Minggu lalu, pada tanggal 22-23 Mei 2023, Bappenas menyelenggarakan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2023, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 (https://www.youtube.com/watch?v=lZHnMdHLS74). Kegiatan maha penting ini luput dari perhatian publik ditengah hingar bingar road show yang dilakukan para bakal calon Presiden dalam mencuri perhatian publik. Padahal menurut UU Pemilu, para pasangan Capres harus mengadopsi RPJPN 2025-2045 ini dalam visi dan misi mereka.
Event ini dimaksudkan supaya jalannya pembangunan dapat terarah, terpadu dan memiliki sasaran utama dan sasaran antara yang jelas dan konkret, dalam menjawab kebutuhan bangsa ke depan. Cita-cita dan tujuan Indonesia merdeka di 100 tahun pada tahun 2045 nanti, dipastikan akan menghadapi tantangan yang makin berat dan kompleks. Di pentas global (aspek eksternal), Indonesia harus tampil sebagai bangsa yang berdaya saing, pelaku utama dan bukan sekadar penggembira. Pada tataran internal, Indonesia harus menjadi bangsa yang mandiri dan maju. Sejalan dengan itu, bangsa dengan kualifikasi seperti ini harus mencerminkan keadilan dan kemakmuran dalam setiap aspek kehidupan, agar kue pembangunan terbagi rata. Lebih rinci, segenap rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan, lapangan pekerjaan, mengemukakan pendapat dan bereskpresi di muka umum, melaksanakan hak politik, mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum, dan memperoleh kehidupan yang lebih baik, yang tercermin dari peningkatan taraf kesejahteraan sosial ekonomi.
Kata kunci rancangan pembangunan dalam upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045, adalah Transformasi. Langkah reformasi saja tidak cukup, melainkan perlu diperkuat dengan transformasi menyeluruh di berbagai bidang pembangunan. Transformasi ini penting untuk mewujudkan pembangunan yang kompetitif, didorong oleh produktivitas tinggi yang inklusif dan berkelanjutan. Fokus utama transformasi meliputi aspek sosial, ekonomi dan tata kelola. Transformasi dapat berjalan baik ditopang kuatnya landasan stabilitas nasional yang meliputi supremasi hukum, demokrasi substansial, keamanan nasional, dan stabilitas ekonomi untuk situasi dalam negeri yang kondusif serta diplomasi tangguh untuk memperkuat peran di kancah internasional. Supremasi hukum menjamin kepastian hukum dan keadilan, sementara demokrasi substansial menghasilkan pemerintahan efektif dan responsif. Keamanan Nasional yang kuat melindungi negara dan menciptakan lingkungan aman, sedangkan stabilitas ekonomi mendukung kesejahteraan masyarakat. Ketika keempat aspek ini stabil, negara akan memiliki pondasi yang kuat untuk melaksanakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, menarik investasi, menciptakan pekerjaan yang layak, dan mengalokasikan sumber daya secara efektif.
Para cendekiawan memahami pembangunan tidak sebatas pertumbuhan ekonomi dan ukuran-ukuran modernisasi lainnya seperti urbanisasi maupun industrialisasi. Lebih dari itu, pembangunan pada hakikatnya mencakup hal-hal yang lebih luas seperti pemerataan, kemajuan kemanusiaan, lingkungan hidup, demokrasi, pranata sosial, serta nilai-nilai budaya dan peradaban. Bila pembangunan hanya sekadar untuk menjawab tantangan bangsa melalui proses modernisasi, maka hasilnya cenderung hanya akan melejitkan para elite, melanggengkan hegemoni oligarki, sementara kelas bawah akan tetap tertinggal akibat makin melebarnya ketimpangan.
Ekonom pembangunan peraih Nobel, Amartya Sen berpandangan bahwa kemakmuran sebuah bangsa dapat tercapai bila berbasis pada kekuatan masyarakat yang yang berdaya. Artinya, kemakmuran bangsa yang diidamkan melalui proses pembangunan, dapat tercapai apabila bangsa tersebut memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, berkepribadian, berakhlak mulia, dan berpendidikan tinggi.
Terobosan menarik dari Musrenbangnas 2023 kali ini adalah penghampiran kepada seluruh elemen anak bangsa. Berbagai masalah mendasar yang tak kunjung selesai selama proses pembangunan, seperti kemiskinan dan kesenjangan, tidak lagi didekati dengan program dan proyek yang bersifat “asupan” dengan cara si miskin mendatangi kantong-kantong proyek pengentasan kemiskinan. Akan tetapi masyarakat yang belum hidup layak itu didekati, didata, ditemukenali kebutuhan pelayanan dasar yang belum dipenuhi, dan pada akhirnya secara bertahap dipenuhi kebutuhan mereka.
Demikian halnya masalah kesenjangan yang terus menerus menghantui pembangunan di Indonesia dari masa-kemasa, baik sosial maupun spasial, tidak lagi didekati dengan semata-mata guyuran program kepada wilayah yang terbelakang. Melainkan daerah-daerah yang berkekurangan ini “didatangi”, diagnosis masalah utama yang menggelayutinya, dan pada akhirnya didorong dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, termasuk dicantolkan pada wilayah yang lebih maju. Ikhtiar ini bisa diamati diwilayah pulau Sulawesi, misalnya. Aspal di Buton tidak lagi boleh diangkut keluar sebelum seluruh Sulawesi teraspali dengan baik. Smelter dan eksplorasi aneka pertambangan, tidak hanya numpang liwat komoditas ekspor, namun harus menyumbangkan pajak dan retribusi serta lapangan pekerjaan ke daerah host-nya. Selain itu, pertanian bahan pangan digalakkan untuk antisipasi supplai kebutuhan pangan di IKN dan wilayah yang lebih maju lainnya.
Pendekatan ini dirasakan lebih memanusiakan manusia Indonesia. Pendekatan sebelumnya yang memiliki slogan people centered, atau people driven, yang aslinya dikampanyekan oleh lembaga-lembaga internasional, dikemas ulang. Manusia Indonesia tidak hanya sebagai subyek pembangunan, namun lebih dari itu, manusia Indonesia diakui eksistensinya sebagai insan yang memiliki jiwa, memiliki rasa, dan memiliki karsa. Pembangunan dirancang tidak hanya untuk memenuhi segala kebutuhannya demi kesejahteraan semata, namun juga menggunakan cara-cara yang bermartabat, yang mengakui dan menghargai sisi-sisi kemanusiaannya.
Oleh Fahmi Wibawa
Direktur Eksekutif LP3ES, Pengajar FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta