Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu berbicara seraya menahan tangis di acara pembukaan Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) Angkatan 1 pada 15 Agustus 2024, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Yayasan Hatta bekerjasama dengan Universitas Paramadina. Dengan suara bergetar, Emil Salim mengisahkan Bung Hatta, yang hingga akhir hayatnya menyimpan guntingan gambar sepatu bally buatan Swiss di dompetnya. Bung Hatta sangat mendambakan sepatu itu. Namun keinginan tersebut tidak pernah terwujud hingga ia wafat pada 14 Maret 1980. Padahal, sebagai seorang Wakil Presiden, yang juga pernah menjabat Perdana Menteri di Indonesia, seharusnya ini perkara mudah: membeli sepatu. Atau, bisa saja ia menggunakan pengaruh dan nama besarnya untuk mendapatkan benda idaman tersebut. Tapi Bung Hatta bukanlah penjabat yang ketika memegang jabatan menggunakan segala cara untuk berkuasa dan mengeruk keuntungan. Ia juga bukan orang yang bisa menggunakan kebesaran nama atau popularitas untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga. Ia adalah Bung Hatta, seorang patriot sejati yang mengabdikan diri hingga akhir hayatnya untuk bangsa dan negara. Sebagai patriot yang sesungguhnya, cintanya untuk bangsa berpadu kukuh dengan tindakan bakti dan integritas yang tak bisa ditawar-tawar.
Jelas, berbicara tentang Bung Hatta adalah berbicara tentang patriotism—suatu idealisme dan sikap yang di zaman kini telah menjadi barang mahal dan langka. Namun di masa-masa perjuangan kemerdekaan, atau di era awal Indonesia, patriotisme lazim dimiliki oleh para pendiri dan pemimpin bangsa Indonesia, termasuk Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Patriotisme sendiri bisa diartikan sebagai kesediaan atau kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara. Ini tentu saja dilandasi oleh rasa cinta terhadap Tanah Air. Seorang kawan penulis mengatakan bahwa secara psikologis, patriotisme menyentuh sisi afektif individu terhadap negara. Seorang kawan lain, Sukidi, menegaskan bahwa patriotisme adalah kesediaan berkorban demi bangsa dan negara. Pendeknya, patriotisme adalah kerelaan berkorban, berbakti atau berbuat bagi bangsa dan negara yang dilandasi oleh semangat cinta negeri yang murni, tanpa embel-embel apa pun.
Kecintaan apakah yang selalu ditunjukkan oleh Bung Hatta kepada Indonesia? Salah seorang putri Bung Hatta, Halida Hatta, menjelaskan bahwa Proklamator Indonesia ini berkeinginan agar rakyat Indonesia hidup adil dan bahagia. Just and happy. Ini disampaikannya dalam acara pemutaran film tentang Bung Hatta pada 10 November 2024. Berkaca pada testimoni Halida Hatta, kita memang bisa melihat secara tertulis cita-cita rakyat sejahtera itu tertera nyata dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di situ disebutkan bahwa tujuan berdirinya bangsa Indonesia di antaranya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Cinta murni pada negeri seperti yang ditunjukkan Bung Hatta inilah yang kini sedang hilang melayang dari bangsa ini. Sejatinya, cinta negeri sebagai bentuk patriotisme tak terbatas pada ungkapan dan perasaan cinta yang terpendam. Cinta pada negeri adalah berani bersikap dan bertindak untuk melindungi Indonesia. Kedaulatan Indonesia misalnya sekarang ini banyak diperbincangkan karena dikhawatirkan sedang tergoyahkan atau digoyahkan. Serbuan tenaga kerja asing, semakin tergantungnya kita pada impor pangan, terbukanya Indonesia bagi berbagai macam produk asing yang murah meriah, berlalulalangnya kapal-kapal nelayan asing untuk mencuri ikan Indonesia, serta garis pantai yang bisa terus berubah karena kenaikan tinggi muka air laut adalah beberapa contoh betapa kedaulatan negara bisa tergerus dengan gampang di depan mata rakyat.
Lalu tentang cita-cita memajukan kesejahteraan umum. Apa yang ada dalam pikiran patriotik Bung Hatta saat berpikir keras menuangkan keinginan luhur ini dalam Pasal 33 UUD 1945? Sebagai konseptor pasal ini, kita bisa melihat bagaimana kepedulian dan perhatian Bung Hatta bagi kesejahteraan rakyat. Sebelum diamandemen, Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jelas bahwa pikiran Bung Hatta melalui pasal ini adalah semua upaya dan hasil ekonomi serta segala kekayaan alam di Indonesia adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk individu atau segelintir orang saja.
