Dalam mempelajari krisis ekosistem, belajar bukan hanya menambah jumlah kekayaan informasi, data dan pengetahuan, tetapi juga melakukan refleksi, oto-kritik dan rekonstruksi cara berpikir dan bertindak. Bila tidak demikian, tiap usaha reformasi kebijakan akan bersifat coba-coba salah dan terperangkap menjadi faktor pembuat komplikasi.
Buku ini menyuguhkan kekayaan data, ketajaman analisis, dan untaian refleksi perihal kepentingan, kekuatan, pemikiran dibalik krisis ekosistem. Misalnya pada bagian tentang Agraria Kehutanan (hal 50-69). Akar masalahnya bukan hanya soal isi aturan perundang-undangan perizinan yang di dalamnya menetapkan kewenangan pemberian rekomendasi. Namun terkait pula masalah diskresi yang luas serta mekanisme pelaksanaan peraturan yang tidak transparan, rentan penyalahgunaan, korupsi, serta akses dan hak istimewa bagi segelintir elite. Kondisi itu mendiskriminasi publik, terutama kaum yang ekonomi dan posisi sosial politiknya lemah. Konsentrasi penguasaan sumber daya alam lebih dinikmati pihak swasta melalui izin-izin yang diberikan pemerintah. Termasuk melalui izin konversi kawasan hutan untuk keperluan perkebunan atau izin pinjam pakai kawasan hutan negara untuk pertambangan.
Lebih jauh, Kartodiharjo mengungkapkan, di balik krisis ekosistem terdapat cara pikir dan cara bertindak mengurus soal agraria kehutanan yang carut marut. Misalnya status hutan negara yang tidak legitimate. Putusan MK 45/PUU-IX/2011 dan putusan MK 35/PUU-X/2012 menunjukkan bahwa pengaturan mengenai hak-hak agraria rakyat dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan melanggar hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan jaminan hak kepemilikan atas tanah. Apa yang diistilahkan state capture terjadi di sini, yakni tanah milik rakyat dideklarasikan sebagai tanah dan hutan negara.
Perampasan tanah bisa berlangsung ketika pihak pemerintah, atau pihak perusahaan penerima izin dari pemerintah, melakukan tindakan pemaksaan memutus hubungan kepemilikan rakyat dengan tanahnya. Konflik terjadi ketika rakyat bertahan mempertahankan tanah airnya itu, dan melakukan perlawanan yang berkelanjutan. Permasalahannya bagaimana pemerintah bisa menjalankan putusan MK dan melakukan administrasi perlindunagn dan pengakuan hak kepemilikan rakyat. Di sini muncul akar masalah lain, yaitu kebiasaan kelembagaan: administrasi dan ukuran kinerja dalam pengukuhan kawasan hutan berdasarkan panjang batas kilometer, serta penyerapan anggaran. Hampir dapat dipastikan pelaksanaan pengukuhan hutan negara hanya menghasilkan batas-batas fisik yang tidak terlalu memperhatikan soal klaim atas hutan negara (hal 57).
Dimensi Ekonomi Politik
Buku ini istimewa. Bukan hanya karena data-datanya yang kaya, atau analisisnya yang mendalam, tetapi juga menyampaikan pesan reflektif yang layak disimak. Tema-tema persoalan yang diangkat relevan dengan situasi saat ini. Naskah yang ditulis sistematik dan mudah dipahami. Kritik pemikiran dan kelembagaan dikedepankan dan dibahas mendalam. Namun ada sedikit catatan kritis, buku ini kurang memperlihatkan kritik dari pendekatan ekonomi politik, khususnya mengenai daya rusak ekologis dari sistem ekonomi kapitalisme. Kita tidak bisa mengelak untuk membicarakan kekuatan dari cara produksi produksi kapitalisme, yang kepentingannya adalah akumulasi modal dengan daya rusak ekologisnya.
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan kekayaan terus menjadi agenda percakapan di kalangan akademisi dan pengamat ekonomi, elite nasional pembuat kebijakan pemerintah, tokoh-tokoh politik, pimpinan organisasi kemasyarakatan, para ahli di lembaga-lebaga think-tank , jurnalis, hingga aktivis di organisasi partikelir non-pemerintah. Percakapan itu bukan semata-mata wacana, tetapi visibilitas itu semakin lama semakin kentara: kekayaan yang terkonsentrasi di satu pihak dan kemiskinan terus persisten di pihak lain – terwakili dalam wacana yang dipopulerkan oleh Rhoma Irama (1980): “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.
Yang sedang berlangsung dalam waktu cepat di berbagai tempat adalah apa yang disebut David Harvey dalam bukunya The New Imperialism (2003) sebagai reorganisasi ruang, yang digerakkan ekspansi geografis dan penciptaan nilai ekonomi oleh perusahaan kapitalis dengan menjadikan alam dan tenaga kerja sebagai komoditi. Inilah konsentrasi kekayaan dengan cara-cara perampasan alam dan eksplotasi tenaga kerja. Akibatnya jelas sekali yaitu pengusiran penduduk (expulsion) dari tanah airnya, dan menjadikan situs-situs ekstraksi/deplesi (berkurangnya) sumber daya alam, dan kaplingan perkebunan monokultur sebagai tanah air yang merana (dead land, dead water), seperti dikemukakan Saskia Sassen dalam bukunya Expulsion, Brutality and Complexity in the Global Economy (2014).
Keluar dari Kemelut?
Kartodihardjo meyakini bahwa kita bukan kekurangan solusi, sebaliknya terlalu banyak solusi diberikan atas dasar diagnosa masalah yang keliru. Lebih parah lagi, perumusan masalah dibuat karena ketersediaan solusinya. “Kalau kita adalah palu, maka segala sesuatu dilihat sebagai paku”. Sajian tulisan pemikiran Kartodihardjo dalam buku Di Balik Krisis Ekosistem (LP3ES, 2017) ini menggoda kita bersikap pesimis. Untuk itu, pesimisme pemikiran tersebut perlu diimbangi dengan optimisme tindakan, seperti menyajikan contoh-contoh nyata inovasi kebijakan yang mampu dan terbukti manjur, sehingga menjadi cara baru keluar dari kemelut krisis ekosistem.
Seluruhnya ada 46 naskah tulisan Kartodihardjo, yang secara sistematis dan tematis dikelompokkan dalam tujuh bab. Mulai dengan naskah-naskah yang terkait isu-isu pembangunan nasional bidang lingkungan hidup dan kehutanan, masalah transdisiplin dalam tata kelola lanskap, tenurial dan kawasan hutan, hingga masalah Bad Governance. Dua bab di bagian akhir yaitu Bab VI dan VII menyajikan sejumlah naskah berupa kritik terhadap pemikiran yang menjadi dasar tindakan dalam pengelolaan hutan, sumber daya alam lainnya, serta lingkungan hidup. Juga implikasi dari corak pemikiran. Buku yang ketebalannya mencapai lebih 500 halaman ini sungguh buku serius. Relevan untuk menggali inspirasi mengatasi krisis ekosistem di tanah air saat ini.
Sumber. ksp.go.id