Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan bahwa resistensi masyarakat terhadap tren kemunduran demokrasi terus meningkat.
“Untuk mewarnai gerakan resistensi tersebut, forum ini mempertemukan berbagai ilmuwan agar dapat merumuskan sesuatu yang baru di tengah kondisi kemunduran demokrasi yang semakin parah. Forum ini misalnya, adalah ruang untuk transfer ilmu pengetahuan antar ilmuwan dan juga kalangan masyarakat,” kata Wijayanto dalam keterangannya menyikapi wacana publik terkait dengan konflik agraria yang dialami oleh kaum petani dan juga masyarakat adat di Indonesia,
Sehari sebelumnya LP3ES mengangkat isu tersebut dalam diskusi Forum 100 Ilmuwan yang keenam dengan mengundang tiga peneliti konflik agraria diantaranya Isniati Kuswini, Iqra Anugrah dan Lya Anggraini.
Iqra Anugrah menjelaskan bahwa ada dinamika perubahan relasi pasar agraria di perdesaan. Tidak hanya konflik lahan, tetapi juga yang sifatnya non-konfliktual. Konteks perubahan agraria dan jenis ideologi gerakan menentukan jenis respons dan strategi yang ditempuh petani dan aktivis. Responsnya ada dua, menantang dan mendukung ekspansi pasar.
“Di Bengkulu, konteks perubahan agraria-nya adalah ancaman terhadap konflik tanah dan narasi pergerakannya cenderung populis. Di Bulukumba ada kasus klasik perampasan lahan yang dilakukan oleh PT Lonsum dari 2009 hingga saat ini,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa dekomodifikasi bukanlah satu-satunya cara untuk oleh kalangan petani dalam merespons dinamika agraria yang sedang terjadi.
Melengkapi pemaparan Iqra, Isniati Kuswini melalui penelitiannya menemukan bahwa masyarakat adat juga mengalami problem agraria layaknya petani. Ada sistem yang dijalankan oleh masyarakat adat terpencil.
“Mereka bukan primitif, mereka juga hidup berdasarkan norma-norma tertentu, termaksud dalam pengelolaan lahan,” ujarnya.
Dia memaparkan wilayah adat terikat dengan sistem sosial, terlebih masyarakat adat memandang lahan sebagai nilai spiritual. Nilai-nilai ekonomi dan sosial dari tanah berada setelah nilai spiritual.
Senada dengan Iqra, Isniati juga menekankan bahwa ada upaya yang dikenal dengan sebutan tanah ulayat di Riau yang mengidentifikasikan sebuah wilayah komunal dan harta pusaka tertinggi persukuan yang aturannya di atur secara kolektif dan dalam persukuan.
“Proses musyawarah Tanah Ulayat inilah yang menjadi praktik demokratis di ranah masyarakat adat terhadap konflik-konflik lahan yang acap mereka hadapi,” ujarnya.
Lya membawa diskusi untuk masuk ke dalam pembahasan terkait bagaimana konflik agraria terjadi di Papua. Industrialisasi yang dilakukan pemerintah sudah meluas dan berdampak hingga di Papua, misalnya terkait hak ulayat yang terkait dengan pengelolaan lahan dengan hukum adat. Konflik tanah terkait hak ulayat di Papua itu terjadi di banyak kasus.
Dikatakan, bahwa penyelesaian konflik di Papua dilakukan oleh kepala suku dan kepala keluarga yang dituakan, setiap suku memiliki adat yang berbeda-beda.
Dikatakan bahwa perempuan memegang peranan yang rentan karena berperan untuk merawat hutan dan bersentuhan langsung dengan konflik agraria di wilayah adat di Papua. Namun, represi terhadap perempuan di papua terkait konflik agraria masih sering ditemukan, khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berpendapat dan kekerasan fisik.
“Padahal perempuan adalah kalangan yang berperan untuk melakukan kegiatan pertanian, sedangkan laki-laki berburu. Jadi, tidak hanya rentan bersentuhan langsung dengan konflik agraria, kaum mama papua juga rentan untuk mengalami represi dalam proses resolusi konflik,” katanya.
Pemaparan ketiga pembicara tersebut memperluas pembahasan terkait dengan isu kemunduran demokrasi melalui kacamata konflik agraria. Perselisihan terkait lahan di Indonesia memang sangat jarang masuk dalam wacana elektoral, karena hal tersebut bisa dikatakan sebagai ‘bensin’ bagi para elite. Tetapi, semakin meningkatnya tren kemunduran demokrasi dengan membiarkan konflik agraria jauh dari resolusi, semakin tinggi pula resistensi masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka terkait lahan.
Sumber : Gatra