Kolom Opini : Menilik Latar Belakang Genosida Rohingya Oleh Pemerintah Myanmar
Sebelum membahas latar belakang kasus atau isu genosida Etnis Rohingya, penulis akan menjabarkan terlebih dahulu tentang pengertian Genosida. Genosida dalam buku Raphael Lemkin yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan tahun 1944 di Amerika Serikat merupakan “pembantaian besar-besaran yang terencana dan sistematis pada satu suku bangsa atau kelompok suku bangsa dengan tujuan memusnahkan bangsa tersebut”. Selain itu pengertian Genosida dalam Pasal 6, Statuta Roma, adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau keagamaan. Sedangkan dalam KBBI sendiri Genosida adalah pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.
Dalam hal ini mengenai Genosida Etnis Rohingya ialah, dimana Etnis Asli Burma di Myanmar menginginkan Etnis Rohingya musnah atau pergi dari Tanah Myanmar, hal tersebut timbul karena kebencian sejarah Etnis Asli Burma terhadap Etnis Rohingya yang berdampak hingga saat ini.
Hubungan Genosida Etnis Rohingya dengan Kondisi Sosiografis Myanmar
Etnis Rohingya identik dengan kelompok etnis Indo-Arya yang berada di Rakhine, Myanmar Barat. Mereka kelompok etnis yang berasal dari Sub-benua India, terutama dari India dan Bangladesh, dan juga mayoritas dari mereka beragama Islam. Rakhine sendiri berbatasan dengan Teluk Benggala dan Benggali atau Bangladesh. Myanmar sendiri merupakan negara multikultural layaknya Indonesia. Mayoritas Suku di Myanmar adalah Suku Birma atau Bamar kurang lebih sekitar 68%, lalu Suku Shan kurang lebih 9%, dan Suku sisanya adalah Kachin, Chin, Kaya, Kayin, Mon, dan Magh dari kurang lebih 60 juta penduduk Myanmar.
Untuk Indonesia sendiri, mayoritas pertama ialah Suku Jawa dengan persentase kurang lebih 40%, lalu dilanjut dengan Suku Sunda kurang lebih 17 %, lalu Suku Batak kurang lebih 4% dan seterusnya. Dalam hal tersebut, Myanmar jauh lebih jomplang perbandingannya antara satu suku, yakni Suku Birma dengan Suku minoritas lainnya. Wajar Myanmar yang kita kenal dahulu di era kerajaan hingga era negara-bangsa sekarang bernama Burma. Karena diambil dari suku yang paling dominan, berkuasa, dan mayoritas di kawasan tersebut, yaitu Suku Birma atau Bamar. Sesuatu hal yang tidak sama dengan Indonesia.
Dari Suku Birma dan suku-suku minoritas inilah mereka dikenal dengan sebutan Etnis Asli Burma atau Myanmar. Sedangkan untuk Etnis Rohingya sendiri, keberadaannya hingga saat ini tidak diakui, bahkan Pemerintah Burma atau Myanmar dari era kerajaan-kerajaan dahulu hingga era negara-bangsa saat ini berkeinginan untuk membumi hanguskan Etnis Rohingya di Tanah Rakhine, tetapi nahasnya keinginan tersebut terputus dengan adanya penjajahan Inggris pada tahun 1824 dan keterlibatan dunia internasional pada akhir abad 21 hingga saat ini.
