by lp3es2022 | Jun 26, 2023 | Demokrasi
Maisie Sagita, analyst Continuum Big Data memaparkan hasil riset Continuum periode 01-31 Mei 2023 yang menemukan fakta-fakta menarik seputar kecenderungan netizen di media sosial twitter tentang popularitas Partai Politik saat ini.
Data yang diambil dari 485,743 perbincangan di media sosial dan terdiri dari 139,942 akun media sosial twitter.Data yang didapat oleh Continuum telah disaring terlebih dulu dari buzzer dan BOT, sehingga dapat diperoleh pendapat dari akun akun masyarakat pada umumnya.
Dari hasil pengumpulan data, dari 18 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu 2024, saat ini terdapat 5 partai politik yang paling popular di media massa yakni : Partai Nasdem, PDIP, PKS, PKB dan Gerindra.
“Partai Nasdem menjadi partai paling popular dengan tingkat penerimaan paling tinggi dan proporsi perbincangan positif yakni 77% atau 140 ribu lebih perbincangan oleh 26.056 akun medsos,” terang Maisie Sagita
Popularitas tersebut dikarenakan Partai Nasdem dan PKS (39 ribu perbincangan) menjadi partai populer karena langkahnya yang berani menyalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dan dinilai menyelamatkan demokrasi.
Selain itu menurut Maisie, Partai Nasdem juga dianggap menyebabkan kader partai lain pindah ke Nasdem.
“Di sisi lain, publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader Partai Nasdem dan meminta untuk menyelidiki aliran dan korupsi ke partai. Publik juga curiga dengan biaya pembangunan Nasdem Tower,” ungkapnya.
Selain itu partai PKB dengan 38 ribu perbincangan juga populer karena ada narasi perbedaan dukungan di akar rumput antara mendukung Anies Baswedan dan Prabowo.
Sementara PDIP (110 ribu perbincangan positif oleh 30,785 akun medsos) meraih 71,5% tingkat popularitas positif karena Bacapres Ganjar Pranowo. Gerindra dengan 35,400 perbincangan populer karena didorong percakapan bacapres Prabowo.
Sementara 58,5% percakapan pendukung PDIP berisi dukungan kepada Ganjar Pranowo. Di sisi lain publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader PDIP. Padahal dulu PDIP memperjuangkan reformasi tetapi justru sekarang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.
PKS, partai Islam memperoleh 39,542 perbincangan oleh 14,137 akun medsos dan memperoleh positive rate 80,9%. Elektabilitas PKS menjadi semakin naik karena mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024 dan menyelamatkan demokrasi.
Namun, PKS juga dikritik karena tindakan kekerasan oleh kadernya, dan menyoroti kader PKS lain yang menolak UU tindak pidana kekerasan seksual. Isu majunya Kaesang sebagai calon Walikota Depok juga memunculkan keinginan publik untuk menyingkirkan PKS dari Depok.
Partai Gerindra, mendapat 35,350 perbincangan oleh 16,132 akun medsos. 58,1 percakapan berisi dukungan publik untuk kepada Prabowo.
“Publik juga mengapresiasi tim Gerindra yang mampu membangun citra Prabowo dengan sangat baik. Tetapi di sisi lain tindakan Prabowo yang menggandeng keluarga Jokowi menyebabkan publik menilai Gerindra gagal dalam mengkader bibit bibit dalam partai,” jelas Maisie.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto dalam paparannya menyebut dari perspektif normatif tentang Pemilu maka itu artinya berbicara ihwal demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin.
“Oleh karenanya kemudian pemilu digunakan sebagai cara bagi warga negara untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pada pemimpin,” terangnya.
Menurut Wijayanto, sayangnya, saat ini pemilu di Indonesia ditempatkan dalam konteks kemunduran demokrasi sebagaimana telah muncul banyak catatan tentang pemilu yang berlangsung dalam suasana yang hampir ditunda, dan hampir jadi 3 periode petahana presiden.
“Pemilu diiringi dengan cawe-cawe presiden yang aktif memberikan dukungannya kepada dua capres. Hal itu menimbulkan pertanyaan dan protes publik. Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya. Menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” jelasnya.
