Bung Hatta mencintai Indonesia di sepanjang hayatnya dengan cara yang indah dan mulia. Gaya hidupnya yang bersahaja menjadi rujukan bagi upaya menyelamatkan dunia. Ia pemimpin yang datang terlalu awal, mendahului zamannya.
Jared Diamond dalam bukunya Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed menekankan bagaimana peradaban di masa lalu mengalami kehancuran karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, yang didorong oleh keserakahan. Ia menunjukkan dampak buruk eksploitasi alam terhadap keberlangsungan suatu peradaban. Bung Hatta dengan pilihan hidup bersahaja berhasil memimpin dirinya sehingga ia mampu melaksanakan amanat memimpin bangsanya.
Sayangnya, semua data dan kampanye untuk menyelamatkan lingkungan tidak mempan, dan eksploitasi alam dan gaya hidup hedon masih berlanjut bahkan semakin akut. Saat ini, banyak pemimpin dan pejabat negara di mana mereka bahkan keluarganya bangga mempertontonkan gaya hidup mewah. Kebrutalan gaya hidup juga tercermin pada kebijakan publik yang dipilih, misalkan pendekatan pembangunan ekonomi ekstraktif yang eksplotatif dan merusak alam dan menyengsarakan rakyat. Pembangunan berkelanjutan akhirnya sebatas wacana belaka.
Ekonom Sosialis: Bapak Koperasi Indonesia
Cita-cita Bung Hatta agar perekonomian bercorak sosialis dengan koperasi dapat berperan signifikan, semakin jauh panggang dari api. Bung Hatta memimpikan ekonomi kerakyatan, yaitu kedaulatan ekonomi ada di tangan rakyat banyak, bukan semata di tangan rakyat perorangan, semakin ditinggalkan.
Koperasi adalah bukti nyata kedaulatan ekonomi di tangan rakyat karena sistemnya yang berfokus pada kepemilikan bersama dan pengambilan keputusan usaha dilakukan secara kolektif. Dengan koperasi, rakyat dapat menjadi semakin pintar, kemakmuran meningkat dan merata karena keuntungan dan aset koperasi dibagi sesuai porsi partisipasi anggota, dan bukan atas dasar modal yang dimiliki.
Sebagai seorang sosialis, Bung Hatta juga pecinta demokrasi, karena di dalam koperasi pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis. Di koperasi, setiap anggota memiliki satu suara terlepas dari berapa banyak modal yang mereka sumbangkan. Ini berbeda dengan perusahaan swasta di mana suara ditentukan oleh jumlah saham yang dimiliki. Dengan prinsip ini, koperasi mewujudkan kontrol ekonomi di tangan rakyat, yaitu setiap anggota berperan aktif dan memiliki suara yang sama dalam arah perkembangan koperasi.
Di koperasilah gagasan Soekarno tentang Sosio-Demokrasi yaitu kedaulatan politik yang berjalan bersamaan dengan demokrasi ekonomi, diwujudkan. Tujuan koperasi mengutamakan kesejahteraan beraspek luas yaitu ekonomi, sosial dan dan budaya para anggota dan bukan keuntungan maksimal. Prinsip-prinsip koperasi yang didasarkan pada solidaritas, keadilan, dan kesejahteraan komunitas, membuat koperasi menjadi instrumen ekonomi yang prorakyat, karena keberhasilan koperasi diukur dari seberapa baik mereka melayani kebutuhan para anggotanya.
Prinsip-prinsip koperasi itu dijiwai ke dalam kepribadian Bung Hatta yaitu prorakyat, egalitarian, demokratis, propendidikan, solidaritas dan peduli kepada komunitas serta hidup yang bersahaja dan mencintai makhluk hidup lainnya dan lingkungan. Prinsip-prinsip demikian ada dalam SDGs yang digagas PBB dan menjadi agenda global.
Pada tahun 2015, International Labour Organization (ILO) memberikan pengakuan kepada International Co-operative Alliance (ICA) terkait kontribusi koperasi terhadap tujuan Sustainable Development Goals (SDGs). Pengakuan ini mencerminkan pentingnya prinsip-prinsip dan peran koperasi dalam mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Koperasi berkontribusi pada upaya mengurangi ketimpangan, mempromosikan pekerjaan yang layak, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Badan PBB itu bahkan kemudian bekerjasama dengan ICA untuk memperluas dampak koperasi dalam mendukung pencapaian SDGs, dengan tujuan membangun model pembangunan yang demokratis dan berpusat pada kesejahteraan masyarakat. Kehendak PBB di atas sama persis dengan cita-cita Bung Hatta.