Alasan Genosida Rohingya oleh Pemerintah Etnis Asli Burma dari Masa ke Masa
Terdapat 6 alasan kuat yang melatarbelakangi Etnis Asli Burma, terutama Pemerintah Myanmar menolak Identitas Rohingya di negaranya, utamanya Rakhine, diantaranya : Pertama, adanya latar belakang sejarah, dimana Etnis Rohingya merupakan para pendatang dari Sub-benua India yang hingga kini disebut oleh mayoritas Etnis Asli Burma dan juga Pemerintah Myanmar sebagai “Pedagang Illegal atau Orang Pendatang”. Kedua, Etnis Rohingya memiliki budaya, bahasa, dan agama yang sangat berbeda dari kebanyakan Etnis Asli Burma (Suku-Suku Asli Myanmar) di Myanmar. Ketiga, Etnis Rohingya memiliki bentuk fisik yang juah berbeda dengan kebanyakan Etnis Asli Burma, Etnis Rohingya cenderung seperti Kebanyakan orang Sub-benua India, sedangkan Etnis Asli Burma memiliki bentuk fisik seperti kebanyakan masyarakat pribumi di Asia Timur dan Asia Tenggara. Keempat, Etnis Rohingya merupakan ancaman bagi Etnis Asli Burma, utamanya Pemerintah Myanmar. Dimana dalam perjalanannya, Etnis Rohingya selalu meminta wilayah tempat tinggalnya dijadikan otonomi khusus, terlepas dari Myanmar. Kelima, adanya ketimpangan sosial-ekonomi antar masyarakat di Myanmar, terutama di Negara Bagian Rakhine dengan Negara Bagian lainnya. Dimana pada akhirnya Etnis Asli Burma menyalahkan keberadaan Etnis Rohingya di Rakhine. Keenam, Etnis Rohingya mayoritas beragama Islam, dari kepercayaan ini dan perbedaan-perbedaan lainnya, Etnis Rohingya dianggap tidak menghargai budaya atau kepercayaan Budha, budaya kebanyakan Etnis Asli Birma, dan gaya hidup kebanyakan masyarakat Myanmar.
Dari permasalahan-permasalahan tersebutlah, dari dulu hingga saat ini, mayoritas Etnis Asli Burma dan juga didukung oleh pemerintah setiap zaman menolak keberadaan Etnis Rohingya di Burma atau Myanmar.
Sejarah Singkat Myanmar dari masa Kerajaan hingga Kolonialisme
Singkat Cerita, jauh sebelum Negara Bangsa Myanmar berdiri. Burma (Myanmar) sempat dipersatukan oleh 3 Dinasti dalam setiap zaman. Dimana yang pertama, Burma pernah dipersatukan oleh Dinasti Pagan pada tahun 849 dibawah kekuasaan Suku Birma, hingga akhirnya runtuh tahun 1287. Setelah Kerajaan Pagan runtuh, akhirnya wilayah Kerajaan Pagan terpecah-pecah menjadi Kerajaan-Kerajaan kecil, hingga muncullah Kerajaan Ava dibawah kekuasaan Suku Burma pada 1364 yang memiliki ambisi demikian. Namun sayangnya bukanlah Kerajaan Ava yang dapat mempersatukan kembali, melainkan Kerajaan bawahannya yang bernama Kerajaan Taungu.
Dinasti yang kedua mempersatukan ialah Kerajaan Taungu dibawah kekuasaan Suku Birma, Kerajaan Taungu berdiri pada 1485 dibawah kedigdayaan Kerajaan Ava. Kemudian, Kerajaan Taungu merdeka dari Kerajaan Ava pada 1510, dan akhirnya Kerajaan Taungu menjadi Kerajaan besar dan berhasil mempersatukan Burma, sedangkan Kerajaan Ava harus sakit-sakitan dan runtuh pada 1555.
Dan Dinasti terakhir yang mempersatukan Burma ialah Dinasti Konbaung (1752–1885), kalahnya Dinasti Konbaung (Burma) oleh Inggris (EIC) pada 1824 turut menjadi kesedihan tersendiri bagi sebagian besar Masyarakat Burma (Myanmar), terutama Suku Birma, sampai akhirnya Kerajaan Konbaung benar-benar runtuh pada tahun 1885. Kemudian Jepang memberikan sedikit harapan pada 1942 dengan mengusir penjajah Inggris karena melemahnya Blok Sekutu di Eropa, namun tidak lama Blok Poros memperoleh kekalahan pada 1945 dan Inggris Kembali lagi menjajah Burma. hingga akhirnya Burma merdeka dari Inggris pada tahun 4 januari 1948, kemudian mengganti nama negara mereka dari Burma menjadi Myanmar, sebagai bentuk (suku mayoritas) menghargai suku-suku minoritas lainnya yang bukan termasuk Suku Birma atau Bamar dan juga bentuk persatuan.
