.
Klinenberg, Eric. 2018. Palaces for the People: How Social Infrastructure Can Help Fight Inequality. New York: Crown.
Litwack, R.F. 1999. The Importance of Moral Courage in Law and Justice. New York: Columbia University Press.
McGonigal, Jane. 2011. Reality Is Broken: Why Games Make Us Better and How They Can Change the World. New York: Penguin Press.
Munandar, Adrian. 2004. Patriotisme dan Hukum: Inspirasi dari Tokoh Kemerdekaan Indonesia. Surabaya: Penerbit Mandiri.
Purcell, Kristen. 2015. Teens, Social Media & Technology. Washington D.C.: Pew Research Center.
Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster.
Ragusea, Adam. 2018. “Podcasting’s New Frontier”. Columbia Journalism Review, vol. 57, no. 3.
Shifman, Limor. 2014. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press.
Stelzner, Michael A. 2020. Social Media Marketing Industry Report. San Diego: Social Media Examiner.
Twenge, Jean M. 2017. iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious. New York: Atria Books.
Winston, Brian. 1998. Media Technology and Society: A History from the Telegraph to the Internet. London: Routledge.
[1] Edward Said, Culture and Imperialism, (New York: Knopf, 1993), hlm. 71.
[2] Adrian Munandar, Patriotisme dan Hukum: Inspirasi dari Tokoh Kemerdekaan Indonesia, (Surabaya: Penerbit Mandiri, 2004), hlm.98.
[3] Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2020), hlm.56.
[4] Thomas Hylland Eriksen, Tyranny of the Moment: Fast and Slow Time in the Information Age, (London: Pluto Press, 2001), hlm.84.
[5] Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, (New York: Atria Books, 2017), hlm.29.
[6] Jeffrey Jensen Arnett, Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens Through the Twenties, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm.97.
[7] David Buckingham, Youth, Identity, and Digital Media, (Cambridge, MA: MIT Press), 2008, hlm.11.
[8] Patricia Aufderheide, Visual Storytelling in Digital Culture, (London: Routledge, 2014), hlm.102.
[9] Jean Burgess & Joshua Green, YouTube: Online Video and Participatory Culture, (Cambridge: Polity, 2018), hlm.76.
[10] Brooke Erin Duffy, Remake, Remodel: Women’s Magazines in the Digital Age, (Urbana: University of Illinois Press, 2013), hlm.134.
[11] Jane McGonigal, Reality Is Broken: Why Games Make Us Better and How They Can Change the World, (New York: Penguin Press, 2011), hlm.243.
[12] Axel Bruns & Jean Burgess, The Routledge Companion to Social Media and Politics, (New York: Routledge, 2017), hlm.174.
[13] Brian Winston, Media Technology and Society: A History from the Telegraph to the Internet, (London: Routledge, 1998), hlm.115.
[14] Manuel Castells, Communication Power, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hlm.92.
[15] Robert Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, (New York: Simon & Schuster, 2000), hlm.129.
[16] David Gauntlett, Making is Connecting: The Social Power of Creativity, (London: Polity, 2018), hlm.211.
[17] Eric Klinenberg, Palaces for the People: How Social Infrastructure Can Help Fight Inequality, (New York: Crown, 2018), hlm. 157.
[18] Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s…, op.cit., hlm. 55.
[19] Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide, New York: New York University Press, 2006, hlm. 122.
[20] Limor Shifman, Memes in Digital Culture, (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), hlm.56.
[21] Kristen Purcell, Teens, Social Media & Technology, (Washington D.C.: Pew Research Center, 2015), hlm.36.
[22] Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow, (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), hlm.75.
[23] Adam Ragusea, “Podcasting’s New Frontier,” Columbia Journalism Review, vol. 57, no. 3, 2018, hlm.33.
