by lp3es2022 | Aug 27, 2025 | Demokrasi
LP3ES kembali menegaskan komitmennya dalam menjaga dan merawat demokrasi Indonesia dengan meluncurkan sebuah buku penting berjudul Pasukan Siber: Operasi Pengaruh dan Masa Depan Demokrasi Indonesia. Buku ini hadir sebagai hasil riset mendalam yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir oleh tim akademisi lintas negara, yang berupaya mengungkap wajah tersembunyi dunia digital Indonesia dalam pasukan siber dan operasi pengaruh yang mereka jalankan.
Acara peluncuran buku tersebut diselenggarakan secara hybrid di Aryaduta Hotel pada Senin (25/8/2025). Turut hadir dalam launching tersebut, Bapak Rahmat Bagja dari Bawaslu, Ibu Betty Idores dari KPU RI, Rektor Universitas Paramadina Prof.Didik J. Rachbini, Pemimpin Redaksi Kompas Bapak Yogi Arif Nugraha, Pemimpin Forum Satu Meja Bapak Budiman Tanuredjo, Ketua Dewan Pers Bapak Komaruddin Hidayat, perwakilan dari Kedutaan Besar Belanda Ibu Shinta serta Bapak Philips J. Vermonte.
Diketahui, beberapa tahun terakhir publik kerap dibuat bertanya-tanya mengenai gelombang percakapan di media sosial yang tiba-tiba muncul, ramai, lalu menggiring opini ke arah tertentu. Banyak yang bertanya, “Siapa yang berada di balik ini semua?” Pertanyaan inilah yang mendorong lahirnya riset panjang yang dituangkan dalam buku ini.
Inspirasi awal pada tahun 2019, ketika gelombang besar penolakan terhadap revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) justru berbalik arah di ruang digital. Saat di jalanan mahasiswa dan masyarakat sipil menolak pelemahan KPK, di dunia maya justru muncul narasi kuat yang mendukung revisi. Lebih jauh, muncul pula tuduhan bahwa KPK disusupi “Taliban”, sebuah label yang sengaja dipakai untuk mendiskreditkan para pegiat antikorupsi. Fenomena ini tidak terjadi secara alami, melainkan merupakan bagian dari sebuah operasi pengaruh terstruktur, terkoordinasi, dan dibiayai oleh pihak-pihak tertentu.
Acara peluncuran buku dibuka dengan sambutan dari Fahmi Wibawa, Direktur Eksekutif LP3ES. Dalam pidatonya, Fahmi menegaskan bahwa demokrasi di berbagai belahan dunia tengah mengalami pelemahan, dan Indonesia bukan pengecualian. Ia mengingatkan bahwa demokrasi hanya bisa tumbuh jika mendapat pengawalan serius, terutama di tengah derasnya arus informasi digital yang sering kali dimanipulasi. “Melalui rezim saat ini, kita perlu memastikan adanya pengawalan terhadap demokrasi. Buku ini hadir untuk membuka mata kita bahwa demokrasi yang sehat hanya mungkin terjaga bila publik memiliki akses informasi yang akurat dan bebas dari manipulasi” ujarnya.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Abd. Hamid, Ketua Dewan Pengurus LP3ES. Hamid menekankan bahwa buku ini adalah cerminan semangat kritis yang telah menjadi DNA LP3ES sejak didirikan. Menurutnya, para pendiri LP3ES selalu menekankan pentingnya sikap kritis terhadap kekuasaan, dan semangat itu kini menemukan relevansinya kembali. Ia mengaitkan fenomena hoaks dengan literatur klasik kitab kuning, yang menyebutkan bahwa berita bohong dapat menimbulkan masalah besar dalam kehidupan masyarakat. “Hoaks bukan hanya sekadar informasi salah, melainkan ancaman serius bagi tatanan sosial dan demokrasi” tegas Hamid.
Diskusi kemudian berlanjut dengan pemaparan dari penulis utama buku Pasukan Siber Wijayanto, Direktur Center Media dan Demokrasi LP3ES & Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro. Ia menyoroti bagaimana media sosial di Indonesia pernah dipenuhi oleh perang tagar pada momentum politik tertentu, salah satunya ketika revisi UU KPK disahkan pada 2019. Dalam waktu singkat, tagar-tagar seperti #KPKdanTaliban, #KPKPatuhAturan, #RevisiUUPKforNKRI, hingga #KPKLebihBaik menjadi viral. Menurut Wijayanto, konten yang beredar saat itu bukanlah produk organik masyarakat biasa, melainkan hasil operasi yang digerakkan secara sistematis. “Pertanyaan yang kami coba jawab lewat buku ini adalah: siapa di balik semua ini? Melalui riset, kami menemukan bahwa ada dua tipe aktor: mereka yang bekerja secara sukarela, dan mereka yang dibayar diam-diam. Yang terakhir inilah yang dikenal dengan istilah pasukan siber” jelasnya.