Sejarah Konflik Etnis Asli Burma dengan Rohingya di masa Kerajaan
Kembali ke masa Kerajaan Ava (1364-1555), tepatnya tahun 1485. Dimana Kerajaan Ava pernah melakukan suatu penyerangan ke Kerajaan Arakan, yang sekarang berada di Rakhine. Penyerangan tersebut akhirnya membuat Raja Narameikhla mengungsi ke negeri Bengali (kini Bangladesh). Pada saat itu Kerajaan Arakan masih bercorak Buddha Theravada yang murni, sama dengan Dinasti Taungu (Burma). Di Bengali, Raja Narameikhla menjalin persahabatan dengan Sultan Bengali, ia juga mempelajari agama Islam dan menggantikan Namanya menjadi Solaiman Shah. Pada 1428, Raja Narameikhla memutuskan kembali ke Arakan dan merebut kembali wilayah tersebut dengan modal bala bantuan dari Sultan Bengali. Hal tersebut berhasil, dimana Arakan kembali dikuasai Solaiman Shah pada tahun 1430.
Berdirinya kembali Kerajaan Arakan pada 1430, tentunya Kerajaan tersebut mengalami pembaruan-pembaruan dari berbagai sisi dan berbagai bidang yang jauh dari Kerajaan Arakan sebelumnya. Dari sisi eksternal, Kerajaan Arakan dibawah Solaiman Shah dan seterusnya mengakui kedigdayaan Kesultanan Bengali dengan menjadikan Kerajaan Arakan bawahan dari Kesultanan Bengali. Lalu Solaiman Shah memberikan beberapa wilayah kepada Sultan Bengali, bahkan wilayah Arakan bagian utara hingga masuk ke kawasan Bengali (Bangladesh sekarang). Di Internal, Ia juga melakukan percampuran antara Budaya Budha dengan Islam, lalu membangun masjid, mereformasi sistem peradilan, mendirikan sebuah kota bernama Mrauk U, memberikan gelar muslim bagi raja-raja penerus Arakan meski raja tersebut beragama Budha. Oleh karena itu, kendati demikian, Kerajaan Arakan tetap merupakan Kerajaan bercorak Budha.
Dari hubungan antara Kerajaan Arakan dan Kesultanan Bengali inilah Kaum muslim dari Bengali ke Arakan semakin bertambah dan semakin kuat, dan kaum muslim yang berdatangan inilah yang nantinya dipanggil dengan sebutan “Rohingya”. Ditambah pada saat itu dominasi Bengali begitu kuat dan Wilayah Kerajaan Arakan tidak hanya berada di Myanmar saat ini (Rakhine), tetapi wilayah Utaranya berada di kawasan Bengali (Bangladesh sekarang). Oleh sebab itu, mengapa kebanyakan Orang Myanmar lebih suka memanggil mereka Orang Bengali dibandingkan Orang Rohingya, ditambah penekanan penamaan tersebut “Orang Bengali” didukung pemerintah.
Melihat keadaan yang sangat mengancam di sisi barat, Dinasti Konbaung (Burma) tidak hanya diam. Pada tahun 1784, Raja Burma yang bernama Bodawpaya dari Dinasti Konbaung (1752-1885) menyerang Arakan sangat agresif. Dimana, hasil akhirnya dari penyerangan tersebut, ribuan orang Arakan tewas dan puluhan ribu ditawan oleh Dinasti Konbaung (Burma). Hal ini tercatat oleh sejarawan Inggris G. E. Harvey dalam Outline of Burmese History.
Jatuhnya Kerajaan Arakan dan tentu juga Mrauk U pada tahun 1785 kepada Dinasti Konbaung (Burma) merupakan awal mula gesekan antara Etnis Rohingya dengan suku-suku di Myanmar (Etnis Asli Burma) terjadi, terutama Suku Burma dan Suku Magh di Rakhine, bahkan gesekan tersebut nyatanya berlarut-larut hingga saat ini.
Sejarah Konflik Etnis Asli Burma dengan Rohingya di Era Kolonialisme Inggris dan Jepang
Perang Anglo-Burma I pada 1823, yang terjadi antara Inggris dan Burma nyatanya tidak menyurutkan sedikitpun perseteruan antara Etnis Asli Burma dengan Etnis Rohingya. Setelah menangnya Inggris pada perang Anglo-Burma 1824, dimana jatuhnya wilayah Burma, maka jatuh pula wilayah Arakan kepada Inggris. Pada saat itulah, Inggris justru mendatangkan kembali orang-orang muslim (Etnis Rohingya atau Orang Bengali) yang sudah diusir oleh Burma untuk bekerja di lahan-lahan pertanian serta membangun infrastruktur. Dari kebijakan Inggris tersebutlah api kecemburuan Etnis Asli Burma terhadap Etnis Rohingya membara.
