Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di tengah tekanan eksploitasi sumber daya alam serta praktik pengelolaan sampah yang belum optimal. Di saat yang sama, hasil pengukuran Indeks Perilaku Ramah Lingkungan (IPRLH) 2024 dengan score 0,52 yang artinya perilaku masyarakat terhadap lingkungan di berbagai wilayah Indonesia berada dalam kategori yang rentan untuk berperilaku Tidak Ramah Lingkungan. Hal ini ditandai dengan GAP yang cukup signifikan antara dimensi pengetahuan (0,62), sikap (0,48), dan praktik (0,45) dalam mendukung keberlanjutan lingkungan.
5 provinsi dengan Perilaku Ramah Lingkungan yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (0,71), Daerah Khusus Jakarta (0,69), Maluku (0,65), Nanggroe Aceh Darussalam (0,64), dan Kalimantan Timur (0,64). Sedangkan 33 provinsi lainnya dengan kategori Cukup Ramah Lingkungan. 2 provinsi teratas yaitu Sumatera Utara dan Kepulauan Riau berpotensi masuk kategori Ramah Lingkungan
Sebagaimana diketahui, lingkungan hidup adalah pilar utama kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Namun, hingga kini, belum ada pengukuran yang memetakan perilaku manusia sebagai pelaku utama dalam pengelolaan lingkungan. Kajian berbasis pengukuran nonfisik ini menghasilkan indeks yang mencerminkan pengetahuan, sikap, dan praktik ramah lingkungan masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam upaya memperkuat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kontribusi manusia melalui perilaku sehari-hari yang mendukung keberlanjutan.
IPRLH merupakan hasil pengukuran dari penelitian yang dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan cakupan pengumpulan data di 38 provinsi dan 15.200 responden yang dipilih menggunakan kombinasi Purposive Sampling dan Stratifikasi Acak, mencakup wilayah pedesaan, perkotaan, pesisir, hingga kawasan hutan. Pengambilan data mencakup: Studi Literatur untuk menentukan variabel dan indikator. Survei Nasional berbasis provinsi dengan margin kesalahan ±5% di tingkat provinsi dan ±0,8% di tingkat nasional. Wawancara Mendalam dengan informan kunci, termasuk akademisi dan pegiat lingkungan. Focus Group Discussion (FGD) untuk validasi hasil bersama para ahli lingkungan, dan lainnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan, keberlanjutan kapasitas ekosistem Indonesia ditopang oleh kemampuan lingkungan hidup yang optimal. Ketersedian air misalnya dalam penelitian ini dari 15.200 responden yang ditemui menyebutkan Selalu tersedia air baik musim hujan maupun kemarau (59,4%) dan tersedia air meskipun sedikit berkurang di musim kemarau namun masih mencukupi (31,2%). Sayangnya, keberlimpahan ini tidak di imbangi dengan praktik ramah lingkungan yang berkelanjutan seperti Mematikan kran air jika sedang tidak digunakan (34,21%), Menampung air hujan dan digunakan kembali untuk keperluan rumah tangga (31,80%) dan Memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain misalnya air bekas cuci sayur/buah digunakan untuk menyiram tanaman (17,38%).
Ketidakseimbangan antara kemampuan lingkungan hidup dan perilaku dalam pemanfaatan lingkungan juga terlihat dalam berbagai aktivitas individu dalam focal area udara, tanah, laut dan kehati seperti Memanfaatkan halaman rumah atau ruang terbuka lainnya untuk Menanam tanaman / pohon (37,03%), mengurangi penggunaan tissu (26,76%) dan kertas (25,09%), Menggunakan transportasi publik / angkutan umum untuk melakukan aktivitas sehari-hari (18,93%).
Diluar praktik individu pada tingkat rumah tangga, 151 informan kunci yang diwawancarai secara tatap muka dalam penelitian ini menyebutkan deforestasi, tambang ilegal, serta alih fungsi lahan terus memberikan tekanan besar pada ekosistem tidak hanya di pulau Jawa namun juga di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Pengelolaan Sampah
Sampah plastik menjadi salah satu masalah utama di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di kawasan pesisir. Pengelolaan limbah domestik yang buruk berkontribusi meningkatkan risiko pencemaran air dan tanah. Di Papua misalnya, pengelolaan sampah yang kurang memadai telah mengancam kualitas air di daerah aliran sungai. Sementara itu di Bali, sampah plastik di laut dan pesisir pantai mengancam ekosistem laut yang vital bagi sektor pariwisata.