Selanjutnya Dr Wijayanto juga memberikan opini terkait riset popularitas partai, tetapi ada satu hal penting, bahwa pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara. Lalu dibicarakan juga apa solusinya.
“Dari perbicangan riset Continuum yang ada nampaknya kita terjebak pada perbincangan tentang “pacuan kuda”. Kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali,” katanya.
Menurut Wijayanto, saat ini kita tidak mendengar itu semua dari partai-partai yang bersaing. Yang muncul hanya PKS Nasdem PDIP terkenal karena mendukung bacapres-bacapres Anies atau Ganjar Pranowo. Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada. Atau populernya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai,” ujarnya.
“Seharusnya mendekati pemilu 2204 yang sisa 7 bulan lagi, ada solusi atau konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa mulai dari HAM, kemiskinan, lapangan pekerjaan, isu lingkungan dan isu isu pro publik lainnya,” tegas Wijayanto.
Sumber: Barisan.co
by lp3es2022 | Sep 30, 2021 | Demokrasi
Depok, LP3ES – Pada salah satu sesi friday course program magang LP3ES 2021, Erwan Halil berbagi pengetahuan dan pengalamannya saat terjun dan berurusan langsung dengan big data kepada para mahasiswa/i yang berasal dari berbagai kampus (Jumat, 17/09/21).
Big data sekali lagi menjadi topik yang tak bosan-bosan terus dibicarakan. Akan tetapi, Erwan mengetengahkan big data tidak dalam wadah perbincangan arus utama. Berbeda dengan perbincangan publik di media sosial yang mengangkat isu big data dalam bahasan mengenai, misalnya, bukit algoritma dan/atau artificial intelligence (AI), Erwan mencoba untuk memaparkan topik ini melalui kacamata yang lain, yang memandangnya secara lebih realistis: masalah dan manfaat dari big data yang riil atau telah ada wujudnya.
Big Data dan Jenis “Data” Lainnya
Merujuk kepada Joel Gurin (2015) [1], Erwan menjelaskan apa itu big data bersama juga dengan pengertian dari dua varian “data” yang lain yaitu open data dan government open data. Erwan menjelaskan bahwa big data merupakan jenis data yang sifatnya bervolume besar dan beragam secara format. Big data menyangkut pada data penting seperti analisa bisnis, keamanan, hingga kumpulan data saintifik yang sifatnya privat maupun terbuka.
Dalam hal ini, big data yang sifatnya terbuka digolongkan ke dalam open data. Akan tetapi, open data pada sisi yang lain juga dapat memiliki sifat volume yang kecil, tidak seperti big data yang hanya memuat data bervolume besar. Di dalam open data juga menyangkut jenis muatan yang sama seperti big data namun memiliki jenis yang lebih beragam seperti data media sosial dan lainnya. Dalam hal ini, government open data merupakan turunan dari big data dan open data yang sifatnya dapat terbuka maupun privat dan memiliki muatan utama seperti data sensus, data cuaca, hingga data kesehatan.
Persoalan Pelik : Premanisme Digital
Pada bahasan selanjutnya Erwan menjelaskan terdapat beberapa persoalan pelik yang berkaitan dengan big data dan persinggunannya kepada media sosial. Persoalan pertama yang ia kemukakan ialah menyangkut kepada pengelolaan big data oleh layanan media sosial. Pengelolaan big data yang dilakukan oleh layanan media sosial seperti Instagram, Facebook, hingga YouTube—Erwan sebut sebagai suatu yang sensitif karena dapat menciptakan polarisasi sosial. Ia menjelaskan bahwa algoritma big data yang dibentuk oleh layanan media sosial menyebabkan masyarakat sebagai pengguna menjadi melihat apa yang mereka inginkan saja, sesuai dengan apa yang terentridi dalam laman akun mereka masing-masing. Hal ini begitu rentan karena perbedaan pendapat dan ketegangan-ketegangan menjadi semakin terasa kuat di masyarakat. Setiap orang merasa bahwa ia merupakan yang paling baik dan benar, seusai dengan apa yang ia lihat di beranda media sosialnya.
Persoalan pelik kedua menurut Erwan adalah manipulasi opini publik. Big data yang terhimpun dari cuitan-cuitan orang di media sosial dapat dimanipulasi sedemikian rupa untuk membentuk opini publik tertentu. Dalam hal ini, Erwan mengatakan bahwa –premanisme digital terjadi.
