by lp3es2022 | Feb 19, 2025 | Uncategorized
Pendahuluan
Bung Hatta, dikenal sebagai Bapak Proklamator dan Wakil Presiden pertama Indonesia, tidak hanya berjasa dalam pergerakan nasional menuju kemerdekaan, tetapi juga dalam mengembangkan paham kerakyatan yang menjadi dasar filosofi ekonomi dan sosial Indonesia. Paham kerakyatan yang diusung oleh Bung Hatta bukan sekadar teori, tetapi merupakan wujud nyata dari perjuangannya untuk menciptakan sistem ekonomi dan politik yang berpihak kepada rakyat. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi pemikiran Bung Hatta tentang paham kerakyatan, bagaimana ia memengaruhi kebijakan ekonomi dan politik Indonesia, serta relevansinya dalam konteks modern.
Latar Belakang Sejarah
Bung Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak muda ia sudah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan perjuangan bangsa. Saat menempuh pendidikan di Belanda, Bung Hatta mulai mendalami berbagai teori ekonomi dan politik yang kemudian menjadi landasan bagi paham kerakyatan yang ia gagas. Pengaruh pemikiran sosialis-demokrat dari Eropa, terutama dari pemikir seperti Karl Marx dan John Stuart Mill, membentuk pandangannya terhadap ekonomi yang berkeadilan dan demokrasi yang berbasis partisipasi rakyat.
Ketika Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno menjadi tokoh sentral dalam merumuskan dasar negara dan kebijakan ekonomi nasional. Paham kerakyatan yang ia gagas kemudian diwujudkan dalam bentuk sistem ekonomi yang dikenal sebagai “ekonomi Pancasila,” yang menekankan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pembangunan ekonomi.
Paham Kerakyatan: Konsep dan Implementasi
Paham kerakyatan yang diperjuangkan oleh Bung Hatta dapat dipahami sebagai sebuah filosofi yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam proses pembangunan ekonomi dan politik. Bagi Bung Hatta, demokrasi bukan hanya soal kebebasan politik, tetapi juga melibatkan keadilan sosial dan ekonomi. Paham kerakyatan menekankan pada tiga prinsip utama: kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi.
- Kemandirian Ekonomi
Salah satu inti dari paham kerakyatan Bung Hatta adalah kemandirian ekonomi. Ia percaya bahwa negara yang merdeka harus memiliki ekonomi yang mandiri, tidak tergantung pada kekuatan asing. Kemandirian ini diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak. Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta menekankan pentingnya koperasi sebagai instrumen untuk mencapai kemandirian ekonomi. Koperasi, menurut Bung Hatta, adalah bentuk ekonomi yang sesuai dengan budaya gotong royong Indonesia, di mana kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama, bukan keuntungan pribadi.
- Keadilan Sosial
Prinsip keadilan sosial dalam paham kerakyatan Bung Hatta mengacu pada distribusi sumber daya dan kekayaan yang adil di antara seluruh rakyat. Bung Hatta menolak sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu, sementara sebagian besar rakyat tetap miskin. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, terutama yang miskin dan tertindas. Oleh karena itu, Bung Hatta sangat mendukung reforma agraria dan redistribusi tanah sebagai langkah untuk mencapai keadilan sosial.
- Demokrasi Ekonomi
Demokrasi ekonomi adalah konsep di mana rakyat memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka. Dalam pandangan Bung Hatta, demokrasi politik tidak akan berarti tanpa demokrasi ekonomi. Ini berarti rakyat tidak hanya memiliki hak untuk memilih pemimpin, tetapi juga memiliki hak untuk menentukan arah pembangunan ekonomi, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan distribusi kekayaan. Koperasi, lagi-lagi, menjadi sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi ini.
Pengaruh Paham Kerakyatan dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia
Paham kerakyatan Bung Hatta tidak hanya berakhir sebagai gagasan, tetapi juga diimplementasikan dalam berbagai kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Salah satu kebijakan yang mencerminkan paham kerakyatan Bung Hatta adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia dikelola oleh bangsa sendiri untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Koperasi, yang selalu ditekankan oleh Bung Hatta, juga menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia pada masa itu berusaha mendorong pertumbuhan koperasi sebagai bentuk ekonomi yang sesuai dengan paham kerakyatan. Namun, implementasi koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat mengalami berbagai tantangan, termasuk kurangnya dukungan infrastruktur dan manajemen yang profesional.
Selain itu, reforma agraria yang menjadi bagian dari upaya mencapai keadilan sosial juga menunjukkan pengaruh kuat dari paham kerakyatan bung Hatta. Kebijakan ini bertujuan untuk mendistribusikan tanah kepada petani kecil yang selama ini tidak memiliki lahan, sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Meski demikian, upaya reforma agraria ini tidak sepenuhnya berhasil karena berbagai kendala, termasuk resistensi dari elite politik dan ekonomi yang sudah mapan.
Kritik dan Tantangan
Meskipun paham kerakyatan Bung Hatta memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan kebijakan ekonomi Indonesia, tidak sedikit kritik yang muncul terhadap implementasinya. Salah satu kritik utama adalah bahwa paham kerakyatan ini terlalu idealis dan sulit diterapkan dalam konteks ekonomi global yang semakin kompleks dan kompetitif. Beberapa pihak berpendapat bahwa pendekatan ekonomi berbasis koperasi dan reforma agraria kurang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dan dinamis.
Tantangan lain yang dihadapi adalah lemahnya dukungan institusional dan politik terhadap paham kerakyatan ini. Koperasi, misalnya, sering kali diabaikan dalam kebijakan ekonomi yang lebih mementingkan sektor swasta dan investasi asing. Selain itu, reforma agraria yang menjadi bagian penting dari keadilan sosial tidak berjalan sesuai harapan karena berbagai kendala struktural dan politik.