Dalam kerangka 12 arah kebijakan untuk mewujudkan reformasi pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir, praktik pengelolaan sampah pada tingkat individu rumah tangga merujuk pada arah Penyadartahuan dan pemicuan perubahan perilaku masyarakat untuk pengurangan dan pemilahan sampah di sumber (arah ke 2) dan Pengumpulan dan pengangkutan sampah terpilah dan terjadwal (arah ke 3).
Tabel. Pengelolan Sampah Rumah Tangga (n= 15.200)
Praktik Pengelolaan
Ya
Tidak
Mengurangi penggunaan plastik, Styrofoam
29,9
70,1
Memilah sampah menurut jenisnya
28,9
71,1
Menggunakan kembali bekas kemasan yang masih bisa digunakan
29,6
70,4
Mendaur ulang sampah menjadi bentuk lain untuk digunakan sendiri
12,5
87,5
Mendaur ulang sampah menjadi bentuk lain untuk tujuan komersil (dijual)
10,3
89,7
Praktik Mengurangi penggunaan plastik, Styrofoam (29,9%) dan Memilah sampah menurut jenisnya (28,9%) tergolong masih sangat rendah. Menurut responden dalam penelitian ini, penyebab tidak melakukan pemilahan sampah antara lain yaitu tidak memiliki tempat sampah yang terpisah (61,8%), merepotkan (21,4%), dicampur atau dipisah sama saja (11,1%), di TPS/TPA tetap tercampur (3,9%) dan alasan lainnya (1,7%). Selain praktik diatas, masih ditemukan praktik pengelolaan sampah dengan cara dibakar (15,85%), dibuang ke laut / sungai / got / kebun / tempat lainnya (21,34%). Hal ini menunjukkan pentingnya untuk meningkatkan upaya penyadartahuan untuk memicu perubahan perilaku masyarakat dalam pengurangan dan pemilahan sampah pada tingkat sumber yaitu rumah tangga.
Praktik Ramah Lingkungan
Beberapa praktik ramah lingkungan yang berkontribusi terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan pada focal area air dan tanah antara lain Tempat pembuangan akhir tinja berupa Septic Tank/Saluran Pembuangan Air Limbah (79,53%), Memiliki resapan air di rumah berupa Tanah Pekarangan/ Sumur/ Lubang Resapan Biopori (77,71%), Jarak sumber air ke penampungan air limbah/ kotoran/tinja >=10 M (62,41%). Pada focal area udara antara lain Memanfaatkan pencahayaan sinar matahari untuk penerangan ruangan (96,29 %) dan Menggunakan lampu hemat energi (80,74 %). Pada focal area laut dan Kehati antara lain Tidak pernah menebang pohon di hutan/lingkungan sekitar untuk kepentingan komersil / dijual (92,49%), Tidak pernah membuka lahan dengan cara dibakar untuk ladang, kebun, dll (88,38%), Menangkap ikan di laut dengan metode pancing tangan, jala, tombak dan perangkap bubu/ rawal dan bentuk lainnya yang ramah lingkungan (79,12%).
