Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fahmi Wibawa, menyebut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 sebagai penyebab gempuran produk impor barang jadi, utamanya tekstil, di Indonesia. Dia mengatakan, aturan tersebut dapat meningkatkan nilai impor dan memberikan pengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Nilai impor Indonesia pada Mei 2024 mencapai USD 19,40 miliar, naik 14,82 persen secara bulanan (month to month/mtm) namun turun 8,83 persen secara tahunan (year on year/yoy). Impor nonmigas sebesar USD 16,65 miliar, naik sebesar 19,70 persen mtm namun turun 8,23 persen yoy dan impor migas sebesar USD2,75 miliar, turun 7,91 persen mtm dan 12,34 persen yoy.
“Ya memang kalau kita baca keseluruhan Permendag No 8/2024, sepertinya memang ibarat menggelar karpet merah buat importir produk-produk jadi. Betapa tidak, terdapat tujuh substansi dalam Permendag No. 8/2024, enam di antaranya secara eksplisit menyiratkan relaksasi impor,” ujar Fahmi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dalam keterangannya, Senin (24/6).
Ia juga mengkritik Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang mendapatkan apresiasi dari pelaku usaha asing, namun justru menambah tekanan pada pelaku usaha dalam negeri.
Pada 29 Mei 2024, beberapa kamar dagang asing menyampaikan apresiasi kepada Airlangga atas terbitnya Permendag 8/2024 yang menggantikan Permendag 36/2023. Fahmi mengingatkan Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan untuk segera mengerem relaksasi impor agar tidak merugikan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Permendag 8/2024 sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” jelasnya.
Ia pun meminta agar Airlangga dan Zulhas memiliki peran sebagai penyeimbang pada pelaku industri dalam negeri. World Trade Organization (WTO) menegaskan, negara/anggota dapat mengambil tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif perdagangan bebas.
“Nah, sebenarnya impor tetap dibutuhkan jika bahan baku atau produk tersebut memiliki permintaan yang tinggi namun belum mampu diproduksi di dalam negeri. Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak. Jika pemerintah terkesan lebih mendukung produk impor, maka rencana TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dari dulu digadang-gadangkan pemerintah pun menjadi sia-sia,” kata Fahmi.
Menurut Fahmi, Permendag 8/2024 mulai dirasakan imbasnya oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Padahal, industri ini memberikan kontribusi ke PDB sebesar 1,05 persen.
“Permendag 8/2024 ini saja sudah cukup melukai hati para pelaku industri dalam negeri. Akan banyak pelaku industri yang gulung tikar, dengan konsekuensi pengangguran akan semakin besar. Selain itu, rupiah juga akan makin melemah karena permintaan terhadap dolar AS semakin tinggi,” kata dia.
Sejumlah asosiasi industri tekstil telah menyampaikan kekecewaan terhadap Permendag 8/2024. Setelah aturan ini terbit, puluhan ribu kontainer yang izin-izin impornya bermasalah pada 17 Mei 2024 justru dilepaskan. Hal ini membuat pelaku industri dalam negeri, utamanya tekstil, kehilangan kontrak karena pelanggannya memilih untuk melakukan impor.
“Dunia bisnis tentu mencari profit dengan pengorbanan serendah-rendahnya. Produk impor nyatanya mampu menawarkan harga yang lebih murah dengan kualitas yang sama atau mungkin lebih baik dari produk dalam negeri. Bila ini terus berlanjut, industri manufaktur dalam negeri akan berjatuhan dan pengangguran tenaga terampil industri akan meningkat,” pungkasnya
One of the most important parts of Indonesia’s presidential election phase is the announcement of long-term development planning (RPJPN) 2025-2045. It is because all of the candidates have to adopt the RPJPN in their vision and mission. On May 22-23, 2023, Bappenas (the National Development Planning Agency) held the National Development Plan Deliberation (Musrenbangnas) 2023, for the formulation of the National Long-Term Development Plan (RPJPN) 2025-2045. This momentous event went unnoticed by the public amidst the noisy roadshows conducted by potential presidential candidates to capture public attention.
The Musrenbangnas 2023 was intended to ensure that development progresses in a directed, integrated, and clearly defined manner, in order to address the future needs of the nation. The aspirations and goals of Indonesia’s independence in 2045 when Indonesia celebrates 100 years’ independence day, are expected to face increasingly challenging and complex circumstances. On the global stage (external aspect), Indonesia must emerge as a competitive nation, a key player rather than a mere spectator. Internally, Indonesia must strive to become a self-reliant and advanced nation. In line with circumstances, a nation with such qualifications must reflect justice and prosperity in every aspect of life, ensuring equal distribution of development benefits. In particular, all people should have equal opportunities to access social services, education, healthcare, and employment, express their opinions and ideas publicly, exercise political rights, receive protection and equality before the law, and attain a better life, as reflected in improved socio-economic welfare.
