OAP dan Masyarakat Adat Pondasi Pembangunan Papua Kedepan

OAP dan Masyarakat Adat Pondasi Pembangunan Papua Kedepan

Tidak hanya sekedar pembangunan partisipatif, pelaksanaaan pembangunan Papua dengan berbasis Orang Asli Papua (OAP) yang mangadopsi nilai – nilai lokal dalam setiap aspek dan tahapan pembangunan.

“Siapapun presidennya OAP menjadi pondasi pembangunan Papua Kedepan” ujar Billy Mambrasar, Staff khusus presiden bidang inovasi dan pendidikan dalam Serial Diskusi LP3ES Sketsa Masa Depan Pembangunan Papua dan Kawasan Timur Indonesia Pasca-Pemilu 2024 (30/08/2023)

“Seiring dengan pemekaran wilayah dan percepatan pembangunan di wilayah Papua, kedepan akan terjadi arus migrasi yang besar ditanah Papua. OAP perlu dilibatkan tidak hanya dalam perencanaan namun juga dalam pelaksanaan pembangunan sehingga mendatangkan kesejahteraan bagi OAP” ujar Billy Mambrasar

Lebih lanjut Billy Mambrasar memaparkan beberapa program inovatif yang telah dilakukan sebagai indikasi kesiapan generasi muda Papua untuk terlibat aktif dalam pembangunan di daerahnya. “Hari ini semakin banyak anak muda Papua yang berusaha dalam sektor pertanian, perdagangan dan ekonomi kreatif” terang Billy Mambrasar.

Senada dengan Billy Mambrasar, direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar menyebutkan pentingnya percepatan pembangunan yang bertumpu pada OAP.

“Masalah mendasar di Papua yaitu persoalan ketidakadilan Hukum dan Ekonomi. Pembangunan ditanah Papua membutuhkan penyelenggaraan pemerintah sipil yang efektif sehingga pemekaran wilayah dapat dilaksanakan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi OAP dan Non OAP” terang Anum Siregar.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Prof. Cahyo Pamungkas menambahkan tingginya keanekaragaman dan pola-pola kebudayaan yang ada di tanah Papua menyebabkan sulitnya melakukan generalisasi untuk seluruh Papua.

“Pembangunan di tanah Papua tidak mungkin dilaksanakan hanya dengan satu model pembangunan untuk seluruh Papua” terang Prof. Cahyo Pamungkas.

Namun Prof. Cahyo Pamungkas sepakat jika kebudayaan menjadi media dalam pembangunan Papua dimana nilai-nilai lokal diterjemahkan dalam berbagai aspek pembangunan termasuk adanya pengakuan terhadap komunitas adat beserta seluruh atutan-aturan, tradisi, pengetahuan dan sumber daya alamnya

Prof. Cahyo Pamungkas menambahkan hal yang tidak kalah pentingnya yaitu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) OAP yang masih sangat rendah sehingga bisa bersaing dengan Non OAP.

Sebagaimana diketahui bersama meskipun program percepatan pembangunan sudah banyak dilakukan namun sketsa pembangunan Papua dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih cukup jauh tertinggal dari provinsi lainnya dimana angka kemiskinan tertinggi dan IPM teredah masih ditempati oleh provinsi Papua, Papua Barat dan NTT.

Selain mengulas tentang pembangunan di Papua, dalam paparannya Prof. Cahyo Pamungkas juga menyampaikan data kekerasan di tanah Papua pada periode tahun 2016 sd 2021 dimana angka kekerasan terus mengalami peningkatan.

“Sebagian besar korban kekerasan ini berasal dari warga Sipil” terang Prof. Cahyo Pamungkas

Sebelumnya hal yang sama juga disampaikan oleh Anum Siregar, menurutnya salah satu potret situasi terkini di Papua dimana dalam 2 tahun terakhir yaitu konflik dan aksi kekerasan yang meningkat dan terjadi di banyak tempat di tanah Papua dengan korban terbanyak berasal dari warga sipil.

“Selain kekerasan yang terus meningkat dan terjadi dalam ranah publik, tindakan refresif terhadap kebebasan berekspresi juga semakin meningkat terhadap yang berbeda pandangan dengan pemerintah” terang Anum Siregar.

Shared Power, Shared Responsibility: Sweden’s Journey Towards Gender EqualityH.E. Ambbasador Marina Berg of Sweden for Indonesia

Shared Power, Shared Responsibility: Sweden’s Journey Towards Gender EqualityH.E. Ambbasador Marina Berg of Sweden for Indonesia

H.E. Marina Berg, Duta Besar Swedia untuk Indonesia, pada hari Rabu, 14 Desember 2022, melakukan kunjungannya untuk pertama kali ke kantor LP3ES, dalam rangka memenuhi undangan diskusi bersama yang digelar oleh Center Gender LP3ES. Diskusi ini sekaligus menjadi agenda peresmian nama baru untuk Center Gender yang berganti nama menjadi “Gender Equity and Sosial Inclusion (GESI) Center LP3ES” dan peresmian perdana Garden Series oleh Direktur GESI Center, Julia Suryakusuma.

