Patriotisme sejati bukan sekadar cinta Tanah Air yang ditunjukkan melalui slogan atau simbol yang sering kali tampak di permukaan. Di era globalisasi, nilai patriotisme dapat didefinisikan ulang sebagai bentuk keberanian dalam menghadapi arus perubahan tanpa kehilangan jati diri. Patriotisme tidak harus berarti menutup diri dari pengaruh luar, tetapi bagaimana kita bisa memilih dan memilah nilai-nilai yang sesuai dengan identitas bangsa.

Di masa kini, patriotisme bukan lagi tentang melawan penjajah, tetapi tentang melawan ancaman terhadap identitas dan karakter bangsa yang berasal dari dalam diri sendiri. Ketika nilai-nilai pragmatisme, konsumerisme, dan individualisme semakin menguasai pikiran, dibutuhkan keberanian untuk tetap mempertahankan nilai-nilai nasional yang mendasar. Generasi muda harus menyadari bahwa menjaga karakter bangsa adalah bentuk perjuangan modern yang sama pentingnya dengan perjuangan fisik yang dilakukan oleh para pahlawan terdahulu.[1] Patriotisme dalam bentuk ini menuntut pengorbanan. Namun, seperti yang ditunjukkan Mohammad Hatta dan pahlawan nasional lainnya, seorang patriot sejati akan tetap teguh dalam keyakinannya, terlepas dari pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Ia berjuang bukan untuk mendapatkan pengakuan. Ia tahu bahwa mempertahankan prinsip adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada bangsa.[2]

Menghidupkan nilai patriotisme di tengah generasi muda saat ini adalah tantangan yang semakin kompleks. Di satu sisi, akses ke informasi dan teknologi memberikan peluang besar bagi anak muda untuk memperkaya pengetahuan dan membuka wawasan mereka tentang dunia. Namun, di sisi lain, arus globalisasi juga membawa berbagai budaya dan nilai yang tidak selalu sejalan dengan identitas bangsa, bahkan sering kali memengaruhi pola pikir pragmatisme dan individualisme yang tinggi. Dalam situasi demikian, generasi muda dihadapkan pada pilihan-pilihan pragmatis yang terkadang mengorbankan nilai-nilai luhur demi kepentingan instan, menimbulkan kebingungan budaya yang kian mengikis karakter bangsa.[3] Salah satu efek globalisasi yang signifikan adalah dominasi budaya populer dari negara-negara maju yang sering kali dipandang sebagai standar kehidupan modern. Anak muda kerap terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan berorientasi pada kesuksesan materi, yang pada gilirannya menggeser nilai-nilai nasionalisme dan kebersamaan.[4] Akibatnya, konsep patriotisme yang berakar pada kecintaan kepada Tanah Air dan komitmen terhadap kebenaran terasa semakin jauh, terutama ketika nilai-nilai tersebut dianggap tidak relevan dalam mencapai kesuksesan pribadi. Hal ini menciptakan tantangan besar untuk menanamkan kembali semangat patriotisme yang tulus, yang tidak lagi sekadar simbol, tetapi menjadi nilai yang benar-benar dihidupi dalam tindakan sehari-hari.

Menghidupkan ide patriotisme di era digital artinya menyebarkan gagasan ini kepada generasi yang tumbuh dengan internet, media sosial, dan koneksi global tanpa batas—terutama generasi Z. Gen Z, yang lahir antara akhir 1990-an dan awal 2010-an, adalah generasi pertama yang sepenuhnya menyatu dengan teknologi digital sejak usia dini. Bagi mereka, interaksi dengan dunia dilakukan melalui layar, dan akses informasi mereka lebih cepat serta lebih luas dibanding generasi sebelumnya. Gaya hidup digital ini memengaruhi cara mereka membentuk identitas, memahami dunia, dan menyerap nilai-nilai, termasuk patriotisme.[5]

Namun, bagi Gen Z, patriotisme mungkin terasa sebagai konsep yang abstrak atau bahkan ketinggalan zaman, terutama dalam konteks modern yang lebih berorientasi pada individualitas dan keberhasilan personal.[6] Ini berbeda dengan generasi sebelumnya, yang mungkin lebih dekat dengan sejarah perjuangan atau ikatan emosional pada Tanah Air melalui pengalaman kolektif. Oleh karena itu, menyampaikan nilai patriotisme pada Gen Z membutuhkan pendekatan yang relevan dengan cara berpikir, bahasa, dan medium yang mereka pahami—yakni dunia digital.[7]

Penyebaran ide-ide patriotisme di dunia digital dapat dilakukan dengan mengoptimalkan platform media sosial yang paling sering digunakan oleh generasi muda, seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan Twitter. Platform-platform tersebut menawarkan peluang untuk menciptakan konten visual yang kuat dan berdaya tarik tinggi. Konten yang menggunakan gambar, video pendek, dan infografis dapat memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan teks panjang yang mungkin kurang menarik bagi audiens muda. Sebagai contoh, video pendek yang menggambarkan kisah heroik pahlawan nasional, lengkap dengan visual yang menawan dan narasi yang kuat, dapat membuat nilai patriotisme terasa lebih nyata dan inspiratif bagi anak muda.[8] Langkah taktis berikutnya adalah menggunakan pendekatan storytelling digital. Kisah-kisah tentang perjuangan, pengorbanan, dan komitmen terhadap bangsa dapat diceritakan ulang dalam format yang lebih modern melalui media digital. Misalnya, cerita tentang perjuangan Soekarno-Hatta dalam mempertahankan kemerdekaan bisa dijadikan serial video pendek atau animasi. Melalui pendekatan storytelling ini, anak muda dapat merasakan emosi dan nilai-nilai yang melekat pada sejarah, bukan hanya sekadar informasi yang terkesan jauh dari kehidupan mereka sehari-hari.[9]

Selain itu, penggunaan influencer atau figur publik yang berpengaruh di media sosial dapat menjadi strategi efektif. Influencer yang dikenal oleh anak muda bisa dijadikan penggerak kampanye digital untuk menyebarkan nilai-nilai patriotisme. Ketika seorang influencer yang diikuti oleh banyak anak muda menyuarakan pentingnya cinta Tanah Air atau bahkan melakukan aksi sosial untuk bangsa, pesan tersebut akan lebih mudah diterima dan diikuti. Hal ini bukan hanya meningkatkan awareness, tetapi juga menciptakan keterlibatan langsung dari audiens yang ingin terlibat dalam aksi serupa.[10]

Pemanfaatan gamifikasi juga bisa menjadi cara yang kreatif untuk menyampaikan nilai patriotisme. Dengan membuat aplikasi atau permainan digital yang berbasis sejarah Indonesia atau nilai kebangsaan, kita bisa mengajarkan nilai-nilai patriotisme dengan cara yang menyenangkan dan interaktif. Dalam permainan ini, anak muda bisa diajak menyelesaikan misi-misi yang menggambarkan perjuangan para pahlawan atau menjaga aset nasional. Gamifikasi tidak hanya menarik tetapi juga memberikan pengalaman yang mengesankan dan mendalam tentang nilai-nilai kebangsaan.[11]

Di samping itu, kampanye digital bertema patriotisme dapat diperkuat melalui tagar atau hashtag yang menghubungkan berbagai konten terkait di media sosial. Hashtag seperti #CintaIndonesia atau #BelaNegara dapat membantu mengorganisasikan konten-konten yang relevan sehingga mudah diakses oleh siapa pun yang tertarik dengan topik tersebut. Hashtag yang tepat dan populer dapat meningkatkan kesadaran serta keterlibatan anak muda untuk ikut serta menyebarkan nilai patriotisme di media sosial mereka.[12]

Pembuatan dokumenter atau mini-series tentang tokoh nasional atau peristiwa penting dalam sejarah Indonesia juga bisa menjadi format yang sangat relevan. Dokumenter dalam bentuk mini-series atau bahkan format pendek yang ditayangkan di Instagram Stories atau YouTube Shorts bisa membangkitkan minat terhadap sejarah nasional. Ketika anak muda melihat sejarah bangsa mereka dikemas dalam bentuk yang menarik dan mudah diakses, rasa kebanggaan dan penghargaan terhadap sejarah tersebut akan tumbuh lebih alami.[13]

Untuk memperkuat pesan ini, penting pula bagi pemerintah dan institusi pendidikan mendukung konten-konten patriotisme dengan data dan sumber yang kredibel. Dengan adanya dukungan dari lembaga resmi, konten digital tentang patriotisme akan mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari publik. Konten edukatif ini bisa meliputi fakta sejarah, infografis tentang perjuangan kemerdekaan, atau penjelasan mengenai pentingnya menjaga persatuan di era modern.[14] Keterlibatan komunitas digital juga sangat efektif dalam menyebarkan nilai patriotisme. Membentuk komunitas daring yang berfokus pada edukasi dan diskusi tentang sejarah atau isu nasional dapat membantu anak muda berinteraksi dengan sesama mereka yang memiliki minat yang sama. Komunitas ini bisa berbentuk grup di Facebook, saluran di Telegram, atau bahkan kelompok diskusi di Reddit. Melalui interaksi ini, anak muda dapat saling berbagi pandangan, memperdalam pemahaman mereka, dan mendiskusikan nilai-nilai patriotisme dalam konteks yang lebih relevan bagi mereka.[15]

Bentuk lain dari kampanye digital yang relevan adalah menyelenggarakan kompetisi atau tantangan yang berkaitan dengan patriotisme. Misalnya, tantangan untuk membuat video pendek tentang makna kemerdekaan atau momen bersejarah dalam hidup mereka bisa menjadi cara untuk melibatkan anak muda secara langsung. Kompetisi semacam ini dapat mendorong mereka berkreasi dan menyampaikan pandangan tentang pentingnya mencintai bangsa, sekaligus memberikan ruang bagi mereka untuk menunjukkan rasa cinta Tanah Air dengan cara yang unik.[16] Kerja sama antara pemerintah, sekolah, dan pihak swasta juga diperlukan dalam membangun infrastruktur digital yang mendukung kampanye patriotisme.

Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, kampanye digital yang bertema patriotisme akan lebih kuat dan luas jangkauannya. Pemerintah dan sekolah dapat menyediakan platform resmi, sedangkan pihak swasta bisa memberikan bantuan teknis, seperti pengembangan aplikasi atau penyediaan platform yang lebih interaktif.[17]

Di era digital, interaksi langsung antara tokoh-tokoh nasional dan generasi muda juga menjadi penting. Tokoh-tokoh pemerintahan atau figur inspiratif yang memiliki akun media sosial bisa melakukan sesi tanya jawab langsung tentang makna patriotisme atau sejarah bangsa. Interaksi ini memberikan kesempatan bagi generasi muda merasa lebih dekat dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh tersebut, serta memberikan mereka pemahaman langsung mengenai perjuangan yang telah dilakukan untuk bangsa.[18] Melalui kanal-kanal ini, generasi muda tidak hanya menjadi penerima pesan, tetapi juga pembuat konten patriotisme yang mereka bagikan sendiri. Konten yang dibuat oleh anak muda untuk sesamanya akan lebih mudah diterima, karena bahasa dan gaya penyampaiannya sesuai dengan apa yang mereka sukai. Kampanye patriotisme yang berbasis pada partisipasi anak muda ini akan menciptakan rasa kepemilikan dan kebanggaan yang lebih kuat.[19]

Penyampaian nilai patriotisme juga bisa dilakukan dengan memasukkan unsur humor atau tren populer. Meme atau video lucu yang menyertakan elemen nasionalisme bisa menjadi cara yang ringan namun efektif untuk menarik perhatian anak muda. Dengan format yang akrab dan mudah diterima, nilai-nilai patriotisme dapat tersebar luas tanpa terkesan kaku atau membosankan.[20]