Kearifan Lokal sebagai Praktik Berkelanjutan
Kearifan lokal seperti Reusam di Aceh, Tri Hita Karana di Bali, Lubuk Larangan di Jambi dan Kewang di Maluku menunjukkan potensi besar dalam menjaga kelestarian lingkungan. Tradisi turun temurun ini menegaskan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dan alam sebagai bagian dari identitas budaya. Dengan dukungan kebijakan, edukasi, dan infrastruktur dari pemerintah, modal sosial kekayaan budaya Indonesia ini berpotensi besar menjadi solusi untuk menjaga daya dukung lingkungan secara berkelanjutan
Pola Perilaku dan Kapasitas Ekosistem
Dari temuan penelitian ini, menarik untuk menyandingkan antara perilaku dengan kualitas lingkungan pada 2 provinsi dengan urutan teratas score IPRLH yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (0,71) dan Daerah Khusus Jakarta (0,69). Menurut informan kunci dalam penelitian ini, kualitas lingkungan hidup di Yogyakarta cenderung terus menurun dengan kualitas air, udara dan tutupan lahan yang menunjukan kondisi lingkungan hidup belum baik. Demikian halnya dengan Jakarta, informan kunci menggambarkan permasalahan Jakarta yang sangat akut yaitu sampah dan polusi udara. Dengan tingkat ancaman terhadap kerusakan hutan dan keanekaragaman hayati di Jakarta sangat tinggi terutama akibat urbanisasi, polusi, dan perambahan wilayah alam. Sebaliknya, informan kunci pada provinsi dengan score paling bawah menyebutkan kualitas lingkungan berada dalam kondisi yang sangat baik. Dalam kaitannya dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, perilaku berada dalam batas kapasitas ekosistem. Sedangkan di provinsi score paling bawah, perilaku menuju batas kapasitas ekosistem.
Penelitian ni menekankan pentingnya: (1) Edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan sikap dan praktik ramah lingkungan, terutama pada kelompok masyarakat dengan latar pekerjaan yang bergantung pada sumber daya alam dan pekerja domestik / rumah tangga. (2) Memperkuat Pendekatan Inklusif dan Kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat adat dalam membangun kesadaran lingkungan, menjaga kelestarian lingkungan, menciptakan tanggung jawab ekologis dalam eksploitasi sumber daya, serta memperkuat pengawasan dan pengendalian lingkungan. (3) Memperkuat kebijakan pada tingkat implementasi seperti akses terhadap teknologi hemat air dan pengelolaan air yang ramah lingkungan, akses terhadap teknologi hemat energi dan pemanfaatan energi terbarukan, ketersediaan fasilitas pemilahan dan daur ulang sampah serta kebijakan implementatif lainnya seperti Insentif lokal untuk mendorong praktik ramah lingkungan di tingkat rumah tangga
Upaya pengelolaan lingkungan tentu saja harus dilakukan secara holistik, menggabungkan kebijakan, edukasi, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor. Penerapan prinsip berkelanjutan, kearifan lokal, serta insentif ekonomi yang adil akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu dalam masyarakat kita telah mulai mengambil langkah-langkah signifikan untuk menjaga kualitas lingkungan, baik melalui kebiasaan hemat energi, pengelolaan air, maupun perlindungan ekosistem. Dukungan pemerintah dalam kebijakan dan program diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan praktik ramah lingkungan yang lebih luas. Dengan demikian, langkah kecil masyarakat ini akan berdampak besar dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.***
Pada ulang tahun yang kelimapuluh, LP3ES menerbitkan buku refleksi 100 ilmuwan sosial politik yang melibatkan 136 ilmuwan sosial politik dari seluruh dunia untuk melakukan refleksi tentang situasi demokrasi di Indonesia. Selain isu-isu demokrasi yang media sepeti: reformasi partai politik dan pemilu, penagakan hukum, kebebasan sipil dan media, buku ini juga membahas problem yang seringkali tidak disingguh ketika membicara demokrasi, yaitu penurunan kualitas lingkungan/kerusakan alam Karena berbagai hal: perubahan iklim, ledakan populasi, dan banyak lainnya.
Berbagai studi menunjukkan kualitas demokrasi dan kapasitas pemerintahan berkorelasi positif dengan kapasitas pencegahan dan respon pemerintah atas kerusakan lingkungan. Semakin bak kualitas demokrasi dan kapasitas pemerintah, semakin baik kapasitas pencegahan dan respon pemerintah atas kerusakan lingkungan. Dengan kata lain: akan semakin mampu pemerintah untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
Buku ini sebenarnya merupakan refleksi komiten LP3ES sebagai salah satu lembaga pemikir tertua di Indonesia dalam upaya mendorong demokratisasi pada umumnya, dan mengatasi kerusakan lingkungan pada khususnya. Kita tahu di sini ada nama-nama yang sudah lama konsern pada isu lingkungan seperti Emil Salim, Ismid Hadad, Erwan Maryono, dan pada generasi terbaru seperti Fahmi Wibawa, Triyaka, dan Yogi Setya Permana.
