Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, (LP3ES) bekerja sama dengan Universitas Diponegoro, hadir kembali menyapa publik dan mengundang kawan-kawan akademisi, jurnalis dan aktivis, dalam diskusi mingguan dengan topik yang sangat penting, “Jaminan Kesehatan di Masa New Normal dan Kinerja BPJS”, Jumat (5/6).
Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Wijayanto menyebut diskusi ini mengangkat topik setidaknya tiga persoalan utama, Pertama, pada masa pendemi saat ini, kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan merupakan isu yang penting bagi warga negara melampaui isu-isu lainnya.
“Satu pelayanan kesehatan yang bisa diakses setiap warga negara merupakan satu kebutuhan yang mendesak dan tak dapat ditunda lagi. Mengingat betapa pentingnya akses kesehatan ini, maka tidak mengherankan jika penelitian LP3ES bekerjasama dengan Drone Emprit menemukan bahwa berita tentang kenaikan tarif premi BPJS kesehatan menjadi peredebatan hangat di kalangan netizen selama 1 bulan terakhir,” kata Wijayanto di Jakarta, Jumat (5/6).
Kedua, lanjut Wijayanto, kaitannya dengan poin sebelumnya, maka sangat penting untuk mendengarkan penjelasan langsung dari pihak yang berkompeten dari BPJS untuk memberikan pencerahan kepada publik dan meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah. Selain penjelasan terkait kenaikan tarif BPJS, apa yang tampaknya penting bagi publik adalah mendengar program BPJS dan langkah-langkah antisipasi yang dilakukan dalam masa pandemi ini terutama dalam menyongsong masa-masa New Normal ini.
“Ketiga, topik ini penting juga untuk mengupas apa itu sesungguhnya “New Normal” dalam tinjauan akademis dan bagaimana dinamika percakapan publik terkait hal itu di media sosial. Untuk memperkaya cakrawala pandang kita pengalaman dari luar negeri juga kita hadirkan, tidak hanya untuk belajar dari pengalaman keberhasilannya namun juga kekurangan dan kegagalannya untuk kita hindari,” katanya.
Wiyanto mengatakan, elemen perbandingan akan menjadi salah satu titik penting dalam diskusi kali ini. Dalam hal ini, Belanda menjadi tempat untuk belajar bukan hanya karena kedekatan sejarah Indonesia dengan negara itu namun juga karena pertimbangan lainnya, yakni mereka memiliki sistem jaminan kesehatan yang lebih maju namun juga tetap tak lepas dari kesulitan melawan corona.
Adapun pembicara yakni, Didik J Rachbini, merupakan guru besar ekonomi, ekonom senior INDEF dan ketua dewan pengurus LP3ES, adalah anggota DPR yang ikut terlibat dalam proses amandemen konstitusi yang lebih mengakomodir hak asasi ekonomi dan budaya, yang kemudian menjadi dasar bagi lahirnya BPJS.
Direktur Utama BPJS, Fahmi Idris yang merupakan pejabat yang berwenang dan penanggungjawab tertinggi salah satu lembaga paling penting dalam menjalankan fungsi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Budi Setiyono, dikenal guru besar kebijakan publik dan sekaligus Wakil Rektor I Universitas Diponegoro, Semarang yang memiliki keahlian dalam filosofi dan praksis pelayanan publik termasuk pelayanan kesehatan dalam konteks terwujudnya negara kesejahteraan untuk mewujudkan cita-cita konstitusi.
Direktur Drone Emprit, Ismail Fahmi, pakar analisa big data dan media sosial yang baru-baru ini memaparkan analisanya tentang dinamika percakapan netizen terkait konsep New Normal.
Ward Berenschot, diketahui sebagai guru besar kewarganegaraan dan demokrasi dari Universitas Amsterdam dan memiliki keahlian tentang Indonesia. Dia akan memberikan studi komparasi kebijakan pelayanan kesehatan dan kebijakan di masa New Normal di Indonesia dan Belanda.
Dari rangkuman poin-poin diskusi diantaranya yakni Didik menyebut bahwa jaminan kesehatan adalah amanat konstitusi, namun banyak pemberitaan mereka yang covid tidak dilayani oleh BPJS. Apakah ini benar?
Sedangkan Fahmi Idris menyoroti selama 7 tahun ini diskusi selalu deficit, sukses story lain tertutup. Misalnya bahwa BPJS menurunkan ratio gini hingga 13-14% . BPJS juga menjamin orang tidak jatuh ke kemiskinan. Jadi ada banyak prestasi selain deficit.
Begitu pula tentang kenaikan harga itu hanya kelas I dan II mandiri. Kalau tidak mampu, bisa turun ke kelas III. Dan, pemerintah punya skema khusus untuk pengidap covid, semua dilayani dan gratis.
Budi Setiyono menyebut sistem jaminan sosial saat ini tidak terintegrasi.
“Kita harus memakai konsep welfare state dan menerapkannya secara komprehensiv. Tanpa welfare state, maka kita akan selamanya tambal sulam. Kita harus merujuk pada welfare state ini, pada negara maju yang sudah ada. Kita tidak punya pendekatan sistemik yang terintegrasi tapi tambal sulam. Mengelola entitas tapi jalan sendiri-sendiri,” katanya.
Sedangkan Ward Berenschot menilai ada hubungan antar social security dan efektivitas penanganan covid. Negara-negara yang belanja sosial tinggi ternyata faltening the curve juga cepat. Negara dengan anggaran jaminan sosialnya rendah, penangannya lambat.
Anggaran Indonesia dibandingkan GDP dikomparasikan dengan negara-negara welfare state yang hanya 1/10 nya dalam jaminan sosial.
Mengapa anggaran jaminan sosial ini penting?
“Kalau tunjangan pengangguran sedikit, orang harus keluar kerja dan rentan pada transmisi. Selanjutya, mereka yang di kota akan pulang kampung atau desa dan kesehatan mahal, orang tidak keburu dirawat dan kena virus,” katanya.
“Istri saya yang anggota parlemen Belanda mau mengajukan tes. Tapi dokter bilang anggota parlemen menurut list di sini bukanlah pekerjaan vital. Hanya orang dengan pekerjaan vital yang bisa dapat test. Anggota parlemen tidak termasuk. Jadi memang istri saya harus menunggu beberapa hari untuk mendapatkan test. Ini adalah refleksi bahwa prioritas harus berdasar pada sains,” tambahnya.
Ismail Fahmi menganggap Indonesia adalah yang mendominasi wacana new normal di seluruh dunia. Jaringan Polri banyak berperan melahirkan trending topic.
“Ada upaya untuk mengkampanyekan new normal secara terstruktur dan sistematis. Sayangnya, new Normal yang buru-buru ini jutsru bikin distrust yang tinggi bahwa kita siap melakukan new normal,” katanya.
Sumber : gatra.com