Wollandia ini perwujudan mokondo era kolonial. Ia miskin melarat. Menikahi Hindania, sang jelita yang saat malam rumahnya diterangi berjuta-juta permata berkilauan, demi mengeruk hartanya saja. Jangan harap ia menyayangi anak-anak Hindania dari pernikahan sebelumnya dengan seorang Brahmana dari India. Wong buah hatinya sendiri saja ia telantarkan di daerah asalnya.
Seiring dewasanya anak-anak Hindania, mereka mulai ngeh akan perlakuan fatherless itu dan berani memprotesnya. Si ayah angkat bejat meresponsnya dengan bersiasat. Wollandia lantas mencoba bermulut manis. Sedikit-sedikit, ia jadi mau membelikan mainan dan mengabulkan permintaan anak-anak angkatnya. Tentunya, itu Wollandia lakukan agar mereka tak merajuk dan ibunya tak jauh dari peluk.
Penulisnya belum sempat memperbarui cerita tersebut dengan happy ending. Spill sedikit saja, 25 tahun sejak cerita ini mulai diketahui publik, Hindania akhirnya bisa lepas dari mokondo satu itu.
Kisah Hindania dan Wollandia ini pertama kali tersiar pada Januari 1920 dalam majalah Jong Sumatra. Judulnya, Nasib Hindania.[1] Mereka tak sepenuhnya rekaan, karena kreatornya memang berangkat dari “otobiografi” sebuah negara yang sedang berupaya lepas dari jerat Kolonialisme: Indonesia.
Saya terkejut campur kagum ketika tahu siapa pencipta satire itu. Ternyata, Mohammad Hatta! Makin kaget ketika tahu bahwa Nasib Hindania adalah tulisan pertama Bung Hatta yang ditulis saat masih berusia 17 tahun!
Sejak kecil, saya paham kalau Bung Hatta itu Bapak Bangsa yang penuh isi kepalanya. Namun, Bung Karnolah yang lebih lekat dengan karakter penyambung lidah rakyat – istilah bekennya, storyteller. Jujur, tidak terbayangkan sebelumnya, image Mohammad Hatta sebagai satiris bakal termaktub dalam kepala saya.
Yang jelas, ini makin menegaskan bahwa patriotisme dalam jiwa dan pikiran Hatta sudah membara sejak muda. Perwujudan rasa cinta terhadap negaranya telah ia tempuh lewat berbagai cara konkret, dari jalur diplomasi, ragam sumbangan pemikiran bidang politik sampai ekonomi, termasuk mockery.
Sekilas, kiprah aktivisme awal Bung Hatta ini mirip dengan founding father Amerika Serikat, Benjamin Franklin. Karirnya sebagai penulis dan pemikir berawal dari menulis kolom satire di media yang dikelola kakaknya, The New-England Courant. Franklin mengkritik secara humoristis kehidupan di era Kolonialisme Inggris kala itu – dari produk pendidikan penjajah hingga kesewenangan penguasa – dalam usia yang begitu belia: 16 tahun.
Sejumput Satire Bung Hatta
Satire layak digolongkan sebagai manifestasi Patriotisme. Sebab, meminjam konsep profesor University of Hawai’i, James Caron,[2] satire punya kekuatan metanoia – istilah dari bahasa Yunani yang berarti “perubahan pikiran”. Tak ayal, jenis humor ini selain cocok untuk menularkan kesadaran baru, juga pemahaman yang lebih mendalam kepada orang lain.
Karena fungsinya lebih dari sekadar menghibur, jeroan satire pun khas. Dari hasil “autopsi” Caron, satire terdiri dari empat elemen: kritik, agresivitas, unsur main-main, dan tawa.[3]
Kritik adalah embrionya satire. Jadi, sebelum membuat satire, harus ada dan terasa dulu kondisi yang menyebalkan, memuakkan, bahkan menyakitkan yang hendak disoroti. Tentunya, kondisi itu kemudian direkam dalam pikiran maupun catatan dengan harapan ada perubahan dan perbaikan.
Kritik tak mungkin lahir sendiri. Pasti, agresivitas yang lazimnya berbentuk emosi negatif juga akan menyertainya. Sangat manusiawi jika kita menemukan bahan buat mengkritik berbarengan dengan rasa marah, sedih, cemas, cemburu, putus asa, dan semacamnya. Emosi-emosi negatif inilah yang berguna sebagai bahan bakar supaya kita berani memuntahkan kritik-kritik itu dan memperjuangkannya sampai menang.
Nah, elemen selanjutnya ini yang paling krusial. Apabila kritik dan agresivitas dipertontonkan secara gamblang, hasilnya tidak akan berbeda dengan orang ngedumel sendiri dan ranting di media sosial. Kritikan “mentah” ini juga rentan membuat pihak yang disenggol risih hingga marah.
Untuk bisa menjadi satire, kritik dan agresivitas perlu disampaikan dalam mode bermain (play). Unsur main-main akan mendorong kita untuk bergerak mencari metode penyampaian kritik yang tidak terlalu nyelekit – entah itu lewat medium tertentu, permainan bahasa, atau teknik lainnya.
