Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik Di Tengah Pusaran Oligarki

Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik Di Tengah Pusaran Oligarki

Pada hari Senin (03/03/2025), diselenggarakan seminar untuk launching buku bertajuk Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik di Tengah Pusaran Oligarki yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES. Seminar ini menghadirkan sejumlah pakar dan peneliti untuk membahas situasi politik Indonesia pada tahun 2024 serta tantangan-tantangan besar yang mengarah ke masa depan demokrasi di tanah air. Dalam seminar ini, berbagai pandangan kritis muncul mengenai kemunduran reformasi politik dan pengaruh oligarki yang semakin dominan.

Dalam sambutannya, Wijayanto, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES, membuka diskusi dengan mengkritisi situasi politik Indonesia yang semakin memburuk dan hal ini diungkapkan olehnya telah direfleksikan oleh LP3ES melalui buku Outlook LP3ES pada tiap tahunnya. “LP3ES sejak 2019 telah menenggarai situasi kemunduran demokrasi, pada 2019 kita membawa judul ‘Menyelamatkan Demokrasi’ ini yang situasi kebatinannya pada saat itu adalah munculnya Revisi UU KPK, demo terjadi di mana-mana bahkan ada dua orang manusia meninggal di dalamnya, tapi revisi tetap berjalan,” ujar Wijayanto.

Pada 2020, LP3ES menerbitkan ‘Nestapa Demokrasi’, ‘Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil’ pada 2021, ‘Ritual Oligarki Menuju 2024’ pada 2022, dan ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’ pada 2023. “Pada 2023, kami bertanya, ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’. Di buku ini ‘Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik Di Tengah Pusaran Oligarki’ kami jawab, ini adalah akhir dari reformasi politik,” jelas Wijayanto. “Sayangnya, kemunduran demokrasi ini terus berlanjut hingga saat ini,” tutup Wijayanto.

Vedi Hadiz, Direktur Asia Institute, selaku pembicara pertama pada diskusi ini memberikan peringatan tegasnya bahwa kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa reformasi telah benar-benar berakhir, karena keliru dalam menganalisis kondisi politik dapat berujung pada kebijakan yang salah. “Jangan sampai kita keliru dalam analisis seperti yang terjadi sebelum 1998, di mana ekspektasi yang tidak realistis justru mengarah pada kesalahan keputusan,” ujarnya.

Vedi juga menyatakan bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah deviasi dari tahun 1998, melainkan “kombinasi logis yang sebenarnya sudah di-set sejak saat itu.” Ia berpendapat bahwa “reformasi itu dari awal sudah dibajak oleh kekuatan oligarki,” sebuah kesimpulan yang sudah ia sampaikan sejak tahun 1999. Menurutnya, meskipun Orde Baru secara institusional sudah bubar, namun oligarki yang ada justru semakin menguasai akses terhadap sumber daya publik dan institusi untuk kepentingan privat.

Aisah Putri Budiarti, Peneliti BRIN/LP3ES, memaparkan kondisi demokrasi Indonesia yang semakin menurun. “Demokrasi di Indonesia sudah berada di titik nadir, hampir tanpa kebebasan,” ujarnya, mengutip data dari V-Dem Democracy Index yang menunjukkan penurunan kualitas demokrasi sejak 2012.

Aisah mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi esensi dari demokrasi, semakin dibatasi oleh kekuasaan yang dipegang oleh elit oligarki. “Kesantunan dalam berpolitik hanya diukur oleh kacamata penguasa. Kebebasan hanya dimaknai oleh elit-elit tertentu, dan itu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi,” tegasnya. Ia juga menyoroti bahwa pembatasan kebebasan berekspresi semakin mengerikan, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus pembatasan lukisan dan ekspresi seni lainnya.

Fachru Nofian, Peneliti LP3ES, mengaitkan permasalahan oligarki dengan tantangan ekonomi Indonesia. Fachru menekankan bahwa dominasi oligarki di Indonesia tak hanya merusak politik, tetapi juga menghambat perekonomian. “Oligarki ini menjadi tantangan besar dalam ekonomi Indonesia. Salah satu solusinya adalah melalui industrialisasi domestik yang dapat memberdayakan UMKM dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan elit,” kata Fachru.

Hadi Purnama, Direktur Pusat Kajian Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, mengkritik pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang semakin kontroversial. “Partisipasi masyarakat dalam PSN masih sangat minim, dan banyak yang dirugikan,” ungkapnya. Hadi menekankan bahwa dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari PSN sangat besar, dengan banyak warga yang kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. “Kita juga dapat melihat intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan tanah mereka,” tambah Hadi.

Hadi menyoroti penggunaan aparat yang semakin masif dalam masalah pertanahan yang terkait dengan PSN, dan mengingatkan bahwa pemerintah Prabowo harus lebih hati-hati dalam pembangunan PSN kedepan dengan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia.

Bangkit Wiryawan, Peneliti LP3ES juga membahas fenomena dinasti politik yang semakin berkembang di Indonesia. “Dinasti politik semakin menghambat persaingan bebas dan sirkulasi elite,” jelas Bangkit, yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 33 Tahun 2015 yang memperpanjang kekuasaan dinasti politik.

Bangkit mengungkapkan bahwa fenomena ini kini mulai meluas ke tingkat nasional, dengan munculnya kandidat-kandidat yang merupakan anggota keluarga dari penguasa sebelumnya dalam Pilpres dan Pilkada 2024. “Sekitar 65% kandidat di Pilkada 2024 memiliki hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya, yang menunjukkan dominasi dinasti politik yang semakin besar,” tegasnya.

Bangkit menegaskan bahwa dinasti politik ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat, seperti yang terlihat dari penurunan pengeluaran per kapita di daerah yang dipimpin oleh dinasti. Fenomena ini perlu diwaspadai karena dapat menggerus demokrasi dan kesejahteraan. Dinasti politik diibaratkan seperti “racun dalam gula”, yang pada awalnya manis tetapi akhirnya merugikan masyarakat.

Bung Hatta dan Paham Kerakyatan: Sebuah Refleksi atas Pemikiran Sosial Ekonomi dalam Konteks Indonesia

Bung Hatta dan Paham Kerakyatan: Sebuah Refleksi atas Pemikiran Sosial Ekonomi dalam Konteks Indonesia

Pendahuluan

Bung Hatta, dikenal sebagai Bapak Proklamator dan Wakil Presiden pertama Indonesia, tidak hanya berjasa dalam pergerakan nasional menuju kemerdekaan, tetapi juga dalam mengembangkan paham kerakyatan yang menjadi dasar filosofi ekonomi dan sosial Indonesia. Paham kerakyatan yang diusung oleh Bung Hatta bukan sekadar teori, tetapi merupakan wujud nyata dari perjuangannya untuk menciptakan sistem ekonomi dan politik yang berpihak kepada rakyat. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi pemikiran Bung Hatta tentang paham kerakyatan, bagaimana ia memengaruhi kebijakan ekonomi dan politik Indonesia, serta relevansinya dalam konteks modern.

