Pencapaian target pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan PSN lainnya di Indonesia diharapkan tidak membuat masyarakat adat dan lokal terusir dari tanah kelahirannya. Masyarakat adat jangan dijadikan korban pembangunan PSN.

Menurut koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk dalam diskusi bertajuk Sketsa Masa Depan Pembangunan IKN dan PSN Pasca-Pemilu 2024 yang diselenggarakan oleh LP3ES (13/09/2023), relokasi bukan solusi yang adil bagi masyarakat adat yang memiliki ketergantungan hidup pada Alam dan keterikatan dengan leluhur (situs sejarah).

Saiduani Nyuk mencontohkan pada pembangunan PSN Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, dimana seluruh wilayah Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara masuk dalam wilayah IKN. Relokasi komunitas masyarakat adat pada kawasan ini sama artinya dengan upaya genosida masyarakat adat yang memiliki ketergantungan dan kepentingan yang tinggi terhadap Akses Ruang Hidup, Tradisi, Kebudayaan, Situs-situs Sejarah dan Spritual.

Sebagaimana diketahui,  terdapat 51 Komunitas Masyarakat Adat yang tersebar kabupaten Penajam Paser Utara dan kabupaten Kutai Kertanegara yang menjadi kawasan IKN. Sehingga penting bagi pemerintah dan stakeholder lainnya untuk memastikan masyarakat adat mendapat haknya dan tidak terusir dari tempatnya.

“Masyarakat adat tidak menolak IKN tapi masyarakat adat menolak di relokasi dari tanah kelahirannya. Namun hingga saat ini tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memastikan jaminan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat” terang Saiduani Nyuk

Dalam kesempatan yang sama, Dosen dan Peneliti Fakultas Kehutanan Universitas, Prof. Mustofa Agung Sardjono menyampaikan pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan PSN yang terkesan “dipaksa dipercepat” cenderung tidak mempertimbangkan aspek sosial yang sensitive sehingga kurang mendapat penanganan yang serius untuk diselesaikan.

Menurutnya, selain persoalan eksistensi masyarakat adat, isu sosial lainnya yang juga perlu diselesaikan dengan tuntas yaitu terkait potensi eksodus migran dalam kaitannya dengan perekonomian dan identitas kultural, serta potensi Kerawanan konflik vertical dengan investor dan konflik horizontal dengan kelompok masyarakat akibat dari asimilasi yang tidak berjalan dengan optimal.

“problem social sensitive ini harus diselesaikan segera sehingga tidak menjadi beban masalah baru dikemudian hari” terang Prof. Mustofa Agung Sardjono.

Terkait dengan atraktivitas yang ditawarkan pada kawasan IKN seperti Forest City, menurut Prof. Mustofa Agung Sardjono masih sulit untuk dibayangkan model yang akan dikembangkan dengan mempertimbangkan kondisi real yang ada saat ini seperti keberhasilan rehabilitasi hutan dengan jenis local endemik  sangat minimal, risiko konflik antara manusia vs satwa masih sering terjadi, serta status lahan dan fungsi hutan yang akan dikenakan terhadap kawasan hutan yang terbangun pada konsep Forest/Sponge City.

Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa menyampaikan ambisi untuk mewujudkan IKN sebagai salah satu smart city, smart metropolis dan forest city pertama di dunia tidak lantas mengabaikan fenomena tuntutan masyarakat adat sekitar IKN tersebut, terlebih pembangunan IKN diharapkan mampu membuka potensi ekonomi wilayah Kalimantan khususnya, mendorong pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja dan mengurangi  kemiskinan.***

Share This