Penelitian LP3ES dilakukan dengan metode wawancara mendalam kepada 102 anggota pasukan siber, dipadukan dengan analisis big data media sosial. Dari hasil itu, ditemukan bahwa pasukan siber tidak hanya aktif di masa pemilu, melainkan juga dalam mendorong kebijakan, menyerang oposisi, atau bahkan menggiring isu tertentu agar mendominasi ruang publik. Menariknya, latar belakang mereka beragam, namun mayoritas memiliki pengetahuan yang cukup luas, sehingga mampu menyusun narasi yang persuasif.
Dari sisi latar belakang pekerjaan, distribusi informan memperlihatkan variasi yang cukup signifikan. Kelompok terbesar berasal dari kategori Buzzer/Influencer/Agency sebanyak 15 orang, disusul oleh kategori Lain-lain/Belum jelas sebanyak 11 orang, serta pekerja di sektor Pemerintah/ASN/BUMN dan Swasta/Kantoran yang masing-masing berjumlah 8 orang. Selain itu, terdapat pula mereka yang berprofesi sebagai akademisi, aktivis, konsultan, mahasiswa, hingga pedagang dan pelaku usaha kecil. Temuan ini memperlihatkan bahwa pasukan siber tidak berasal dari satu golongan saja, melainkan berakar pada beragam sektor masyarakat.
Dari sisi pendidikan, mayoritas informan memiliki tingkat pendidikan tinggi. Sebanyak 45 orang berlatar belakang pendidikan S1, disusul 26 orang lulusan SMA/SLTA, dan 11 orang lulusan S2. Menariknya, ada juga informan yang berpendidikan hingga S3 berjumlah 4 orang, sementara sebagian lainnya tidak menyebutkan latar pendidikan mereka. Fakta ini memperlihatkan bahwa sebagian besar pasukan siber memiliki kapasitas intelektual yang cukup memadai untuk menyusun narasi persuasif dalam memengaruhi opini publik. “Keberagaman latar belakang pekerjaan dan tingginya tingkat pendidikan para pasukan siber menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sekadar aktivitas sporadis, melainkan bagian dari strategi komunikasi politik yang sistematis” ungkap peneliti LP3ES.
Temuan tersebut diperkuat oleh Peneliti KITLV Leiden, Prof. Ward Barenschot, yang menjelaskan bahwa kerja pasukan siber kini menjadi sumber penghidupan baru. Influencer dan buzzer dibayar oleh koordinator politik atau bisnis untuk menjalankan agenda tertentu. Ward mengidentifikasi adanya empat jenis klien yang memanfaatkan jasa pasukan siber di Indonesia: elit politik, partai politik, aktor yang berhubungan dengan pemerintah, serta kalangan pengusaha. Yang unik dibandingkan negara lain, operasi siber di Indonesia tidak hanya datang dari pihak pro-pemerintah, melainkan juga dari kelompok oposisi.
Ward mengingatkan, keberadaan pasukan siber membawa sejumlah dampak negatif. Pertama, kualitas debat publik merosot karena isu-isu diarahkan sesuai agenda mereka. Kedua, kebebasan berekspresi terancam akibat serangan digital terhadap aktivis atau masyarakat. Ketiga, akuntabilitas demokrasi melemah karena pasukan siber menjual narasi kebijakan pemerintah. Keempat, oligarki semakin menguat karena hanya kalangan elit yang memiliki sumber daya untuk mengoperasikan pasukan siber. Untuk itu, ia menyerukan pentingnya regulasi yang mewajibkan transparansi komunikasi digital, serta perlunya peran media dan perusahaan teknologi dalam membangun ekosistem informasi yang lebih sehat.
Ika Karlina Idris dari Monash Universitas, mengungkapkan bahwa temuan penting dalam buku ini adalah bagaimana media arus utama kerap ikut mengamplifikasi isu viral dari media sosial tanpa verifikasi memadai. “Akibatnya, propaganda digital yang digerakkan oleh buzzer bisa menjalar lebih cepat” ujarnya. Ia mencontohkan, isu-isu strategis seperti perubahan iklim seringkali terabaikan dibandingkan isu politik yang diproduksi secara masif oleh pasukan siber.
Senada dengan itu, Ketua Dewan Pers, Prof. Komarudin Hidayat mengaitkan hasil riset ini dengan literatur global, salah satunya The Age of Surveillance Capitalism. Menurutnya, teknologi digital yang beroperasi dalam kerangka kapitalisme justru melahirkan bentuk otoritarianisme baru. “Para diktator modern tidak hanya bersaing, tetapi juga saling berbagi sumber daya demi mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, hal ini terlihat dari dominasi partai politik dan oligarki yang mengendalikan media massa,” jelasnya. Ia juga mempertanyakan apakah kedaulatan rakyat masih benar-benar ada, atau justru telah dirampas oleh oligarki.
Sementara itu, Philips J. Vermonte, Presidential Comuunication Ogice menekankan bahwa fenomena rendahnya kepercayaan publik di ruang digital memperparah penyebaran propaganda. Ia menilai, keberadaan ratusan akun yang bisa digantikan dengan multiaccount hanya memperburuk keadaan. “Jika dunia maya dapat dibuat lebih bersih, ia bisa menjadi representasi kerja-kerja sipil. Maka, yang perlu dilakukan adalah mendorong masyarakat kembali pada kerja-kerja analog, memperkuat advokasi kepada perusahaan teknologi agar ikut terlibat, sekaligus mengadvokasi para pengguna” ungkapnya. Philips menambahkan, dari hasil pengamatan PCO, pihaknya tidak menemukan keberadaan buzzer dalam ekosistem mereka.
Diskusi ini ditutup dengan penekanan bahwa buku tersebut bukan sekadar dokumentasi fenomena digital, melainkan juga sebuah peringatan. Wijayanto menegaskan bahwa masyarakat sipil yang kuat dapat menjadi benteng melawan manipulasi digital. Ia mencontohkan resistensi publik yang berhasil menggagalkan upaya memperpanjang masa jabatan presiden. Namun, ia juga mengingatkan bahwa serangan terhadap organisasi masyarakat sipil semakin sering terjadi. “Survei LP3ES menemukan 25 persen organisasi masyarakat sipil pernah mengalami serangan digital, termasuk NGO di Bali yang sebenarnya memiliki kapasitas keamanan digital tinggi” jelasnya.
by lp3es2022 | Jun 2, 2025 | Demokrasi
Dalam forum diskusi bertajuk “Gerakan Mahasiswa dan Represi Negara”, LP3ES dan Forum Alumni Sekolah Demokrasi LP3ES mengangkat kembali urgensi membahas tekanan terhadap gerakan mahasiswa dan penyempitan ruang sipil di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan akademisi, aktivis hak digital, dan praktisi hukum. Moderator acara adalah Ismail Suardi Wekke (The Academia of Papua), dan pembukaan disampaikan oleh Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa. “Saat ini kita merasakan seperti déjà vu,” ujar Fahmi.
“Negara membatasi berbagai macam langkah dan tindakan, membatasi gerak mahasiswa dalam memainkan fungsinya sebagai penjaga moral publik dan kekuatan sipil yang kritis,” ungkapnya. Dalam paparannya, Nukila Evanty (Advisory Board Asia of Centre) mengulas kronologi aksi protes mahasiswa dan buruh yang berlangsung di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang. Ia menggambarkan situasi yang penuh ketegangan, dengan dugaan keterlibatan polisi yang menyamar dan tindakan represif terhadap massa aksi.
Nukila menjelaskan bahwa represi negara dapat berupa berbagai tindakan yang dilakukan oleh lembaga berwenang terhadap individu atau kelompok dalam wilayah yurisdiksi mereka. Represi ini mencakup pembatasan perilaku dan keyakinan warga negara melalui pengenaan sanksi negatif seperti jam malam, penangkapan massal, dan pelarangan organisasi politik. Selain itu, represi juga dapat berbentuk pelanggaran terhadap integritas pribadi, seperti pengawasan ketat, interogasi, atau penahanan di kantor polisi.
Ia menyebut adanya dugaan keterlibatan polisi yang menyamar dan menyebut bahwa beberapa mahasiswa mengalami kekerasan serta penangkapan: “Ada water cannon selama 20 menit, gas air mata lebih dari satu jam. Dua mahasiswa ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 333 dan 170 KUHP. Media arus utama juga menyudutkan posisi mahasiswa yang ditahan,” tambahnya. Nukila menambahkan bahwa dalam penanganan aksi mahasiswa, aparat harus menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi dan demokratis
“Penegak hukum harus bersikap bijak, tidak reaktif. Gunakan mediasi dan restorative justice. Pemerintah harus memahami pentingnya peran generasi muda dalam promosi HAM,” ungkapnya.
Dalam paparannya, dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menyoroti fenomena penyempitan ruang sipil yang dialami mahasiswa sebagai bagian dari tren global yang juga mengakar kuat di Indonesia. Ia menyebut bahwa situasi ini telah dapat dipetakan sejak 4–5 tahun lalu sebagai bagian dari gejala shrinking civic space, yakni semakin menyempitnya ruang berekspresi warga sipil akibat praktik negara yang represif.