The keyword for the development plan in realizing Indonesia Emas 2045 (Golden Indonesia 2045) is “Transform”. The reforms are no longer sufficient, but they need to be reinforced by comprehensive transformations in various development sectors. This transformation is crucial to achieving competitive development driven by inclusive and sustainable high productivity. The main focus of transformation includes social, economic, and governance aspects. A successful transformation is supported by a strong foundation of national stability, which encompasses the rule of law, substantial democracy, national security, and economic stability, creating a conducive domestic environment, as well as robust diplomacy to strengthen the role on the international stage. The rule of law ensures legal certainty and justice, while substantial democracy produces effective and responsive governance. Strong national security protects the country and creates a safe environment, while economic stability supports the well-being of society. When these four aspects are stable, the country will have a strong foundation to implement inclusive and sustainable development, attract investments, create decent jobs, and allocate resources effectively.
An interesting breakthrough from the Musrenbangnas 2023 is the approach to involve all elements of the nation. Fundamental issues that have yet to be resolved during the development process, such as poverty and inequality, are no longer addressed through programs and projects that are mere “inputs,” with the poor seeking assistance from poverty alleviation projects. Instead, communities living in inadequate conditions are approached, surveyed, and their basic service needs that have not been met are identified, and gradually fulfilled over time.
Intellectuals understand that development goes beyond economic growth and other measures of modernization such as urbanization and industrialization. It encompasses broader aspects such as equality, human progress, environment, democracy, social institutions, cultural values and civilization. Suppose development is merely aimed at addressing national challenges through the process of modernization. In that case, the outcome tends to benefit the elite, and perpetuate oligarchic hegemony, while leaving the lower class behind due to widening inequality.
“Kebijakan ini sebenarnya menjadi payungnya, kalo kebijakan energinya masih pro batubara pasti akan lebih banyak pembangunan ke batubara, tapi kalo kebijakannya bergeser, akan kelihatan diprakteknya” Ujar Dwi Sawung dalam Seminar Kebangsaan yang dilaksanakan di Universitas Sultan Ageng di Serang, Banten. Seminar yang dilaksanakan pada Kamis, 29 September 2022 tersebut bertemakan “Kerusakan Lingkurangan dan Pemanfaatan Energi Terbarukan.” Dalam hal ini UNTIRTA berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai Universitas, diantaranya UIN Syarif Hidayatullah, UPN Jakarta, Universitas Trisakti, serta Forum Scholarium LP3ES.
Menurut Dwi Sawung, Manager Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Wahan Lingkungan Hidup (WALHI), Kerusakan lingkungan memiliki 2 faktor utama-Perubahan iklim serta persoalan antroposentris.
Ia menilai perubahan iklim mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam jangka waktu yang lama serta berpengaruh ke berbagai sektor. Menurutnya,Kerusakan lingkungan yang dipengaruhi perubahan iklim sangan erat kaitannya persoalan antroposentris; mulai dari perkembangan manusia, Kebutuhan, serta pembangunan.
“Sehingga alam dan lingkungannya diabaikan” Jelas Sawung.
Ia juga mengkritisi kebijakan Pemerintah yang seringkali tidak memperhatikan dampak lingkungan. Menurutnya proses kerusakan lingkungan sangat bertumpu pada kerangka kebijakan yang diatur oleh negara.
“kebijakan ini sebenarnya menjadi payungnya, kalo kebijakan energinya masih pro batubara pasti akan lebih banyak pembangunan ke batubara, tapi kalo kebijakannya bergeser, akan kelihatan diprakteknya”
Dalam hal ini pemerintah juga berupaya mencari langkah yang solutif berdasarkan permasalahan yang ada melalui Energi Baru Terbarukan (EBT). Berdasarkan data dari Dewan Energi Nasional (DEN) pusdating dan unit ESDM tahun 2020 pemerintah dalam hal ini melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) berupaya meningkatkan energi terbarukan. Sehingga pada 2025 energi terbarukan mencapai sebesar 23%, namun faktanya pada tahun 2020 baru mencapai 10,90%. Menurutnya ini tidak akan mencapai target.