[24] Michael A. Stelzner, Social Media Marketing Industry Report, (San Diego: Social Media Examiner, 2020), hlm.39.
by lp3es2022 | Jan 31, 2025 | Demokrasi
Wollandia ini perwujudan mokondo era kolonial. Ia miskin melarat. Menikahi Hindania, sang jelita yang saat malam rumahnya diterangi berjuta-juta permata berkilauan, demi mengeruk hartanya saja. Jangan harap ia menyayangi anak-anak Hindania dari pernikahan sebelumnya dengan seorang Brahmana dari India. Wong buah hatinya sendiri saja ia telantarkan di daerah asalnya.
Seiring dewasanya anak-anak Hindania, mereka mulai ngeh akan perlakuan fatherless itu dan berani memprotesnya. Si ayah angkat bejat meresponsnya dengan bersiasat. Wollandia lantas mencoba bermulut manis. Sedikit-sedikit, ia jadi mau membelikan mainan dan mengabulkan permintaan anak-anak angkatnya. Tentunya, itu Wollandia lakukan agar mereka tak merajuk dan ibunya tak jauh dari peluk.
Penulisnya belum sempat memperbarui cerita tersebut dengan happy ending. Spill sedikit saja, 25 tahun sejak cerita ini mulai diketahui publik, Hindania akhirnya bisa lepas dari mokondo satu itu.
Kisah Hindania dan Wollandia ini pertama kali tersiar pada Januari 1920 dalam majalah Jong Sumatra. Judulnya, Nasib Hindania.[1] Mereka tak sepenuhnya rekaan, karena kreatornya memang berangkat dari “otobiografi” sebuah negara yang sedang berupaya lepas dari jerat Kolonialisme: Indonesia.
Saya terkejut campur kagum ketika tahu siapa pencipta satire itu. Ternyata, Mohammad Hatta! Makin kaget ketika tahu bahwa Nasib Hindania adalah tulisan pertama Bung Hatta yang ditulis saat masih berusia 17 tahun!
Sejak kecil, saya paham kalau Bung Hatta itu Bapak Bangsa yang penuh isi kepalanya. Namun, Bung Karnolah yang lebih lekat dengan karakter penyambung lidah rakyat – istilah bekennya, storyteller. Jujur, tidak terbayangkan sebelumnya, image Mohammad Hatta sebagai satiris bakal termaktub dalam kepala saya.
Yang jelas, ini makin menegaskan bahwa patriotisme dalam jiwa dan pikiran Hatta sudah membara sejak muda. Perwujudan rasa cinta terhadap negaranya telah ia tempuh lewat berbagai cara konkret, dari jalur diplomasi, ragam sumbangan pemikiran bidang politik sampai ekonomi, termasuk mockery.
Sekilas, kiprah aktivisme awal Bung Hatta ini mirip dengan founding father Amerika Serikat, Benjamin Franklin. Karirnya sebagai penulis dan pemikir berawal dari menulis kolom satire di media yang dikelola kakaknya, The New-England Courant. Franklin mengkritik secara humoristis kehidupan di era Kolonialisme Inggris kala itu – dari produk pendidikan penjajah hingga kesewenangan penguasa – dalam usia yang begitu belia: 16 tahun.
Sejumput Satire Bung Hatta
Satire layak digolongkan sebagai manifestasi Patriotisme. Sebab, meminjam konsep profesor University of Hawai’i, James Caron,[2] satire punya kekuatan metanoia – istilah dari bahasa Yunani yang berarti “perubahan pikiran”. Tak ayal, jenis humor ini selain cocok untuk menularkan kesadaran baru, juga pemahaman yang lebih mendalam kepada orang lain.
Karena fungsinya lebih dari sekadar menghibur, jeroan satire pun khas. Dari hasil “autopsi” Caron, satire terdiri dari empat elemen: kritik, agresivitas, unsur main-main, dan tawa.[3]
Kritik adalah embrionya satire. Jadi, sebelum membuat satire, harus ada dan terasa dulu kondisi yang menyebalkan, memuakkan, bahkan menyakitkan yang hendak disoroti. Tentunya, kondisi itu kemudian direkam dalam pikiran maupun catatan dengan harapan ada perubahan dan perbaikan.
