Korea Utara baru-baru ini dilaporkan telah mengirim 3.000 pasukan ke wilayah Kursk Rusia. Sejak berperang dengan Ukraina, Rusia telah kehilangan sekitar 600.000 tentaranya. Sementara 70.000 tentara Ukraina tewas sejak memulai peperangan konvensional dengan Rusia. Pertempuran berdarah-darah yang merugikan dan menewaskan ribuan jiwa selalu menorehkan luka sejarah terbesar dalam peradaban manusia. Bencana kemanusiaan macam ini telah dinarasikan dalam perang Baratayudha epos Mahabarata. Terus bergulir dalam tragedi dari Yunani, Crusade sampai proyek 3G yang melahirkan gelombang kolonialisme mondial sampai awal Abad ke-21. Adakah semangat patriotisme di dalam benak mereka? Patriotisme macam apakah itu jika pertempuan diciptakan sebagai sarana mengakuisi perluasan pengaruh politik dan melampiaskan nafsu berkuasa seseorang?
Antara Pseudo Patriotisme dan Rasa Cinta Tanah Air
Kematian orang-orang di dalam perang telah lama dianggap patriotik, sejauh itu dilakukan dengan sadar dan berani karena rasa cintanya kepada tanah air. Namun tidak sedikit pula serdadu-serdadu korban peperangan merasa gamang dan trauma bahkan frustasi karena merasa sia-sia. Pertempuran baginya hanyalah medan laga di mana tidak ada pilihan selain karena kepatuhan otoritatif. Pada tataran ini, serdadu-serdadu gagal membangun semangat patriotisme akibat dari patriotisme yang diindoktrinasikan selama masa formasi. Terlebih ketika serdadu harus ke medan pertempuran bukan karena membela tanah airnya. Konsepsi patriotisme semacam ini menjadi sangat problematis. Terutama ketika patriotisme selalu dikaitkan dengan tindakan fasisme, perlawanan terhadap hak asasi manusia, penaklukan dan penguasaan medan tempur, kekejaman, atau kematian. Patriotisme macam ini merupakan skema subjugasi otoritas, di mana instrumen-instrumen otoritas memanfaatkan dan memperdaya rasa cinta tanah air warga negaranya untuk kepentingan perluasan kekuasaan politik serta ekspresi otoritariannya yang pragmatis dan narsistik.
Patriotisme seperti ini merupakan pola-pola eksploitasi klasik yang maknanya sudah harus didekonstruksi karena ini merupakan pseudo patriotisme dan serupa dengan perbudakan. Hal ini tampak dalam perjalanan sejarah Eropa di mana Kanselir Jerman Hitler telah berhasil mengagitasi publik Jerman dengan membangun dan mengatasnamakan semangat ultranasionalisme Jerman untuk merebut spirit patriotisme di hati rakyat Jerman dan menjadi bagian dari alat kekuasaan Nazi menaklukan Eropa.
Era kontemporer menegaskan peralihan paradigma dari era kolonial dan postkolonial klasik ke era digital di mana subjektivitas diri, dan konsepsi batas-batas spasial, visual dan kebenaran-kebenaran kategoris senantiasa dipertanyakan, berganti dan menemukan bentuk dan makna barunya. Karenanya doktrin perang juga bergeser, dari model perang konvensional ke model perang nonkonvesional yang asimetris, proxy, dan cybernetics. Lantas, bagaimana dengan tokoh-tokoh kunci tak bersenjata yang dengan kiprahnya berhasil menanamkan rasa cinta tanah air sekaligus mencegah terjadinya perang dan pertumpahan darah?
Tantangan Kultural
Selain itu, ada hal penting dan mendesak untuk disadari dan dipahami bersama tentang persoalan kultural yang dihadapi generasi digital berkaitan dengan multiplikasi dampak konsumerisme, hedonisme, proyek genome, fundamentalisme teroris dan pragmatisme yang terjadi secara global. Pornografi atau judi online yang juga sudah mulai terjadi di desa-desa di Indonesia—sebagai salah satu bentuk persoalan kultural di atas—telah dilegitimasi oleh liberalisme menjadi semacam hak individu yang dianggap secara personal menguntungkan dan menyenangkan. Data statistik tahun 2023 menyebutkan, Kominfo telah menangani 3,7 juta konten negatif mulai pornografi sampai judi online, di mana 1,9 juta di antaranya adalah pemblokiran konten pornografi. Persoalan ini tentu tidak hanya berdampak pada moral kebangsaan, tetapi juga ekonomi kebangasaan bahkan pertahanan negara. Nilai transaksi judi online di Indonesia pada 2023 sebesar Rp 327 triliun, melejit 8,136,77% dari tahun 2018. Di hadapan ini semua, menarik untuk mengkaji ulang patriotisme yang tentu akan memiliki karakter dan identifikasi makna yang berbeda di era imperialisme kultural. Penyelamatan generasi muda dari jerat narkotika, pornografi serta judi online merupakan proyek-proyek pertahanan negara yang di dalamnya juga membutuhkan pola-pola patriotisme nonmiliteristik.