“ini masih sangat jauh sekali, pada tahun 2022 mungkin hanya mencapai 11% dan itu membutuhkan 2 kali lipat lagi dari yang ada sekarang”
Urgensi dan tantangan Energi Baru Terbarukan (EBT)
Lya Anggraini, Peneliti LP3ES, Selaku Narasumber juga menjelaskan urgensi energi terbarukan. Pasalnya, penggunaan energi fosil/ tak terbarukan akan memiliki dampak yang negatif. Mulai dari polusi udara yang berbahaya bagi Kesehatan manusia, Beberapa zat yang dilepaskan dari pembakaran energi fosil dapat menyebabkan hujan asam, Ekstraksi batubara, hingga minyak dan gas bumi menimbulkan pembukaan lahan yang besar.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan pemanfaatan energi fosil di Indonesia masih mendapat subsidi dari pemerintah. Sehingga harga energi fosil yang fluktuatif menyebabkan beban anggaran negara ketergantungan terhadap impor energi fosil yang sangat rentan terhadap perubahan politik global.
Upaya peralihan menggunakan energi terbarukan juga menghadapi tantangan. “listrik tidak dapat disimpan dalam sekala besar, setiap saat listrik yang dibangkitkan harus sama dengan konsumsinya.” Jelasnya.
Namun menurut Yus Rama Denny, Ketua Jurusan pendidikan fisika UNTIRTA, Energi Baru Terbarukan (EBT) masih mempunyai peluang dan harus diusahakan. Misal, Solar cell yang memiliki potensi sangat besar yaitu 23.000 TW.
Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, 75% dari bauran energi indonesia. ini menyebabkan pada 2018 Indonesia merupakan penyumbang emisi tertinggi dari pembangkit listrik sebanya 35% diikuti oleh sektor industri dan transportasi, masing masing mencapai 27%. Hal ini dikhawatirkan akan beribas pada kenaikan suhu yang berkelanjutan.
“Dari tahun 1950 emisi karbon terus naik, hingga tahun 2050. Ini yang menjadi titik tekan bagi kita dan harus di perhatikan dalam menjaga lingkungan. “
Menurutnya upaya peralihan dari bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) harus diusahakan demi menjaga lingkungan.
“Kami mengusahakan gimana solar sel yang tidak menghasilkan karbon dioksida dan bisa juga berbasis limbah elekronik dan batrai”
Ia juga mengakui bahwa upaya tersebut msaih terhalang oleh beberapa faktor. Mulai dari produksi bahan solar cell hingga pemanfaatan limbah yang bergantung pada limbah dari barang impor.
Upaya menjaga lingkungan tersebut juga di jelaskan Tenaga Ahli Bidang Energi Kantor Staf Presiden (KSP) Ahmad Agus Setiawan. Ia menjelaskan bahwaKomitmen indonesia dalam menurunkan emisi sesuai amanat UU No 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreetment : “ menurunkan emisi GRK 29% (kemampuan sendiri) atau 41 %(dengan bantuan internasional)
Kedepannya, Ia berharap kepada generasi muda baik dari kalangan Aktivis maupun akademisi mampu mengkritisi persoalan lingkungan sehingga membantu pemerintah dalam mewujukan pengunaan Energi baru Terbarukan (EBT).
“Kuncinya satu, berharap generasi muda mengkritisi persoalan lingkungan” Tegasnya.
***
Penulis: Muhammad Alfaridzi (Internship LP3ES)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Depok, 22 April 2022—Pengembangan energi terbarukan di Indonesia nyatanya belum sepenuhnya dimanfaatkan. Padahal energi terbarukan yang ramah lingkungan pengganti energi konvensional dapat menjaga bumi dari emisi karbon. Terlebih krisis iklim yang terjadi di Indonesia juga telah mencapai batas yang mengkhawatirkan,Transisi energi sangat diperlukan. Hal ini disampaikan pada diskusi scholarium “Menyoal Krisis Iklim dan Energi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh LP3ES.
“Target transisi energi ini tidak tercapai, kalau transisi energi itu ada perubahan iklim ada komitmen dalam kebijakan net zero emission dan transisi energi bersih, bauran energi itu tidak dapat tercapai ditahun 2025, jadi realisasinya tidak tercapai” Ujar Donny Yoegiantoro 22/04/2022.
Selain itu, Krisis iklim yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan dampak yang serius terkait pangan. Kemarau dan curah hujan yang tinggi mengakibatkan terancamnya sektor pertanian dan kelautan di Indonesia. Apalagi biaya untuk menangani krisis iklim itu sendiri bisa mencapai 100 T pertahun, bahkan hingga periode 2020-2024 mencapai 544 T. Menurut Adila dari greenpeace Indonesia, sektor yang menumbang emisi gas rumah kaca terbesar adalah dari energi di tahun 2030 karena menurutnya kita masih bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil. Menurut data 88% listrik di Indonesia berasal dari bahan bakar fossil, hanya 12,6% saja berasal dari energi terbarukan.