Latar Belakang Sejarah

Bung Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak muda ia sudah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan perjuangan bangsa. Saat menempuh pendidikan di Belanda, Bung Hatta mulai mendalami berbagai teori ekonomi dan politik yang kemudian menjadi landasan bagi paham kerakyatan yang ia gagas. Pengaruh pemikiran sosialis-demokrat dari Eropa, terutama dari pemikir seperti Karl Marx dan John Stuart Mill, membentuk pandangannya terhadap ekonomi yang berkeadilan dan demokrasi yang berbasis partisipasi rakyat.

Ketika Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno menjadi tokoh sentral dalam merumuskan dasar negara dan kebijakan ekonomi nasional. Paham kerakyatan yang ia gagas kemudian diwujudkan dalam bentuk sistem ekonomi yang dikenal sebagai “ekonomi Pancasila,” yang menekankan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pembangunan ekonomi.

Paham Kerakyatan: Konsep dan Implementasi

Paham kerakyatan yang diperjuangkan oleh Bung Hatta dapat dipahami sebagai sebuah filosofi yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam proses pembangunan ekonomi dan politik. Bagi Bung Hatta, demokrasi bukan hanya soal kebebasan politik, tetapi juga melibatkan keadilan sosial dan ekonomi. Paham kerakyatan menekankan pada tiga prinsip utama: kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi.

  1. Kemandirian Ekonomi

Salah satu inti dari paham kerakyatan Bung Hatta adalah kemandirian ekonomi. Ia percaya bahwa negara yang merdeka harus memiliki ekonomi yang mandiri, tidak tergantung pada kekuatan asing. Kemandirian ini diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak. Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta menekankan pentingnya koperasi sebagai instrumen untuk mencapai kemandirian ekonomi. Koperasi, menurut Bung Hatta, adalah bentuk ekonomi yang sesuai dengan budaya gotong royong Indonesia, di mana kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama, bukan keuntungan pribadi.

  1. Keadilan Sosial

Prinsip keadilan sosial dalam paham kerakyatan Bung Hatta mengacu pada distribusi sumber daya dan kekayaan yang adil di antara seluruh rakyat. Bung Hatta menolak sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu, sementara sebagian besar rakyat tetap miskin. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, terutama yang miskin dan tertindas. Oleh karena itu, Bung Hatta sangat mendukung reforma agraria dan redistribusi tanah sebagai langkah untuk mencapai keadilan sosial.

  1. Demokrasi Ekonomi

Demokrasi ekonomi adalah konsep di mana rakyat memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka. Dalam pandangan Bung Hatta, demokrasi politik tidak akan berarti tanpa demokrasi ekonomi. Ini berarti rakyat tidak hanya memiliki hak untuk memilih pemimpin, tetapi juga memiliki hak untuk menentukan arah pembangunan ekonomi, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan distribusi kekayaan. Koperasi, lagi-lagi, menjadi sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi ini.

Pengaruh Paham Kerakyatan dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia

Paham kerakyatan Bung Hatta tidak hanya berakhir sebagai gagasan, tetapi juga diimplementasikan dalam berbagai kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Salah satu kebijakan yang mencerminkan paham kerakyatan Bung Hatta adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia dikelola oleh bangsa sendiri untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Koperasi, yang selalu ditekankan oleh Bung Hatta, juga menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia pada masa itu berusaha mendorong pertumbuhan koperasi sebagai bentuk ekonomi yang sesuai dengan paham kerakyatan. Namun, implementasi koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat mengalami berbagai tantangan, termasuk kurangnya dukungan infrastruktur dan manajemen yang profesional.

Selain itu, reforma agraria yang menjadi bagian dari upaya mencapai keadilan sosial juga menunjukkan pengaruh kuat dari paham kerakyatan bung Hatta. Kebijakan ini bertujuan untuk mendistribusikan tanah kepada petani kecil yang selama ini tidak memiliki lahan, sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Meski demikian, upaya reforma agraria ini tidak sepenuhnya berhasil karena berbagai kendala, termasuk resistensi dari elite politik dan ekonomi yang sudah mapan.

Kritik dan Tantangan

Meskipun paham kerakyatan Bung Hatta memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan kebijakan ekonomi Indonesia, tidak sedikit kritik yang muncul terhadap implementasinya. Salah satu kritik utama adalah bahwa paham kerakyatan ini terlalu idealis dan sulit diterapkan dalam konteks ekonomi global yang semakin kompleks dan kompetitif. Beberapa pihak berpendapat bahwa pendekatan ekonomi berbasis koperasi dan reforma agraria kurang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dan dinamis.

Tantangan lain yang dihadapi adalah lemahnya dukungan institusional dan politik terhadap paham kerakyatan ini. Koperasi, misalnya, sering kali diabaikan dalam kebijakan ekonomi yang lebih mementingkan sektor swasta dan investasi asing. Selain itu, reforma agraria yang menjadi bagian penting dari keadilan sosial tidak berjalan sesuai harapan karena berbagai kendala struktural dan politik.

Relevansi Paham Kerakyatan Hatta dalam Konteks Modern

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan dalam konteks Indonesia modern, terutama dalam menghadapi isu ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini masih menjadi masalah serius yang menghambat upaya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Paham kerakyatan Bung Hatta, dengan penekanannya pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi, dapat menjadi inspirasi dalam mencari solusi terhadap masalah ini.

Selain itu, paham kerakyatan Bung Hatta juga relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sering kali mengancam kemandirian ekonomi suatu negara. Dalam era globalisasi, menjaga kemandirian ekonomi dan kedaulatan nasional menjadi semakin penting. Prinsip kemandirian ekonomi yang diusung Bung Hatta dapat menjadi landasan bagi kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada penguatan sektor-sektor domestik dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Demokrasi ekonomi, yang menjadi salah satu pilar paham kerakyatan Bung Hatta, juga masih sangat relevan dalam konteks perjuangan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Di tengah meningkatnya kekuatan korporasi besar yang sering kali mendominasi pengambilan keputusan ekonomi, prinsip demokrasi ekonomi dapat menjadi landasan untuk memastikan bahwa suara rakyat tetap didengar dan kepentingan mereka tetap diutamakan.

Kesimpulan

Bung Hatta dan paham kerakyatannya memberikan warisan yang berharga bagi bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya, nilai-nilai yang terkandung dalam paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan hingga saat ini. Kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi adalah prinsip-prinsip yang harus terus diperjuangkan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan ketimpangan sosial yang semakin kompleks.

Paham kerakyatan Bung Hatta bukan hanya sebuah teori, tetapi sebuah visi untuk masa depan Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan mandiri. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus terus menghidupkan semangat kerakyatan ini dalam setiap kebijakan ekonomi dan sosial, agar cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dapat benar-benar terwujud. Dalam era modern ini, di tengah arus globalisasi dan kapitalisme yang sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, paham kerakyatan Bung Hatta adalah pengingat bahwa pembangunan ekonomi sejati adalah pembangunan yang berpihak kepada rakyat dan kesejahteraan bersama.*

Penulis: Firdaus Arifin

Meneladani Bung Hatta, Membangun Budaya Demokrasi

Meneladani Bung Hatta, Membangun Budaya Demokrasi

Dalam rangka memeringati Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 2024 dicetuskan untuk menulis tentang patriotisme Bung Hatta. Kata patriotisme yang dipakai bukan nasionalisme karena terkait dengan masalah kemanusiaan yang bersifat universal. Menurut hemat saya, nasionalisme tanpa humanisme akan membangun masyarakat yang tertutup dan menghambat pemajuan peradaban manusia.