Kritik tak mungkin lahir sendiri. Pasti, agresivitas yang lazimnya berbentuk emosi negatif juga akan menyertainya. Sangat manusiawi jika kita menemukan bahan buat mengkritik berbarengan dengan rasa marah, sedih, cemas, cemburu, putus asa, dan semacamnya. Emosi-emosi negatif inilah yang berguna sebagai bahan bakar supaya kita berani memuntahkan kritik-kritik itu dan memperjuangkannya sampai menang.
Nah, elemen selanjutnya ini yang paling krusial. Apabila kritik dan agresivitas dipertontonkan secara gamblang, hasilnya tidak akan berbeda dengan orang ngedumel sendiri dan ranting di media sosial. Kritikan “mentah” ini juga rentan membuat pihak yang disenggol risih hingga marah.
Untuk bisa menjadi satire, kritik dan agresivitas perlu disampaikan dalam mode bermain (play). Unsur main-main akan mendorong kita untuk bergerak mencari metode penyampaian kritik yang tidak terlalu nyelekit – entah itu lewat medium tertentu, permainan bahasa, atau teknik lainnya.
Begitu tiga elemen tadi sudah coba dihadirkan, ada kemungkinan elemen terakhir bakal muncul: tawa. Di antara humor lain, satire dikecualikan. Kewajibannya bukan untuk membuat orang lain ngakak kencang alias LOL (laugh-out-loud), tetapi cukup sampai digelitikkan kecil atau LOI (laugh-on-the-inside) saja.[4]
Sepanjang hidupnya, Bung Hatta masih punya sejumput satire monumental; setidaknya, ada dua lagi selain Nasib Hindania. Yang pertama, ketika ia membacakan pledoi di Pengadilan Belanda, 9 Maret 1928.
Alkisah, akibat kegiatan dan pemikirannya di Perhimpunan Indonesia yang dianggap membahayakan Pemerintah Kolonial, Mohammad Hatta dijebloskan ke penjara Den Haag pada 23 September 1927. Bukannya pasrah, Mohammad Hatta – yang kala itu berstatus mahasiswa – justru makin getol mencari pembelaan atas perjuangannya memerdekakan bangsanya sendiri.
Dalam naskah pledoinya bertajuk Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka, ia menyindir Pemerintah Kolonial dengan menyebutnya sebagai “Negara Grotius”. Belanda sendiri mengklaim sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hukum universal, seperti dipelopori oleh seorang ahli hukum mereka bernama Hugo Grotius.
Namun nyatanya, pemerintah kolonial Belanda justru melanggar prinsip-prinsip tersebut dengan menindas rakyat Indonesia. Satire “Negara Grotius” adalah upaya Mohammad Hatta dalam menunjukkan tindakan Belanda yang bertolak belakang dengan prinsip keadilan yang begitu mereka elukan. Ia kemudian dibebaskan dua minggu berselang.
Sementara itu, satire ikonik kedua Bung Hatta terjadi setelah kemerdekaan berhasil diraih. Jengah “menjaga dari dalam”, ia akhirnya mundur sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Sejak itu pula, ia mengawal rezim Soekarno dari luar.
Bung Hatta sebenarnya angkat topi pada Bung Karno yang begitu karismatik dan jago menggerakkan rakyat. Akan tetapi, ia juga sadar akan sisi negatifnya.
Bung Hatta[5] lantas menyindir Bung Karno dengan meminjam tokoh iblis dari cerita Faust karya sastrawan kondang Jerman, Johann von Goethe, Mephistopheles. Bedanya, kalau Mephistopheles adalah ein Teil jener Krafte, die stets das Gute schafft (figur yang selalu menginginkan hal buruk, tetapi pada akhirnya selalu menghasilkan hal baik), Soekarno kebalikannya.
Versi Bung Hatta, tujuan Bung Karno selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya justru berseberangan dengan tujuan itu. Ia merasa, sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno (1959-1965) sangat bertentangan dengan mimpi yang dulu diperjuangkan bersama segenap bangsa Indonesia. Alhasil, yang terasa justru simbolisme diri Soekarno alias diktatorisme, bukan penguatan demokrasi.