Relevansi Paham Kerakyatan Hatta dalam Konteks Modern
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan dalam konteks Indonesia modern, terutama dalam menghadapi isu ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini masih menjadi masalah serius yang menghambat upaya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Paham kerakyatan Bung Hatta, dengan penekanannya pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi, dapat menjadi inspirasi dalam mencari solusi terhadap masalah ini.
Selain itu, paham kerakyatan Bung Hatta juga relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sering kali mengancam kemandirian ekonomi suatu negara. Dalam era globalisasi, menjaga kemandirian ekonomi dan kedaulatan nasional menjadi semakin penting. Prinsip kemandirian ekonomi yang diusung Bung Hatta dapat menjadi landasan bagi kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada penguatan sektor-sektor domestik dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Demokrasi ekonomi, yang menjadi salah satu pilar paham kerakyatan Bung Hatta, juga masih sangat relevan dalam konteks perjuangan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Di tengah meningkatnya kekuatan korporasi besar yang sering kali mendominasi pengambilan keputusan ekonomi, prinsip demokrasi ekonomi dapat menjadi landasan untuk memastikan bahwa suara rakyat tetap didengar dan kepentingan mereka tetap diutamakan.
Kesimpulan
Bung Hatta dan paham kerakyatannya memberikan warisan yang berharga bagi bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya, nilai-nilai yang terkandung dalam paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan hingga saat ini. Kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi adalah prinsip-prinsip yang harus terus diperjuangkan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan ketimpangan sosial yang semakin kompleks.
Paham kerakyatan Bung Hatta bukan hanya sebuah teori, tetapi sebuah visi untuk masa depan Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan mandiri. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus terus menghidupkan semangat kerakyatan ini dalam setiap kebijakan ekonomi dan sosial, agar cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dapat benar-benar terwujud. Dalam era modern ini, di tengah arus globalisasi dan kapitalisme yang sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, paham kerakyatan Bung Hatta adalah pengingat bahwa pembangunan ekonomi sejati adalah pembangunan yang berpihak kepada rakyat dan kesejahteraan bersama.*
Penulis: Firdaus Arifin
by lp3es2022 | Feb 18, 2025 | Demokrasi, Politik, Sekolah Pemikiran Bung Hatta
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan permasalahan bangsa saat ini semakin beragam. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya penguatan nilai kebangsaan di kalangan generasi muda guna menghadapi tantangan tersebut.
“Banyak hal bisa dilakukan untuk memperkuat generasi muda kita dengan belajar dari pemikiran-pemikiran besar Bung Hatta untuk menyikapi kehidupan berbangsa kita saat ini,” kata Lestari dalam keterangan tertulis, Senin (17/2/2025)
Hal tersebut ia sampaikan usai menerima Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Yayasan Hatta di ruang kerja Wakil Ketua MPR RI di kompleks MPR RI/DPR RI/DPD RI Senayan, Jakarta.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, pemikiran Bung Hatta memiliki relevansi tinggi terhadap berbagai aspek pembangunan, mulai dari politik, ekonomi, hingga budaya. Menurutnya, pemikiran para pendiri bangsa harus terus diperkenalkan kepada generasi muda agar dapat menjadi landasan dalam menghadapi tantangan zaman.
Upaya menyosialisasikan pemikiran Bung Hatta bisa dilakukan dengan membedah isi buku-buku yang memuat gagasannya serta menyampaikannya melalui seminar atau diskusi di lingkungan pendidikan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem ini berharap nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri bangsa dapat terus dipahami dan diamalkan oleh generasi penerus demi mewujudkan kehidupan berbangsa yang lebih baik di masa depan.
Sebagai informasi, pertemuan tersebut turut dihadiri Ketua Yayasan Hatta Halida N. Hatta, Editor LP3ES Malik Ruslan, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI Usman Kansong, dan Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Lutfhie Assyaukanie.
by lp3es2022 | Feb 18, 2025 | Demokrasi, Politik
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar seminar daring untuk meluncurkan buku berjudul Refleksi 2024, Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik di Tengah Pusaran Oligarki pada Minggu (16/2/2025).
Acara ini diikuti oleh para pakar, akademisi, dan pengamat politik yang membahas tantangan besar bagi demokrasi Indonesia di masa depan.
Dalam pembukaan acara, Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia tengah berada dalam kondisi kritis. Ia mengutip buku How Democracies Die yang menyatakan bahwa kematian demokrasi bukanlah hal mustahil.
“Apakah demokrasi masih bisa diselamatkan, atau otoritarianisme akan kembali tumbuh? Kita perlu memperkuat gerakan masyarakat sipil sebagai benteng utama dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi,” ujarnya.
Dalam sesi pemaparan pertama, Peneliti LP3ES Malik Ruslan menyampaikan materi berjudul Tantangan Presiden Prabowo: Konteks Penanggulangan Korupsi. Malik menyoroti melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan meningkatnya pengaruh oligarki yang menyebabkan korupsi masif dan sistematis.
Ia menyebut bahwa Indonesia kini dalam kondisi darurat korupsi dan menekankan perlunya langkah tegas dari Presiden Prabowo untuk memperkuat lembaga antikorupsi serta menciptakan efek jera bagi koruptor.
Malik juga menguraikan strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah, termasuk memperkuat independensi KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menghentikan politisasi pemberantasan korupsi, serta menerapkan pendekatan budaya dalam upaya pencegahan korupsi sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menegaskan bahwa reformasi politik telah berakhir. Hal ini menjadi dasar pemilihan judul buku yang diluncurkan.
Menurutnya, berbagai warisan reformasi telah dianulir, mulai dari pelemahan KPK, pengembalian dwi fungsi militer dan kepolisian, hingga lemahnya penegakan hukum.
