Dalam rangka memeringati Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 2024 dicetuskan untuk menulis tentang patriotisme Bung Hatta. Kata patriotisme yang dipakai bukan nasionalisme karena terkait dengan masalah kemanusiaan yang bersifat universal. Menurut hemat saya, nasionalisme tanpa humanisme akan membangun masyarakat yang tertutup dan menghambat pemajuan peradaban manusia.
Patriotisme Bung Hatta memiliki banyak wajah. Salah satu yang penting dan membantu menjawab masalah kebangsaan yang sedang terjadi adalah demokrasi. Bung Hatta adalah seorang demokrat sejati yang terus-menerus merelisasikan imajinasi menjadi bangsa Indonesia dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia. Ia sosok luar biasa yang bisa menjadi teladan. Mengapa? Ia berpegang pada ajaran Islam yang telah memberinya karakter yang kuat. Dari karakter kuatnya ini, Bung Hatta bisa mengintegrasikan diri ke konteks modern yang kemudian melahirkan satu pemikiran bernegara yang menjadi landasan Indonesia sekarang ini.
Indonesia terkhusus di masa Pemilu 2024 dihadapkan pada masalah demokrasi karena ada peristiwa kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh presiden terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden, dengan pelibatan adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, sebagai Ketua MK. Setelah ini, terjadi peristiwa pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia yang meloloskan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Pelolosan KPU terjadi dengan belum mencabut peraturan sebelumnya yang tak mungkinkan Gibran bisa menjadi wakil presiden. Alasan inilah yang kemudian membuat Partai Demokrat Indonesia (PDI) Perjuangan menggugat Gibran ke pengadilan.
Peristiwa itu kemudian membawa serangkaian peristiwa pelanggaran etika dan moral yang dipersoalkan oleh aktivis dan akademisi. Meski Ketua MK telah ditetapkan sebagai pelanggar etik namun keputusan MK tidak bisa dibatalkan. Lalu terjadilah polemik dalam melihat kedudukan etika dan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum yang dipakai saat perdebatan itu adalah hukum mengabaikan dimensi etika dan moral, atau hukum ada di bawah etika dan moral.
Esai ini berpihak pada paradigma peletakan hukum di bawah etika dan moral berdasarkan pemikiran Bung Hatta tentang Pancasila. Argumentasi yang dipakai merujuk tulisan Bung Hatta yang ada di Buku 9 dengan penerbit LP3ES dan Universitas Bung Hatta yang berjudul Agama, Dasar Negara dan Karakter Bangsa. Menurut Yudi Latif yang memberi Kata Pengantar buku tersebut, Bung Hatta meletakkan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila berikut. Lalu di halaman XXXV tertulis tentang sikap Bung Hatta bahwa “Fundamen etik dikedepankan, fundamen politik berada di belakang”. Argumentasi ini secara implisit menyatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila yang lain. Di mana hukum termasuk empat sila di bawah sila pertama. Jadi, Bung Hatta sebagai salah satu pendiri negara telah memberi bangunan kebangsaan Indonesia dengan meletakkan nilai etika dan moral bersumber pada Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar tindakan bernegara di ranah praksis.
Menurut saya apa yang telah dikonsepkan Bung Hatta memiliki landasan kuat dalam menginterpretasikan Pancasila. Pancasila dan UUD 45 adalah fondasi dan sumber hukum Indonesia yang memungkinkan kebangsaan Indonesia bisa diwujudkan.
Sekarang, selain kita menghadapi masalah peletakan etika dan moral dalam tata kelola negara, juga muncul ancaman demokrasi populis, yakni demokrasi yang telah membuka peluang bagi munculnya pemimpin yang otoriter dan fasis. Sisi gelap demokrasi memungkinkan muncul pemimpin diktator dan fasis seperti Hitler. Ini masalah demokrasi yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia tetapi juga oleh banyak negara di dunia.
Sistem demokrasi akan bermanfaat untuk masyarakat jika pemimpin yang terpilih bisa menggunakan kebebasannya untuk menghasilkan karya bagi kepentingan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Beruntung Indonesia memiliki contoh pemimpin yang membuat sistem demokrasi berwajah menguntungkan rakyat. Kita mempunyai pemimpin yang telah mewujudkan praktik tentang ketaatannya pada aturan dan berorientasi pada kepentingan semua yang dipimpin. Sosok ini adalah Bung Hatta—aktivis politik yang kemudian berdwi-tunggal dengan Bung Karno dengan menjadi Wakil Presiden.
Meneladani Bung Hatta
Bung Hatta adalah contoh terbaik tentang agen yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai agama yang terwujud dalam karakternya. Ini yang kemudian menjadikannya seorang demokrat dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia yang dipilih secara musyawarah mufakat di sidang BPUPKI-PPKI. Para pendiri bangsa termasuk Bung Hatta melepaskan diri dari ikatan primordial yang ada (etnis, agama dan kelas), lalu memutuskan gambaran negara yang hendak dimerdekakan. Gambaran itu diwujudkan dalam sistem republik demokrasi dengan bahasa persatuan bernama Bahasa Indonesia. Ini transendensi kolektif yang luar biasa karena para pengambil keputusan kebanyakan adalah priayi dan intelektual yang hidup dalam sistem feodal dengan kebanyakan belum lancar berbahasa Indonesia. Namun mereka mengabaikan bentuk negara kerajaan dan bahasa yang mereka kuasai. Mereka memilih masa depan yang memerdekaan semua warganegara.