Menurutnya, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia. Ia menekankan bahwa demokrasi kita telah menjelma menjadi prosedural belaka. Formalitas yang diklaim sebagai demokrasi, padahal substansinya telah kosong.
“Demokrasi kita makin lama makin menyempit. Saya bahkan menyebutnya sebagai gejala fasisme,” ungkapnya.
Lebih jauh, Bivitri memperkenalkan konsep kompetitif otoritarianisme, sebuah istilah yang merujuk pada negara yang masih menyelenggarakan pemilu dan tampak demokratis secara luar, namun pada dasarnya otoriter. Pemerintah tetap berusaha mempertahankan legitimasi demokratis, tetapi membatasi hak-hak sipil secara sistematis dan menekan oposisi. “Mahasiswa yang menjadi pemohon di MK diteror, bahkan keluarganya juga. Ini bukan yang pertama. Ada rektor yang berharap jadi komisaris. Ketakutan menjadi sistematis dan menular ke mahasiswa. BEM dibekukan, dosen dibungkam,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa kekuasaan saat ini menyajikan demokrasi hanya sebagai citra formal. Bivitri menyoroti intervensi langsung ke institusi pendidikan tinggi: “Ada rektor yang berharap jadi komisaris BUMN. Ketakutan jadi sistemik. Akibatnya, kampus jadi tunduk pada kekuasaan, mahasiswa dibekukan organisasinya, dan dosen takut bicara,” tegasnya.
Dosen Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menantang kita untuk melihat kembali perjalanan demokrasi Indonesia. “Pertanyaannya: apakah kita pernah benar-benar melewati masa konsolidasi demokrasi? Jangan-jangan kita hanya sedang berputar-putar dalam masa transisi, atau bahkan kembali ke otoritarianisme,” ungkapnya. Ia menyebut model otoritarianisme saat ini sebagai neo otoritarianisme:
“Zaman Soekarno membubarkan partai. Soeharto menjinakkan lewat dwifungsi ABRI. Pasca reformasi, oposisi dibunuh lewat kasus hukum. Partai oposisi pun dijinakkan,” tambahnya.
Tak hanya partai, aktivisme mahasiswa pun turut ditekan dari dalam:
Tak hanya partai, aktivisme mahasiswa pun turut ditekan dari dalam“Pascareformasi, mahasiswa kerap dipukul dari dalam, dibenturkan dengan sesama mahasiswa. Ini mulai sejak SBY, puncaknya di Jokowi, dan berlanjut di era Prabowo,” tegasnya
Zainal juga menyoroti manipulasi ruang publik: “Negara seolah membuka ruang publik, tapi itu satu arah. Sejarah dibangun sebagai mitos. Negara menentukan siapa yang jadi pahlawan, siapa yang jadi penjahat,” tambahnya. Ia menutup dengan catatan penting: “Yang bisa membuka ruang publik adalah oposisi. Jika tidak ada oposisi, tidak ada ruang diskursus. Tanpa itu, demokrasi hanya ilusi,” ujarnya.
Dalam paparannya, Hafizh Nabiyyin dari SAFEnet menegaskan bahwa represi negara terhadap mahasiswa kini tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga digital. Ia menyebut mahasiswa sebagai kelompok paling rentan. “Situasi di Indonesia, SAFEnet mencatat bahwa pelajar, mahasiswa, OMS, dan aktivis menjadi paling rentan mengalami represi digital antara Januari hingga Maret 2025,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bentuk serangan digital yang dialami mahasiswa terbagi dalam dua kategori besar. “Serangan teknis seperti peretasan, DDoS, Zoom Bombing, hingga phishing. Sementara serangan psikologis berupa kriminalisasi, doxing, pengancaman, impersonasi, NCII, hingga serangan buzzer dan trolling,” jelasnya
Hafizh mendorong peningkatan kapasitas hukum dan keamanan digital secara kolektif. “Adakan pelatihan keamanan digital internal, bangun kolektif CSIRT di kampus atau kota, kurangi ketergantungan pada Big Tech, dan gunakan software open source,” tegasnya. “Bangun kesadaran bahwa Big Tech adalah korporasi, bukan filantropi,” tambahnya.
by lp3es2022 | May 22, 2025 | Demokrasi, Hukum dan HAM, LP3ES, Politik
Dalam rangka memperingati 27 tahun Reformasi, LP3ES bekerja sama dengan SAFEnet dan YLBHI menyelenggarakan diskusi publik dan media briefing bertema “Membangun Resiliensi Masyarakat Sipil Setelah 27 Tahun Reformasi”. Acara ini bertujuan untuk memetakan ulang posisi dan kekuatan masyarakat sipil Indonesia di tengah penyempitan ruang demokrasi, khususnya di ruang digital. Tiga dekade setelah Reformasi 1998, masyarakat sipil Indonesia kembali menghadapi tantangan serius: semakin menguatnya otoritarianisme, represi terhadap kebebasan berekspresi, serta penyalahgunaan teknologi untuk mengendalikan narasi dan meminggirkan suara-suara kritis, termasuk ketika baru-baru ini tiga orang mahasiswa Universitas Diponegoro mengalami represi ketika menyuarakan pendapat.