Patriotisme Bung Hatta memiliki banyak wajah. Salah satu yang penting dan membantu menjawab masalah kebangsaan yang sedang terjadi adalah demokrasi. Bung Hatta adalah seorang demokrat sejati yang terus-menerus merelisasikan imajinasi menjadi bangsa Indonesia dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia. Ia sosok luar biasa yang bisa menjadi teladan. Mengapa? Ia berpegang pada ajaran Islam yang telah memberinya karakter yang kuat. Dari karakter kuatnya ini, Bung Hatta bisa mengintegrasikan diri ke konteks modern yang kemudian melahirkan satu pemikiran bernegara yang menjadi landasan Indonesia sekarang ini.

Indonesia terkhusus di masa Pemilu 2024 dihadapkan pada masalah demokrasi karena ada peristiwa kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh presiden terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden, dengan pelibatan adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, sebagai Ketua MK. Setelah ini, terjadi peristiwa pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia yang meloloskan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Pelolosan KPU terjadi dengan belum mencabut peraturan sebelumnya yang tak mungkinkan Gibran bisa menjadi wakil presiden. Alasan inilah yang kemudian membuat Partai Demokrat Indonesia (PDI) Perjuangan menggugat Gibran ke pengadilan.

Peristiwa itu kemudian membawa serangkaian peristiwa pelanggaran etika dan moral yang dipersoalkan oleh aktivis dan akademisi. Meski Ketua MK telah ditetapkan sebagai pelanggar etik namun keputusan MK tidak bisa dibatalkan. Lalu terjadilah polemik dalam melihat kedudukan etika dan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum yang dipakai saat perdebatan itu adalah hukum mengabaikan dimensi etika dan moral, atau hukum ada di bawah etika dan moral.

Esai ini berpihak pada paradigma peletakan hukum di bawah etika dan moral berdasarkan pemikiran Bung Hatta tentang Pancasila. Argumentasi yang dipakai merujuk tulisan Bung Hatta yang ada di Buku 9 dengan penerbit LP3ES dan Universitas Bung Hatta yang berjudul Agama, Dasar Negara dan Karakter Bangsa. Menurut Yudi Latif yang memberi Kata Pengantar buku tersebut, Bung Hatta meletakkan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila berikut. Lalu di halaman XXXV tertulis tentang sikap Bung Hatta bahwa “Fundamen etik dikedepankan, fundamen politik berada di belakang”. Argumentasi ini secara implisit menyatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar etika dan moral untuk empat sila yang lain. Di mana hukum termasuk empat sila di bawah sila pertama. Jadi, Bung Hatta sebagai salah satu pendiri negara telah memberi bangunan kebangsaan Indonesia dengan meletakkan nilai etika dan moral bersumber pada Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar tindakan bernegara di ranah praksis.

Menurut saya apa yang telah dikonsepkan Bung Hatta memiliki landasan kuat dalam menginterpretasikan Pancasila. Pancasila dan UUD 45 adalah fondasi dan sumber hukum Indonesia yang memungkinkan kebangsaan Indonesia bisa diwujudkan.

Sekarang, selain kita menghadapi masalah peletakan etika dan moral dalam tata kelola negara, juga muncul ancaman demokrasi populis, yakni demokrasi yang telah membuka peluang bagi munculnya pemimpin yang otoriter dan fasis. Sisi gelap demokrasi memungkinkan muncul pemimpin diktator dan fasis seperti Hitler. Ini masalah demokrasi yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia tetapi juga oleh banyak negara di dunia.

Sistem demokrasi akan bermanfaat untuk masyarakat jika pemimpin yang terpilih bisa menggunakan kebebasannya untuk menghasilkan karya bagi kepentingan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Beruntung Indonesia memiliki contoh pemimpin yang membuat sistem demokrasi berwajah menguntungkan rakyat. Kita mempunyai pemimpin yang telah mewujudkan praktik tentang ketaatannya pada aturan dan berorientasi pada kepentingan semua yang dipimpin. Sosok ini adalah Bung Hatta—aktivis politik yang kemudian berdwi-tunggal dengan Bung Karno dengan menjadi Wakil Presiden.

Meneladani Bung Hatta
Bung Hatta adalah contoh terbaik tentang agen yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai agama yang terwujud dalam karakternya. Ini yang kemudian menjadikannya seorang demokrat dalam sistem republik demokrasi persatuan Indonesia yang dipilih secara musyawarah mufakat di sidang BPUPKI-PPKI. Para pendiri bangsa termasuk Bung Hatta melepaskan diri dari ikatan primordial yang ada (etnis, agama dan kelas), lalu memutuskan gambaran negara yang hendak dimerdekakan. Gambaran itu diwujudkan dalam sistem republik demokrasi dengan bahasa persatuan bernama Bahasa Indonesia. Ini transendensi kolektif yang luar biasa karena para pengambil keputusan kebanyakan adalah priayi dan intelektual yang hidup dalam sistem feodal dengan kebanyakan belum lancar berbahasa Indonesia. Namun mereka mengabaikan bentuk negara kerajaan dan bahasa yang mereka kuasai. Mereka memilih masa depan yang memerdekaan semua warganegara.

Setelah dicapai kesepakatan tentang tata kelola negara berasaskan republik demokrasi, Bung Hatta lalu membangun sistem negara baru berdasarkan kesepakatan tersebut. Bung Hatta yang menginisiasi pendirian multipartai sebagai pertanda negara demokrasi. Inisiasi ini membungkam wacana yang beredar tentang negara boneka bikinan Belanda. Dengan cara yang ditempuh Bung Hatta dan kawan-kawan, pengakuan Indonesia merdeka dari PBB bisa diwujudkan segera.

Selain itu, jasa Bung Hatta yang tak boleh dilupakan adalah kontribusinya dalam munculnya ayat 28 di UUD 45 yang menetapkan tentang kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Ayat ini mewujudkan ruang publik bagi warga negara berkontribusi memberikan pendapatnya. Dengan demikian, hidup bersama berdasarkan kesepakatan bersama dijamin oleh konstitusi.

Kemudian Bung Hatta merumuskan pandangannya tentang demokrasi. Bagi Bung Hatta, ada demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Demokrasi adalah sistem terbaik untuk merealisasikan kebaikan untuk semua warga negara Indonesia. Kebangsaan dan kerakyatan tidak boleh terpisah. Demokrasi Indonesia dikembangkan dari demokrasi yang ada di desa-desa yang telah mempraktikkan musyawarah mufakat dan gotong royong. Dengan demikian, Bung Hatta menghendaki demokrasi khas Indonesia yang tidak bersifat individualis seperti yang terjadi di Barat tetapi mementingkan kolektivitas. Jadi, Bung Hatta mengembangkan demokrasi Barat yang hanya berdimensi politik dengan menambahkan demokrasi ekonomi.