Apa yang menjadi concern LP3ES sejak lama ini relevan tengan seminar kita pada siang hari ini tentang mengawal hasil pertemuan G20 dan COP 27. Perlu saya sampaikan bahwa seminar pada siang hari ini merupakan kerjasama antara LP3ES dan kemitraan.
Seperti kita tahu G20 atau Group of Twenty adalah forum antar pemerintah yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa (UE). Ini berfungsi untuk mengatasi masalah utama yang terkait dengan ekonomi global, seperti stabilitas keuangan internasional, mitigasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.
Pada 15-16 November lalu, Indonesia mendapat kehormatan untuk Dmenjadi tuang rumah dennen membawa 3 pokok agenda yang menjadi pembahasan dalam pertemuan ini, antara lain: Arsitektur Kesehatan Global, Transformasi Ekonomi Digital, dan Transisi Energi.
Pada saat bersamaan Indonesia juga aktiv dalam COP27. COP27 atau Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2022 atau Konferensi Para Pihak UNFCCC (The 2022 United Nations Climate Change Conference or Conference of the Parties of the UNFCCC), lebih sering disebut sebagai COP27 adalah konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-27, yang diadakan dari 6 November hingga 20 November 2022[2] di Sharm El Sheikh, Mesir . Itu terjadi di bawah kepresidenan Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, dengan lebih dari 92 kepala negara dan diperkirakan 35.000 perwakilan, atau delegasi, dari 190 negara hadir.
Segera kita tahu bahwa pertemuan penting itu memiliki satu benang merah: mengawal isu kelestarian lingkungan yang di dalamnya mencakup juga ism perubahan iklim, transiti energi dan banyak lainnya sebagai salah satu fokus utama.
Untuk itu, LP3ES pada seminar siang hari ini telah hadir beragam kita berbagai pembicara yang pakar di bidang masing-masing antara lain: Dian Triansyah Djani (Dubes Indonesia di PBB dan Negosiator Pemerintah dalam G20), Emma Rachmawati (Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK), dan Laode M Syarif (Direktur Eksekutif Kemitraan).
Acara ini diawali dengan sambutan Fahmi Wibawa (Direktur Eksekutif LP3ES), dan dipandu oleh Wijayanto (Direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES)
Pada Rabu, 21 Desember 2022 di Gedung Auditorium Cyber Universitas Nasional. LP3ES bekerjasama dengan Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional (PPI Unas) dan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) mengadakan peluncuran buku “Generasi Terakhir” edisi Bahasa Arab dan Inggris yang diterjemahkan dengan dukungan Ummah for Earth. Buku ini ditulis oleh Dr. Fachruddin Mangunjaya selaku ketua PPI UNAS yang juga tergabung dalam keanggotaan Drafting Team Islamic Declaration on Global Climate Change.
Aktivisme Menyelamatkan Bumi
Dalam bukunya yang berjudul Generasi Terakhir: Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan Kepunahan Lingkungan Hidup. Dr. Fachruddin Mangunjaya menulis perjalanan aktivisme dan perkembangan gerakan konservasi dan perubahan iklim sebagai upaya untuk menanggulangi perubahan iklim.
Penulisan buku ini sebenarnya cukup lama dan panjang, karena merekam perjalanan aktivisme dan perkembangan gerakan konservasi lingkungan dan perubahan iklim, suatu ilmu yang relatif baru berkembang pada abad ke-20. Tulisan di dalam buku ini bergaya popular dan berusaha memahami pendekatan-pendekatan kompleks sains.
Buku ini menelusuri dan mengungkapkan perjalanan aksi-aksi gerakan para aktivis masyarakat sipil Muslim di berbagai negara termasuk Indonesia. Krisis perubahan iklim yang kini melanda bumi kita, akan berujung pada bencana lingkungan global apabila umat manusia tidak bertindak dan segera bergerak untuk mencegah, sekurangnya menunda bencana itu mulai dari sekarang. Kekhawatiran atas kerusakan tersebut diakui sebagai akibat ketidakseimbangan yang disebabkan intervensi manusia yang berlebihan.