Lewat 800-an judul karya tulisnya dan entah berapa banyak panggung pidato yang telah dijejakinya semasa hidup, Bung Hatta tentunya sangat kapabel dalam menyampaikan kritik. Walau begitu, nyatanya ia tak selalu menyampaikannya secara brutal. Ada kalanya, kritikannya dibalut dengan istilah dan perumpamaan yang lebih lembut – berdasarkan bibliografi bacaannya yang luas – agar yang “dijiwit” tidak terlalu kesakitan atau jenggotnya kebakaran.
Perjumpaan dengan sisi patriotisme Bung Hatta yang belum banyak diungkap ini membahagiakan saya secara pribadi. Sebab dari jauh, Bung Hatta seperti bukan manusia. Ia bak Übermensch, karena terlalu ideal – terutama dalam hal kecintaannya terhadap bangsa, ide-ide progresifnya di berbagai bidang, hingga standar moralitasnya yang tinggi sebagai pejabat publik.
Namun, ketika tahu sendiri jika ia ternyata juga manusia biasa yang punya sentuhan humor lagi lihai bersatire, setidaknya ada satu tali yang erat mengikat Bung Hatta dengan saya serta segenap bangsa Indonesia: Selera humor yang menggelora itu ada dalam DNA kita semua.*
Penulis: Ulwan Fakhri
Bibliografi
Caron, J. 2021. Satire as the Public Sphere: Postmodern “Truthiness” and Civic Engagement. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press.
Hatta, M. 1960. Demokrasi Kita. Jakarta: Pandji Masjarakat.
――――. 1998. Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan, Buku 1. Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta.
――――. 2000. Karya Lengkap Bung Hatta: Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku 2. Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta.
[1] Mohammad Hatta, Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan, Buku 1, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta, 1998), hlm.4-6.
[2] James Caron, Satire as the Public Sphere: Postmodern “Truthiness” and Civic Engagement, (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2021), hlm.26.
[3] Ibid., hlm.23-25.
[4] Ibid., hlm.30.
[5] Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, (Jakarta: Pandji Masjarakat, 1960), hlm.20. Judul yang sama dimuat dalam Mohammad Hatta, Karya Lengkap Bung Hatta: Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku 2, (Jakarta: Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta, 2000), hlm.426-440.
by lp3es2022 | Jan 31, 2025 | Demokrasi
Korea Utara baru-baru ini dilaporkan telah mengirim 3.000 pasukan ke wilayah Kursk Rusia. Sejak berperang dengan Ukraina, Rusia telah kehilangan sekitar 600.000 tentaranya. Sementara 70.000 tentara Ukraina tewas sejak memulai peperangan konvensional dengan Rusia. Pertempuran berdarah-darah yang merugikan dan menewaskan ribuan jiwa selalu menorehkan luka sejarah terbesar dalam peradaban manusia. Bencana kemanusiaan macam ini telah dinarasikan dalam perang Baratayudha epos Mahabarata. Terus bergulir dalam tragedi dari Yunani, Crusade sampai proyek 3G yang melahirkan gelombang kolonialisme mondial sampai awal Abad ke-21. Adakah semangat patriotisme di dalam benak mereka? Patriotisme macam apakah itu jika pertempuan diciptakan sebagai sarana mengakuisi perluasan pengaruh politik dan melampiaskan nafsu berkuasa seseorang?
Antara Pseudo Patriotisme dan Rasa Cinta Tanah Air
Kematian orang-orang di dalam perang telah lama dianggap patriotik, sejauh itu dilakukan dengan sadar dan berani karena rasa cintanya kepada tanah air. Namun tidak sedikit pula serdadu-serdadu korban peperangan merasa gamang dan trauma bahkan frustasi karena merasa sia-sia. Pertempuran baginya hanyalah medan laga di mana tidak ada pilihan selain karena kepatuhan otoritatif. Pada tataran ini, serdadu-serdadu gagal membangun semangat patriotisme akibat dari patriotisme yang diindoktrinasikan selama masa formasi. Terlebih ketika serdadu harus ke medan pertempuran bukan karena membela tanah airnya. Konsepsi patriotisme semacam ini menjadi sangat problematis. Terutama ketika patriotisme selalu dikaitkan dengan tindakan fasisme, perlawanan terhadap hak asasi manusia, penaklukan dan penguasaan medan tempur, kekejaman, atau kematian. Patriotisme macam ini merupakan skema subjugasi otoritas, di mana instrumen-instrumen otoritas memanfaatkan dan memperdaya rasa cinta tanah air warga negaranya untuk kepentingan perluasan kekuasaan politik serta ekspresi otoritariannya yang pragmatis dan narsistik.