“Buku Menyelamatkan Demokrasi yang diterbitkan LP3ES pada 2019 sudah memperingatkan ancaman kembalinya otoritarianisme. Kini kita melihat bahwa pelemahan KPK adalah bagian dari ancaman serius terhadap demokrasi,” kata Wijayanto.
Ia juga menyoroti bahwa saat ini tidak ada oposisi politik yang kuat, kebebasan pers semakin terancam, dan media yang kritis sulit bertahan.
“Media seperti Tempo memang masih kritis, tetapi sebagian besar media dikuasai oleh elite ekonomi yang dekat dengan kekuasaan,” tambahnya.
Kebebasan Pers Terancam
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2021-2024, Ika Ningtyas, dalam materinya Kebebasan Pers 2025: Dalam Bayang-Bayang Militer dan Politik Dinasti, mengungkapkan bahwa kebebasan pers di Indonesia semakin tertekan.
Ia mengutip data dari Dewan Pers yang menunjukkan bahwa media siber mendominasi lanskap informasi politik, dengan TikTok sebagai platform utama penyebaran informasi.
“Media sosial seperti TikTok kini menguasai ruang informasi, yang mengancam peran media independen,” kata Ika.
Ia juga mengkritik penggunaan buzzer dan influencer oleh pemerintah untuk membentuk opini publik.
“Kepercayaan publik terhadap media semakin menurun akibat maraknya konten manipulatif,” tegasnya.
Selain itu, revisi Undang-Undang Penyiaran semakin membatasi kebebasan pers, sementara kondisi ekonomi memperburuk situasi media independen.
Menurut Ika, kebijakan ini mengarah pada penurunan kualitas demokrasi karena masyarakat semakin sulit mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus peneliti LP3ES, Herlambang P. Wiratraman, dalam materinya Represi dan Manipulasi: Tren Menguatnya Serangan terhadap Kebebasan Ekspresi, menyoroti peningkatan represi terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, khususnya di tahun 2024.
Ia mengkritik penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam kritik.
“Kasus aktivis lingkungan Daniel dari Karimunjawa dan buruh Septia yang menghadapi proses hukum panjang menunjukkan bagaimana represi semakin menguat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Herlambang menilai bahwa penguatan militerisme di bawah pemerintahan Prabowo menjadi ancaman besar bagi kebebasan sipil.
“Militerisme yang seharusnya dihapuskan justru menguat. Ini adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita,” tegasnya.
Ia juga mengkritik politik transaksional yang semakin memperlemah hak asasi manusia.
“Produk hukum kini menjadi komoditas yang bisa dibeli, dan HAM hanya menjadi aksesoris penguasa,” jelas Herlambang.
Dalam sesi tanya jawab, Peneliti Senior KITLV Leiden, Ward Berenschot, diminta memberikan pandangannya mengenai situasi demokrasi Indonesia.
Ia menyatakan bahwa reformasi politik telah berakhir dan Indonesia telah memasuki era pasca-reformasi.
“Jokowi terpilih dengan janji memperkuat demokrasi, namun hal itu tidak terjadi. Sementara Prabowo terpilih tanpa janji demokrasi dan justru menegaskan bahwa itu bukan prioritasnya,” ujar Ward.
Menurutnya, kondisi demokrasi di Indonesia semakin memburuk, dan ironisnya, pelemahan demokrasi ini mendapat dukungan publik sebagaimana terlihat dari kemenangan Prabowo.
“Tidak ada lagi pemimpin yang berkomitmen terhadap reformasi, dan tidak ada lagi janji untuk memperkuat demokrasi,” pungkasnya.
di terbitan juga di : https://www.zonasi.id/lp3es-luncurkan-buku-outlook-2024-2025-demokrasi-kritis-dan-reformasi-sudah-berakhir/
by lp3es2022 | Jan 31, 2025 | Uncategorized
Dalam rangka memeringati Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 2024 dicetuskan untuk menulis tentang patriotisme Bung Hatta. Kata patriotisme yang dipakai bukan nasionalisme karena terkait dengan masalah kemanusiaan yang bersifat universal. Menurut hemat saya, nasionalisme tanpa humanisme akan membangun masyarakat yang tertutup dan menghambat pemajuan peradaban manusia.
Patriotisme Bung Hatta memiliki banyak wajah. Salah satu yang penting dan membantu menjawab masalah kebangsaan yang sedang terjadi adalah demokrasi. Bung Hatta adalah seorang demokrat sejati yang terus-menerus merelisasikan imajinasi menjadi bangsa Indonesia dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia. Ia sosok luar biasa yang bisa menjadi teladan. Mengapa? Ia berpegang pada ajaran Islam yang telah memberinya karakter yang kuat. Dari karakter kuatnya ini, Bung Hatta bisa mengintegrasikan diri ke konteks modern yang kemudian melahirkan satu pemikiran bernegara yang menjadi landasan Indonesia sekarang ini.
Indonesia terkhusus di masa Pemilu 2024 dihadapkan pada masalah demokrasi karena ada peristiwa kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh presiden terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden, dengan pelibatan adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, sebagai Ketua MK. Setelah ini, terjadi peristiwa pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia yang meloloskan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Pelolosan KPU terjadi dengan belum mencabut peraturan sebelumnya yang tak mungkinkan Gibran bisa menjadi wakil presiden. Alasan inilah yang kemudian membuat Partai Demokrat Indonesia (PDI) Perjuangan menggugat Gibran ke pengadilan.
Peristiwa itu kemudian membawa serangkaian peristiwa pelanggaran etika dan moral yang dipersoalkan oleh aktivis dan akademisi. Meski Ketua MK telah ditetapkan sebagai pelanggar etik namun keputusan MK tidak bisa dibatalkan. Lalu terjadilah polemik dalam melihat kedudukan etika dan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum yang dipakai saat perdebatan itu adalah hukum mengabaikan dimensi etika dan moral, atau hukum ada di bawah etika dan moral.