Setelah dicapai kesepakatan tentang tata kelola negara berasaskan republik demokrasi, Bung Hatta lalu membangun sistem negara baru berdasarkan kesepakatan tersebut. Bung Hatta yang menginisiasi pendirian multipartai sebagai pertanda negara demokrasi. Inisiasi ini membungkam wacana yang beredar tentang negara boneka bikinan Belanda. Dengan cara yang ditempuh Bung Hatta dan kawan-kawan, pengakuan Indonesia merdeka dari PBB bisa diwujudkan segera.
Selain itu, jasa Bung Hatta yang tak boleh dilupakan adalah kontribusinya dalam munculnya ayat 28 di UUD 45 yang menetapkan tentang kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Ayat ini mewujudkan ruang publik bagi warga negara berkontribusi memberikan pendapatnya. Dengan demikian, hidup bersama berdasarkan kesepakatan bersama dijamin oleh konstitusi.
Kemudian Bung Hatta merumuskan pandangannya tentang demokrasi. Bagi Bung Hatta, ada demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Demokrasi adalah sistem terbaik untuk merealisasikan kebaikan untuk semua warga negara Indonesia. Kebangsaan dan kerakyatan tidak boleh terpisah. Demokrasi Indonesia dikembangkan dari demokrasi yang ada di desa-desa yang telah mempraktikkan musyawarah mufakat dan gotong royong. Dengan demikian, Bung Hatta menghendaki demokrasi khas Indonesia yang tidak bersifat individualis seperti yang terjadi di Barat tetapi mementingkan kolektivitas. Jadi, Bung Hatta mengembangkan demokrasi Barat yang hanya berdimensi politik dengan menambahkan demokrasi ekonomi.
Demokrasi ekonomi Indonesia dari kemerdekaan hingga sekarang terus dieksperimen oleh para pemegang kebijakan dan pakar. Bung Hatta menawarkan sistem koperasi. Sistem koperasi di Indonesia belum berkembang. Yang berkembang saat ini barulah UMKM. Gagasan demokrasi ekonomi yang cocok untuk Indonesia terus dicari, yang bersemangatkan kerakyatan dan menghendaki kesejahteraan untuk semuanya. Dengan kata lain, ada gagasan tentang membangun sistem ekonomi yang sesuai untuk Indonesia.
Membangun Budaya Demokrasi
Apa yang dinilai Bung Hatta tentang demokrasi masih relevan dibicarakan yakni belum adanya demokrasi ekonomi. Yang terjadi baru demokrasi politik melalui pemilihan pemimpin secara teratur. Demokrasi politik saja tidak cukup. Demokrasi sosial dan ekonomi jalannya dikawal agar tetap berlangsung.
Presiden Jokowi bukan seorang demokrat dalam sistem republik terutama di periode kedua masa kepemimpinannya sebagai presiden. Kebijakan-kebijakan yang dibuat Presiden Jokowi kurang melalui diskusi publik. Bahwa ada beberapa pakar politik yang menilai Presiden Jokowi adalah pemimpin populis yang bersifat otoriter. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan Pemilu 2024 berpotensi menghancurkan bangunan demokrasi yang telah terbangun. Budaya demokrasi yang masih rapuh nyaris hancur.
Karena itu, isu menjaga dan mengembangkan budaya demokrasi yang berorientasi kebangsaan dan kerakyatan yang digagas Bung Hatta harus kita lakukan. Rakyat biasa seperti kita juga bisa menjadi negarawan yang memiliki hak bersikap dan bertindak membela negara dengan menjaga sistem yang telah diputuskan. Sistem itu adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem Demokrasi. Cara pelaksanaannya seperti apa? Merujuk pada konsep yang ditawarkan Romo Haryatmoko tentang Menjadi Warganegara Kompeten dalam politik kewargaan. Politik kewargaan adalah konsep yang saya ambil dari pakar politik dari Universitas Airlangga tentang ruang baru untuk warganegara berpolitik nonpartisan partai politik. Politik adalah bagian hidup setiap warganegara. Baik buruk hidup bersama tergantung pada partisipasi semuanya.
Untuk bisa menjadi warganegara kompeten menjaga negara maka prasyarat yang diperlukan adalah memahami sejarah perjalanan bangsa. Dalam kontek sini, salah satu tokoh yang wajib dipahami sejarah dan pemikirannya adalah Bung Hatta. Untuk ini, penulis bermaksud membentuk Book Club Bung Hatta. Harapannya akan ada bedah buku Bung Hatta yang terbuka untuk umum secara periodik. Sebagai patriot demokrasi, perjalanan hidup dan pemikiran Bung Hatta perlu dibedah. Book club adalah salah satu bentuk politik kewargaan yang membuka kemungkinan bagi kita untuk menjadi warganegara kompeten.*
Penulis: Esthi Susanti Hudiono
Bibliografi
Bahar, S., & Hudawati, N. (Ed.). 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Edisi ke-2. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. ISBN: 978-602-12345-6-7.
Hatta, M. 2018. Demokrasi Kita: Pikiran-pikiran tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Cetakan ke-4. Sega Arsy.
――――. 2023. Agama, Dasar Negara, dan Karakter Bangsa: Karya Lengkap Bung Hatta Buku 9. Depok: LP3ES dan Universitas Bung Hatta.
――――. 1981. Mohammad Hatta: Memoir . C.L.M. Penders (Ed.). Jakarta: Gunung Agung.
Haryatmoko. 2023. Prinsip-prinsip Etika: Landasan teori untuk memecahkan kasus-kasus dilema moral. Jakarta: Gramedia.
Semua Materi dari Nara Sumber Sekolah Pemikiran Bung Hatta Angkatan #1 yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2024.