Patriotisme seperti ini merupakan pola-pola eksploitasi klasik yang maknanya sudah harus didekonstruksi karena ini merupakan pseudo patriotisme dan serupa dengan perbudakan. Hal ini tampak dalam perjalanan sejarah Eropa di mana Kanselir Jerman Hitler telah berhasil mengagitasi publik Jerman dengan membangun dan mengatasnamakan semangat ultranasionalisme Jerman untuk merebut spirit patriotisme di hati rakyat Jerman dan menjadi bagian dari alat kekuasaan Nazi menaklukan Eropa.
Era kontemporer menegaskan peralihan paradigma dari era kolonial dan postkolonial klasik ke era digital di mana subjektivitas diri, dan konsepsi batas-batas spasial, visual dan kebenaran-kebenaran kategoris senantiasa dipertanyakan, berganti dan menemukan bentuk dan makna barunya. Karenanya doktrin perang juga bergeser, dari model perang konvensional ke model perang nonkonvesional yang asimetris, proxy, dan cybernetics. Lantas, bagaimana dengan tokoh-tokoh kunci tak bersenjata yang dengan kiprahnya berhasil menanamkan rasa cinta tanah air sekaligus mencegah terjadinya perang dan pertumpahan darah?
Tantangan Kultural
Selain itu, ada hal penting dan mendesak untuk disadari dan dipahami bersama tentang persoalan kultural yang dihadapi generasi digital berkaitan dengan multiplikasi dampak konsumerisme, hedonisme, proyek genome, fundamentalisme teroris dan pragmatisme yang terjadi secara global. Pornografi atau judi online yang juga sudah mulai terjadi di desa-desa di Indonesia—sebagai salah satu bentuk persoalan kultural di atas—telah dilegitimasi oleh liberalisme menjadi semacam hak individu yang dianggap secara personal menguntungkan dan menyenangkan. Data statistik tahun 2023 menyebutkan, Kominfo telah menangani 3,7 juta konten negatif mulai pornografi sampai judi online, di mana 1,9 juta di antaranya adalah pemblokiran konten pornografi. Persoalan ini tentu tidak hanya berdampak pada moral kebangsaan, tetapi juga ekonomi kebangasaan bahkan pertahanan negara. Nilai transaksi judi online di Indonesia pada 2023 sebesar Rp 327 triliun, melejit 8,136,77% dari tahun 2018. Di hadapan ini semua, menarik untuk mengkaji ulang patriotisme yang tentu akan memiliki karakter dan identifikasi makna yang berbeda di era imperialisme kultural. Penyelamatan generasi muda dari jerat narkotika, pornografi serta judi online merupakan proyek-proyek pertahanan negara yang di dalamnya juga membutuhkan pola-pola patriotisme nonmiliteristik.
Bertalian dengan femomena tersebut serta ancaman pertahanan negara, makna patriotisme hendaknya dapat diperluas dari spektrum keserdaduan yang doktriner ke wilayah pembangunan kesadaran kultural yang mensyaratkan kepekaan sosial, kedewasaan pola bernalar dan berperilaku. Untuk itu, nilai-nilai keberanian dan keyakinan diri berkorban demi rasa cinta Tanah Air perlu menjadi bagian dari strategi kebudayaan dalam formasi identitas di kalangan pelajar dan pemuda. Proses formasi identitas ini seperti ditegaskan oleh Ericson membutuhkan moratorium psikologis di mana orang-orang muda dalam membangun konsep identitas dirinya dapat secara bebas mengakuisisi nilai-nilai, keyakinan dan keteladanan. Jangan sampai formasi identias orang muda itu diisi oleh nilai-nilai destruktif, imaji pornografis, serta teladan narsistik. Hal ini jauh lebih strategis daripada sekadar terjebak pada konsep megalomania serdadu. Serdadu-serdadu tanpa semangat patriotisme otentik adalah jiwa-jiwa fasis yang narsistik dan berbahaya. Mereka tidak lebih dari centeng-centeng tanpa daya kritis dan hati nurani yang hanya mampu menginternalisasi kepentingan tertinggi berdasarkan perintah atasan semata, tidak ada lain.