Dalam diskusi yang mengangkat tema “Shared Power, Shared Responsibility: Sweden’s Journey Toward Gender Equality”, H.E. Marina Berg, mendesak kita untuk waspada terhadap bahaya dan kesulitan yang diakibatkan karena melemahnya demokrasi dari waktu ke waktu. Pandemi Covid-19 dan agresi Rusia terhadap Ukraina menjadi faktor yang mengakibatkan melambungnya harga komoditas, hal ini menjadi contoh dalam beberapa tahun terakhir. Namun faktanya, kelompok minoritas, termasuk perempuan, selalu menjadi korban keruntuhan demokrasi.

Menanggapi merosotnya demokrasi, tentu saja membangun masyarakat yang demokratis menjadi prioritas. Dalam situasi yang dihadapi saat ini, kesetaraan gender merupakan fitur penting dari masyarakat demokratis. Namun, perempuan, baik yang sudah tiada maupun yang masih hidup, hingga saat ini belum mengalami kesetaraan gender.

H.E. Marina Berg menyatakan bahwa kesetaraan gender adalah hal yang diberikan sepanjang hidupnya sebelum pembahasan lebih jauh mengenai kesetaraan gender di Swedia. Terlepas dari kenyataan bahwa Swedia telah menjadi pendukung besar kesetaraan gender dalam masyarakat mereka, masih ada tujuan yang harus dicapai dan beberapa kemunduran. Namun, Swedia tetap berkomitmen untuk terus mendorong kesetaraan gender.

Di bidang ekonomi, semakin dekat dengan se gender, semakin banyak miliaran dolar yang dihasilkan. Menurut pengertian ini, ketika perempuan memiliki kesempatan untuk bekerja, perekonomian akan tumbuh. Berinvestasi dalam kesetaraan gender di tempat kerja telah membantu Swedia dan negara Nordik lainnya menjadi beberapa negara paling sukses di dunia. Ambisi untuk pertumbuhan ekonomi dimulai pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang menjadi salah satu alasan mengapa partisipasi perempuan dalam angkatan kerja didorong. Swedia memulai langkahnya melalui pendidikan, dengan memperkenalkan sekolah dasar wajib untuk anak perempuan dan laki-laki. Kemudian, pada 1970-an, reformasi politik di sektor pasar tenaga kerja dan sistem perawatan sosial diberlakukan, seperti dikeluarkannya kebijakan perpajakan terpisah dan tunjangan orang tua, serta kebijakan Kesetaraan Gender Swedia 1994 – yang mendorong ‘kebebasan’ perempuan.

Bahkan dengan semua langkah pemerintah Swedia untuk mempromosikan kesetaraan gender, H.E. Marina Berg menekankan bahwa kesetaraan gender akan tetap menjadi nilai fundamental di Swedia dan merupakan aspek penting dan prioritas dari kebijakan luar negerinya. Tiga R – rights, representation and resources akan selalu berlaku dan hadir dalam pendirian Swedia tentang kesetaraan gender.

Bagaimana kita mengakhiri masyarakat patriarki di bumi tempat kita tinggal ini? H.E. Marina Berg menekankan bahwa kita memiliki peran kita sendiri, yang harus kita mulai dari yang muda; kita harus break the gender norms, mendorong anak perempuan untuk mengambil ruang, dan membiarkan anak laki-laki menangis dan mengekspresikan emosinya. Pada pernyataan terakhirnya, H.E. Marina Berg menyatakan, “Adalah tanggung jawab setiap orang untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Dan itu akan terjadi, jika Anda dan saya, dan kita semua memulai dengan hal-hal kecil dalam hidup; dalam keluarga Anda sendiri, dan komunitas Anda sendiri. Dengan berbagi tanggung jawab, Anda juga berbagi kekuatan, dari dalam keluarga, tenaga kerja, hingga arena global. Dan begitulah seharusnya demokrasi bekerja! …”.

Indonesia dan Swedia berada pada level yang berbeda jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender. Namun kedua negara ini masih belajar dan masih menghadapi tantangan terkait kesetaraan gender. Tantangan ini semakin besar dengan adanya hukum pidana baru dan masyarakat sipil yang semakin kuat di Indonesia. Tetapi hal tersebut bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang!

Inggris:

H.E. Marina Berg, the Swedish Ambassador to Indonesia, opened the discussion series by the Center for Gender Studies LP3ES, Shared Power, Shared Responsibility: Sweden’s Journey Toward Gender Equality, and urged us to be vigilant against dangers and difficulties as democracy weakens over time. The Covid-19 pandemic and Russia’s aggression towards Ukraine, which resulted in soaring commodity prices, have been examples in recent years. In fact, minority groups, including women, are always victims of democracy’s collapse. In responding to the decline of democracy, establishing a democratic society is unquestionably a priority. In this situation, gender equality is an essential feature of a democratic society. However, women, whether dead or alive, have not experienced gender equality until now.