Di tengah meningkatnya represi terhadap ruang gerak masyarakat sipil, sekelompok aktivis, akademisi, dan perwakilan organisasi buruh dan mahasiswa berkumpul untuk merefleksikan bagaimana internet telah mengubah lanskap perjuangan sosial di Indonesia. Survey lapangan LP3ES yang menyasar sekitar 1658 organisasi masyarakat sipil (OMS), mengungkapkan bahwa 31% masyarakat sipil mengalami ancaman dan represi dalam berbagai bentuk seperti peretasan, phising, dan intimidasi digital. Terlihat adanya dua pola yang mengemuka, yaitu (1) prevalensi ancaman yang tinggi di wilayah urban dan industrial seperti di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, serta (2) serangan digital yang muncul di wilayah yang kaya mineral seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, serta Maluku. Kekerasan berbasis gender online juga muncul di ruang digital dan diarahkan kepada OMS dengan provinsi terbanyak yang mengalaminya adalah Sumatera Utara, Jakarta, Papua Tengah dan Papua Selatan.
Represi kebebasan berekspresi di sosial media juga dilakukan menggunakan UU ITE, umumnya dengan alasan pencemaran nama baik. OMS di wilayah Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Timur mengalami jumlah kasus terbanyak. Masyarakat sipil perlu menempatkan wilayah-wilayah ini sebagai prioritas untuk advokasi gerakan. Selain itu, survei ini juga mengungkapkan bahwa kesadaran OMS akan hak-hak digital masih tertinggal di beberapa daerah seperti Lampung, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, Papua Pegunungan, dan lainnya.
Diskusi yang dilaksanakan di kantor YLBHI ini juga menyoroti bagaimana media sosial menjadi kanal penting dalam proses pengorganisasian massa, terutama ketika ruang fisik dibatasi oleh pandemi. Peristiwa seperti gerakan penolakan Omnibus Law Cipta Kerja menunjukkan kemampuan luar biasa dari masyarakat, terutama mahasiswa dan buruh dalam memanfaatkan platform digital untuk konsolidasi dan mobilisasi secara organik. Serikat buruh bahkan mengalami peningkatan anggota melalui interaksi di media sosial.
Namun, teknologi juga hadir dengan wajah gelapnya. Peserta diskusi mencatat munculnya praktek doxxing, penyalahgunaan UU ITE, serta kriminalisasi terhadap ekspresi digital seperti meme kritik. Kelemahan struktural gerakan digital, seperti kurangnya resiliensi dan potensi disinformasi, mendorong seruan untuk pemetaan kekuatan, musuh, dan kawan dalam ruang digital.
“Media sosial seharusnya bisa menjadi ruang mencerdaskan publik, bukan sekadar arena kontestasi buzzer,” ujar Tasya, salah satu penanggap diskusi.
Zainal Arifin dari YLBHI, menekankan pentingnya memahami perkembangan yurisprudensi terbaru, terutama keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa kritik terhadap pemerintah tidak bisa dipidana. Sayangnya, “praktik baik” ini belum tersebar luas, bahkan di kalangan penegak hukum sendiri.
Diskusi ini juga menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, kesadaran warganet adalah medan baru perlawanan. Untuk itu, dibutuhkan bahasa baru, pendekatan baru, dan konsolidasi yang melampaui sekat-sekat organisasi agar masyarakat sipil tetap mampu menghadapi gelombang otoritarianisme yang semakin lihai memainkan algoritma.
by lp3es2022 | May 10, 2025 | Demokrasi
Kementerian Koperasi, Universitas Padjadjaran, Ikatan Alumni Universitas Padjadjaran, LP3ES dan Yayasan Hatta akan melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Refleksi Gagasan Koperasi Bung Hatta sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Sosial”. Seminar ini dilaksanakan selama sehari secara hybrid, bertempat di Aula Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran, Jl. Dipatiukur nomor 23, Bandung.
Sejumlah intelektual dan akademisi serta putri Bung Hatta ikut menyumbangkan pemikiran dan membaginya kepada peserta yang akan hadir secara luring (offline) dan perserta yang hadir secara online melalui Zoom.