Reorientasi Patriotisme
Fakta menarik, presiden terpilih Prabowo, telah dilantik dan mulai kepemimpinannya sebagai Presiden Indonesia ke-8. Seiring dengan itu, seperti diberitakan Kompas, 26 Oktober 2024, interior Istana Kepresidenan Jakarta juga ditata sesuai dengan preferensi dan visi politik Presiden Prabowo. Interior Istana dilengkapi dengan koleksi senjata dan lukisan tokoh-tokoh perjuangan dan pergerakan kemerdekaan. Representasi senjata dan lukisan dalam Istana Kepresidenan dipercaya dapat membangkitkan semangat patriotisme dan rasa cinta Tanah Air. Ada semacam keterkaitan dan kesinambungan semangat dan cita-cita luhur perjuangan para pahlawan dengan perjuangan pemerintah saat ini demi terwujudnya cita-cita luhur dan kemajuan nusa dan bangsa.
Selain mereorientasi semangat patriotisme dengan bahasa simbol melalui lukisan maupun koleksi senjata di Istana Negara, sudah saatnya pemerintah juga mengidentifikasi kekuatan kultural beserta nilai-nilai esensialnya sebagai bagian dari kebutuhan dasar membangun pendekatan adaptatif kontemporer. Pemerintahan Presiden Prabowo dapat merancang pola-pola kaderisasi kaum muda sipil dan militer menggunakan nilai-nilai patriotisme yang lebih konstruktif dan humanis. Dengan mempertimbangkan karakteristik lingkungan dan kebudayaan kontemporer yang kompleks, pemerintah dapat melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi patriotisme secara lebih responsif dan kolaboratif.
Kemungkinan ini perlu dipertimbangkan mengingat kecendrungan membangun semangat patriotisme dengan doktrin militer konvensional sebagai arus utama patriotisme berisiko memunculkan persoalan baru, mulai dari resistensi sipil, instabilitas politik sampai tantangan temporalitas kultur digital. Persoalan baru ini akan menghabiskan waktu dan berbiaya tinggi baik secara psikologis maupun ekonomis terutama bertalian dengan formasi identitas orang muda. Tawaran mempertimbangkan nilai-nilai humanisme dan keluhuran kekuatan kultural lokal untuk melengkapi doktrin militer modern merupakan pilihan strategis.
Mereorientasi prinsip-prinsip dominasi, penaklukan dengan senjata dan kekerasan kepada konsesi pembangunan kesadaran, tanggung jawab bersama serta pola kerjasama partisipatif sebagai tawaran maupun alternatif baru resolusi konflik merupakan tantangan kultural baru bagi pembangunan semangat patriotisme. Seorang patriot di era digital dengan karakter teknosains merupakan sosok pemberani yang humanis dengan menjadikan kesadaran dan rasionalitas kritis sebagai salah satu fondasi kulturalnya, ketimbang mengangkat senjata atau menghunus pedang. Hal ini dibutuhkan untuk mengartikulasikan karakteristik realitas sosial ke dalam transformasi sosial tanpa meninggalkan norma-norma kultural lokal di tengah arus global. Bukan tidak mungkin, pola kultural patriotisme macam ini juga terdapat pada agen-agen perdamaian tak bersenjata yang mencegah kekerasan, peperangan dan kematian terus terjadi.