“Aktivitas manusia telah membuat kapasitas planet bumi terdorong dalam keadaan bahaya (warna merah adalah ambang batas bahaya), menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati, siklus nitrogen yang melebihi ambang batas, dan perubahan iklim. Buku Generasi Terakhir berusaha untuk menangani lingkungan dan perubahan iklim dari perspektif nilai-nilai Islam,” ujar Fachruddin Mangunjaya.
Dengan cara yang unik, merepresentasikan kombinasi antara pengetahuan lingkungan praktis dan teori ilmiah Islam. Ini juga menangani masalah keharmonisan dan perubahan keseimbangan lingkungan di planet ini, peran manusia yang menyebabkan ketidakseimbangan, dan perlunya memulihkannya. Kekuatan moral masyarakat muslim yang dengan keyakinannya mampu menggugah hati dan mendorong pikiran manusia di berbagai kawasan dunia sebagai “generasi terakhir” melakukan ibadah, bekerja, dan siap bertindak cepat melaksanakan aksi-aksi bersama untuk menyelamatkan bumi dan umat manusia dari krisis iklim dan bencana lingkungan global.
Sains Islam Mencegah Kelumpuhan Lingkungan
Fenomena perubahan iklim adalah kondisi terkini lingkungan manusia, dan mungkin belum dibaca oleh para faqih terdahulu. Kerusakan lingkungan juga telah digambarkan akibat tangan rakus manusia, maka di dalamnya terkandung pedoman-pedoman penting tentang alam dan sifat-sifatnya yang dapat diambil sebagai pelajaran, seperti al mizan (keseimbangan), al qadr (ukuran) dan sebagainya. Ketimpangan dan kerusakan lingkungan yang terjadi dewasa ini akibat jauhnya ilmu pengetahuan dari kaidah-kaidah agama yang dapat mencegah kelumpuhan fatal pada peradaban manusia.
Terkait dengan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang alam dan planet bumi ini, merupakan konsen yang dicerahkan dengan merujuk parameter-parameter petunjuk Al-Qur’an tentang bagaimana sebaiknya umat manusia memuliakan ciptaan Allah SWT tersebut. Oleh karena itu, unsur pengetahuan praktis di dalam buku ini dielaborasi melalui teori sains Islam. Dengan demikian fitrah dalam konteks ajaran Islam terhadap lingkungan memberikan batas-batasan moral, intinya memegang prinsip menjaga kesimbangan antara kehidupan makhluk hidup dan lingkungannya.
Agar dapat diambil pelajaran bersama, fakta-fakta kerusakan itu telah nyata terjadi secara global yang ada di negara-negara Islam. Apakah dunia Islam berdiam saja? Apakah tidak ada kegelisahan di kalangan umat Islam melihat fenomena alam dan menghubungkannya dengan keyakinannya sebagai seorang muslim? Buku ini memberi pesan yang menjadi penawar bagi hal tersebut.
Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES) Universitas Negeri Jakarta.
“Kebijakan ini sebenarnya menjadi payungnya, kalo kebijakan energinya masih pro batubara pasti akan lebih banyak pembangunan ke batubara, tapi kalo kebijakannya bergeser, akan kelihatan diprakteknya” Ujar Dwi Sawung dalam Seminar Kebangsaan yang dilaksanakan di Universitas Sultan Ageng di Serang, Banten. Seminar yang dilaksanakan pada Kamis, 29 September 2022 tersebut bertemakan “Kerusakan Lingkurangan dan Pemanfaatan Energi Terbarukan.” Dalam hal ini UNTIRTA berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai Universitas, diantaranya UIN Syarif Hidayatullah, UPN Jakarta, Universitas Trisakti, serta Forum Scholarium LP3ES.
Menurut Dwi Sawung, Manager Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Wahan Lingkungan Hidup (WALHI), Kerusakan lingkungan memiliki 2 faktor utama-Perubahan iklim serta persoalan antroposentris.
Ia menilai perubahan iklim mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam jangka waktu yang lama serta berpengaruh ke berbagai sektor. Menurutnya,Kerusakan lingkungan yang dipengaruhi perubahan iklim sangan erat kaitannya persoalan antroposentris; mulai dari perkembangan manusia, Kebutuhan, serta pembangunan.