Demokrasi ekonomi Indonesia dari kemerdekaan hingga sekarang terus dieksperimen oleh para pemegang kebijakan dan pakar. Bung Hatta menawarkan sistem koperasi. Sistem koperasi di Indonesia belum berkembang. Yang berkembang saat ini barulah UMKM. Gagasan demokrasi ekonomi yang cocok untuk Indonesia terus dicari, yang  bersemangatkan kerakyatan dan menghendaki kesejahteraan untuk semuanya. Dengan kata lain, ada gagasan tentang membangun sistem ekonomi yang sesuai untuk Indonesia.

Membangun Budaya Demokrasi
Apa yang dinilai Bung Hatta tentang demokrasi masih relevan dibicarakan yakni belum adanya demokrasi ekonomi. Yang terjadi baru demokrasi politik melalui pemilihan pemimpin secara teratur. Demokrasi politik saja tidak cukup. Demokrasi sosial dan ekonomi jalannya dikawal agar tetap berlangsung.

Presiden Jokowi bukan seorang demokrat dalam sistem republik terutama di periode kedua masa kepemimpinannya sebagai presiden. Kebijakan-kebijakan yang dibuat Presiden Jokowi kurang melalui diskusi publik. Bahwa ada beberapa pakar politik yang menilai Presiden Jokowi adalah pemimpin populis yang bersifat otoriter. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan Pemilu 2024 berpotensi menghancurkan bangunan demokrasi yang telah terbangun. Budaya demokrasi yang masih rapuh nyaris hancur.

Karena itu, isu menjaga dan mengembangkan budaya demokrasi yang berorientasi kebangsaan dan kerakyatan yang digagas Bung Hatta harus kita lakukan. Rakyat biasa seperti kita juga bisa menjadi negarawan yang memiliki hak bersikap dan bertindak membela negara dengan menjaga sistem yang telah diputuskan. Sistem itu adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem Demokrasi. Cara pelaksanaannya seperti apa? Merujuk pada konsep yang ditawarkan Romo Haryatmoko tentang Menjadi Warganegara Kompeten dalam politik kewargaan. Politik kewargaan adalah konsep yang saya ambil dari pakar politik dari Universitas Airlangga tentang ruang baru untuk warganegara berpolitik nonpartisan partai politik. Politik adalah bagian hidup setiap warganegara. Baik buruk hidup bersama tergantung pada partisipasi semuanya.

Untuk bisa menjadi warganegara kompeten menjaga negara maka prasyarat yang diperlukan adalah memahami sejarah perjalanan bangsa. Dalam kontek sini, salah satu tokoh yang wajib dipahami sejarah dan pemikirannya adalah Bung Hatta. Untuk ini, penulis bermaksud membentuk Book Club Bung Hatta. Harapannya akan ada bedah buku Bung Hatta yang terbuka untuk umum secara periodik. Sebagai patriot demokrasi, perjalanan hidup dan pemikiran Bung Hatta perlu dibedah. Book club adalah salah satu bentuk politik kewargaan yang membuka kemungkinan bagi kita untuk menjadi warganegara kompeten.*

Penulis: Esthi Susanti Hudiono

Bibliografi

Bahar, S., & Hudawati, N. (Ed.). 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Edisi ke-2. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. ISBN: 978-602-12345-6-7.

Hatta, M. 2018. Demokrasi Kita: Pikiran-pikiran tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Cetakan ke-4. Sega Arsy.

――――. 2023. Agama, Dasar Negara, dan Karakter Bangsa: Karya Lengkap Bung Hatta Buku 9. Depok: LP3ES dan Universitas Bung Hatta.

――――. 1981. Mohammad Hatta: Memoir . C.L.M. Penders (Ed.). Jakarta: Gunung Agung.

Haryatmoko. 2023. Prinsip-prinsip Etika: Landasan teori untuk memecahkan kasus-kasus dilema moral. Jakarta: Gramedia.

Semua Materi dari Nara Sumber Sekolah Pemikiran Bung Hatta Angkatan #1 yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2024.

Kebersahajaan Bung Hatta Bisa Menyelamatkan Indonesia

Kebersahajaan Bung Hatta Bisa Menyelamatkan Indonesia

Bung Hatta mencintai Indonesia di sepanjang hayatnya dengan cara yang indah dan mulia. Gaya hidupnya yang bersahaja menjadi rujukan bagi upaya menyelamatkan dunia. Ia pemimpin yang datang terlalu awal, mendahului zamannya.

Jared Diamond dalam bukunya Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed  menekankan bagaimana peradaban di masa lalu mengalami kehancuran karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, yang didorong oleh keserakahan. Ia menunjukkan dampak buruk eksploitasi alam terhadap keberlangsungan suatu peradaban. Bung Hatta dengan pilihan hidup bersahaja berhasil memimpin dirinya sehingga ia mampu melaksanakan amanat memimpin bangsanya.

Sayangnya, semua data dan kampanye untuk menyelamatkan lingkungan tidak mempan, dan eksploitasi alam dan gaya hidup hedon masih berlanjut bahkan semakin akut. Saat ini, banyak pemimpin dan pejabat negara di mana mereka bahkan keluarganya bangga mempertontonkan gaya hidup mewah. Kebrutalan gaya hidup juga tercermin pada kebijakan publik yang dipilih, misalkan pendekatan pembangunan ekonomi ekstraktif yang eksplotatif dan merusak alam dan menyengsarakan rakyat. Pembangunan berkelanjutan akhirnya sebatas wacana belaka.

Ekonom Sosialis: Bapak Koperasi Indonesia
Cita-cita Bung Hatta agar perekonomian bercorak sosialis dengan koperasi dapat berperan signifikan, semakin jauh panggang dari api. Bung Hatta memimpikan ekonomi kerakyatan, yaitu kedaulatan ekonomi ada di tangan rakyat banyak, bukan semata di tangan rakyat perorangan, semakin ditinggalkan.

Koperasi adalah bukti nyata kedaulatan ekonomi di tangan rakyat karena sistemnya yang berfokus pada kepemilikan bersama dan pengambilan keputusan usaha dilakukan secara kolektif. Dengan koperasi, rakyat dapat menjadi semakin pintar, kemakmuran meningkat dan merata karena keuntungan dan aset koperasi dibagi sesuai porsi partisipasi anggota, dan bukan atas dasar modal yang dimiliki.

Sebagai seorang sosialis, Bung Hatta juga pecinta demokrasi, karena di dalam koperasi pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis. Di koperasi, setiap anggota memiliki satu suara terlepas dari berapa banyak modal yang mereka sumbangkan. Ini berbeda dengan perusahaan swasta di mana suara ditentukan oleh jumlah saham yang dimiliki. Dengan prinsip ini, koperasi mewujudkan kontrol ekonomi di tangan rakyat, yaitu setiap anggota berperan aktif dan memiliki suara yang sama dalam arah perkembangan koperasi.

Di koperasilah gagasan Soekarno tentang Sosio-Demokrasi yaitu kedaulatan politik yang berjalan bersamaan dengan demokrasi ekonomi, diwujudkan. Tujuan koperasi mengutamakan kesejahteraan beraspek luas yaitu ekonomi, sosial dan dan budaya para anggota dan bukan keuntungan maksimal. Prinsip-prinsip koperasi yang didasarkan pada solidaritas, keadilan, dan kesejahteraan komunitas, membuat koperasi menjadi instrumen ekonomi yang prorakyat, karena keberhasilan koperasi diukur dari seberapa baik mereka melayani kebutuhan para anggotanya.