Esai ini berpihak pada paradigma peletakan hukum di bawah etika dan moral berdasarkan pemikiran Bung Hatta tentang Pancasila. Argumentasi yang dipakai merujuk tulisan Bung Hatta yang ada di Buku 9 dengan penerbit LP3ES dan Universitas Bung Hatta yang berjudul Agama, Dasar Negara dan Karakter Bangsa. Menurut Yudi Latif yang memberi Kata Pengantar buku tersebut, Bung Hatta meletakkan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila berikut. Lalu di halaman XXXV tertulis tentang sikap Bung Hatta bahwa “Fundamen etik dikedepankan, fundamen politik berada di belakang”. Argumentasi ini secara implisit menyatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila yang lain. Di mana hukum termasuk empat sila di bawah sila pertama. Jadi, Bung Hatta sebagai salah satu pendiri negara telah memberi bangunan kebangsaan Indonesia dengan meletakkan nilai etika dan moral bersumber pada Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar tindakan bernegara di ranah praksis.
Menurut saya apa yang telah dikonsepkan Bung Hatta memiliki landasan kuat dalam menginterpretasikan Pancasila. Pancasila dan UUD 45 adalah fondasi dan sumber hukum Indonesia yang memungkinkan kebangsaan Indonesia bisa diwujudkan.
Sekarang, selain kita menghadapi masalah peletakan etika dan moral dalam tata kelola negara, juga muncul ancaman demokrasi populis, yakni demokrasi yang telah membuka peluang bagi munculnya pemimpin yang otoriter dan fasis. Sisi gelap demokrasi memungkinkan muncul pemimpin diktator dan fasis seperti Hitler. Ini masalah demokrasi yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia tetapi juga oleh banyak negara di dunia.
Sistem demokrasi akan bermanfaat untuk masyarakat jika pemimpin yang terpilih bisa menggunakan kebebasannya untuk menghasilkan karya bagi kepentingan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Beruntung Indonesia memiliki contoh pemimpin yang membuat sistem demokrasi berwajah menguntungkan rakyat. Kita mempunyai pemimpin yang telah mewujudkan praktik tentang ketaatannya pada aturan dan berorientasi pada kepentingan semua yang dipimpin. Sosok ini adalah Bung Hatta—aktivis politik yang kemudian berdwi-tunggal dengan Bung Karno dengan menjadi Wakil Presiden.
Meneladani Bung Hatta
Bung Hatta adalah contoh terbaik tentang agen yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai agama yang terwujud dalam karakternya. Ini yang kemudian menjadikannya seorang demokrat dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia yang dipilih secara musyawarah mufakat di sidang BPUPKI-PPKI. Para pendiri bangsa termasuk Bung Hatta melepaskan diri dari ikatan primordial yang ada (etnis, agama dan kelas), lalu memutuskan gambaran negara yang hendak dimerdekakan. Gambaran itu diwujudkan dalam sistem republik demokrasi dengan bahasa persatuan bernama Bahasa Indonesia. Ini transendensi kolektif yang luar biasa karena para pengambil keputusan kebanyakan adalah priayi dan intelektual yang hidup dalam sistem feodal dengan kebanyakan belum lancar berbahasa Indonesia. Namun mereka mengabaikan bentuk negara kerajaan dan bahasa yang mereka kuasai. Mereka memilih masa depan yang memerdekaan semua warganegara.
Setelah dicapai kesepakatan tentang tata kelola negara berasaskan republik demokrasi, Bung Hatta lalu membangun sistem negara baru berdasarkan kesepakatan tersebut. Bung Hatta yang menginisiasi pendirian multipartai sebagai pertanda negara demokrasi. Inisiasi ini membungkam wacana yang beredar tentang negara boneka bikinan Belanda. Dengan cara yang ditempuh Bung Hatta dan kawan-kawan, pengakuan Indonesia merdeka dari PBB bisa diwujudkan segera.
Selain itu, jasa Bung Hatta yang tak boleh dilupakan adalah kontribusinya dalam munculnya ayat 28 di UUD 45 yang menetapkan tentang kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Ayat ini mewujudkan ruang publik bagi warga negara berkontribusi memberikan pendapatnya. Dengan demikian, hidup bersama berdasarkan kesepakatan bersama dijamin oleh konstitusi.
Kemudian Bung Hatta merumuskan pandangannya tentang demokrasi. Bagi Bung Hatta, ada demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Demokrasi adalah sistem terbaik untuk merealisasikan kebaikan untuk semua warga negara Indonesia. Kebangsaan dan kerakyatan tidak boleh terpisah. Demokrasi Indonesia dikembangkan dari demokrasi yang ada di desa-desa yang telah mempraktikkan musyawarah mufakat dan gotong royong. Dengan demikian, Bung Hatta menghendaki demokrasi khas Indonesia yang tidak bersifat individualis seperti yang terjadi di Barat tetapi mementingkan kolektivitas. Jadi, Bung Hatta mengembangkan demokrasi Barat yang hanya berdimensi politik dengan menambahkan demokrasi ekonomi.
Demokrasi ekonomi Indonesia dari kemerdekaan hingga sekarang terus dieksperimen oleh para pemegang kebijakan dan pakar. Bung Hatta menawarkan sistem koperasi. Sistem koperasi di Indonesia belum berkembang. Yang berkembang saat ini barulah UMKM. Gagasan demokrasi ekonomi yang cocok untuk Indonesia terus dicari, yang bersemangatkan kerakyatan dan menghendaki kesejahteraan untuk semuanya. Dengan kata lain, ada gagasan tentang membangun sistem ekonomi yang sesuai untuk Indonesia.