Bung Hatta telah menekuni koperasi sejak muda dengan belajar tentang koperasi pada tahun 1930-an ke Swedia dan negara Skandinavia lainnya. Pemerintah Swedia kemudian mengundang beliau untuk kembali berkunjung ke Swedia pada tahun 1967 di saat beliau sudah berada di luar pemerintahan.
Model Pemimpin Teladan
Nilai dari gaya hidup bersahaja Bung Hatta sejalan dengan prinsip koperasi, karena keduanya menekankan pada kesejahteraan kolektif, keberlanjutan, dan pengendalian konsumsi yang tidak berlebihan. Bung Hatta fokus pada kebutuhan (need) daripada keinginan (want). Ini sejalan dengan prinsip Koperasi yang juga fokus pada kebutuhan dan bukan keinginan para anggotanya.
Pendukung koperasi akan lebih memprioritaskan kebutuhan dasar daripada keinginan konsumtif yang didorong oleh keserakahan. Ini sesuai dengan gaya hidup bersahaja, di mana pengeluaran diatur berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya, bukan sekadar keinginan atau gaya hidup konsumtif.
Bung Hatta pun menghayati prinsip solidaritas dan keadilan sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Keduanya merupakan amanat Pancasila. Demikian pula dengan koperasi yang mendorong anggotanya untuk saling mendukung, gotong royong.
Gaya hidup bersahaja juga terkait dengan nilai solidaritas sosial, di mana seseorang lebih peduli terhadap kesejahteraan komunitasnya daripada berfokus pada kemewahan pribadi. Dengan hidup sederhana, pendukung koperasi dapat menyisihkan lebih banyak sumber daya untuk mendukung usaha bersama dan berkontribusi lebih besar terhadap kesejahteraan komunitas mereka.
Keserakahan merusak bumi dan melukai rakyat. Sebaliknya, gaya hidup bersahaja mencakup sikap yang mendukung keberlanjutan lingkungan, seperti menghindari pemborosan sumber daya dan memprioritaskan produk-produk lokal. Dengan mengadopsi pola konsumsi yang sederhana, pendukung koperasi turut serta menjaga sumber daya untuk generasi mendatang.
Pendukung koperasi juga cenderung memilih untuk mendukung produk lokal daripada barang-barang impor atau produk korporasi besar, karena koperasi bertujuan memperkuat ekonomi komunitas dan rakyat. Gaya hidup bersahaja juga selaras dengan pola konsumsi yang mendukung produk lokal dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan global yang sering tidak berkelanjutan. Hal ini menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih mandiri dan tahan terhadap fluktuasi pasar global.
Meski menjabat sebagai salah satu pendiri negara dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Bung Hatta bergaya hidup sederhana sejak muda, meskipun beliau berasal dari keluarga terpandang dan kaya. Sikapnya yang menolak gaya hidup mewah mencerminkan kecintaannya terhadap rakyat dan negeri. Dalam konteks kepemimpinan modern, kesederhanaan ini bukan hanya soal gaya hidup, tetapi bentuk komitmen pada integritas dan fokus pada kesejahteraan rakyat, terutama di era ketidakpastian global.
Pemimpin yang bersahaja mampu mencerminkan empati dan kedekatan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Saat ini, sikap demikian kurang ditunjukkan oleh banyak pejabat publik. Dengan bersahaja, pemimpin tidak hanya menunjukkan bahwa mereka bagian dari rakyat, tetapi juga mewakili rakyat secara autentik.
Pelantikan presiden di Gedung MPR dan pelantikan para menteri di Istana Negara mungkin akan membuat Bung Hatta mengelus dada. Para istri pejabat pamer kemewahan dan menenteng tas impor dengan harga mahal. Sementara rakyat banyak kena PHK apalagi pelaku UMKM sedang sekarat menghadapi barang-barang murah dari China. Di mana patriotisme? Melayang-layang mencari induk semang baru setelah Bung Hatta lama berpulang: jiwa yang penuh cinta pada rakyat dan bumi Indonesia.*
Penulis: Eva K. Sundari