Prinsip-prinsip koperasi itu dijiwai ke dalam kepribadian Bung Hatta yaitu prorakyat, egalitarian, demokratis, propendidikan, solidaritas dan peduli kepada komunitas serta hidup yang bersahaja dan mencintai makhluk hidup lainnya dan lingkungan. Prinsip-prinsip demikian ada dalam SDGs yang digagas PBB dan menjadi agenda global.

Pada tahun 2015, International Labour Organization (ILO) memberikan pengakuan kepada International Co-operative Alliance (ICA) terkait kontribusi koperasi terhadap tujuan Sustainable Development Goals (SDGs). Pengakuan ini mencerminkan pentingnya prinsip-prinsip dan peran koperasi dalam mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Koperasi berkontribusi pada upaya mengurangi ketimpangan, mempromosikan pekerjaan yang layak, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Badan PBB itu bahkan kemudian bekerjasama dengan ICA untuk memperluas dampak koperasi dalam mendukung pencapaian SDGs, dengan tujuan membangun model pembangunan yang demokratis dan berpusat pada kesejahteraan masyarakat. Kehendak PBB di atas sama persis dengan cita-cita Bung Hatta.

Bung Hatta telah menekuni koperasi sejak muda dengan belajar tentang koperasi pada tahun 1930-an ke Swedia dan negara Skandinavia lainnya. Pemerintah Swedia kemudian mengundang beliau untuk kembali berkunjung ke Swedia pada tahun 1967 di saat beliau sudah berada di luar pemerintahan.

Model Pemimpin Teladan
Nilai dari gaya hidup bersahaja Bung Hatta sejalan dengan prinsip koperasi, karena keduanya menekankan pada kesejahteraan kolektif, keberlanjutan, dan pengendalian konsumsi yang tidak berlebihan. Bung Hatta fokus pada kebutuhan (need) daripada keinginan (want). Ini sejalan dengan prinsip Koperasi yang juga fokus pada kebutuhan dan bukan keinginan para anggotanya.

Pendukung koperasi akan lebih memprioritaskan kebutuhan dasar daripada keinginan konsumtif yang didorong oleh keserakahan. Ini sesuai dengan gaya hidup bersahaja, di mana pengeluaran diatur berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya, bukan sekadar keinginan atau gaya hidup konsumtif.

Bung Hatta pun menghayati prinsip solidaritas dan keadilan sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Keduanya merupakan amanat Pancasila. Demikian pula dengan koperasi yang mendorong anggotanya untuk saling mendukung, gotong royong.

Gaya hidup bersahaja juga terkait dengan nilai solidaritas sosial, di mana seseorang lebih peduli terhadap kesejahteraan komunitasnya daripada berfokus pada kemewahan pribadi. Dengan hidup sederhana, pendukung koperasi dapat menyisihkan lebih banyak sumber daya untuk mendukung usaha bersama dan berkontribusi lebih besar terhadap kesejahteraan komunitas mereka.

Keserakahan merusak bumi dan melukai rakyat. Sebaliknya, gaya hidup bersahaja mencakup sikap yang mendukung keberlanjutan lingkungan, seperti menghindari pemborosan sumber daya dan memprioritaskan produk-produk lokal. Dengan mengadopsi pola konsumsi yang sederhana, pendukung koperasi turut serta menjaga sumber daya untuk generasi mendatang.

Pendukung koperasi juga cenderung memilih untuk mendukung produk lokal daripada barang-barang impor atau produk korporasi besar, karena koperasi bertujuan memperkuat ekonomi komunitas dan rakyat. Gaya hidup bersahaja juga selaras dengan pola konsumsi yang mendukung produk lokal dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan global yang sering tidak berkelanjutan. Hal ini menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih mandiri dan tahan terhadap fluktuasi pasar global.

Meski menjabat sebagai salah satu pendiri negara dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Bung Hatta bergaya hidup sederhana sejak muda, meskipun beliau berasal dari keluarga terpandang dan kaya. Sikapnya yang menolak gaya hidup mewah mencerminkan kecintaannya terhadap rakyat dan negeri. Dalam konteks kepemimpinan modern, kesederhanaan ini bukan hanya soal gaya hidup, tetapi bentuk komitmen pada integritas dan fokus pada kesejahteraan rakyat, terutama di era ketidakpastian global.

Pemimpin yang bersahaja mampu mencerminkan empati dan kedekatan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Saat ini, sikap demikian kurang ditunjukkan oleh banyak pejabat publik. Dengan bersahaja, pemimpin tidak hanya menunjukkan bahwa mereka bagian dari rakyat, tetapi juga mewakili rakyat secara autentik.

Pelantikan presiden di Gedung MPR dan pelantikan para menteri di Istana Negara mungkin akan membuat Bung Hatta mengelus dada. Para istri pejabat pamer kemewahan dan menenteng tas impor dengan harga mahal. Sementara rakyat banyak kena PHK apalagi pelaku UMKM sedang sekarat menghadapi barang-barang murah dari China. Di mana patriotisme? Melayang-layang mencari induk semang baru setelah Bung Hatta lama berpulang: jiwa yang penuh cinta pada rakyat dan bumi Indonesia.*

Penulis: Eva K. Sundari

 

 

Patriotisme Bung Hatta untuk Indonesia Tercinta

Patriotisme Bung Hatta untuk Indonesia Tercinta

Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu berbicara seraya menahan tangis di acara pembukaan Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) Angkatan 1 pada 15 Agustus 2024, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Yayasan Hatta bekerjasama dengan Universitas Paramadina. Dengan suara bergetar, Emil Salim mengisahkan Bung Hatta, yang hingga akhir hayatnya menyimpan guntingan gambar sepatu bally buatan Swiss di dompetnya. Bung Hatta sangat mendambakan sepatu itu. Namun keinginan tersebut tidak pernah terwujud hingga ia wafat pada 14 Maret 1980. Padahal, sebagai seorang Wakil Presiden, yang juga pernah menjabat Perdana Menteri di Indonesia, seharusnya ini perkara mudah: membeli sepatu. Atau, bisa saja ia menggunakan pengaruh dan nama besarnya untuk mendapatkan benda idaman tersebut. Tapi Bung Hatta bukanlah penjabat yang ketika memegang jabatan menggunakan segala cara untuk berkuasa dan mengeruk keuntungan. Ia juga bukan orang yang bisa menggunakan kebesaran nama atau popularitas untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga. Ia adalah Bung Hatta, seorang patriot sejati yang mengabdikan diri hingga akhir hayatnya untuk bangsa dan negara. Sebagai patriot yang sesungguhnya, cintanya untuk bangsa berpadu kukuh dengan tindakan bakti dan integritas yang tak bisa ditawar-tawar.