Membangun Budaya Demokrasi
Apa yang dinilai Bung Hatta tentang demokrasi masih relevan dibicarakan yakni belum adanya demokrasi ekonomi. Yang terjadi baru demokrasi politik melalui pemilihan pemimpin secara teratur. Demokrasi politik saja tidak cukup. Demokrasi sosial dan ekonomi jalannya dikawal agar tetap berlangsung.
Presiden Jokowi bukan seorang demokrat dalam sistem republik terutama di periode kedua masa kepemimpinannya sebagai presiden. Kebijakan-kebijakan yang dibuat Presiden Jokowi kurang melalui diskusi publik. Bahwa ada beberapa pakar politik yang menilai Presiden Jokowi adalah pemimpin populis yang bersifat otoriter. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan Pemilu 2024 berpotensi menghancurkan bangunan demokrasi yang telah terbangun. Budaya demokrasi yang masih rapuh nyaris hancur.
Karena itu, isu menjaga dan mengembangkan budaya demokrasi yang berorientasi kebangsaan dan kerakyatan yang digagas Bung Hatta harus kita lakukan. Rakyat biasa seperti kita juga bisa menjadi negarawan yang memiliki hak bersikap dan bertindak membela negara dengan menjaga sistem yang telah diputuskan. Sistem itu adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem Demokrasi. Cara pelaksanaannya seperti apa? Merujuk pada konsep yang ditawarkan Romo Haryatmoko tentang Menjadi Warganegara Kompeten dalam politik kewargaan. Politik kewargaan adalah konsep yang saya ambil dari pakar politik dari Universitas Airlangga tentang ruang baru untuk warganegara berpolitik nonpartisan partai politik. Politik adalah bagian hidup setiap warganegara. Baik buruk hidup bersama tergantung pada partisipasi semuanya.
Untuk bisa menjadi warganegara kompeten menjaga negara maka prasyarat yang diperlukan adalah memahami sejarah perjalanan bangsa. Dalam kontek sini, salah satu tokoh yang wajib dipahami sejarah dan pemikirannya adalah Bung Hatta. Untuk ini, penulis bermaksud membentuk Book Club Bung Hatta. Harapannya akan ada bedah buku Bung Hatta yang terbuka untuk umum secara periodik. Sebagai patriot demokrasi, perjalanan hidup dan pemikiran Bung Hatta perlu dibedah. Book club adalah salah satu bentuk politik kewargaan yang membuka kemungkinan bagi kita untuk menjadi warganegara kompeten.*
Penulis: Esthi Susanti Hudiono
Bibliografi
Bahar, S., & Hudawati, N. (Ed.). 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Edisi ke-2. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. ISBN: 978-602-12345-6-7.
Hatta, M. 2018. Demokrasi Kita: Pikiran-pikiran tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Cetakan ke-4. Sega Arsy.
――――. 2023. Agama, Dasar Negara, dan Karakter Bangsa: Karya Lengkap Bung Hatta Buku 9. Depok: LP3ES dan Universitas Bung Hatta.
――――. 1981. Mohammad Hatta: Memoir . C.L.M. Penders (Ed.). Jakarta: Gunung Agung.
Haryatmoko. 2023. Prinsip-prinsip Etika: Landasan teori untuk memecahkan kasus-kasus dilema moral. Jakarta: Gramedia.
Semua Materi dari Nara Sumber Sekolah Pemikiran Bung Hatta Angkatan #1 yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2024.
by lp3es2022 | Jan 31, 2025 | Demokrasi
Patriotisme sejati bukan sekadar cinta Tanah Air yang ditunjukkan melalui slogan atau simbol yang sering kali tampak di permukaan. Di era globalisasi, nilai patriotisme dapat didefinisikan ulang sebagai bentuk keberanian dalam menghadapi arus perubahan tanpa kehilangan jati diri. Patriotisme tidak harus berarti menutup diri dari pengaruh luar, tetapi bagaimana kita bisa memilih dan memilah nilai-nilai yang sesuai dengan identitas bangsa.
Di masa kini, patriotisme bukan lagi tentang melawan penjajah, tetapi tentang melawan ancaman terhadap identitas dan karakter bangsa yang berasal dari dalam diri sendiri. Ketika nilai-nilai pragmatisme, konsumerisme, dan individualisme semakin menguasai pikiran, dibutuhkan keberanian untuk tetap mempertahankan nilai-nilai nasional yang mendasar. Generasi muda harus menyadari bahwa menjaga karakter bangsa adalah bentuk perjuangan modern yang sama pentingnya dengan perjuangan fisik yang dilakukan oleh para pahlawan terdahulu.[1] Patriotisme dalam bentuk ini menuntut pengorbanan. Namun, seperti yang ditunjukkan Mohammad Hatta dan pahlawan nasional lainnya, seorang patriot sejati akan tetap teguh dalam keyakinannya, terlepas dari pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Ia berjuang bukan untuk mendapatkan pengakuan. Ia tahu bahwa mempertahankan prinsip adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada bangsa.[2]
Menghidupkan nilai patriotisme di tengah generasi muda saat ini adalah tantangan yang semakin kompleks. Di satu sisi, akses ke informasi dan teknologi memberikan peluang besar bagi anak muda untuk memperkaya pengetahuan dan membuka wawasan mereka tentang dunia. Namun, di sisi lain, arus globalisasi juga membawa berbagai budaya dan nilai yang tidak selalu sejalan dengan identitas bangsa, bahkan sering kali memengaruhi pola pikir pragmatisme dan individualisme yang tinggi. Dalam situasi demikian, generasi muda dihadapkan pada pilihan-pilihan pragmatis yang terkadang mengorbankan nilai-nilai luhur demi kepentingan instan, menimbulkan kebingungan budaya yang kian mengikis karakter bangsa.[3] Salah satu efek globalisasi yang signifikan adalah dominasi budaya populer dari negara-negara maju yang sering kali dipandang sebagai standar kehidupan modern. Anak muda kerap terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan berorientasi pada kesuksesan materi, yang pada gilirannya menggeser nilai-nilai nasionalisme dan kebersamaan.[4] Akibatnya, konsep patriotisme yang berakar pada kecintaan kepada Tanah Air dan komitmen terhadap kebenaran terasa semakin jauh, terutama ketika nilai-nilai tersebut dianggap tidak relevan dalam mencapai kesuksesan pribadi. Hal ini menciptakan tantangan besar untuk menanamkan kembali semangat patriotisme yang tulus, yang tidak lagi sekadar simbol, tetapi menjadi nilai yang benar-benar dihidupi dalam tindakan sehari-hari.