Bertalian dengan femomena tersebut serta ancaman pertahanan negara, makna patriotisme hendaknya dapat diperluas dari spektrum keserdaduan yang doktriner ke wilayah pembangunan kesadaran kultural yang mensyaratkan kepekaan sosial, kedewasaan pola bernalar dan berperilaku. Untuk itu, nilai-nilai keberanian dan keyakinan diri berkorban demi rasa cinta Tanah Air perlu menjadi bagian dari strategi kebudayaan dalam formasi identitas di kalangan pelajar dan pemuda. Proses formasi identitas ini seperti ditegaskan oleh Ericson membutuhkan moratorium psikologis di mana orang-orang muda dalam membangun konsep identitas dirinya dapat secara bebas mengakuisisi nilai-nilai, keyakinan dan keteladanan. Jangan sampai formasi identias orang muda itu diisi oleh nilai-nilai destruktif, imaji pornografis, serta teladan narsistik. Hal ini jauh lebih strategis daripada sekadar terjebak pada konsep megalomania serdadu. Serdadu-serdadu tanpa semangat patriotisme otentik adalah jiwa-jiwa fasis yang narsistik dan berbahaya. Mereka tidak lebih dari centeng-centeng tanpa daya kritis dan hati nurani yang hanya mampu menginternalisasi kepentingan tertinggi berdasarkan perintah atasan semata, tidak ada lain.
Reorientasi Patriotisme
Fakta menarik, presiden terpilih Prabowo, telah dilantik dan mulai kepemimpinannya sebagai Presiden Indonesia ke-8. Seiring dengan itu, seperti diberitakan Kompas, 26 Oktober 2024, interior Istana Kepresidenan Jakarta juga ditata sesuai dengan preferensi dan visi politik Presiden Prabowo. Interior Istana dilengkapi dengan koleksi senjata dan lukisan tokoh-tokoh perjuangan dan pergerakan kemerdekaan. Representasi senjata dan lukisan dalam Istana Kepresidenan dipercaya dapat membangkitkan semangat patriotisme dan rasa cinta Tanah Air. Ada semacam keterkaitan dan kesinambungan semangat dan cita-cita luhur perjuangan para pahlawan dengan perjuangan pemerintah saat ini demi terwujudnya cita-cita luhur dan kemajuan nusa dan bangsa.
Selain mereorientasi semangat patriotisme dengan bahasa simbol melalui lukisan maupun koleksi senjata di Istana Negara, sudah saatnya pemerintah juga mengidentifikasi kekuatan kultural beserta nilai-nilai esensialnya sebagai bagian dari kebutuhan dasar membangun pendekatan adaptatif kontemporer. Pemerintahan Presiden Prabowo dapat merancang pola-pola kaderisasi kaum muda sipil dan militer menggunakan nilai-nilai patriotisme yang lebih konstruktif dan humanis. Dengan mempertimbangkan karakteristik lingkungan dan kebudayaan kontemporer yang kompleks, pemerintah dapat melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi patriotisme secara lebih responsif dan kolaboratif.
Kemungkinan ini perlu dipertimbangkan mengingat kecendrungan membangun semangat patriotisme dengan doktrin militer konvensional sebagai arus utama patriotisme berisiko memunculkan persoalan baru, mulai dari resistensi sipil, instabilitas politik sampai tantangan temporalitas kultur digital. Persoalan baru ini akan menghabiskan waktu dan berbiaya tinggi baik secara psikologis maupun ekonomis terutama bertalian dengan formasi identitas orang muda. Tawaran mempertimbangkan nilai-nilai humanisme dan keluhuran kekuatan kultural lokal untuk melengkapi doktrin militer modern merupakan pilihan strategis.
Mereorientasi prinsip-prinsip dominasi, penaklukan dengan senjata dan kekerasan kepada konsesi pembangunan kesadaran, tanggung jawab bersama serta pola kerjasama partisipatif sebagai tawaran maupun alternatif baru resolusi konflik merupakan tantangan kultural baru bagi pembangunan semangat patriotisme. Seorang patriot di era digital dengan karakter teknosains merupakan sosok pemberani yang humanis dengan menjadikan kesadaran dan rasionalitas kritis sebagai salah satu fondasi kulturalnya, ketimbang mengangkat senjata atau menghunus pedang. Hal ini dibutuhkan untuk mengartikulasikan karakteristik realitas sosial ke dalam transformasi sosial tanpa meninggalkan norma-norma kultural lokal di tengah arus global. Bukan tidak mungkin, pola kultural patriotisme macam ini juga terdapat pada agen-agen perdamaian tak bersenjata yang mencegah kekerasan, peperangan dan kematian terus terjadi.