Jelas, berbicara tentang Bung Hatta adalah berbicara tentang patriotism—suatu idealisme dan sikap yang di zaman kini telah menjadi barang mahal dan langka. Namun di masa-masa perjuangan kemerdekaan, atau di era awal Indonesia, patriotisme lazim dimiliki oleh para pendiri dan pemimpin bangsa Indonesia, termasuk Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Patriotisme sendiri bisa diartikan sebagai kesediaan atau kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara. Ini tentu saja dilandasi oleh rasa cinta terhadap Tanah Air. Seorang kawan penulis mengatakan bahwa secara psikologis, patriotisme menyentuh sisi afektif individu terhadap negara. Seorang kawan lain, Sukidi, menegaskan bahwa patriotisme adalah kesediaan berkorban demi bangsa dan negara. Pendeknya, patriotisme adalah kerelaan berkorban, berbakti atau berbuat bagi bangsa dan negara yang dilandasi oleh semangat cinta negeri yang murni, tanpa embel-embel apa pun.

Kecintaan apakah yang selalu ditunjukkan oleh Bung Hatta kepada Indonesia? Salah seorang putri Bung Hatta, Halida Hatta, menjelaskan bahwa Proklamator Indonesia ini berkeinginan agar rakyat Indonesia hidup adil dan bahagia. Just and happy. Ini disampaikannya dalam acara pemutaran film tentang Bung Hatta pada 10 November 2024. Berkaca pada testimoni Halida Hatta, kita memang bisa melihat secara tertulis cita-cita rakyat sejahtera itu tertera nyata dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di situ disebutkan bahwa tujuan berdirinya bangsa Indonesia di antaranya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Cinta murni pada negeri seperti yang ditunjukkan Bung Hatta inilah yang kini sedang hilang melayang dari bangsa ini. Sejatinya, cinta negeri sebagai bentuk patriotisme tak terbatas pada ungkapan dan perasaan cinta yang terpendam. Cinta pada negeri adalah berani bersikap dan bertindak untuk melindungi Indonesia. Kedaulatan Indonesia misalnya sekarang ini  banyak diperbincangkan karena dikhawatirkan sedang tergoyahkan atau digoyahkan. Serbuan tenaga kerja asing, semakin tergantungnya kita pada impor pangan, terbukanya Indonesia bagi berbagai macam produk asing yang murah meriah, berlalulalangnya kapal-kapal nelayan asing untuk mencuri ikan Indonesia, serta garis pantai yang bisa terus berubah karena kenaikan tinggi muka air laut adalah beberapa contoh betapa kedaulatan negara bisa tergerus dengan gampang di depan mata rakyat.

Lalu tentang cita-cita memajukan kesejahteraan umum. Apa yang ada dalam pikiran patriotik Bung Hatta saat berpikir keras menuangkan keinginan luhur ini dalam Pasal 33 UUD 1945? Sebagai konseptor pasal ini, kita bisa melihat bagaimana kepedulian dan perhatian Bung Hatta bagi kesejahteraan rakyat. Sebelum diamandemen, Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jelas bahwa pikiran Bung Hatta melalui pasal ini adalah semua upaya dan hasil ekonomi serta segala kekayaan alam di Indonesia adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk individu atau segelintir orang saja.

Lalu apakah yang dimaksud dengan kemakmuran itu? Apakah hanya sekadar kaya secara bendawi? Ternyata kemakmuran tidak terbatas pada kekayaan, tapi juga mencakup faktor-faktor lain yang sama pentingnya, misalnya kesejahteraan, kebahagiaan dan kesehatan. Selanjutnya, seperti yang sudah digarisbawahi tadi, bahwa dalam Konstitusi kita kemakmuran adalah untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun, jika melihat data dan informasi terkait, kita akan tercengang. Data Oxfam 2024 memperlihatkan bahwa dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara orang terkaya dengan kelompok lain di Indonesia begitu jomplang. Saat ini, empat orang di Indonesia memiliki kekayaan melebihi kekayaan total 100 juta orang termiskin di negeri ini. Indonesia juga tercatat sebagai negara yang peningkatan kesenjangannya lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Bukan itu saja. Indonesia sekarang adalah negara ke-6 dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia.

Jika kita beralih ke Pasal 34 UUD 1945, yang juga dipikirkan oleh Bung Hatta, pertanyaan menggelitik akan muncul. Siapa sebenarnya yang “dipelihara” oleh negara? Jika rata-rata pertumbuhan ekonomi, yang dalam 10 tahun terakhir berkisar lima persen, disandingkan dengan tingginya tingkat kesenjangan di Indonesia, maka siapa sesungguhnya yang sedang “dipelihara” negara untuk sejahtera dan bahagia? Fakir miskin dan anak-anak terlantar ataukah segelintir orang sangat kaya dan begitu kaya di Indonesia?

Kemudian soal kecerdasan bangsa, yang lagi-lagi dirumuskan oleh para pendiri bangsa dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan mempertimbangkan tingkat kesenjangan ekonomi yang masih begitu tinggi, bagaimana persoalan kecerdasan bangsa? Coba kita perhatikan dari beberapa hal saja, yakni tingkat stunting pada anak, angka putus sekolah dan inteligensia.

Tentang stunting, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional masih tergolong tinggi, yakni 21,5%. Sementara data lain menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-27 dari 154 negara dan urutan ke-5 di Asia. Tentu saja ini persoalan yang sangat serius karena stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik anak, tetapi juga pada perkembangan kognitif dan kinerja jangka panjang.

Terkait angka putus sekolah, seorang psikolog ternama, Seto Mulyadi, menyatakan bahwa jumlah putus sekolah anak banyak terjadi di tingkat sekolah dasar (SD), yakni mencapai 40.632. Ia mengatakan hal ini di suatu acara pendidikan di Jakarta pada 5 Juni 2024. Lebih lanjut Seto menjelaskan bahwa lebih dari 70% penyebab putus sekolah adalah faktor ekonomi. Tentu saja ini memprihatinkan karena jenjang pendidikan dasar merupakan tahap krusial yang sangat berpengaruh pada perkembangan akademis dan pembentukan karakter anak.

Bagaimana halnya dengan tingkat Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan? Menurut World Population Review 2024, rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49. Angka ini cukup jauh di bawah rata-rata IQ global, yakni berkisar 85 hingga 115. Dengan skor ini, Indonesia menempati peringkat ke-129 dari 197 negara.

Semua data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk dibereskan. Lalu kita harus mulai dari mana untuk membenahinya? Tentu tak bisa dibantah salah satunya adalah dengan melihat lagi cara kita mengelola negara. Perilaku koruptif jelas masih menjadi persoalan besar bagi mereka yang mendapat “amanah” untuk mengurusi negeri. Banyak pejabat yang tanpa malu-malu melakukan korupsi yang menguntungkan diri sendiri atau pun pihak tertentu. Jika pun tak masuk kantong pribadi, berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang kerap dilakukan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada tahun 2023 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami stagnasi dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115.

Seiring maraknya perilaku koruptif, semakin banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang biasa. Banyak yang melihat korupsi kecil (petty corruption) sebagai sesuatu yang permisif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 adalah sebesar 3,85 dari skala tertinggi 5. Angka ini merosot dibandingkan tahun 2023, yakni sebesar 3,92. IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat semakin bersikap permisif terhadap korupsi.  Berbagai catatan lain di luar korupsi, kesenjangan dan kemiskinan juga masih menghantui bangsa ini.