Seminar akan dibuka oleh Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Arief Sjamsulaksan Kartasasmita, sekaligus memberikan kata sambutan. Adapun keynote speech akan disampaikan oleh Ketua Umum IKA Universitas Padjadjaran yang juga Wakil Menteri Koperasi Dr. Ferry Juliantono. Seminar ini akan semakin menarik dengan hadirnya dua putri Bung Hatta, masing-masing Prof. Meutia Hatta dan Halida Hatta, M.A. Dalam hal ini, Prof. Meutia Hatta akan memberikan Pengantar Diskusi, sedangkan Halida Hatta tampil sebagai narasumber. Intelektual lainnya yang ambil bagian dalam seminar ini adalah Prof. Agus Pakpahan dan Fahmi Wibawa, M.B.A. Seperti diketahui, Prof Agus Pakpahan saat ini merupakan Rektor IKOPIN, sebuah perguruan tinggi yang konsen pada isu-isu koperasi. Sementara Fahmi Wibawa adalah Direktur Eksekutif LP3ES, lembaga non-Pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh keluarga Bung Hatta untuk menerbitkan tulisan-tulisan Bung Hatta. Sampai press release ini dibuat LP3ES dan Universitas Bung Hatta (UBH) Padang telah menerbitkan sembilan jilid buku Karya Lengkap Bung Hatta (KLBH)—dari 10-12 jilid yang direncanakan—yang memuat 480 tulisan Bung Hatta.
***
Bung Hatta adalah pemikir dan penggagas koperasi yang paling terkemuka. Ia dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada tahun 1953. Pemikiran atau gagasan koperasi Bung Hatta dapat dibaca secara utuh di dalam buku KLBH jilid 6 berjudul Gerakan Koperasi dan Perekonimian Rakyat. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2018.
Buku setebal 331 halaman tersebut memuat 35 karya tulis Bung Hatta mengenai koperasi. Secara garis besar, di dalam buku ini Bung Hatta menjelaskan cita-cita koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945, isu-isu pokok seputar koperasi, alasan-alasan dan rasionalitas perlunya membangun koperasi, dan lain-lain.
Manakala dicermati, akan tampak bahwa Bung Hatta membangun koperasi bukan sekadar sebagai institusi ekonomi, tetapi sekaligus pula menjadi institusi pendidikan; yang bila ditarik lebih jauh, pendidikan dimaksud adalah pendidikan antikorupsi atau pencegahan korupsi. Bung Hatta di dalam buku tersebut berkali-kali menekankan pentingnya bahkan mengharuskan setiap anggota koperasi memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam menjalankan koperasi. Umpama, anggota koperasi tidak boleh mengatakan produk yang dijualnya memiliki kualitas nomor satu jika produk tersebut tidak demikian adanya. Anggota koperasi juga dilarang mengurangi timbangan atau takaran yang merugikan pembeli. Dan lain sebagainya.
Perjalanan kelembagaan koperasi itu sendiri pernah mengalami masa surut, disorientasi atau semacam pembelokan arah akibat kuatnya kepentingan politik terhadap koperasi. Situasi inilah yang kemudian menyeret koperasi keluar dari tujuan pembentukan dan panggilan sejarahnya. Merespons situasi ini, Bung Hatta menurunkan sebuah tulisan berjudul “Koperasi Kembali ke Jalan yang Benar”, yang ditulisnya pada tahun 1966. Di sana Bung Hatta menulis, “…kebulatan hati sudah ada untuk mengembalikan koperasi ke jalan yang benar, sesudah diseret ke jalan yang salah dan diobrak-abrik sampai rusak organisasinya dan hilang semangatnya”. Selain itu, hal penting lainnya yang juga ditekankan di dalam buku ini ialah cita-cita koperasi. Menurut Bung Hatta, cita-cita koperasi Indonesia ialah menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.
Bagaimanapun, koperasi dengan seluruh aspek dan spektrumnya tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Bung Hatta. Maka, beberapa pertanyaan penting dapat diajukan di sini: Apakah koperasi yang ada sekarang ini telah sejalan dengan pemikiran dan gagasan Bung Hatta? Apa pula yang dimaksud Bung Hatta dengan “koperasi” dan “yang bukan koperasi” atau “koperasi yang sebenarnya” dan “yang bukan”? Jawabannya dapat ditemukan di dalam buku Gerakan Koperasi dan Perekonomian Rakyat tersebut.
***
Mengapa pemikiran Bung Hatta perlu diangkat kembali untuk didiskusikan di ruang publik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti merefleksi jauh ke belakang dalam kurun waktu di mana Bung Hatta tumbuh, belajar, berjuang sampai Indonesia berhasil meraih kemerdekaan.