Premanisme digital merupakan tindakan pembentukan opini publik oleh sekelompok pihak tertentu yang berkepentingan dan biasanya menyangkut kepada isu-isu politik. Erwan mengatakan bahwa alat dan wujud nyata dari premanisme digital ini ialah hadirnya buzzer–buzzer politik. Buzzer tersebut menggunakan banyak akun media sosial anonim dengan mencuitkan pendapat-pendapat tertentu agar suatu opini publik dapat terbentuk.
Erwan menjelaskan bahwa hadirnya buzzer–buzzer politik di media sosial sebenarnya dapat dimaklumi, karena tidak dapat dihindarkan. Ia menyebut bahwa kehadiran buzzer–buzzer politik tersebut tidak masalah selama mereka tidak menyentuh ranah untuk memengaruhi kebijakan publik.
“Kehadiran buzzer atau influencer (dalam kepentingan perlombaan politik—pen.) sebenarnya tidak apa-apa (karena sudah tidak dapat dihindarkan—pen.), asal jangan digunakan ke arah yang negatif, seperti memengaruhi kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” terang Erwan.
Mengambil Manfaat
Terlepas dari adanya persoalan pelik yang menyelimutinya, big data tetap dapat memberi manfaat. Hal itu Erwan berikan contohnya dari apa yang telah LP3ES lakukan selama ini. LP3ES telah banyak memanfaatkan big data sebagai bahan analisa untuk evaluasi dan rekomendasi kebijakan publik. LP3ES tidak memanfaatkan big data sebagai sebuah analisa algoritma, melainkan memanfaatkannya sebagai pemecah persoalan kebijakan publik dan masalah sosial. “Yang dilakukan LP3ES dalam menggunakan big data ialah menelaahnya bukan sebagai ini [menunjuk ke layar presentasi] (algoritma yang rumit—pen.), melainkan dalam konteks sosialnya,” sebut Erwan.
Salah satu program pemanfaatan big data oleh LP3ES yang Erwan jabarkan panjang lebar ialah survei pendapat masyarakat mengenai pelaksanaan kebijakan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap (2018). Dalam survei tersebut, big data opini publik dihimpun dengan menjaring data pemberitaan media online dengan memasukkan entri kata kunci “ganjil genap”. Hasilnya, 1.322 total ekspos pemberitaan tentang ganjil-genap didapatkan dengan skala waktu 1 Januari hingga 30 Desember 2018. Erwan mengungkapkan bahwa pengolahan data dengan jumlah dan skala waktu yang besar itu memakan waktu singkat namun sangat melelahkan. “Mengolah data dengan jumlah 1.322 memerlukan waktu yang panjang dan melelahkan selama 3 berturut-turut,” kata Erwan.
Hasil dari pengolahan big data untuk bahan evaluasi penerapan sistem ganjil-genap tersebut menunjukkan hasil bahwa publik cenderung menyambut positif kebijakan tersebut. Didapatkan bahwa sentimen pemberitaan menunjukkan 34,4% pandangan positif, 21,6% pandangan negatif, dan sisanya netral. Sedangkan, untuk sentimen perbincangan menunjukkan 27,4% pandangan positif, 10,1% pandangan negatif, dan sisanya netral.
Persoalan big data seharusnya dilihat dari sudut pandang yang realistis. Sudah seharusnya ada upaya yang relevan — yang memandang big data secara lebih realistis — dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk mengatasi persoalan pelik sekaligus mengambil manfaat positif yang bisa didapat dari big data. Alih-alih menguliti big data secara muluk-muluk lewat diskusi bukit algoritma atau debat ke sana ke mari soal AI, Erwan Halil dan LP3ES justru memanfaatkan big data secara lebih pragmatis. Big data diolah sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.
Catatan
[1] Gurin, Joel, “Big Data and Open Data: How Open Will the Future Be?”, I/S: A Journal of Law and Policy for the Information Society, Vol. 10:3 (2015), hlm. 691—704.
Penulis : Rahman Cahaya Adiatma, Universitas Gadjah Mada (Mahasiswa Magang LP3ES)