Menghidupkan ide patriotisme di era digital artinya menyebarkan gagasan ini kepada generasi yang tumbuh dengan internet, media sosial, dan koneksi global tanpa batas—terutama generasi Z. Gen Z, yang lahir antara akhir 1990-an dan awal 2010-an, adalah generasi pertama yang sepenuhnya menyatu dengan teknologi digital sejak usia dini. Bagi mereka, interaksi dengan dunia dilakukan melalui layar, dan akses informasi mereka lebih cepat serta lebih luas dibanding generasi sebelumnya. Gaya hidup digital ini memengaruhi cara mereka membentuk identitas, memahami dunia, dan menyerap nilai-nilai, termasuk patriotisme.[5]
Namun, bagi Gen Z, patriotisme mungkin terasa sebagai konsep yang abstrak atau bahkan ketinggalan zaman, terutama dalam konteks modern yang lebih berorientasi pada individualitas dan keberhasilan personal.[6] Ini berbeda dengan generasi sebelumnya, yang mungkin lebih dekat dengan sejarah perjuangan atau ikatan emosional pada Tanah Air melalui pengalaman kolektif. Oleh karena itu, menyampaikan nilai patriotisme pada Gen Z membutuhkan pendekatan yang relevan dengan cara berpikir, bahasa, dan medium yang mereka pahami—yakni dunia digital.[7]
Penyebaran ide-ide patriotisme di dunia digital dapat dilakukan dengan mengoptimalkan platform media sosial yang paling sering digunakan oleh generasi muda, seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan Twitter. Platform-platform tersebut menawarkan peluang untuk menciptakan konten visual yang kuat dan berdaya tarik tinggi. Konten yang menggunakan gambar, video pendek, dan infografis dapat memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan teks panjang yang mungkin kurang menarik bagi audiens muda. Sebagai contoh, video pendek yang menggambarkan kisah heroik pahlawan nasional, lengkap dengan visual yang menawan dan narasi yang kuat, dapat membuat nilai patriotisme terasa lebih nyata dan inspiratif bagi anak muda.[8] Langkah taktis berikutnya adalah menggunakan pendekatan storytelling digital. Kisah-kisah tentang perjuangan, pengorbanan, dan komitmen terhadap bangsa dapat diceritakan ulang dalam format yang lebih modern melalui media digital. Misalnya, cerita tentang perjuangan Soekarno-Hatta dalam mempertahankan kemerdekaan bisa dijadikan serial video pendek atau animasi. Melalui pendekatan storytelling ini, anak muda dapat merasakan emosi dan nilai-nilai yang melekat pada sejarah, bukan hanya sekadar informasi yang terkesan jauh dari kehidupan mereka sehari-hari.[9]
Selain itu, penggunaan influencer atau figur publik yang berpengaruh di media sosial dapat menjadi strategi efektif. Influencer yang dikenal oleh anak muda bisa dijadikan penggerak kampanye digital untuk menyebarkan nilai-nilai patriotisme. Ketika seorang influencer yang diikuti oleh banyak anak muda menyuarakan pentingnya cinta Tanah Air atau bahkan melakukan aksi sosial untuk bangsa, pesan tersebut akan lebih mudah diterima dan diikuti. Hal ini bukan hanya meningkatkan awareness, tetapi juga menciptakan keterlibatan langsung dari audiens yang ingin terlibat dalam aksi serupa.[10]
Pemanfaatan gamifikasi juga bisa menjadi cara yang kreatif untuk menyampaikan nilai patriotisme. Dengan membuat aplikasi atau permainan digital yang berbasis sejarah Indonesia atau nilai kebangsaan, kita bisa mengajarkan nilai-nilai patriotisme dengan cara yang menyenangkan dan interaktif. Dalam permainan ini, anak muda bisa diajak menyelesaikan misi-misi yang menggambarkan perjuangan para pahlawan atau menjaga aset nasional. Gamifikasi tidak hanya menarik tetapi juga memberikan pengalaman yang mengesankan dan mendalam tentang nilai-nilai kebangsaan.[11]
Di samping itu, kampanye digital bertema patriotisme dapat diperkuat melalui tagar atau hashtag yang menghubungkan berbagai konten terkait di media sosial. Hashtag seperti #CintaIndonesia atau #BelaNegara dapat membantu mengorganisasikan konten-konten yang relevan sehingga mudah diakses oleh siapa pun yang tertarik dengan topik tersebut. Hashtag yang tepat dan populer dapat meningkatkan kesadaran serta keterlibatan anak muda untuk ikut serta menyebarkan nilai patriotisme di media sosial mereka.[12]
Pembuatan dokumenter atau mini-series tentang tokoh nasional atau peristiwa penting dalam sejarah Indonesia juga bisa menjadi format yang sangat relevan. Dokumenter dalam bentuk mini-series atau bahkan format pendek yang ditayangkan di Instagram Stories atau YouTube Shorts bisa membangkitkan minat terhadap sejarah nasional. Ketika anak muda melihat sejarah bangsa mereka dikemas dalam bentuk yang menarik dan mudah diakses, rasa kebanggaan dan penghargaan terhadap sejarah tersebut akan tumbuh lebih alami.[13]