            H.E. Mrs. Berg stated that gender equality is a given thing in her entire life before going on to discuss gender equality in Sweden. Despite the fact that Sweden has been a great proponent of gender equality in their society, there are still goals to be met and a few setbacks. However, Sweden is still committed to fostering gender equality.

            In the economic sector, the closer the gender gap, the more billions of dollars are produced. According to this notion, when women have the opportunity to work, the economy grows. Investing in gender equality in the workplace has helped Sweden and other Nordic countries become some of the most successful in the world. The ambition for economic growth started back in the 1960s and 1970s, which becomes one of the reasons why women’s participation in the workforce is pushed. Sweden began with education, introducing compulsory elementary school for both girls and boys. Then, in the 1970s, political reforms in the labor market sector and social care system were enacted, such as the issuing of separate taxation and parental benefit policies, and 1994 Sweden Gender Equality policy – which boosted women’s ‘freedom’.

            Even with all of the Swedish government’s measures to promoting gender equality, H.E. Mrs. Berg emphasized that gender equality will remain a fundamental value in Sweden and an essential and prioritized aspect of its foreign policy. The three R’s – rights, representation and resources will always be valid and present in Sweden’s stance on gender equality.

            How do we end the patriarchy society on this very earth we live in? H.E. Mrs. Berg emphasized that we have our own role, which we must begin with the young ones; we must break the gender norms, encourage girls to take up space, and allow boys to weep and express their emotions. On her final statement, H.E. Mrs Berg stating the obvious, “It is everyone’ responsibility to make the world a better place to live in. And that will happen, if you and I, and all of us start with the small things in life; within your own family, and own community. By sharing responsibilities, you also share the powers, from within the family, to the workforce, up to the global arena. And that is how democracy should work! …“.

Indonesia and Sweden are at different levels if seen from a gender equality perspective. But both country still learning and still facing challenges over gender equality. Now gender equality in Indonesia is becoming increasingly a challenge, with the new criminal code and civil society getting stronger. But that doesn’t mean the fight is over!

Teroka Perbincangan Norma Gender di Kalangan Anak Muda Perkotaan di Media Sosial

Sejak bulan Januari 2022 LP3ES dengan dukungan dari Investing in Women melakukan studi tentang “Media Sosial untuk Mempengaruhi Norma Gender”. Penelitian ini mengkaji sejauhmana kampanye media sosial yang dilakukan oleh mitra lokal Investing in Women menciptakan perubahan positif dalam sikap, harapan sosial, dan perilaku di kalangan milenial perkotaan. Studi ini meneliti bagaimana mitra lokal Investing in Women yaitu Magdalene (media digital feminis), Rumah Kita Bersama (mempengaruhi ajaran agama), Yayasan Pulih (organisasi yang menangani kekerasan berbasis gender), dan Plan Indonesia (organisasi pemuda internasional yang berfokus pada kepemimpinan perempuan) melaksanakan kampanye media sosial untuk menantang norma gender yang ada. Penelitian ini melihat sejauhaman aktivitas dan postingan mereka di media sosial, engagement mereka dengan audiens yang lebih luas, sejauhmana kampanye media sosial mereka memberikan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan suara mereka. Inisiatif-inisiatif ini secara aktif memanfaatkan media sosial khususnya Facebook, Instagram, dan Twitter untuk menyuarakan norma gender yang lebih setara di media sosial. Penelitian ini menggabungkan analisis big data pada jutaan percakapan di media sosial, etnografi digital pada akun media sosial mitra IW, serta wawancara mendalam baik dengan mitra lokal IW maupun audiens akun media sosial mereka.

Secara umum, penelitian ini menemukan bahwa urban millennials Indonesia semakin sadar akan norma gender yang tercermin secara masif dalam jutaan percakapan dan engagement tentang isu norma gender di media sosial baik di dalam maupun di luar jaringan mitra lokal IW. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun keterlibatan besar-besaran, diskusi dan dialog substantif harus ditingkatkan. Hal ini berlaku untuk media sosial secara umum dan, lebih khusus lagi, pada kampanye media sosial mitra lokal. Di masa depan, mitra lokal dapat lebih fokus pada bagaimana menghasilkan lebih banyak dialog di media sosial. Mengingat sebagian besar cluster engagement berada di kota-kota besar, maka kampanye ke depan harus menyasar daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini, platform media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia, seperti Facebook, mungkin bisa menjadi pilihan. Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah minimnya audiens laki-laki dalam kampanye media sosial IW. Melibatkan penonton laki-laki, oleh karena itu, adalah agenda masa depan.