“Sehingga alam dan lingkungannya diabaikan” Jelas Sawung.
Ia juga mengkritisi kebijakan Pemerintah yang seringkali tidak memperhatikan dampak lingkungan. Menurutnya proses kerusakan lingkungan sangat bertumpu pada kerangka kebijakan yang diatur oleh negara.
“kebijakan ini sebenarnya menjadi payungnya, kalo kebijakan energinya masih pro batubara pasti akan lebih banyak pembangunan ke batubara, tapi kalo kebijakannya bergeser, akan kelihatan diprakteknya”
Dalam hal ini pemerintah juga berupaya mencari langkah yang solutif berdasarkan permasalahan yang ada melalui Energi Baru Terbarukan (EBT). Berdasarkan data dari Dewan Energi Nasional (DEN) pusdating dan unit ESDM tahun 2020 pemerintah dalam hal ini melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) berupaya meningkatkan energi terbarukan. Sehingga pada 2025 energi terbarukan mencapai sebesar 23%, namun faktanya pada tahun 2020 baru mencapai 10,90%. Menurutnya ini tidak akan mencapai target.
“ini masih sangat jauh sekali, pada tahun 2022 mungkin hanya mencapai 11% dan itu membutuhkan 2 kali lipat lagi dari yang ada sekarang”
Urgensi dan tantangan Energi Baru Terbarukan (EBT)
Lya Anggraini, Peneliti LP3ES, Selaku Narasumber juga menjelaskan urgensi energi terbarukan. Pasalnya, penggunaan energi fosil/ tak terbarukan akan memiliki dampak yang negatif. Mulai dari polusi udara yang berbahaya bagi Kesehatan manusia, Beberapa zat yang dilepaskan dari pembakaran energi fosil dapat menyebabkan hujan asam, Ekstraksi batubara, hingga minyak dan gas bumi menimbulkan pembukaan lahan yang besar.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan pemanfaatan energi fosil di Indonesia masih mendapat subsidi dari pemerintah. Sehingga harga energi fosil yang fluktuatif menyebabkan beban anggaran negara ketergantungan terhadap impor energi fosil yang sangat rentan terhadap perubahan politik global.
Upaya peralihan menggunakan energi terbarukan juga menghadapi tantangan. “listrik tidak dapat disimpan dalam sekala besar, setiap saat listrik yang dibangkitkan harus sama dengan konsumsinya.” Jelasnya.
Namun menurut Yus Rama Denny, Ketua Jurusan pendidikan fisika UNTIRTA, Energi Baru Terbarukan (EBT) masih mempunyai peluang dan harus diusahakan. Misal, Solar cell yang memiliki potensi sangat besar yaitu 23.000 TW.
Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, 75% dari bauran energi indonesia. ini menyebabkan pada 2018 Indonesia merupakan penyumbang emisi tertinggi dari pembangkit listrik sebanya 35% diikuti oleh sektor industri dan transportasi, masing masing mencapai 27%. Hal ini dikhawatirkan akan beribas pada kenaikan suhu yang berkelanjutan.
“Dari tahun 1950 emisi karbon terus naik, hingga tahun 2050. Ini yang menjadi titik tekan bagi kita dan harus di perhatikan dalam menjaga lingkungan. “
Menurutnya upaya peralihan dari bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) harus diusahakan demi menjaga lingkungan.
“Kami mengusahakan gimana solar sel yang tidak menghasilkan karbon dioksida dan bisa juga berbasis limbah elekronik dan batrai”
Ia juga mengakui bahwa upaya tersebut msaih terhalang oleh beberapa faktor. Mulai dari produksi bahan solar cell hingga pemanfaatan limbah yang bergantung pada limbah dari barang impor.
Upaya menjaga lingkungan tersebut juga di jelaskan Tenaga Ahli Bidang Energi Kantor Staf Presiden (KSP) Ahmad Agus Setiawan. Ia menjelaskan bahwaKomitmen indonesia dalam menurunkan emisi sesuai amanat UU No 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreetment : “ menurunkan emisi GRK 29% (kemampuan sendiri) atau 41 %(dengan bantuan internasional)
Kedepannya, Ia berharap kepada generasi muda baik dari kalangan Aktivis maupun akademisi mampu mengkritisi persoalan lingkungan sehingga membantu pemerintah dalam mewujukan pengunaan Energi baru Terbarukan (EBT).
