Depok, LP3ES – Pada salah satu sesi friday course program magang LP3ES 2021, Erwan Halil berbagi pengetahuan dan pengalamannya saat terjun dan berurusan langsung dengan big data kepada para mahasiswa/i yang berasal dari berbagai kampus (Jumat, 17/09/21).

Big data sekali lagi menjadi topik yang tak bosan-bosan terus dibicarakan. Akan tetapi, Erwan mengetengahkan big data tidak dalam wadah perbincangan arus utama. Berbeda dengan perbincangan publik di media sosial yang mengangkat isu big data dalam bahasan mengenai, misalnya, bukit algoritma dan/atau artificial intelligence (AI), Erwan mencoba untuk memaparkan topik ini melalui kacamata yang lain, yang memandangnya secara lebih realistis: masalah dan manfaat dari big data yang riil atau telah ada wujudnya.

Big Data dan Jenis “Data” Lainnya

Merujuk kepada Joel Gurin (2015) [1], Erwan menjelaskan apa itu big data bersama juga dengan pengertian dari dua varian “data” yang lain yaitu open data dan government open data. Erwan menjelaskan bahwa big data merupakan jenis data yang sifatnya bervolume besar dan beragam secara format. Big data menyangkut pada data penting seperti analisa bisnis, keamanan, hingga kumpulan data saintifik yang sifatnya privat maupun terbuka.

Dalam hal ini, big data yang sifatnya terbuka digolongkan ke dalam open data. Akan tetapi, open data pada sisi yang lain juga dapat memiliki sifat volume yang kecil, tidak seperti big data yang hanya memuat data bervolume besar. Di dalam open data juga menyangkut jenis muatan yang sama seperti big data namun memiliki jenis yang lebih beragam seperti data media sosial dan lainnya. Dalam hal ini, government open data merupakan turunan dari big data dan open data yang sifatnya dapat terbuka maupun privat dan memiliki muatan utama seperti data sensus, data cuaca, hingga data kesehatan.

Persoalan Pelik : Premanisme Digital

Pada bahasan selanjutnya Erwan menjelaskan terdapat beberapa persoalan pelik yang berkaitan dengan big data dan persinggunannya kepada media sosial. Persoalan pertama yang ia kemukakan ialah menyangkut kepada pengelolaan big data oleh layanan media sosial. Pengelolaan big data yang dilakukan oleh layanan media sosial seperti Instagram, Facebook, hingga YouTube—Erwan sebut sebagai suatu yang sensitif karena dapat menciptakan polarisasi sosial. Ia menjelaskan bahwa algoritma big data yang dibentuk oleh layanan media sosial menyebabkan masyarakat sebagai pengguna menjadi melihat apa yang mereka inginkan saja, sesuai dengan apa yang terentridi dalam laman akun mereka masing-masing. Hal ini begitu rentan karena perbedaan pendapat dan ketegangan-ketegangan menjadi semakin terasa kuat di masyarakat. Setiap orang merasa bahwa ia merupakan yang paling baik dan benar, seusai dengan apa yang ia lihat di beranda media sosialnya.

Persoalan pelik kedua menurut Erwan adalah manipulasi opini publik. Big data yang terhimpun dari cuitan-cuitan orang di media sosial dapat dimanipulasi sedemikian rupa untuk membentuk opini publik tertentu. Dalam hal ini, Erwan mengatakan bahwa –premanisme digital terjadi.

Premanisme digital merupakan tindakan pembentukan opini publik oleh sekelompok pihak tertentu yang berkepentingan dan biasanya menyangkut kepada isu-isu politik. Erwan mengatakan bahwa alat dan wujud nyata dari premanisme digital ini ialah hadirnya buzzerbuzzer politik. Buzzer tersebut menggunakan banyak akun media sosial anonim dengan mencuitkan pendapat-pendapat tertentu agar suatu opini publik dapat terbentuk.

Erwan menjelaskan bahwa hadirnya buzzerbuzzer politik di media sosial sebenarnya dapat dimaklumi, karena tidak dapat dihindarkan. Ia menyebut bahwa kehadiran buzzerbuzzer politik tersebut tidak masalah selama mereka tidak menyentuh ranah untuk memengaruhi kebijakan publik.

“Kehadiran buzzer atau influencer (dalam kepentingan perlombaan politik—pen.) sebenarnya tidak apa-apa (karena sudah tidak dapat dihindarkan—pen.), asal jangan digunakan ke arah yang negatif, seperti memengaruhi kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” terang Erwan.

Mengambil Manfaat

Terlepas dari adanya persoalan pelik yang menyelimutinya, big data tetap dapat memberi manfaat. Hal itu Erwan berikan contohnya dari apa yang telah LP3ES lakukan selama ini. LP3ES telah banyak memanfaatkan big data sebagai  bahan analisa untuk evaluasi dan rekomendasi kebijakan publik. LP3ES tidak memanfaatkan big data sebagai sebuah analisa algoritma, melainkan memanfaatkannya sebagai pemecah persoalan kebijakan publik dan masalah sosial. “Yang dilakukan LP3ES dalam menggunakan big data ialah menelaahnya bukan sebagai ini [menunjuk ke layar presentasi] (algoritma yang rumit—pen.), melainkan dalam konteks sosialnya,” sebut Erwan.

Salah satu program pemanfaatan big data oleh LP3ES yang Erwan jabarkan panjang lebar ialah survei pendapat masyarakat mengenai pelaksanaan kebijakan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap (2018). Dalam survei tersebut, big data opini publik dihimpun dengan menjaring data pemberitaan media online dengan memasukkan entri kata kunci “ganjil genap”. Hasilnya, 1.322 total ekspos pemberitaan tentang ganjil-genap didapatkan dengan skala waktu 1 Januari hingga 30 Desember 2018. Erwan mengungkapkan bahwa pengolahan data dengan jumlah dan skala waktu yang besar itu memakan waktu singkat namun sangat melelahkan. “Mengolah data dengan jumlah 1.322 memerlukan waktu yang panjang dan melelahkan selama 3 berturut-turut,” kata Erwan.

Hasil dari pengolahan big data untuk bahan evaluasi penerapan sistem ganjil-genap tersebut menunjukkan hasil bahwa publik cenderung menyambut positif kebijakan tersebut. Didapatkan bahwa sentimen pemberitaan menunjukkan 34,4% pandangan positif, 21,6% pandangan negatif, dan sisanya netral. Sedangkan, untuk sentimen perbincangan menunjukkan 27,4% pandangan positif, 10,1% pandangan negatif, dan sisanya netral.

Persoalan big data seharusnya dilihat dari sudut pandang yang realistis. Sudah seharusnya ada upaya yang relevan — yang memandang big data secara lebih realistis — dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk mengatasi persoalan pelik sekaligus mengambil manfaat positif yang bisa didapat dari big data. Alih-alih menguliti big data secara muluk-muluk lewat diskusi bukit algoritma atau debat ke sana ke mari soal AI, Erwan Halil dan LP3ES justru memanfaatkan big data secara lebih pragmatis. Big data diolah sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.

Catatan

[1] Gurin, Joel, “Big Data and Open Data: How Open Will the Future Be?”, I/S: A Journal of Law and Policy for the Information Society, Vol. 10:3 (2015), hlm. 691—704.

Penulis : Rahman Cahaya Adiatma, Universitas Gadjah Mada (Mahasiswa Magang LP3ES)

Share This