Penting untuk diingatkan, bahwa tulisan-tulisan Bung Hatta sarat dengan pesan-pesan moral yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Sebelum kemerdekaan, Bung Hatta muda telah aktif mendorong semangat dan gelora para pemuda dan rakyat Indonesia mengusir penjajah dari Tanah Air. Pada usia yang masih muda pula, Bung Hatta bahkan telah menguraikan dalam pelbagai tulisannya tentang pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam menyusun strategi dan kebijakan untuk melawan penjajah saat Indonesia belum merdeka, dan kemudian dalam pembangunan bangsa setelah Indonesia merdeka. Lebih daripada itu, melalui karya tulisnya, Bung Hatta ikut menyumbangkan konsep pemikiran dan upaya nyata untuk memantapkan dasar negara Pancasila, sistem politik pemerintahan yang bersih dan berwibawa, kehidupan politik yang demokratis, politik luar negeri yang bebas aktif, serta implementasi rencana pembangunan ekonomi dan sosial guna meraih kesejahteraan rakyat berupa keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada saat yang sama, Bung Hatta tidak pernah mengesampingkan pentingnya menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkarakter, jujur, amanah, bertanggung jawab, demokratis, yang semuanya merupakan nilai-nilai yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Untuk alasan-alasan itulah, LP3ES mengambil inisiatif—atas dukungan keluarga Bung Hatta—mengumpulkan, mentaksonomi, mengolah, menyunting, menerbitkan, dan mendiseminasikan pemikiran-pemikiran brilian Bung Hatta kepada khalayak luas, terutama kepada generasi muda. Tujuannya ialah agar masyarakat memperoleh informasi dan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana keadaan fisik dan mental rakyat Indonesia di masa lalu dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang sehingga Indonesia bisa merdeka, bagaimana memupuk dan merawat persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, bagaimana seharusnya merencanakan dan melaksanakan pembangunan nasional untuk meraih kehidupan yang lebih baik, bagaimana membangun negara Indonesia agar lebih adil dan demokratis, serta bagaimana membangun karakter anak bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai dan jati diri bangsa Indonesia.
Seminar Nasional ini hanya merupakan salah satu langkah awal dari sebuah sebuah perjalanan panjang yang harus ditempuh untuk mengangkat kembali khazanah pemikiran tokoh pendiri bangsa yang sangat disegani dan pemikir yang sangat produktif menulis. Pelaksanaan seminar ini juga sangat tepat karena berdekatan dengan momentum perayaan Hari Koperasi Internasional (International Cooperative Day) yang jatuh pada 5 Juli 2025 dan Hari Koperasi Indonesia yang diperingati setiap tanggal 12 Juli.
Dan, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa Seminar Nasional kali ini seolah ‘menghadirkan’ kembali Bung Hatta di kota yang sangat bersejarah ini dengan cara yang sedikit berbeda. Sejarah mencatat, bahwa pada tanggal 8 Agustus 1955, Bung Hatta menyampaikan ceramah berjudul “Koperasi sebagai Institut Pendidikan Oto-Aktivitas dan Budi Pekerti Ekonomi yang Murni” dalam acara pembukaan Seminar Koperasi ILO/FAO yang dilaksanakan di Bandung.·
by lp3es2022 | Mar 4, 2025 | Uncategorized
Pada hari Senin (03/03/2025), diselenggarakan seminar untuk launching buku bertajuk Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik di Tengah Pusaran Oligarki yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES. Seminar ini menghadirkan sejumlah pakar dan peneliti untuk membahas situasi politik Indonesia pada tahun 2024 serta tantangan-tantangan besar yang mengarah ke masa depan demokrasi di tanah air. Dalam seminar ini, berbagai pandangan kritis muncul mengenai kemunduran reformasi politik dan pengaruh oligarki yang semakin dominan.
Dalam sambutannya, Wijayanto, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES, membuka diskusi dengan mengkritisi situasi politik Indonesia yang semakin memburuk dan hal ini diungkapkan olehnya telah direfleksikan oleh LP3ES melalui buku Outlook LP3ES pada tiap tahunnya. “LP3ES sejak 2019 telah menenggarai situasi kemunduran demokrasi, pada 2019 kita membawa judul ‘Menyelamatkan Demokrasi’ ini yang situasi kebatinannya pada saat itu adalah munculnya Revisi UU KPK, demo terjadi di mana-mana bahkan ada dua orang manusia meninggal di dalamnya, tapi revisi tetap berjalan,” ujar Wijayanto.
Pada 2020, LP3ES menerbitkan ‘Nestapa Demokrasi’, ‘Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil’ pada 2021, ‘Ritual Oligarki Menuju 2024’ pada 2022, dan ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’ pada 2023. “Pada 2023, kami bertanya, ‘Senjakala Demokrasi Kita: Awal Dari Sebuah Akhir’. Di buku ini ‘Refleksi 2024 Outlook 2025: Akhir Reformasi Politik Di Tengah Pusaran Oligarki’ kami jawab, ini adalah akhir dari reformasi politik,” jelas Wijayanto. “Sayangnya, kemunduran demokrasi ini terus berlanjut hingga saat ini,” tutup Wijayanto.
Vedi Hadiz, Direktur Asia Institute, selaku pembicara pertama pada diskusi ini memberikan peringatan tegasnya bahwa kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa reformasi telah benar-benar berakhir, karena keliru dalam menganalisis kondisi politik dapat berujung pada kebijakan yang salah. “Jangan sampai kita keliru dalam analisis seperti yang terjadi sebelum 1998, di mana ekspektasi yang tidak realistis justru mengarah pada kesalahan keputusan,” ujarnya.
Vedi juga menyatakan bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah deviasi dari tahun 1998, melainkan “kombinasi logis yang sebenarnya sudah di-set sejak saat itu.” Ia berpendapat bahwa “reformasi itu dari awal sudah dibajak oleh kekuatan oligarki,” sebuah kesimpulan yang sudah ia sampaikan sejak tahun 1999. Menurutnya, meskipun Orde Baru secara institusional sudah bubar, namun oligarki yang ada justru semakin menguasai akses terhadap sumber daya publik dan institusi untuk kepentingan privat.
Aisah Putri Budiarti, Peneliti BRIN/LP3ES, memaparkan kondisi demokrasi Indonesia yang semakin menurun. “Demokrasi di Indonesia sudah berada di titik nadir, hampir tanpa kebebasan,” ujarnya, mengutip data dari V-Dem Democracy Index yang menunjukkan penurunan kualitas demokrasi sejak 2012.
Aisah mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi esensi dari demokrasi, semakin dibatasi oleh kekuasaan yang dipegang oleh elit oligarki. “Kesantunan dalam berpolitik hanya diukur oleh kacamata penguasa. Kebebasan hanya dimaknai oleh elit-elit tertentu, dan itu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi,” tegasnya. Ia juga menyoroti bahwa pembatasan kebebasan berekspresi semakin mengerikan, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus pembatasan lukisan dan ekspresi seni lainnya.
Fachru Nofian, Peneliti LP3ES, mengaitkan permasalahan oligarki dengan tantangan ekonomi Indonesia. Fachru menekankan bahwa dominasi oligarki di Indonesia tak hanya merusak politik, tetapi juga menghambat perekonomian. “Oligarki ini menjadi tantangan besar dalam ekonomi Indonesia. Salah satu solusinya adalah melalui industrialisasi domestik yang dapat memberdayakan UMKM dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan elit,” kata Fachru.
Hadi Purnama, Direktur Pusat Kajian Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, mengkritik pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang semakin kontroversial. “Partisipasi masyarakat dalam PSN masih sangat minim, dan banyak yang dirugikan,” ungkapnya. Hadi menekankan bahwa dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari PSN sangat besar, dengan banyak warga yang kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. “Kita juga dapat melihat intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan tanah mereka,” tambah Hadi.
Hadi menyoroti penggunaan aparat yang semakin masif dalam masalah pertanahan yang terkait dengan PSN, dan mengingatkan bahwa pemerintah Prabowo harus lebih hati-hati dalam pembangunan PSN kedepan dengan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia.
Bangkit Wiryawan, Peneliti LP3ES juga membahas fenomena dinasti politik yang semakin berkembang di Indonesia. “Dinasti politik semakin menghambat persaingan bebas dan sirkulasi elite,” jelas Bangkit, yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 33 Tahun 2015 yang memperpanjang kekuasaan dinasti politik.
Bangkit mengungkapkan bahwa fenomena ini kini mulai meluas ke tingkat nasional, dengan munculnya kandidat-kandidat yang merupakan anggota keluarga dari penguasa sebelumnya dalam Pilpres dan Pilkada 2024. “Sekitar 65% kandidat di Pilkada 2024 memiliki hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya, yang menunjukkan dominasi dinasti politik yang semakin besar,” tegasnya.
Bangkit menegaskan bahwa dinasti politik ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat, seperti yang terlihat dari penurunan pengeluaran per kapita di daerah yang dipimpin oleh dinasti. Fenomena ini perlu diwaspadai karena dapat menggerus demokrasi dan kesejahteraan. Dinasti politik diibaratkan seperti “racun dalam gula”, yang pada awalnya manis tetapi akhirnya merugikan masyarakat.