“Kuncinya satu, berharap generasi muda mengkritisi persoalan lingkungan” Tegasnya.
***
Penulis: Muhammad Alfaridzi (Internship LP3ES)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Depok, 22 April 2022—Pengembangan energi terbarukan di Indonesia nyatanya belum sepenuhnya dimanfaatkan. Padahal energi terbarukan yang ramah lingkungan pengganti energi konvensional dapat menjaga bumi dari emisi karbon. Terlebih krisis iklim yang terjadi di Indonesia juga telah mencapai batas yang mengkhawatirkan,Transisi energi sangat diperlukan. Hal ini disampaikan pada diskusi scholarium “Menyoal Krisis Iklim dan Energi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh LP3ES.
“Target transisi energi ini tidak tercapai, kalau transisi energi itu ada perubahan iklim ada komitmen dalam kebijakan net zero emission dan transisi energi bersih, bauran energi itu tidak dapat tercapai ditahun 2025, jadi realisasinya tidak tercapai” Ujar Donny Yoegiantoro 22/04/2022.
Selain itu, Krisis iklim yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan dampak yang serius terkait pangan. Kemarau dan curah hujan yang tinggi mengakibatkan terancamnya sektor pertanian dan kelautan di Indonesia. Apalagi biaya untuk menangani krisis iklim itu sendiri bisa mencapai 100 T pertahun, bahkan hingga periode 2020-2024 mencapai 544 T. Menurut Adila dari greenpeace Indonesia, sektor yang menumbang emisi gas rumah kaca terbesar adalah dari energi di tahun 2030 karena menurutnya kita masih bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil. Menurut data 88% listrik di Indonesia berasal dari bahan bakar fossil, hanya 12,6% saja berasal dari energi terbarukan.
Senada dengan Donny, Adila menganggap bahwa kedepan Indonesia tidak dapat mencapai komitmen pemanfaatan energi terbarukan.
“Ketergantungan kita terhadap batu bara akan tetap didominasi sampai tahun 2030 mendatang, jadi kita masih bergantung dengan energi fosil ini, Jadi komitemen iklim kita akan sulit dicapai” Ungkap Adila Isfandiari Greenpeace Indonesia 22/04/2022.
Namun sangat disayangkan Indonesia masih ingin membangun PLTU dalam sepuluh tahun mendatang. Padahal kita ditargetkan ditahun 2050 harus net zero emission, ternyata ditahun 2060 Indonesia masih terjebak dalam gas emisi yang sangat besar .
Disamping itu keterlibatan anak muda dalam persoalan krisis iklim di Indonesia dianggap penting untuk mengatasi persoalan iklim di Indonesia, sebesar 52 % Generasi muda khawatir terhadap perubahan iklim hal ini disampaikan oleh Geani komunitas “koprol iklim”.
Kamis, (23/09/2021) Pukul 09:30, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bekerjasama dengan Masjid Istiqlal dan Universitas Nasional melaksanakan bedah buku “Generasi Terakhir” Yang bertemakan Aktualisasi Ajaran Islam dan Peranan Umat Islam Dalam Memberi Solusi Terhadap Dampak Perubahan Iklim Global.
Dalam pembukanya Imam Masjid Istiqlal K.H Nassaruddin Umar menjelaskan bahwa buku ini merupakan buku yang sangat penting dalam melihat cara pandang indonesia untuk menjaga lingkungan hidup dari perspektif agama,khususnya agama islam. Buku ini membahas isu lingkungan hidup yang dapat diterima oleh semua kalangan umat beragama, terlebih imam masjid istiqlal berpendapat bahwa semua agama mempunyai pandangan yang sama terkait dengan bagaimana kepunahan alam semesta itu dapat terjadi.
“Pandangan sejumlah agama yaitu nasrani, yahudi,islam dan tentu agama agama lain juga memiliki pandangan yang sama terkait panjang pendeknya umur bumi itu ditentukan oleh manusia” ujarnya.
