Saat kritik banyak ditujukkan kepada pemerintah melalui media digital, justru pemerintah secara resmi mengaktifkan polisi siber. Kehadiran polisi virtual da polisi siber ini banyak menuai kekhawatiran dari berbagai pihak atas kualitas demokrasi di Indonesia.
Untuk merespons isu tersebut, LP3ES kembali menggelar diskusi bertajuk “Aktivisme Digital, Polisi Siber, dan Kemunduran Demokrasi”. Diskusi juga menjadi menarik dengan kedatangan Yatun Sastramidjaja dari Universitas Amsterdam yang sedang melakukan riset tentang etnografi digital. Kemudian Retna Hanani berfokus pada perempuan aktivis dan Damar Juniarto yang merupakan Direktur Eksekutif SAFEnet membahas khusus penindasan digital.
Diskusi dibuka oleh Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto dengan menyampaikan pengantar tentang polisi siber, polisi siber, dan kemunduran demokrasi.
Dalam paparannya, Wijayanto menegaskan bahwa Polisi siber bertugas menegakkan hukum terhadap tindakan kejahatan sedangkan polisi virtual lebih mengarah pada edukasi pada masyarakat. Tentunya ada dasar hukum dari pembentukan polisi siber dan polisi virtual dengan SE Nomor 2/2/II/2021.
Menurutnya, ada tiga argumentasi diciptakannya polisi siber yakni serangan digital dan kejahatan cyber yang kian masif, penyebaran hoax dan disinformasi serta penyebaran ujaran kebencian dan SARA di media sosial.
Teror siber atas aktivis pro demokrasi dilakukan dalam bentuk peretasan maupun pengawasan media sosial. Gelombang teror dapat dilihat pada para akademisi penolak revisi UU KPK akhir 2019. Teror yang menyita perhatian publik dan tidak mudah dilupakan adalah aktivis Ravio Patra pada April 2020. Teror tidak cukup sampai di sana bahkan disampaikan dengan ancaman pembunuhan melalui pesan telepon maupun datang langsung dengan ancaman kekerasan verbal.
Akun Instagram Pemred Koran Tempo bahkan pernah diretas setelah mewawancarai aktivis UGM yang diancam. “Seluruh kasus peretasan bahkan tidak ditindaklanjuti polisi untuk mengungkapkan pelakunya. Kelambanan polisi dalam menindaklanjuti kasus ini menjadi cerminan toleransi negara atas aksi terror,” kata Wijayanto melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (5/3).
Kehadiran polisi siber dan polisi virtual, katanya, justru berpotensi menciptakan persepsi ancaman dalam dunia digital. Keberadaan polisi siber juga masih minim interaktif (deliberasi) pada ruang publik digital ditandai dengan tidak adanya respons admin terhadap berbagai komentar netizen. Kehadirannya juga belum memberi proteksi pada aktivis pro demokrasi yang menjadi korban kejahatan digital meskipun dengan dukungan anggaran yang besar. “Adanya polisi siber dan polisi virtual semakin menguatkan studi atas kebangkitan Polri di era reformasi sebagai aktor dominan dalam politik sipil,” ujarnya.
Dari Social Media Mobilization Menuju Social Media Manipulation
Yatun Sastramidjaja memaparkan diskusi tentang The Wheel of (un)fortune of activism and repression in the digital age (and how to break it) yang dengan lugas menekankan adanya represi menghadirkan aktivisme, begitu pula aktivisme mengundang adanya represi. Jika ada situasi represif baik di ruang umum, kehidupan sehari-hari atau pun bahkan kehidupan digital maka akan ada rebellion baru yang lahir, terutama oleh kaum muda.
Dia mengatakan, perjuangan demokrasi Indonesia yang panjang dapat terbagi menjadi beberapa periode. Dimulai dari tahun 1977-1990 oleh kelompok anti otoritarianisme di orde baru, lalu tahun 2000-2014 oleh kelompok reformasi, kemudian tahun 2017-sekarang yang penuh demokrasi, hak sipil, dan keadilan sosial. Aktivisme digital telah lama terbentuk, misalnya pada kasus Koin untu Prita dan Cicak vs. Buaya (2009) di mana netizen muda bergabung dalam kampanye online melawan kejahatan, ketidakadilan, serta eksperimen dengan bentuk baru kegiatan online yang mengundang partisipasi publik.
“Keadaan tersebut membawa pada kesadaran atas ketidakadilan berkepanjangan pasca reformasi serta terbangun kekuatan kolektif, pemberdayaan pribadi, pengaruh dan partisipasi,” ujarnya.
Aksi digital dalam kampanye pemilu tampak pada pilpres 2014 dimana generasi muda ikut mengampanyekan dan menyalurkan kreativitas-nya dalam kampanye. Bentuk itu terulang pada pilpres 2019 dengan lebih masif dan profesional.
“Gerakan berubah dari social media mobilization menuju social media manipulation. Adanya perang informasi digital memerlihatkan hegemoni yang terbentuk mengalami counter namun rezim berhasil melawan balik. Counter yang dilakukan keduanya dapat dalam bentuk naratif, tagar, maupun infografis. Keadaan tersebut membuat cyber-manipulation menjadi cyber-repression,” katanya.
