Menganakemaskan sektor pertambangan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, investasi dan keuangan nasional tanpa diikuti perbaikan tata kelola justru berdampak buruk terhadap lingkungan, merugikan masyarakat lokal bahkan mengancam hak generasi emas Indonesia.
Tata Kelola tambang yang buruk selain memicu konflik juga akan mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya alam sehingga mengambil hak generasi mendatang. Praktek pertambangan seperti ini tidak mendatangkan keadilan antar generasi.
“Keadilan antar generasi ini penting sehingga kedepan pastikan hak generasi mendatang tidak dirampok oleh generasi saat ini sehingga yang lahir bukan generasi emas tetapi generasi cemas” ujar Faisal Basri, ekonom INDEF dalam webinar LP3ES yang mengangkat tema Sketsa Masa Depan Lingkungan dan Tata Kelola Pertambangan Pasca-Pemilu 2024 (27/09/23)
Menurutnya generasi muda harus memiliki agenda bersama untuk bicara lebih lantang tentang hak mereka kedepan untuk mewujudkan generasi emas.
“Agenda bersama ini penting mengingat sistem politik yang mengarah kepada bentuk oligarki tidak bisa diharapkan untuk terjadinya perubahan. Hampir semua elit politik dari partai yang berkuasa memiliki jaringan ke bisnis tambang seperti batu bara” tambah Faisal Basri
Dalam kesempatan yang sama, direktur eksekutif Yayasan Madani, Nadia Hadad menyampaikan selain tidak adanya keadilan distributif, kelompok masyarakat rentan terdampak paling besar akibat tata kelola lingkungan yang buruk karena kelompok ini tidak menjadi bagian dari pengambilan keputusan.
“Kebijakan yang dihasilkan sudah cukup banyak namun ada banyak kontradiksi didalamnya dan juga tidak dijalankan dengan baik sehingga dibutuhkan sinergitas perencanaan dan kebijakan untuk menjamin hak-hak masyarakat agar tidak menjadi korban” terang Nadia Hadad.
Terkait dengan lemahnya penegakan hukum lingkungan ini, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara periode 2009-2021, Muhammad Endang SA membenarkan bahwa fakta di lapangan meskipun sudah ada keputusan hukum namun aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan masih terus berlanjut.
“Tata kelola pertambangan yang buruk menyebabkan Sulawesi Tenggara dengan cadangan nikel terbesar di Indonesia namun sayangnya tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Sultra” terang Muhammad Endang SA yang juga ketua DPD Partai Demokrat provinsi Sulawesi Tenggara.
Menurutnya ditengah bombastisnya tambang nikel di Sultra tidak sebanding dengan Dana Bagi hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi dampak kerusakan dari aktivitas pertambangan.
Lebih lanjut Muhammad Endang SA menyampaikan praktek-praktek pertambangan di Sulawesi Tenggara seperti perampasan lahan masyarakat, penggunaan dana reklamasi yang tidak transparan, standar upah yang tidak adil antara pekerja lokal dan pekerja cina, lokasi pertambangan yang tidak bisa diakses pemerintah daerah, serta tidak adanya pengawasan produksi.
“Jika kondisi ini terus terjadi Sultra bisa menjadi Papua Kedua untuk itu dalam waktu dekat jika memungkinkan akan digelar kongres rakyat untuk merespon pertambangan di Sultra ini” terang Muhammad Endang SA
Menanggapi hal ini Faisal Basri menyambut baik rencana kongres rakyat Sultra untuk merespon pertambangan yang 95% PDRB nya mengalir ke luar daerah.
“Pastikan pengelolaan kekeyaan alam dinikmati oleh rakyat, masuk APBD dan sisihkan untuk tabungan generasi emas Indonesia kedepan” tutup Faisal Basri
Menanggapi isu yang berkembang dalam tata kelola lingkungan dan pertambangan, Direktur LP3ES, Fahmi Wibawa menyampaikan pentingnya untuk segera menerapkan strategi pengelolaan tambang yang berkelanjutan dan restoratif sehingga dapat meminimalisir dampak kerusakan lingkungan dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.