Lalu apakah yang dimaksud dengan kemakmuran itu? Apakah hanya sekadar kaya secara bendawi? Ternyata kemakmuran tidak terbatas pada kekayaan, tapi juga mencakup faktor-faktor lain yang sama pentingnya, misalnya kesejahteraan, kebahagiaan dan kesehatan. Selanjutnya, seperti yang sudah digarisbawahi tadi, bahwa dalam Konstitusi kita kemakmuran adalah untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun, jika melihat data dan informasi terkait, kita akan tercengang. Data Oxfam 2024 memperlihatkan bahwa dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara orang terkaya dengan kelompok lain di Indonesia begitu jomplang. Saat ini, empat orang di Indonesia memiliki kekayaan melebihi kekayaan total 100 juta orang termiskin di negeri ini. Indonesia juga tercatat sebagai negara yang peningkatan kesenjangannya lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Bukan itu saja. Indonesia sekarang adalah negara ke-6 dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia.
Jika kita beralih ke Pasal 34 UUD 1945, yang juga dipikirkan oleh Bung Hatta, pertanyaan menggelitik akan muncul. Siapa sebenarnya yang “dipelihara” oleh negara? Jika rata-rata pertumbuhan ekonomi, yang dalam 10 tahun terakhir berkisar lima persen, disandingkan dengan tingginya tingkat kesenjangan di Indonesia, maka siapa sesungguhnya yang sedang “dipelihara” negara untuk sejahtera dan bahagia? Fakir miskin dan anak-anak terlantar ataukah segelintir orang sangat kaya dan begitu kaya di Indonesia?
Kemudian soal kecerdasan bangsa, yang lagi-lagi dirumuskan oleh para pendiri bangsa dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan mempertimbangkan tingkat kesenjangan ekonomi yang masih begitu tinggi, bagaimana persoalan kecerdasan bangsa? Coba kita perhatikan dari beberapa hal saja, yakni tingkat stunting pada anak, angka putus sekolah dan inteligensia.
Tentang stunting, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional masih tergolong tinggi, yakni 21,5%. Sementara data lain menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-27 dari 154 negara dan urutan ke-5 di Asia. Tentu saja ini persoalan yang sangat serius karena stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik anak, tetapi juga pada perkembangan kognitif dan kinerja jangka panjang.
Terkait angka putus sekolah, seorang psikolog ternama, Seto Mulyadi, menyatakan bahwa jumlah putus sekolah anak banyak terjadi di tingkat sekolah dasar (SD), yakni mencapai 40.632. Ia mengatakan hal ini di suatu acara pendidikan di Jakarta pada 5 Juni 2024. Lebih lanjut Seto menjelaskan bahwa lebih dari 70% penyebab putus sekolah adalah faktor ekonomi. Tentu saja ini memprihatinkan karena jenjang pendidikan dasar merupakan tahap krusial yang sangat berpengaruh pada perkembangan akademis dan pembentukan karakter anak.
Bagaimana halnya dengan tingkat Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan? Menurut World Population Review 2024, rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49. Angka ini cukup jauh di bawah rata-rata IQ global, yakni berkisar 85 hingga 115. Dengan skor ini, Indonesia menempati peringkat ke-129 dari 197 negara.
Semua data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk dibereskan. Lalu kita harus mulai dari mana untuk membenahinya? Tentu tak bisa dibantah salah satunya adalah dengan melihat lagi cara kita mengelola negara. Perilaku koruptif jelas masih menjadi persoalan besar bagi mereka yang mendapat “amanah” untuk mengurusi negeri. Banyak pejabat yang tanpa malu-malu melakukan korupsi yang menguntungkan diri sendiri atau pun pihak tertentu. Jika pun tak masuk kantong pribadi, berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang kerap dilakukan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada tahun 2023 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami stagnasi dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115.
Seiring maraknya perilaku koruptif, semakin banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang biasa. Banyak yang melihat korupsi kecil (petty corruption) sebagai sesuatu yang permisif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 adalah sebesar 3,85 dari skala tertinggi 5. Angka ini merosot dibandingkan tahun 2023, yakni sebesar 3,92. IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat semakin bersikap permisif terhadap korupsi. Berbagai catatan lain di luar korupsi, kesenjangan dan kemiskinan juga masih menghantui bangsa ini.