Kebangkitan Nasional dan Getar-gatar Patriotisme tak Bersenjata
Sumpah Pemuda 1928 yang baru kita peringati merupakan sebuah tanda zaman dengan makna patriotisme dan emansipasi yang sangat esensial dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Bukan hanya nama-nama WR. Supratman, Mohammad Yamin, Johanes Leimena atau Amir Syarifudin yang kemudian menjadi tokoh nasional pergerakan kemerdekaan yang kita kenal. Lebih dari itu, semangat dan visi liberatif tokoh-tokoh tersebut menjadi kekuatan humanis yang menginspirasi kita untuk merekonstruksi pola-pola patriotisme nonmiliteristik yang konstruktif. Sebagai bagian masyarakat sipil tak bersenjata sejak 1908, kiprah Boedi Oetomo membangun semangat kemerdekaan melalui pendidikan, persatuan, kebangsaan, gotong royong dan keindonesiaan juga merupakan kebangkitan kultural yang dibakar oleh keberanian dan rasa cinta Tanah Air yang otentik dan bernalar. Demikian halnya, Mohammad Hatta melalui narasi liberatifnya “Tuntutan Nasional” yang diterbitkan dalam Indonesia Merdeka periode 1924-1925 menegaskan pentingnya kekuatan dan imaji patriotisme publik untuk mewujudkan kemerdekaan dan menaklukan imperialisme. Sebagai masyarakat sipil tak bersenjata, Bung Hatta, Bung Karno dan tokoh pendiri bangsa telah membuktikan bahwa kesadaran kultural untuk merdeka yang dibangun melalui narasi liberatif, perjuangan politik, dan pengorbanan-pengorbanannya yang tidak terhitung bagi bangsa Indonesia merupakan representasi patriotisme masyarakat sipil yang epic, dan strategis.
Kesimpulan
Konsepsi patriotisme kontemporer dipengaruhi oleh karakter kultur setiap zaman. Digitalitas dengan intensitas dominasi teknosains dalam realitas sosial hari-hari ini patut dipertimbangkan sebagai unsur formatifnya. Kesadaran dan kebangkitan kultural melalui semangat patriotisme kontemporer merupakan hal yang sangat penting mengingat kolonialisme klasik telah menjadi imperialisme kultural. Patriotisme macam ini merupakan representasi tanggung jawab etis setiap individu terutama yang menyangkut etos nonresiprokal dan tanggung jawab tanpa pamrih. Tanggung jawab yang muncul karena panggilan hati nurani sebagai respons keberpihakan dan keprihatinan sosial atas dasar cinta Tanah Air. Dengan demikian, secara ontologis patriotisme merupakan bentuk transformasi nilai dari hubungan dan identitas intersubjektif yang di dalamnya “saya” merupakan bagian dari yang lain; negara, masyarakat, lingkungan dan sesama manusia. Reorientasi semangat patriotisme dari yang doktriner ke yang otentik sebagai gerakan kultural di kalangan masyarakat sipil tak bersenjata merupakan upaya strategis bagi perluasan benteng pertahanan semesta. Dengan itu pula, semangat patriotisme merawat kemanusiaan, memajukan bangsa serta mengupayakan resolusi konflik dengan opsi perdamaian yang berkesinambungan.*
Penulis: Andre Bahariyanto
Bibliografi
Hatta, Mohammad. 2024. Kebangsaan dan Kerakyatan. Buku 1 Karya Lengkap Bung Hatta (KLBH). Jakarta: LP3ES Jakarta.
Sugiharto, Bambang. 2023. Kebudayaan dan Kondisi Post Tradisi. Jakarta: Kanisius.
Zastrow & Karen. 1989. Understanding Human Behaviour and the Social Environment. Nelson Hall Chicago.
Website
https://www.bbc.com/news/world-europe-68397525. Diakses 30 Oktober 2024 pukul 14:14.
https://www.kompas.com/global/read/2024/10/30/105456570/nato-dan-as-konfirmasitentara-korea-utara-telah-dikerahkan-ke-kursk-rusia. Diakses 30 September 2024 pukul 13:14.
cnbcindonesia.com
databoks.katadata.co.id
kompas.id