Yatun mengatakan, generasi baru dari aksi rebel lahir dari interaksi virtual dan fisik. Melibatkan peserta baru dalam perjuangan demokrasi. Multiple isu seperti ketidakadilan, korupsi, demokrasi, pendidikan, lingkungan, gender, dsb merupakan diskusi yang saling berhubungan dan mereka menyadarinya. Kewarganegaraan demokratis sebagai praktik yang diwujudkan.
Selanjutnya, Retna Hanani memaparkan tentang Ruang Kewargaan, Agensi Perempuan Aktivis dan Pandemi Covid-19. Aktivitas politik perempuan di civil society terlalu sempit jika hanya dipelajari sebagai activism perempuan.
Indikasi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia bukan hanya sepanjang 2018 hingga 2021 ini. Situasi Covid-19 menjadi penting dalam penelitian mengingat adanya aspek politik spasial.
“Kebijakan politik dan hukum yang dihasilkan pada masa pandemi dan cara negara menghadapi protes menunjukkan perluasan sifat otokrasi negara. Pandemi agaknya digunakan pelbagai kekuatan politik untuk memberikan tekanan yang lebih luas kepada civil society. Fragmentasi pada civil society ini merupakan akibat polarisasi politik Pilres 2014 dan 2019,” ujarnya.
Jika berbicara mengenai gender, katanya, maka posisi perempuan menjadi yang paling rentan dan dirugikan dalam pandemi. Namun para pemimpin perempuan terbukti bekerja lebih baik dalam menghadapi pandemi seperti Jacinda Ardern, Angela Markel, dsb.
Kemudian pertanyaan besar pada penelitian tersebut adalah sejauh mana tekanan dalam ruang demokrasi yang diakibatkan oleh regresi demokrasi dan pandemi memiliki hubungan dengan aksentuasi politik perempuan aktivis.
Dia mengatakan, dengan hadirnya pandemi, aturan hukum lian membatasi pendirian organisasi civil society bahkan dukungan finansial semakin terbatas. Pelbagai prosedur administrasi mengalami kesulitan. Ditambah ancaman dari aparat negara dalam bentuk akun-akun media sosial anonim terkait aktivitas mereka.
Negara juga menegaskan larangan dan menganjurkan agar tidak digelarnya protes sebagai bentuk pencegahan Covid-19. Pandemi menambah pekerjaan dan tugas domestik baru khususnya bagi perempuan aktivis. Tekanan ekonomi memengaruhi kekerasan domestik dan konflik dalam keluarga. Perempuan dari kelas pekerja bahkan memiliki hambatan yang lebih besar.
Perempuan aktivis, lanjutnya, memiliki kemampuan beradaptasi dengan tuntutan domestik baru dan mempertahankan keterlibatannya di dunia publik. Mereka mampu menegosiasikan pembagian kerja dalam keluarga namun semakin sulit bagi perempuan kelas pekerja.
“Militansi dari merosotnya ruang demokrasi sebelum pandemi memberikan investasi dan kekuatan lebih untuk mengatasi tekanan ‘gendered space’ yang diakibatkan oleh pandemi. Teknologi mendukung keterlibatan perempuan aktivis dana civil society. Namun ruang digital tidak sepenuhnya aman mengingat peluang riskan berbasis identitas yang ada. Maka dari itu pentingnya inter-seksionalitas dalam melihat ruang kewargaan,” ujarnya.
Pembicara pamungkas yakni Damar Juniarto, yang membahas tentang penindasan teknologikal terhadap aktivisme digital di Indonesia. Penindasan mengacu pada situasi tidak adil dan kejam dan dicegah untuk memiliki kesempatan dan kebebasan. Sedangkan kata ‘teknologikal’ berkaitan dengan teknologi khususnya kemajuan teknologi atau telekomunikasi.
“Arena mayantara memiliki tarik menarik antara ruang subur demokrasi versus ruang anti-demokrasi. Kemudian dalam melihat ruang media digital menarik pula memelajari demokrasi verus polarisasi. Di hadapan polarisasi, demokrasi dikesampingkan,” ujarnya.
Perang bukan lagi soal pertikaian antarnegara namun bagaimana melakukan kontrol atas populasi dan proses pengambilan keputusan politik daripada kuasa atas wilayah. Internet dipersenjatai dengan tujuan menciptakan efek politik, strategis, operasional atau taktis dalam mendukung tujuan kebijakan. Penggunaan cara militer diikutkan seperti mengumpulkan informasi, memengaruhi, menipu, menghalangi, mengganggu, dan menghancurkan target.
Sampai saat ini, data dari SAFEnet mengungkap bahwa polisi siber lebih banyak menyelidiki kasus pencemaran nama. Pasal laporan terbanyak adalah ujaran kebencian. Warga dengan warga banyak melakukan pelaporan.
Meski begitu dosen, guru, mahasiswa dan pelajar mulai banyak memperoleh sorotan akibat pelaporan. Mayoritas pelapor adalah pejabat publik. Kini Indonesia telah mencapai status “siaga satu” menghadapi Otoritarianisme Digital. “Antisipasi ke depan meliputi jalur hukum, ketahanan siber, serta konsolidasi gerakan dan dukungan,” pungkasnya. (Very)