Hadir beberapa pembicara yang juga menjelaskan mengenai pentingnya umat beragama dalam menjaga lingkungan. Wakil rektor bidang pengabdian dan penelitian Universitas Nasional Ernawati Sinaga juga menagatakan bahwa buku generasi terakhir sangat penting untuk memberikan urgensi kepada semua umat manusia dalam menjaga lingkungan terkhusus soal perubahan iklim.
Lebih lanjut Direktur United Nation Environmental Program (UNEP) Iyad Abumoghhli mengkritisi beberapa permasalahan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia—penyebabnya menurutnya ialah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Beliau juga menyampaikan tentang pentingnya menanam pohon sebagai bagian dari upaya menjaga alam.
“Ada banyak contoh baik dari Nabi Muhammad SAW salah satunya tentang pentingnya menanam pohon, nabi bersabda, jika sekiranya hari kiamat datang kepada kalian sementara masih ada bibit tanaman dalam genggaman tanganmu, maka hendaklah kamu menyelesaikan untuk menanam” tambahnya
Bahaya Pemanasan Global Bagi Kerusakan Alam
Direktur jendral pengendalian perubahan iklim KLHK Lakshmi Dhewanthi, mengatakan buku generasi terakhir memiliki dua makna yang utama, bahwa apakah kita semua adalah generasi terakhir yang ada di dunia atau kita semua adalah generasi terakhir di dunia yang harus menentukan untuk berubah, terkait dengan indikasi pemanasan global dapat dikurangi atau dapat dihambat.
Menurutnya Indonesia sangat rentan terhadap perubahan-perubahan iklim, yang menyebabkan banyak bencana seperti banjir, kekeringan, longsor dan lain sebagainya. Data BNPB menunjukan bahwa di tahun 2015 tercatat ada 1654 kejadian bencana, dan dalam tahun 2020 naik sampai dengan 4650 kejadian. Hal ini terhadi karena ada fenomena alam yang berubah dan peruban iklim yang drastis, ditambah juga perilaku manusia yang kurang bertanggung jawab. Oleh karenanya menurutnya buku ini mengandung banyak pesan untuk menjawab persoalan dan tantangan tersebut.
Generasi Terakhir
Selain itu menurut perwakilan MUI Nur Afiyahbahwa saat ini kita telah memasuki masa dunia yang sudah sekarat, beliau menjelaskan terkait data IPBES bahwa kelimbahan spesies asli di habitat menurun 20% sejak abad ke-19. Terlebih planet bumi telah mengalami kepunahan massal yang cukup parah ditandai dengan terancam punahnya 40% spesies amfibi dan degradasi 33% hewan terumbu karang.
Oleh sebab itu dalam buku tersebut dijelaskan bahwa saat ini sebenarnya manusia memasuki masa –dimana manusia hanya merusak lingkungan untuk kegiatan ekonomi dan kegiatan lain.
“Jadi ini realita bahwa banyak sekali spesies yang berkurang akibat interaksi manusia yang tidak harmonis dengan lingkungan, seperti penimbunan lahan , pembakaran hutan dan seterusnya”
Lebih lanjut Sekertaris Eksekuutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konfrensi Waligereja Indonesia Heri Wibowo, mengatakan bahwa generasi terakhir mestinya menjadi generasi yang menentukan langkah kedepan dalam menjaga dan merawat lingkungan.Beliau juga menjelaskan terkait dengan masalah lingkungan yang sangat memprihatinkan. Bahkan menurutnya bumi terlihat sebagai tempat pembuangan sampah yang besar. Untuk itu menurutnya relasi manusia dan alam, mesti diseimbangkan disatu sisi manusia dapat mengambil sumber daya di bumi untuk bertahan hidup namun manusia juga berkewajiban melindungi bumi.
Penulis buku Generasi Terakhir Fachruddin M. Mangunjaya mengatakan bahwa buku ini menjadi cara kita sebagai umat beragama untuk melindungi makhluk hidup. Beliau mengatakan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari hari dan lingkungan hidup. Karena pada dasarnya semua makhluk hidup mempunyai jiwa yang mesti dilindungi.