Kembali pada Bung Hatta, apa yang bisa kita pelajari kembali dari beliau sebagai modal membenahi Indonesia? Kita bisa mulai dari gagasan-gagasan Bung Hatta. Ambil contoh, imajinasinya tentang ekonomi yang seharusnya ada di Indonesia, yakni ekonomi yang mensyaratkan dan memberi kesejahteraan bersama bagi semua. Bukan bagi orang per orang atau segelintir belaka. Pengelolaan sumber daya alam seharusnya juga dikelola oleh negara. Bukan dengan kasat mata menjadi aset kekayaan bagi oligarki atau sejenisnya, namun seolah-olah dikendalikan negara.
Berkaca pada Bung Hatta pula, gaya hidup yang beliau lakoni adalah perilaku hidup sederhana dan bersahaja. Bung Hatta juga sosok yang tak bisa berkompromi untuk hal-hal prinsipil. Integritasnya mutlak tak terbantahkan. Dalam acara pemutaran film dan diskusi 10 November 2024 itu, Prof. Sri Edi Swasono menceritakan kesan Romo Mangun Wijaya tentang Bung Hatta, yakni sebagai sosok yang “tak bisa ditundukkan”. Di zaman Kolonial, saat diasingkan ke Boven Digul, Bapak Bangsa ini ditawari tunjangan bulanan 7 gulden jika mau bekerja sama dengan Belanda. Bung Hatta tegas menolak. Maka saat di pengasingan, Bung Hatta dibatasi hanya mendapat bahan pangan seadanya untuk bertahan hidup, seperti beras, minyak dan teh. Integritas dan kesederhanaan Hatta seharusnya tak lagi menjadi barang langka untuk Indonesia yang sudah merdeka hampir 80 tahun (ketika tulisan ini dibuat). Perilaku hidup dan integritasnya layak jadi pengingat dan panutan bagi pengelola pemerintahan sekarang.
Kecerdasan Bung Hatta juga selalu terjaga dengan baik. Sejak muda, beliau terbiasa berpikir untuk negeri ini. Ide-idenya tentang kebangsaan, demokrasi, kerakyatan, ekonomi dan sebagainya dituangkannya dalam ratusan karya tulis. Gagasan Bung Hatta adalah gagasan yang menunjukkan cinta yang murni pada Tanah Air. Cinta yang tak bisa dibeli oleh gulden-gulden Belanda atau rupiah di masa kemerdekaan atau dolar di masa kini. Tak bisa ditukar pula oleh bujuk rayu maupun intimidasi dari pihak kolonial. Ide-ide besarnya tentang bagaimana seharusnya Indonesia ini berjalan, ke arah mana bangsa ini ada dan didirikan, bisa jelas terlihat misalnya pada Pasal 33, Pasal 34 dan beberapa pasal lain di dalam UUD 1945.
Banyak lagi yang bisa digali dari patriotisme Bung Hatta. Yang jelas, cintanya kepada Tanah Air tidak berhenti hanya sampai di gagasan dan tulisan—sampai tahun 2024 LP3ES telah menerbitkan sembilan jilid buku tebal karya Bung Hatta. Jantung Bung Hatta senantiasa berdenyut untuk Indonesia, sejak ia berusia muda—misalnya dikisahkan oleh Sukidi tentang lantangnya Bung Hatta memberi pledoi tentang penderitaan bumiputera akibat kolonialisme Belanda sewaktu usianya baru 25 tahun—hingga ia menutup mata.
Cinta negeri seperti yang ditunjukkan oleh Bung Hatta adalah sesuatu yang sekarang hampir kosong di Indonesia. Begitu mudah kini kita melihat pejabat dan keluarganya berlimpah harta hasil korupsi dan tak malu-malu pamer kekayaan di tengah-tengah kemiskinan banyak orang. Semakin banyak kebijakan yang nyata diperuntukkan bagi segelintir orang, namun dibungkus manis dengan mengatasnamakan rakyat. Maka satu hati, pikiran dan tindakan cinta bagi Indonesia, seperti laku Bung Hatta, mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia yang lebih baik: Indonesia yang lebih adil, makmur dan sejahtera bagi semua. Semoga ini diamini oleh Si Bung dari alam sana. Al Fatihah.*
Penulis: Swary Utami Dewi