Senada dengan Donny, Adila menganggap bahwa kedepan Indonesia tidak dapat mencapai komitmen pemanfaatan energi terbarukan.
“Ketergantungan kita terhadap batu bara akan tetap didominasi sampai tahun 2030 mendatang, jadi kita masih bergantung dengan energi fosil ini, Jadi komitemen iklim kita akan sulit dicapai” Ungkap Adila Isfandiari Greenpeace Indonesia 22/04/2022.
Namun sangat disayangkan Indonesia masih ingin membangun PLTU dalam sepuluh tahun mendatang. Padahal kita ditargetkan ditahun 2050 harus net zero emission, ternyata ditahun 2060 Indonesia masih terjebak dalam gas emisi yang sangat besar .
Disamping itu keterlibatan anak muda dalam persoalan krisis iklim di Indonesia dianggap penting untuk mengatasi persoalan iklim di Indonesia, sebesar 52 % Generasi muda khawatir terhadap perubahan iklim hal ini disampaikan oleh Geani komunitas “koprol iklim”.
Dalam kurun waktu 1968 sampai 2000 minyak dan gas bumi menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Sektor unggulan ini bahkan mampu menyumbang 60% APBN pada masa itu. Sebagai mantan karyawan yang berkarir selama 30 tahun di Pertamina dan 20 tahun sebagai konsultan perminyakan, Yoga Pratama Mulhadiono berbagi pengalaman pengelolaan perminyakan di tanah air kepada mahasiswa magang LP3ES (13/11/20).
Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok Ir. Yoga Pratama Mulhadiono, MA (79 tahun) seorang pensiunan Pertamina yang bekerja sejak lulus ITB tahun 1968 di bagian Fieldand Wellside Geologist Pertamina Jakarta. Yoga muda bekerja di Pertamina ketika dipimpin oleh Direktur Utama pertama Pertamina Ibnu Sutowo.
“Pada masa kepemimpinan pak Ibnu Sutowo kedudukan dan pengelolaan Pertamina cukup independen. Di masa itu Pertamina mampu memproduksi 600 ribu barel minyak setiap hari, bahkan lebih, dan angka itu cukup besar karena penggunaan dalam negeri untuk minyak hanya sekitar 300 ribu barel sehingga kita masih bisa surplus dan bisa melakukan ekspor.” Terang Yoga.
Yoga menambahkan pada masa itu Indonesia juga telah konsisten masuk sebagai anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), keanggotaan Indonesia dalam organisasi pengekspor minyak tesebut tidak stabil, beberapa kali keluar masuk, hingga akhirnya keluar tahun 2016. Meski tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bentuk dan proses penyelewengan pengelolaan (terutama keuangan) pada sektor energi namun menurut Yoga kemunduran pengelolaan perminyakan di Indonesia terjadi akibat lemahnya moral politik para pejabat paska kepemimpinan Ibnu Sutowo.
Yoga dengan fasih menceritakan bagaimana kepemimpinan dan kepiawaian Ibnu Sutowo dalam menangkap ide bawahan dan meyakinkan atasan yaitu presiden Soeharto, bagaimana proses penemuan minyak pada masa lampau di Wonocolo oleh Jati Kusumo, Pengelolaan Gas Alam Cair yang membuat Indonesia sebagai negara eksportir terbesar, penanganan insiden kebakaran di sumur bor Jatibarang, bagaimana mentalitas pejabat dan pengalaman lainnya selama hampir 50 tahun berkiprah di perminyakan.
Kepada para mahasiswa, Yoga berpesan untuk pentingnya memiliki moral dan akhlak yang baik dalam membangun karir dalam bidang apapun. Yoga mencontohkan salah satu kebiasaan yang dilakukan dia dan rekan-rekannya ketika menghadapi insiden kebakaran sumur bor di Jatibarang. “Kita dulu memiliki kebiasaan untuk sholat jumat bareng dan kita kumpul berdoa agar kebakaran di Jatibarang bisa dipadamkan, agar diberikan jalan oleh Allah agar sumur itu mati, dan terjadilah keajaiban, sumur itu mati atas kekuasaan Allah”.
Yoga hadir di LP3ES untuk berbagi pengalaman dengan para mahasiswa peserta Program Magang LP3ES Tahun 2020 dalam sesi Friday Course, sebuah sesi berbagi pengalaman dari para intelektual, praktisi dan aktifis jaringan LP3ES yang dilaksanakan secara rutin setiap hari Jumat. Sesi ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan praktis kepada mahasiswa sebelum berkiprah di tengah-tengah masyarakat. ***