Pada tahun 1942, Jepang menginvasi Burma Britania. Dengan mundurnya Inggris di kawasan tersebut, maka terbukalah pintu berupa kesempatan bagi Etnis Asli Burma (di luar Arakan) untuk memprovokasi penduduk asli Arakan, yakni Suku Magh, yang menganut agama Budha. Dari provokasi tersebut, berakibat 100 ribu muslim Etnis Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya melarikan diri ke Bengali (Bangladesh). Dibawah kekuasaan Jepang inilah, Umat Budha Asli Etnis Burma menjadi mayoritas di Arakan. Dari Kerusuhan yang terjadi di Arakan, akhirnya menjadikan wilayah tersebut terbagi 2 kawasan, dimana kawasan utara mayoritas masih dihuni muslim Rohingya dan selatan mayoritas dihuni penganut Budha Asli Etnis Burma (utamanya Suku Magh).
Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, pada 1943, Inggris masih mendominasi kawasan Arakan Utara, dimana Jepang sudah menguasai Arakan Selatan, yang berakibat terdesaknya Inggris oleh Jepang. Oleh karena itu, Inggris memutuskan melatih orang-orang Rohingya di Utara Arakan sebagai calon tentara, yang nantinya akan digabungkan dengan “V Force”. Tentara Arakan yang bergabung dengan “V Force” tersebutlah yang berperan penting dalam upaya Inggris merebut kembali seluruh Arakan pada 1945 dari Jepang.
Setelah Arakan kembali ke tangan Inggris. Orang-orang (Etnis) Rohingya meminta imbalan berupa kemerdekaan di sebuah wilayah bernama Maungdaw di Arakan. Dan akhirnya Inggris mengabulkan permintaan tersebut. Dari pengabulan tersebut, ribuan Etnis Rohingya yang sebelumnya terusir kembali lagi ke Arakan untuk mengamankan kekuasaan mereka. Selain itu, Etnis Rohingya pun tidak memberikan jabatan-jabatan strategis kepada orang-orang Budha Asli Etnis Burma, Bahkan tidak juga bagi Suku Magh yang jelas-jelas pribumi Arakan, suatu keadaan yang memperdalam sentimen kebencian orang-orang Asli Etnis Burma.
Sejarah Genosida Etnis Asli Birma di Masa Kemerdekaan Myanmar
Menjelang tahun 1947, dimana Burma mengadakan sebuah pertemuan yang mengundang seluruh suku-suku di Burma (Myanmar) dalam rangka persiapan mendeklarasikan kemerdekaannya. Semua Suku, baik Suku mayoritas, yaitu Suku Burma ataupun Suku-suku minoritas di Burma (Myanmar) diundang dalam pertemuan tersebut, kecuali Etnis Rohingya.
Pada 4 januari 1948, sebagai hasil dari Konferensi London, Inggris akhirnya memberikan kemerdekaan kepada Burma, dari kemerdekaan Burma inilah, dominasi Burma terhadap Etnis Rohingya semakin besar. Burma-pun tidak mengakui Etnis Rohingya masuk ke dalam kategori kelompok minoritas di dalam draf konstitusi Burma yang baru disusun. Konsekuensinya, Etnis Rohingya tidak memiliki kuasa untuk mendapatkan hak-hak minoritas seperti kuota di parlemen dan perlindungan hukum.
Hal tersebut akhirnya memicu Etnis Rohingya untuk melakukan perlawanan. Dimana, Orang-orang Rohingya berbondong-bondong bergabung dengan gerakan Mujahidin yang dipimpin Jafar Kawal. Gerakan ini ditandingi oleh Burma, dalam bentuk Burma Teritorial Force (BTF), yang dibentuk Jenderal Ne Win. Hasil akhir dari perseteruan antara Burma dan
Rohingya ialah, Ribuan Etnis Rohingya diusir, Ribuan Etnis Rohingya mengalami kejahatan genosida, hingga banyak rumah-rumah milik Etnis Rohingya dimusnahkan oleh pasukan Jenderal Ne Win.
Kendati demikian, tercatat pada tahun 1950, Etnis Rohingya nyaris berhasil menekan pemerintah Burma untuk menjadikan Maungdaw, Rathedaung, dan Buthidaung sebagai daerah atau distrik otonomi di Burma (Myanmar). Tapi berjalannya waktu, hal tersebut nyatanya tidak sedikitpun terselesaikan hingga saat ini.