Pembuatan aplikasi edukasi atau situs web yang berisi konten sejarah dan budaya Indonesia yang mudah diakses juga menjadi upaya penting. Aplikasi ini bisa menjadi sumber informasi bagi generasi muda yang ingin memperdalam pemahaman mereka tentang bangsa, dengan konten interaktif yang mudah diakses dari mana saja dan kapan saja. Konten ini bisa meliputi trivia sejarah, kuis tentang tokoh nasional, atau galeri foto digital tentang peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.[21]

Sebagai tambahan, media sosial bisa digunakan menyebarkan nilai-nilai patriotisme dengan memanfaatkan video berdurasi pendek yang menginspirasi. Anak muda cenderung menghabiskan waktu pada konten singkat yang menarik. Video inspiratif yang menyampaikan pesan tentang cinta Tanah Air, kerja keras, atau pengabdian kepada bangsa bisa menjadi sumber inspirasi bagi mereka, terutama ketika disampaikan dengan gaya yang sesuai dengan tren saat ini.[22] Pembuatan podcast juga bisa menjadi alternatif yang menarik. Banyak anak muda saat ini menyukai podcast, terutama ketika membahas topik yang inspiratif atau informatif. Podcast tentang nilai patriotisme yang dikemas dalam bentuk cerita sejarah atau diskusi dengan tokoh-tokoh nasional bisa membantu generasi muda lebih memahami nilai-nilai ini dengan cara yang santai tetapi mendalam.[23]

Tentu saja, evaluasi terhadap efektivitas kampanye digital ini sangat penting. Melalui analisis data, seperti jumlah penonton, tingkat keterlibatan, dan respons audiens, kita dapat mengetahui format dan pendekatan apa yang paling sesuai untuk menyampaikan nilai patriotisme di era digital.[24] Dengan data ini, penyampaian nilai patriotisme dapat terus disesuaikan agar lebih relevan dan berdampak.

Akhirnya, tantangan terbesar dalam menyampaikan nilai patriotisme di era digital adalah mempertahankan konsistensi pesan di tengah arus informasi yang sangat deras. Oleh karena itu, komitmen semua pihak diperlukan untuk terus menyebarkan nilai-nilai tersebut secara berkesinambungan. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya mendapatkan inspirasi sesaat, tetapi juga benar-benar menanamkan nilai patriotisme dalam diri mereka sebagai bagian dari identitas bangsa. Dengan pendekatan ini, patriotisme dapat hidup dan relevan dalam dunia digital, menciptakan generasi muda yang tidak hanya bangga terhadap bangsanya, tetapi juga siap berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik. Nilai-nilai ini tidak hanya memperkuat jati diri bangsa, tetapi juga menjadi dasar bagi generasi muda untuk menghadapi tantangan global dengan kepala tegak dan hati yang penuh cinta pada Tanah Air.*

Penulis: Roni Pradana

Bibliografi

Arnett, Jeffrey Jensen. 2004. Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens Through the Twenties. Oxford: Oxford University Press.

Aufderheide, Patricia. 2014. Visual Storytelling in Digital Culture. London: Routledge.

Buckingham, David. 2008. Youth, Identity, and Digital Media. Cambridge, MA: MIT Press.

Burgess, Jean & Joshua Green. 2018. YouTube: Online Video and Participatory Culture. Cambridge: Polity.

Burns, Axel & Jean Burgess. 2017. The Routledge Companion to Social Media and Politics. New York: Routledge.

Castells, Manuel. 2013. Communication Power. Oxford: Oxford University Press.

Duffy, Brooke Erin. 2013. Remake, Remodel: Women’s Magazines in the Digital Age. Urbana: University of Illinois Press.

Gauntlett, David. 2018. Making is Connecting: The Social Power of Creativity. London: Polity.

Jenkins, Henry. 2006. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.