Untuk memperkuat pesan ini, penting pula bagi pemerintah dan institusi pendidikan mendukung konten-konten patriotisme dengan data dan sumber yang kredibel. Dengan adanya dukungan dari lembaga resmi, konten digital tentang patriotisme akan mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari publik. Konten edukatif ini bisa meliputi fakta sejarah, infografis tentang perjuangan kemerdekaan, atau penjelasan mengenai pentingnya menjaga persatuan di era modern.[14] Keterlibatan komunitas digital juga sangat efektif dalam menyebarkan nilai patriotisme. Membentuk komunitas daring yang berfokus pada edukasi dan diskusi tentang sejarah atau isu nasional dapat membantu anak muda berinteraksi dengan sesama mereka yang memiliki minat yang sama. Komunitas ini bisa berbentuk grup di Facebook, saluran di Telegram, atau bahkan kelompok diskusi di Reddit. Melalui interaksi ini, anak muda dapat saling berbagi pandangan, memperdalam pemahaman mereka, dan mendiskusikan nilai-nilai patriotisme dalam konteks yang lebih relevan bagi mereka.[15]
Bentuk lain dari kampanye digital yang relevan adalah menyelenggarakan kompetisi atau tantangan yang berkaitan dengan patriotisme. Misalnya, tantangan untuk membuat video pendek tentang makna kemerdekaan atau momen bersejarah dalam hidup mereka bisa menjadi cara untuk melibatkan anak muda secara langsung. Kompetisi semacam ini dapat mendorong mereka berkreasi dan menyampaikan pandangan tentang pentingnya mencintai bangsa, sekaligus memberikan ruang bagi mereka untuk menunjukkan rasa cinta Tanah Air dengan cara yang unik.[16] Kerja sama antara pemerintah, sekolah, dan pihak swasta juga diperlukan dalam membangun infrastruktur digital yang mendukung kampanye patriotisme.
Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, kampanye digital yang bertema patriotisme akan lebih kuat dan luas jangkauannya. Pemerintah dan sekolah dapat menyediakan platform resmi, sedangkan pihak swasta bisa memberikan bantuan teknis, seperti pengembangan aplikasi atau penyediaan platform yang lebih interaktif.[17]
Di era digital, interaksi langsung antara tokoh-tokoh nasional dan generasi muda juga menjadi penting. Tokoh-tokoh pemerintahan atau figur inspiratif yang memiliki akun media sosial bisa melakukan sesi tanya jawab langsung tentang makna patriotisme atau sejarah bangsa. Interaksi ini memberikan kesempatan bagi generasi muda merasa lebih dekat dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh tersebut, serta memberikan mereka pemahaman langsung mengenai perjuangan yang telah dilakukan untuk bangsa.[18] Melalui kanal-kanal ini, generasi muda tidak hanya menjadi penerima pesan, tetapi juga pembuat konten patriotisme yang mereka bagikan sendiri. Konten yang dibuat oleh anak muda untuk sesamanya akan lebih mudah diterima, karena bahasa dan gaya penyampaiannya sesuai dengan apa yang mereka sukai. Kampanye patriotisme yang berbasis pada partisipasi anak muda ini akan menciptakan rasa kepemilikan dan kebanggaan yang lebih kuat.[19]
Penyampaian nilai patriotisme juga bisa dilakukan dengan memasukkan unsur humor atau tren populer. Meme atau video lucu yang menyertakan elemen nasionalisme bisa menjadi cara yang ringan namun efektif untuk menarik perhatian anak muda. Dengan format yang akrab dan mudah diterima, nilai-nilai patriotisme dapat tersebar luas tanpa terkesan kaku atau membosankan.[20]
Pembuatan aplikasi edukasi atau situs web yang berisi konten sejarah dan budaya Indonesia yang mudah diakses juga menjadi upaya penting. Aplikasi ini bisa menjadi sumber informasi bagi generasi muda yang ingin memperdalam pemahaman mereka tentang bangsa, dengan konten interaktif yang mudah diakses dari mana saja dan kapan saja. Konten ini bisa meliputi trivia sejarah, kuis tentang tokoh nasional, atau galeri foto digital tentang peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.[21]
Sebagai tambahan, media sosial bisa digunakan menyebarkan nilai-nilai patriotisme dengan memanfaatkan video berdurasi pendek yang menginspirasi. Anak muda cenderung menghabiskan waktu pada konten singkat yang menarik. Video inspiratif yang menyampaikan pesan tentang cinta Tanah Air, kerja keras, atau pengabdian kepada bangsa bisa menjadi sumber inspirasi bagi mereka, terutama ketika disampaikan dengan gaya yang sesuai dengan tren saat ini.[22] Pembuatan podcast juga bisa menjadi alternatif yang menarik. Banyak anak muda saat ini menyukai podcast, terutama ketika membahas topik yang inspiratif atau informatif. Podcast tentang nilai patriotisme yang dikemas dalam bentuk cerita sejarah atau diskusi dengan tokoh-tokoh nasional bisa membantu generasi muda lebih memahami nilai-nilai ini dengan cara yang santai tetapi mendalam.[23]
Tentu saja, evaluasi terhadap efektivitas kampanye digital ini sangat penting. Melalui analisis data, seperti jumlah penonton, tingkat keterlibatan, dan respons audiens, kita dapat mengetahui format dan pendekatan apa yang paling sesuai untuk menyampaikan nilai patriotisme di era digital.[24] Dengan data ini, penyampaian nilai patriotisme dapat terus disesuaikan agar lebih relevan dan berdampak.