Kebangkitan Nasional dan Getar-gatar Patriotisme tak Bersenjata
Sumpah Pemuda 1928 yang baru kita peringati merupakan sebuah tanda zaman dengan makna patriotisme dan emansipasi yang sangat esensial dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Bukan hanya nama-nama WR. Supratman, Mohammad Yamin, Johanes Leimena atau Amir Syarifudin yang kemudian menjadi tokoh nasional pergerakan kemerdekaan yang kita kenal. Lebih dari itu, semangat dan visi liberatif tokoh-tokoh tersebut menjadi kekuatan humanis yang menginspirasi kita untuk merekonstruksi pola-pola patriotisme nonmiliteristik yang konstruktif. Sebagai bagian masyarakat sipil tak bersenjata sejak 1908, kiprah Boedi Oetomo membangun semangat kemerdekaan melalui pendidikan, persatuan, kebangsaan, gotong royong dan keindonesiaan juga merupakan kebangkitan kultural yang dibakar oleh keberanian dan rasa cinta Tanah Air yang otentik dan bernalar. Demikian halnya, Mohammad Hatta melalui narasi liberatifnya “Tuntutan Nasional” yang diterbitkan dalam Indonesia Merdeka periode 1924-1925 menegaskan pentingnya kekuatan dan imaji patriotisme publik untuk mewujudkan kemerdekaan dan menaklukan imperialisme. Sebagai masyarakat sipil tak bersenjata, Bung Hatta, Bung Karno dan tokoh pendiri bangsa telah membuktikan bahwa kesadaran kultural untuk merdeka yang dibangun melalui narasi liberatif, perjuangan politik, dan pengorbanan-pengorbanannya yang tidak terhitung bagi bangsa Indonesia merupakan representasi patriotisme masyarakat sipil yang epic, dan strategis.
Kesimpulan
Konsepsi patriotisme kontemporer dipengaruhi oleh karakter kultur setiap zaman. Digitalitas dengan intensitas dominasi teknosains dalam realitas sosial hari-hari ini patut dipertimbangkan sebagai unsur formatifnya. Kesadaran dan kebangkitan kultural melalui semangat patriotisme kontemporer merupakan hal yang sangat penting mengingat kolonialisme klasik telah menjadi imperialisme kultural. Patriotisme macam ini merupakan representasi tanggung jawab etis setiap individu terutama yang menyangkut etos nonresiprokal dan tanggung jawab tanpa pamrih. Tanggung jawab yang muncul karena panggilan hati nurani sebagai respons keberpihakan dan keprihatinan sosial atas dasar cinta Tanah Air. Dengan demikian, secara ontologis patriotisme merupakan bentuk transformasi nilai dari hubungan dan identitas intersubjektif yang di dalamnya “saya” merupakan bagian dari yang lain; negara, masyarakat, lingkungan dan sesama manusia. Reorientasi semangat patriotisme dari yang doktriner ke yang otentik sebagai gerakan kultural di kalangan masyarakat sipil tak bersenjata merupakan upaya strategis bagi perluasan benteng pertahanan semesta. Dengan itu pula, semangat patriotisme merawat kemanusiaan, memajukan bangsa serta mengupayakan resolusi konflik dengan opsi perdamaian yang berkesinambungan.*
Penulis: Andre Bahariyanto
Bibliografi
Hatta, Mohammad. 2024. Kebangsaan dan Kerakyatan. Buku 1 Karya Lengkap Bung Hatta (KLBH). Jakarta: LP3ES Jakarta.
Sugiharto, Bambang. 2023. Kebudayaan dan Kondisi Post Tradisi. Jakarta: Kanisius.
Zastrow & Karen. 1989. Understanding Human Behaviour and the Social Environment. Nelson Hall Chicago.
Website
https://www.bbc.com/news/world-europe-68397525. Diakses 30 Oktober 2024 pukul 14:14.
https://www.kompas.com/global/read/2024/10/30/105456570/nato-dan-as-konfirmasitentara-korea-utara-telah-dikerahkan-ke-kursk-rusia. Diakses 30 September 2024 pukul 13:14.
cnbcindonesia.com
databoks.katadata.co.id
kompas.id