Kahneman, Daniel. 2011. Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Klinenberg, Eric. 2018. Palaces for the People: How Social Infrastructure Can Help Fight Inequality. New York: Crown.

Litwack, R.F. 1999. The Importance of Moral Courage in Law and Justice. New York: Columbia University Press.

McGonigal, Jane. 2011. Reality Is Broken: Why Games Make Us Better and How They Can Change the World. New York: Penguin Press.

Munandar, Adrian. 2004. Patriotisme dan Hukum: Inspirasi dari Tokoh Kemerdekaan Indonesia. Surabaya: Penerbit Mandiri.

Purcell, Kristen. 2015. Teens, Social Media & Technology. Washington D.C.: Pew Research Center.

Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster.

Ragusea, Adam. 2018. “Podcasting’s New Frontier”. Columbia Journalism Review, vol. 57, no. 3.

Shifman, Limor. 2014. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press.

Stelzner, Michael A. 2020. Social Media Marketing Industry Report. San Diego: Social Media Examiner.

Twenge, Jean M. 2017. iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious. New York: Atria Books.

Winston, Brian. 1998. Media Technology and Society: A History from the Telegraph to the Internet. London: Routledge.

[1] Edward Said, Culture and Imperialism, (New York: Knopf, 1993), hlm. 71.

[2] Adrian Munandar, Patriotisme dan Hukum: Inspirasi dari Tokoh Kemerdekaan Indonesia, (Surabaya: Penerbit Mandiri, 2004), hlm.98.

[3] Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2020), hlm.56.

[4] Thomas Hylland Eriksen, Tyranny of the Moment: Fast and Slow Time in the Information Age, (London: Pluto Press, 2001), hlm.84.

[5] Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, (New York: Atria Books, 2017), hlm.29.

[6] Jeffrey Jensen Arnett, Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens Through the Twenties, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm.97.

[7] David Buckingham, Youth, Identity, and Digital Media, (Cambridge, MA: MIT Press), 2008, hlm.11.

[8] Patricia Aufderheide, Visual Storytelling in Digital Culture, (London: Routledge, 2014), hlm.102.

[9] Jean Burgess & Joshua Green, YouTube: Online Video and Participatory Culture, (Cambridge: Polity, 2018), hlm.76.

[10] Brooke Erin Duffy, Remake, Remodel: Women’s Magazines in the Digital Age, (Urbana: University of Illinois Press, 2013), hlm.134.

[11] Jane McGonigal, Reality Is Broken: Why Games Make Us Better and How They Can Change the World, (New York: Penguin Press, 2011), hlm.243.

[12] Axel Bruns & Jean Burgess, The Routledge Companion to Social Media and Politics, (New York: Routledge, 2017), hlm.174.

[13] Brian Winston, Media Technology and Society: A History from the Telegraph to the Internet, (London: Routledge, 1998), hlm.115.

[14] Manuel Castells, Communication Power, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hlm.92.

[15] Robert Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, (New York: Simon & Schuster, 2000), hlm.129.

[16] David Gauntlett, Making is Connecting: The Social Power of Creativity, (London: Polity, 2018), hlm.211.

[17] Eric Klinenberg, Palaces for the People: How Social Infrastructure Can Help Fight Inequality, (New York: Crown, 2018), hlm. 157.

[18] Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s…, op.cit., hlm. 55.

[19] Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide, New York: New York University Press, 2006, hlm. 122.

[20] Limor Shifman, Memes in Digital Culture, (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), hlm.56.

[21] Kristen Purcell, Teens, Social Media & Technology, (Washington D.C.: Pew Research Center, 2015), hlm.36.

[22] Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow, (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), hlm.75.

[23] Adam Ragusea, “Podcasting’s New Frontier,” Columbia Journalism Review, vol. 57, no. 3, 2018, hlm.33.

[24] Michael A. Stelzner, Social Media Marketing Industry Report, (San Diego: Social Media Examiner, 2020), hlm.39.

Share This