Genosida Etnis Rohingya oleh Pemerintah Myanmar di Era Kontemporer
Pada tahun 2017, Pemerintah Myanmar melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Etnis Rohingya. Serangan tersebut dinilai cukup besar dalam sejarah penyerangan Kerajaan-kerajaan Burma hingga Negara Bangsa Myanmar terhadap Etnis Rohingya. Kendati demikian, Bau tersebut kerap tercium oleh dunia Internasional, meskipun Pemerintah Myanmar tidak membenarkan hal tersebut. Sampai akhirnya Pemerintah Myanmar terdesak, dan akhirnya menjelaskan bahwa serangan tersebut adalah serangan balasan, karena pada Oktober 2016, terdapat milisi Rohingya yang melakukan penyerangan terhadap pos polisi. Dengan alasan tersebutlah, Pemerintah Myanmar melakukan serangan balasan, dengan perkiraan jumlah korban Etnis Rohingya dalam kurun waktu satu bulan mencapai 6.700 orang.
Tahun 2020, terdapat beberapa tentara Myanmar yang membelot dan menceritakan apa saja yang mereka lakukan ketika di wilayah Rohingya, Rakhine. Dua diantaranya bernama Myo Win Tun dan Zaw Naing Tun. Myo Win Tun berkata:
“Pemimpin tertinggi kedua di MOC-15, Kolonel Than Htike, memberikan kami perintah ‘Tembak semua yang kamu lihat dan kamu dengar’. Jadi, kami tanpa pandang bulu menembak ke semua yang tiba di Desa Taung Bazar”.
Lalu, Tentara lainnya yang bernama Zaw Naing Tun berkata:
“Ketika kami melakukan operasi pembersihan di Desa Kalar, kami menembak mati dan memusnahkan sesuai dengan perintah membunuh, tidak peduli apakah mereka anak-anak atau orang dewasa”
Menurut jurnal yang ditulis Amnesty International, Negara Bagian Rakhine merupakan negara bagian paling miskin di Myanmar. Suku-suku yang ada di Rakhine ini, utamanya Suku Magh, pada akhirnya merasa terdiskriminasi dan merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat, yang didominasi oleh Suku Birma atau Bamar. Dalam situasi seperti inilah, suku-suku di Rakhine, terutama Suku Magh selaku Pribumi Rakhine, merasa bahwa Etnis Rohingya sebagai pesaing mereka dalam perebutan sumber daya (makanan). Oleh karena itulah, dari sejarah panjang Burma (Myanmar) dan adanya masalah ketimpangan sosial-ekonomi yang begitu besar antar masyarakat, berakibat terhadap diskriminasi hingga genosida Etnis Rohingya di Myanmar. Buruknya hal tersebut didukung oleh Pemerintah di setiap masa.
Myanmar sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang dalam membiarkan ketidakpercayaan antar-etnis di masyarakat, bahkan tidak hanya dibiarkan apalagi diajarkan rasa toleransi antar Etnis Rohingya dengan Etnis Asli Burma (antar masyarakat beda etnis). Tetapi hal tersebut malahan dieksploitasi oleh militer Myanmar dengan tujuan memperoleh keuntungan atas status dan kedudukan militernya, dan keuntungan-keuntungan lainnya. Sejak tahun 2017, terdapat 730 ribu orang Rohingya yang kabur dari Myanmar dan mencari pertolongan ke negara-negara lain, terutama ke Bangladesh, dimana Bangladesh sendiri sebagai negara penampung pengungsi Rohingya terbesar di dunia, diperkirakan terdapat 700 ribu pengungsi Rohingya disana.
Meskipun demikian, tidak sedikit Pengungsi Rohingya di Bangladesh yang menginginkan hidup lebih layak, akhirnya mereka mencari negara lain yang lebih tepat agar mereka dapat memperoleh hidup yang lebih baik dari sebelumnya dengan cara mencari kerja. Namun faktanya tidak banyak dari mereka yang sampai ke negara tujuan yang diinginkan, karena beberapa faktor, diantaranya mendapatkan penolakan dari negara yang dituju, mengalami diskriminasi, eksploitasi hingga perdagangan manusia (Rohingya), dan memperoleh kematian di kapal sebelum sampai ke negara yang dituju.
***
Penulis : Fathul Jawad
Universitas Al –Azhar Indonesia
Mahasiswa Magang LP3ES 2021