Akhirnya, tantangan terbesar dalam menyampaikan nilai patriotisme di era digital adalah mempertahankan konsistensi pesan di tengah arus informasi yang sangat deras. Oleh karena itu, komitmen semua pihak diperlukan untuk terus menyebarkan nilai-nilai tersebut secara berkesinambungan. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya mendapatkan inspirasi sesaat, tetapi juga benar-benar menanamkan nilai patriotisme dalam diri mereka sebagai bagian dari identitas bangsa. Dengan pendekatan ini, patriotisme dapat hidup dan relevan dalam dunia digital, menciptakan generasi muda yang tidak hanya bangga terhadap bangsanya, tetapi juga siap berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik. Nilai-nilai ini tidak hanya memperkuat jati diri bangsa, tetapi juga menjadi dasar bagi generasi muda untuk menghadapi tantangan global dengan kepala tegak dan hati yang penuh cinta pada Tanah Air.*
Penulis: Roni Pradana
Bibliografi
Arnett, Jeffrey Jensen. 2004. Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens Through the Twenties. Oxford: Oxford University Press.
Aufderheide, Patricia. 2014. Visual Storytelling in Digital Culture. London: Routledge.
Buckingham, David. 2008. Youth, Identity, and Digital Media. Cambridge, MA: MIT Press.
Burgess, Jean & Joshua Green. 2018. YouTube: Online Video and Participatory Culture. Cambridge: Polity.
Burns, Axel & Jean Burgess. 2017. The Routledge Companion to Social Media and Politics. New York: Routledge.
Castells, Manuel. 2013. Communication Power. Oxford: Oxford University Press.
Duffy, Brooke Erin. 2013. Remake, Remodel: Women’s Magazines in the Digital Age. Urbana: University of Illinois Press.
Gauntlett, David. 2018. Making is Connecting: The Social Power of Creativity. London: Polity.
Jenkins, Henry. 2006. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
Kahneman, Daniel. 2011. Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.
Klinenberg, Eric. 2018. Palaces for the People: How Social Infrastructure Can Help Fight Inequality. New York: Crown.
Litwack, R.F. 1999. The Importance of Moral Courage in Law and Justice. New York: Columbia University Press.
McGonigal, Jane. 2011. Reality Is Broken: Why Games Make Us Better and How They Can Change the World. New York: Penguin Press.
Munandar, Adrian. 2004. Patriotisme dan Hukum: Inspirasi dari Tokoh Kemerdekaan Indonesia. Surabaya: Penerbit Mandiri.
Purcell, Kristen. 2015. Teens, Social Media & Technology. Washington D.C.: Pew Research Center.
Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster.
Ragusea, Adam. 2018. “Podcasting’s New Frontier”. Columbia Journalism Review, vol. 57, no. 3.
Shifman, Limor. 2014. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press.
Stelzner, Michael A. 2020. Social Media Marketing Industry Report. San Diego: Social Media Examiner.
Twenge, Jean M. 2017. iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious. New York: Atria Books.
Winston, Brian. 1998. Media Technology and Society: A History from the Telegraph to the Internet. London: Routledge.
[1] Edward Said, Culture and Imperialism, (New York: Knopf, 1993), hlm. 71.
[2] Adrian Munandar, Patriotisme dan Hukum: Inspirasi dari Tokoh Kemerdekaan Indonesia, (Surabaya: Penerbit Mandiri, 2004), hlm.98.
[3] Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2020), hlm.56.
[4] Thomas Hylland Eriksen, Tyranny of the Moment: Fast and Slow Time in the Information Age, (London: Pluto Press, 2001), hlm.84.
[5] Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, (New York: Atria Books, 2017), hlm.29.
[6] Jeffrey Jensen Arnett, Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens Through the Twenties, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm.97.
[7] David Buckingham, Youth, Identity, and Digital Media, (Cambridge, MA: MIT Press), 2008, hlm.11.
[8] Patricia Aufderheide, Visual Storytelling in Digital Culture, (London: Routledge, 2014), hlm.102.
[9] Jean Burgess & Joshua Green, YouTube: Online Video and Participatory Culture, (Cambridge: Polity, 2018), hlm.76.
[10] Brooke Erin Duffy, Remake, Remodel: Women’s Magazines in the Digital Age, (Urbana: University of Illinois Press, 2013), hlm.134.
[11] Jane McGonigal, Reality Is Broken: Why Games Make Us Better and How They Can Change the World, (New York: Penguin Press, 2011), hlm.243.
[12] Axel Bruns & Jean Burgess, The Routledge Companion to Social Media and Politics, (New York: Routledge, 2017), hlm.174.
[13] Brian Winston, Media Technology and Society: A History from the Telegraph to the Internet, (London: Routledge, 1998), hlm.115.
[14] Manuel Castells, Communication Power, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hlm.92.
[15] Robert Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, (New York: Simon & Schuster, 2000), hlm.129.
[16] David Gauntlett, Making is Connecting: The Social Power of Creativity, (London: Polity, 2018), hlm.211.
[17] Eric Klinenberg, Palaces for the People: How Social Infrastructure Can Help Fight Inequality, (New York: Crown, 2018), hlm. 157.
[18] Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s…, op.cit., hlm. 55.
[19] Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide, New York: New York University Press, 2006, hlm. 122.
[20] Limor Shifman, Memes in Digital Culture, (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), hlm.56.
[21] Kristen Purcell, Teens, Social Media & Technology, (Washington D.C.: Pew Research Center, 2015), hlm.36.
[22] Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow, (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), hlm.75.
[23] Adam Ragusea, “Podcasting’s New Frontier,” Columbia Journalism Review, vol. 57, no. 3, 2018, hlm.33.
[24] Michael A. Stelzner, Social Media Marketing Industry Report, (San Diego: Social Media Examiner, 2020), hlm.39.