Kembali pada Bung Hatta, apa yang bisa kita pelajari kembali dari beliau sebagai modal membenahi Indonesia? Kita bisa mulai dari gagasan-gagasan Bung Hatta. Ambil contoh, imajinasinya tentang ekonomi yang seharusnya ada di Indonesia, yakni ekonomi yang mensyaratkan dan memberi kesejahteraan bersama bagi semua. Bukan bagi orang per orang atau segelintir belaka. Pengelolaan sumber daya alam seharusnya juga dikelola oleh negara. Bukan dengan kasat mata menjadi aset kekayaan bagi oligarki atau sejenisnya, namun seolah-olah dikendalikan negara.

Berkaca pada Bung Hatta pula, gaya hidup yang beliau lakoni adalah perilaku hidup sederhana dan bersahaja. Bung Hatta juga sosok yang tak bisa berkompromi untuk hal-hal prinsipil. Integritasnya mutlak tak terbantahkan. Dalam acara pemutaran film dan diskusi 10 November 2024 itu, Prof. Sri Edi Swasono menceritakan kesan Romo Mangun Wijaya tentang Bung Hatta, yakni sebagai sosok yang “tak bisa ditundukkan”. Di zaman Kolonial, saat diasingkan ke Boven Digul, Bapak Bangsa ini ditawari tunjangan bulanan 7 gulden jika mau bekerja sama dengan Belanda. Bung Hatta tegas menolak. Maka saat di pengasingan, Bung Hatta dibatasi hanya mendapat bahan pangan seadanya untuk bertahan hidup, seperti beras, minyak dan teh. Integritas dan kesederhanaan Hatta seharusnya tak lagi menjadi barang langka untuk Indonesia yang sudah merdeka hampir 80 tahun (ketika tulisan ini dibuat). Perilaku hidup dan integritasnya layak jadi pengingat dan panutan bagi pengelola pemerintahan sekarang.

Kecerdasan Bung Hatta juga selalu terjaga dengan baik. Sejak muda, beliau terbiasa berpikir untuk negeri ini. Ide-idenya tentang kebangsaan, demokrasi, kerakyatan, ekonomi dan sebagainya dituangkannya dalam ratusan karya tulis. Gagasan Bung Hatta adalah gagasan yang menunjukkan cinta yang murni pada Tanah Air. Cinta yang tak bisa dibeli oleh gulden-gulden Belanda atau rupiah di masa kemerdekaan atau dolar di masa kini. Tak bisa ditukar pula oleh bujuk rayu maupun intimidasi dari pihak kolonial. Ide-ide besarnya tentang bagaimana seharusnya Indonesia ini berjalan, ke arah mana bangsa ini ada dan didirikan, bisa jelas terlihat misalnya pada Pasal 33, Pasal 34 dan beberapa pasal lain di dalam UUD 1945.

Banyak lagi yang bisa digali dari patriotisme Bung Hatta. Yang jelas, cintanya kepada Tanah Air tidak berhenti hanya sampai di gagasan dan tulisan—sampai tahun 2024 LP3ES telah menerbitkan sembilan jilid buku tebal karya Bung Hatta. Jantung Bung Hatta senantiasa berdenyut untuk Indonesia, sejak ia berusia muda—misalnya dikisahkan oleh Sukidi tentang lantangnya Bung Hatta memberi pledoi tentang penderitaan bumiputera akibat kolonialisme Belanda sewaktu usianya baru 25 tahun—hingga ia menutup mata.

Cinta negeri seperti yang ditunjukkan oleh Bung Hatta adalah sesuatu yang sekarang hampir kosong di Indonesia. Begitu mudah kini kita melihat pejabat dan keluarganya berlimpah harta hasil korupsi dan tak malu-malu pamer kekayaan di tengah-tengah kemiskinan banyak orang. Semakin banyak kebijakan yang nyata diperuntukkan bagi segelintir orang, namun dibungkus manis dengan mengatasnamakan rakyat. Maka satu hati, pikiran dan tindakan cinta bagi Indonesia, seperti laku Bung Hatta, mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia yang lebih baik: Indonesia yang lebih adil, makmur dan sejahtera bagi semua. Semoga ini diamini oleh Si Bung dari alam sana. Al Fatihah.*

Penulis: Swary Utami Dewi

PERINGATI HARI ANTIKORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA, ALUMNI SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA KEMBALI BERKAMPANYE SEBAR PESAN KETELADANAN BUNG HATTA SANG PEMIKIR, PEJUANG, DEMOKRAT

PERINGATI HARI ANTIKORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA, ALUMNI SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA KEMBALI BERKAMPANYE SEBAR PESAN KETELADANAN BUNG HATTA SANG PEMIKIR, PEJUANG, DEMOKRAT

Jakarta, 16 Desember 2024 — Dr. H. Mohammad Hatta, atau dikenal luas sebagai Bung Hatta, mundur dari jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama pada 1 Desember tahun 1956. Keputusan ini harus diambil karena Bung Hatta merasa kebijakan ekonomi-politik pemerintah saat itu telah melenceng. Batasan konstitusi membuat Bung Hatta tidak dapat menyelesaikan berbagai masalah internal, seperti ketegangan politik, korupsi, dan krisis ekonomi. Setelah mundur, Bung Hatta tetap berperan sebagai tokoh intelektual dan kerap mengeritik kebijakan pemerintah. Langkah Bung Hatta ini menjadi simbol dari keberaniannya untuk mempertahankan prinsip dan integritas, meskipun harus melepas posisi sebagai pejabat tinggi.

Alumni angkatan pertama Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) kembali menggulirkan kampanye pendidikan publik bertajuk “Bung Hatta dan Etika Kepemimpinan: Teladan Antikorupsi dan Penegakan HAM” sebagai lanjutan kampanye pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 2024. Kampanye pemikiran dan teladan perilaku Bung Hatta ini berlanjut terus hingga Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 9 Desember dan Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 2024.

Melalui momentum peringatan Hakordia dan HAM Sedunia tersebut, Forum Alumni SPBH berkolaborasi dengan Yayasan Hatta dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyelenggarakan kegiatan Bedah Film dan Diskusi Bung Hatta secara luring di Ruang Serbaguna Lantai 4 Perpustakaan Nasional Jalan Medan Merdeka Selatan No. 11 Jakarta Pusat dan secara daring melalui Zoom. Malik Ruslan (LP3ES) dan Meutia Hatta (Yayasan Hatta) menyampaikan pengantar diskusi. Sedangkan Halida Hatta (Ketua Yayasan Hatta), Chandra M. Hamzah (Wakil Ketua KPK 2007-2011) dan Al-Araf (Dosen FH Universitas Brawijaya/pegiat HAM) menjadi panelis diskusi dan difasilitasi moderator Shanti Ruwyastuti (Koordinator Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta SPBH).

SPBH diselenggarakan oleh Yayasan Mohammad Hatta Pahlawan Nasional bekerjasama dengan LP3ES menjelang Hari Kemerdekaan RI pada 15 Agustus 2024. Alumni angkatan pertama SPBH berjumlah 166 orang dengan berbagai latar belakang seperti akademisi, politisi, jurnalis, pegiat LSM, ASN, mahasiswa, dan wirausahawan lintas generasi yang sebagian di antaranya merupakan Gen Z dan milenial. Lulusan SPBH tergerak untuk berkontribusi nyata di tengah kondisi Indonesia yang saat ini minim etika kepemimpinan dan sosok teladan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok tertentu.