Begitu tiga elemen tadi sudah coba dihadirkan, ada kemungkinan elemen terakhir bakal muncul: tawa. Di antara humor lain, satire dikecualikan. Kewajibannya bukan untuk membuat orang lain ngakak kencang alias LOL (laugh-out-loud), tetapi cukup sampai digelitikkan kecil atau LOI (laugh-on-the-inside) saja.[4]
Sepanjang hidupnya, Bung Hatta masih punya sejumput satire monumental; setidaknya, ada dua lagi selain Nasib Hindania. Yang pertama, ketika ia membacakan pledoi di Pengadilan Belanda, 9 Maret 1928.
Alkisah, akibat kegiatan dan pemikirannya di Perhimpunan Indonesia yang dianggap membahayakan Pemerintah Kolonial, Mohammad Hatta dijebloskan ke penjara Den Haag pada 23 September 1927. Bukannya pasrah, Mohammad Hatta – yang kala itu berstatus mahasiswa – justru makin getol mencari pembelaan atas perjuangannya memerdekakan bangsanya sendiri.
Dalam naskah pledoinya bertajuk Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka, ia menyindir Pemerintah Kolonial dengan menyebutnya sebagai “Negara Grotius”. Belanda sendiri mengklaim sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hukum universal, seperti dipelopori oleh seorang ahli hukum mereka bernama Hugo Grotius.
Namun nyatanya, pemerintah kolonial Belanda justru melanggar prinsip-prinsip tersebut dengan menindas rakyat Indonesia. Satire “Negara Grotius” adalah upaya Mohammad Hatta dalam menunjukkan tindakan Belanda yang bertolak belakang dengan prinsip keadilan yang begitu mereka elukan. Ia kemudian dibebaskan dua minggu berselang.
Sementara itu, satire ikonik kedua Bung Hatta terjadi setelah kemerdekaan berhasil diraih. Jengah “menjaga dari dalam”, ia akhirnya mundur sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Sejak itu pula, ia mengawal rezim Soekarno dari luar.
Bung Hatta sebenarnya angkat topi pada Bung Karno yang begitu karismatik dan jago menggerakkan rakyat. Akan tetapi, ia juga sadar akan sisi negatifnya.
Bung Hatta[5] lantas menyindir Bung Karno dengan meminjam tokoh iblis dari cerita Faust karya sastrawan kondang Jerman, Johann von Goethe, Mephistopheles. Bedanya, kalau Mephistopheles adalah ein Teil jener Krafte, die stets das Gute schafft (figur yang selalu menginginkan hal buruk, tetapi pada akhirnya selalu menghasilkan hal baik), Soekarno kebalikannya.
Versi Bung Hatta, tujuan Bung Karno selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya justru berseberangan dengan tujuan itu. Ia merasa, sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno (1959-1965) sangat bertentangan dengan mimpi yang dulu diperjuangkan bersama segenap bangsa Indonesia. Alhasil, yang terasa justru simbolisme diri Soekarno alias diktatorisme, bukan penguatan demokrasi.
Lewat 800-an judul karya tulisnya dan entah berapa banyak panggung pidato yang telah dijejakinya semasa hidup, Bung Hatta tentunya sangat kapabel dalam menyampaikan kritik. Walau begitu, nyatanya ia tak selalu menyampaikannya secara brutal. Ada kalanya, kritikannya dibalut dengan istilah dan perumpamaan yang lebih lembut – berdasarkan bibliografi bacaannya yang luas – agar yang “dijiwit” tidak terlalu kesakitan atau jenggotnya kebakaran.
Perjumpaan dengan sisi patriotisme Bung Hatta yang belum banyak diungkap ini membahagiakan saya secara pribadi. Sebab dari jauh, Bung Hatta seperti bukan manusia. Ia bak Übermensch, karena terlalu ideal – terutama dalam hal kecintaannya terhadap bangsa, ide-ide progresifnya di berbagai bidang, hingga standar moralitasnya yang tinggi sebagai pejabat publik.
Namun, ketika tahu sendiri jika ia ternyata juga manusia biasa yang punya sentuhan humor lagi lihai bersatire, setidaknya ada satu tali yang erat mengikat Bung Hatta dengan saya serta segenap bangsa Indonesia: Selera humor yang menggelora itu ada dalam DNA kita semua.*
Penulis: Ulwan Fakhri
Bibliografi
Caron, J. 2021. Satire as the Public Sphere: Postmodern “Truthiness” and Civic Engagement. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press.
Hatta, M. 1960. Demokrasi Kita. Jakarta: Pandji Masjarakat.
――――. 1998. Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan, Buku 1. Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta.
――――. 2000. Karya Lengkap Bung Hatta: Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku 2. Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta.
[1] Mohammad Hatta, Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan, Buku 1, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta, 1998), hlm.4-6.
[2] James Caron, Satire as the Public Sphere: Postmodern “Truthiness” and Civic Engagement, (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2021), hlm.26.
[3] Ibid., hlm.23-25.
[4] Ibid., hlm.30.
[5] Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, (Jakarta: Pandji Masjarakat, 1960), hlm.20. Judul yang sama dimuat dalam Mohammad Hatta, Karya Lengkap Bung Hatta: Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku 2, (Jakarta: Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta, 2000), hlm.426-440.