Pada hari Senin (03/03/2025), diselenggarakan seminar untuk launching buku bertajuk Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik di Tengah Pusaran Oligarki yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES. Seminar ini menghadirkan sejumlah pakar dan peneliti untuk membahas situasi politik Indonesia pada tahun 2024 serta tantangan-tantangan besar yang mengarah ke masa depan demokrasi di tanah air. Dalam seminar ini, berbagai pandangan kritis muncul mengenai kemunduran reformasi politik dan pengaruh oligarki yang semakin dominan.

Dalam sambutannya, Wijayanto, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES, membuka diskusi dengan mengkritisi situasi politik Indonesia yang semakin memburuk dan hal ini diungkapkan olehnya telah direfleksikan oleh LP3ES melalui buku Outlook LP3ES pada tiap tahunnya. “LP3ES sejak 2019 telah menenggarai situasi kemunduran demokrasi, pada 2019 kita membawa judul ‘Menyelamatkan Demokrasi’ ini yang situasi kebatinannya pada saat itu adalah munculnya Revisi UU KPK, demo terjadi di mana-mana bahkan ada dua orang manusia meninggal di dalamnya, tapi revisi tetap berjalan,” ujar Wijayanto.

Pada 2020, LP3ES menerbitkan ‘Nestapa Demokrasi’, ‘Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil’ pada 2021, ‘Ritual Oligarki Menuju 2024’ pada 2022, dan ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’ pada 2023. “Pada 2023, kami bertanya, ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’. Di buku ini ‘Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik Di Tengah Pusaran Oligarki’ kami jawab, ini adalah akhir dari reformasi politik,” jelas Wijayanto. “Sayangnya, kemunduran demokrasi ini terus berlanjut hingga saat ini,” tutup Wijayanto.

Vedi Hadiz, Direktur Asia Institute, selaku pembicara pertama pada diskusi ini memberikan peringatan tegasnya bahwa kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa reformasi telah benar-benar berakhir, karena keliru dalam menganalisis kondisi politik dapat berujung pada kebijakan yang salah. “Jangan sampai kita keliru dalam analisis seperti yang terjadi sebelum 1998, di mana ekspektasi yang tidak realistis justru mengarah pada kesalahan keputusan,” ujarnya.

Vedi juga menyatakan bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah deviasi dari tahun 1998, melainkan “kombinasi logis yang sebenarnya sudah di-set sejak saat itu.” Ia berpendapat bahwa “reformasi itu dari awal sudah dibajak oleh kekuatan oligarki,” sebuah kesimpulan yang sudah ia sampaikan sejak tahun 1999. Menurutnya, meskipun Orde Baru secara institusional sudah bubar, namun oligarki yang ada justru semakin menguasai akses terhadap sumber daya publik dan institusi untuk kepentingan privat.

Aisah Putri Budiarti, Peneliti BRIN/LP3ES, memaparkan kondisi demokrasi Indonesia yang semakin menurun. “Demokrasi di Indonesia sudah berada di titik nadir, hampir tanpa kebebasan,” ujarnya, mengutip data dari V-Dem Democracy Index yang menunjukkan penurunan kualitas demokrasi sejak 2012.

Aisah mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi esensi dari demokrasi, semakin dibatasi oleh kekuasaan yang dipegang oleh elit oligarki. “Kesantunan dalam berpolitik hanya diukur oleh kacamata penguasa. Kebebasan hanya dimaknai oleh elit-elit tertentu, dan itu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi,” tegasnya. Ia juga menyoroti bahwa pembatasan kebebasan berekspresi semakin mengerikan, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus pembatasan lukisan dan ekspresi seni lainnya.

Fachru Nofian, Peneliti LP3ES, mengaitkan permasalahan oligarki dengan tantangan ekonomi Indonesia. Fachru menekankan bahwa dominasi oligarki di Indonesia tak hanya merusak politik, tetapi juga menghambat perekonomian. “Oligarki ini menjadi tantangan besar dalam ekonomi Indonesia. Salah satu solusinya adalah melalui industrialisasi domestik yang dapat memberdayakan UMKM dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan elit,” kata Fachru.

Hadi Purnama, Direktur Pusat Kajian Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, mengkritik pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang semakin kontroversial. “Partisipasi masyarakat dalam PSN masih sangat minim, dan banyak yang dirugikan,” ungkapnya. Hadi menekankan bahwa dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari PSN sangat besar, dengan banyak warga yang kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. “Kita juga dapat melihat intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan tanah mereka,” tambah Hadi.

Hadi menyoroti penggunaan aparat yang semakin masif dalam masalah pertanahan yang terkait dengan PSN, dan mengingatkan bahwa pemerintah Prabowo harus lebih hati-hati dalam pembangunan PSN kedepan dengan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia.

Bangkit Wiryawan, Peneliti LP3ES juga membahas fenomena dinasti politik yang semakin berkembang di Indonesia. “Dinasti politik semakin menghambat persaingan bebas dan sirkulasi elite,” jelas Bangkit, yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 33 Tahun 2015 yang memperpanjang kekuasaan dinasti politik.

Bangkit mengungkapkan bahwa fenomena ini kini mulai meluas ke tingkat nasional, dengan munculnya kandidat-kandidat yang merupakan anggota keluarga dari penguasa sebelumnya dalam Pilpres dan Pilkada 2024. “Sekitar 65% kandidat di Pilkada 2024 memiliki hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya, yang menunjukkan dominasi dinasti politik yang semakin besar,” tegasnya.

Bangkit menegaskan bahwa dinasti politik ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat, seperti yang terlihat dari penurunan pengeluaran per kapita di daerah yang dipimpin oleh dinasti. Fenomena ini perlu diwaspadai karena dapat menggerus demokrasi dan kesejahteraan. Dinasti politik diibaratkan seperti “racun dalam gula”, yang pada awalnya manis tetapi akhirnya merugikan masyarakat.

Share This