Bertindak selaku Koordinator Alumni SPBH angkatan pertama, jurnalis senior dan akademisi Shanti Ruwyastuti menerjemahkan etika kepemimpinan dan sosok keteladanan Bung Hatta ini ke dalam rangkaian kegiatan kampanye pendidikan publik mengenai nilai-nilai antikorupsi dan penghormatan hak asasi manusia terutama kepada generasi muda. “Kami memulai kampanye pemikiran dan teladan perilaku Bung Hatta dengan bedah film dokumenter sejarah Bung Hatta karya Metro TV yang berjudul ‘Bung Hatta: Pemikir, Pejuang, Demokrat’ di rumah bersejarah kediaman Proklamator RI pada Hari Pahlawan 10 November lalu dan disambung dengan episode lanjutannya “Bung Hatta: Kepemimpinan Yang Hilang” di Perpustakaan Nasional pada 16 Desember. Melalui medium film, kita menyaksikan bagaimana Bung Hatta menerapkan etika kepemimpinan dan memberikan teladan antikorupsi serta penegakan HAM,” kata Shanti.

Penulis buku Politik Antikorupsi di Indonesia Malik Ruslan dari LP3ES memberikan konteks tentang pokok pikiran dan teladan Bung Hatta melalui kutipannya mengenai anti-korupsi dan penegakan HAM. Salah satu kutipan Bung Hatta yang terkenal pada tahun 1948 tentang anti-korupsi adalah, “Kurang kecakapan bisa dicukupkan dengan pengalaman, kurang kesanggupan bisa dipenuhi dengan latihan, tetapi kekurangjujuran susah memperbaikinya.” Adapun dalam hal penegakan HAM, Bung Hatta menuangkan pemikirannya ke dalam UUD 1945 Pasal 28. Pasal tersebut mengatur kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat sebagai hak asasi yang melekat di setiap warga negara. Malik juga menyitir kutipan Bung Hatta lainnya di tahun 1950 dan tetap relevan hingga hari ini: “Kita tidak mau selamanya menjadi rakyat yang melarat, kita mau satu Indonesia yang adil dan makmur. Dan bukan negara yang makmur dengan dua tiga orangnya makmur. Negara baru makmur, jikalau seluruh rakyat dapat mengecap kemakmuran itu”.

Menyambung penjelasan konteks pemikiran Bung Hatta, selanjutnya Ketua Yayasan Hatta Halida Nuriah Hatta memaparkan “Bung Hatta merupakan sosok yang memperjuangkan HAM dan keadilan bagi rakyat Indonesia sepanjang hidupnya. Bung Hatta menyumbangkan pikirannya mengenai hak warga negara dalam UUD 1945, seperti Pasal 27 Ayat (2) di mana tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 29 Ayat (2) mengenai kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; Pasal 30 Ayat (1) yang mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara; dan Pasal 33 ayat (1,2 dan 3) di mana perekonomian negara disusun sebagai usaha bersama berlandaskan asas kekeluargaan dan menekankan peran besar negara yang menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bung Hatta sendiri adalah sosok yang berhati-hati dalam menggunakan uang rakyat.”

Halida melanjutkan bahwa Bung Hatta adalah sosok yang walk the talk. Sebelum mengajak orang lain, Bung Hatta sudah menjalankannya. “Saya sedih ketika ada orang yang bilang pemikiran dan tindakan Bung Hatta terlalu utopis dan sulit diamalkan. Namun, kita perlu menjaga martabat, berdikari mengandalkan kemampuan sendiri, menempa diri dengan disiplin, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri,” tutup Halida sambil menyitir penggalan lagu Garuda Pancasila yang menggambarkan Bung Hatta sebagai Patriot Proklamasi yang sedia berkorban untuk negeri.

Alumnus SPBH dan Wakil Ketua KPK 2007-2011 Chandra Hamzah menyebutkan tindakan Proklamator Kemerdekaan RI itu selalu konsisten dengan prinsip yang dianutnya. Menurut Chandra, “Bung Hatta dikenal sebagai sosok yang irit bicara kecuali hal yang sangat penting, namun Bung Hatta juga tidak ewuh pakewuh untuk angkat bicara apabila ada yang beliau tidak setuju.” Sejarah mencatat, setelah mengundurkan diri dari posisi Wakil Presiden dan menjadi warga negara biasa, Bung Hatta pernah mengeritik kebijakan Presiden RI Bung Karno melalui tulisan “Demokrasi Kita” di Majalah Pandji Masyarakat, yang menyebabkan media tersebut dibreidel. Karena khawatir media yang memuat tulisannya akan dibreidel lagi, Bung Hatta tetap melanjutkan kritik atas kebijakan-kebijakan Bung Karno, namun melalui surat-surat pribadinya. Bung Hatta berpendapat bahwa demokrasi yang baik adalah demokrasi yang menjunjung tinggi HAM, mempraktikkan keadilan, dan kesetaraan tanpa diskriminasi. “Selama ini Bung Hatta lebih dikenal sebagai Proklamator dan Bapak Koperasi, namun sebenarnya Bung Hatta juga adalah Bapak Demokrasi,” tutup Chandra.

Pemantik diskusi berikutnya adalah Dosen Hukum Universitas Brawijaya dan Praktisi HAM Al-Araf. Menurut Al-Araf, ”Bung Hatta adalah the voice of the voiceless, sosok sejati yang konsisten menyuarakan orang-orang yang tak mampu bersuara dan orang-orang yang bersuara namun tak terdengar atau dibungkam. Bung Hatta juga adalah human rights defender atau pembela HAM yang sesungguhnya, yang memperjuangkan rakyatnya tanpa kenal lelah hingga akhir hidupnya.” Bung Hatta pun sosok yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. “Jika penjara sudah tidak ia takuti dan pembuangan sudah ia alami, hanya untuk membebaskan rakyatnya dari penderitaan, maka ia sesungguhnya adalah pemimpin dan negarawan sejati. Bahkan, ketika semua orang berlomba untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Bung Hatta berwasiat untuk dikubur di pemakaman umum supaya dekat dengan rakyat. Bung Hatta figur yang langka dan luar biasa,” imbuh Al-Araf.

Mengenang suri teladan Bung Hatta pada Hari Antikorupsi dan Hari HAM ini, Ketua Pembina Yayasan Hatta Meutia Farida Swasono Hatta menyampaikan, ”Nilai keteladanan terkait anti-korupsi, HAM, dan kepemimpinan humanistik perlu dikenalkan dan disegarkan kembali, serta diwariskan kepada generasi penerus bangsa, demi membangun dan merawat Indonesia.”

“Dari Bung Hatta kita belajar kejujuran dan integritas, kesederhanaan, kemandirian dan kebebasan berpikir, keadilan sosial. Kita juga belajar cinta tanah air dan patriotisme, dedikasi pada pendidikan, etos kerja dan disiplin, kesetaraan dan anti-diskriminasi,” ucap Meutia seraya menutup sambutan di sesi bedah film dan diskusi yang dihadiri oleh ratusan hadirin terdiri dari alumni SPBH, jurnalis dan publik secara luring maupun daring.