Oleh. Risky Pratama, Sukiman, Nurul Khaliza Ferliana (Mahasiswa Magang LP3ES)

Dalam kurun waktu 1968 sampai 2000 minyak dan gas bumi menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Sektor unggulan ini bahkan mampu menyumbang 60% APBN pada masa itu. Sebagai mantan karyawan yang berkarir selama 30 tahun di Pertamina dan 20 tahun sebagai konsultan perminyakan, Yoga Pratama Mulhadiono berbagi pengalaman pengelolaan perminyakan di tanah air kepada mahasiswa magang LP3ES (13/11/20).

Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok Ir. Yoga Pratama Mulhadiono, MA (79 tahun) seorang pensiunan Pertamina yang bekerja sejak lulus ITB tahun 1968 di bagian Field and Wellside Geologist Pertamina Jakarta. Yoga muda bekerja di Pertamina ketika dipimpin oleh Direktur Utama pertama Pertamina Ibnu Sutowo.

“Pada masa kepemimpinan pak Ibnu Sutowo kedudukan dan pengelolaan Pertamina cukup independen. Di masa itu Pertamina mampu memproduksi 600 ribu barel minyak setiap hari, bahkan lebih, dan angka itu cukup besar karena penggunaan dalam negeri untuk minyak hanya sekitar 300 ribu barel sehingga kita masih bisa surplus dan bisa melakukan ekspor.” Terang Yoga.

Yoga menambahkan pada masa itu Indonesia juga telah konsisten masuk sebagai anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), keanggotaan Indonesia dalam organisasi pengekspor minyak tesebut tidak stabil, beberapa kali keluar masuk, hingga akhirnya keluar tahun 2016. Meski tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bentuk dan proses penyelewengan pengelolaan (terutama keuangan) pada sektor energi namun menurut Yoga kemunduran pengelolaan perminyakan di Indonesia terjadi akibat lemahnya moral politik para pejabat paska kepemimpinan Ibnu Sutowo.

Yoga dengan fasih menceritakan bagaimana kepemimpinan dan kepiawaian Ibnu Sutowo dalam menangkap ide bawahan dan meyakinkan atasan yaitu presiden Soeharto, bagaimana proses penemuan minyak pada masa lampau di Wonocolo oleh Jati Kusumo, Pengelolaan Gas Alam Cair yang membuat Indonesia sebagai negara eksportir terbesar, penanganan insiden kebakaran di sumur bor Jatibarang, bagaimana mentalitas pejabat dan pengalaman lainnya selama hampir 50 tahun berkiprah di perminyakan.

Kepada para mahasiswa, Yoga berpesan untuk pentingnya memiliki moral dan akhlak yang baik dalam membangun karir dalam bidang apapun. Yoga mencontohkan salah satu kebiasaan yang dilakukan dia dan rekan-rekannya ketika menghadapi insiden kebakaran sumur bor di Jatibarang. “Kita dulu memiliki kebiasaan untuk sholat jumat bareng dan kita kumpul berdoa agar kebakaran di Jatibarang bisa dipadamkan, agar diberikan jalan oleh Allah agar sumur itu mati, dan terjadilah keajaiban, sumur itu mati atas kekuasaan Allah”.

Yoga hadir di LP3ES untuk berbagi pengalaman dengan para mahasiswa peserta Program Magang LP3ES Tahun 2020 dalam sesi Friday Course, sebuah sesi berbagi pengalaman dari para intelektual, praktisi dan aktifis jaringan LP3ES yang dilaksanakan secara rutin setiap hari Jumat. Sesi ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan praktis kepada mahasiswa sebelum berkiprah di tengah-tengah masyarakat. ***

Share This