Depok, LP3ES– Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melaksanakan Sekolah Demokrasi Angkatan II secara virtual dengan tema “Survei Politik Dinamika Elektoral dan Demokratisasi”.
Sekolah Demokrasi Angkatan II diikuti oleh 40 peserta dari berbagai latarbelakang seperti anggota DPRD, akademisi, penyelenggara pemilu, peneliti, pengurus parpol, jurnalis, ASN, tokoh masyarakat dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Diskusi kali ini menghadirkan Fajar Nursahid, Direktur Eksekutif LP3ES, selaku pembicara. Sementara itu yang bertindak sebagai moderator adalah Ahmad Jazuli Abdillah, anggota DPRD Provinsi Banten, yang merupakan alumnus Sekolah Demokrasi I.
Survei Politik
Pembahasan diskusi dimulai oleh Fajar dengan menjelaskan ciri demokrasi menurut Robert Dahl, salah satunya adalah adanya informasi alternatif yang merupakan pilar penting dari demokratisasi. Produksi pengetahuan oleh aktor non-Negara harus dijamin dan hal itu merupakan pilar dari sebuah negara demokrasi. Hal tersebut hanya tersedia ketika negara masuk kepada era demokratisasi. Oleh karena itu lembaga survei dan jajak pendapat terlaksana ketika negara memberikan jaminan kebebasan.
Kemudian dalam konteks social research dan survei, Fajar menjelaskan, keduanya mempunyai tendensi sebagai produksi pengetahuan yang didapatkan melalui kinerja saintifik. Survei dikonsepsikan sebagai sebuah proses yang mempunyai knowledge dan basis yang menjadi perantaranya yakni pendekatan ilmiah (scientific approach). Hal tersebut yang menyebabkan survei tidak dapat dilihat sebagai common sense.
Oleh karenanya survei dalam pemilu menjadi sebuah katalisator yang penting untuk menduga seseorang itu mendapat dukungan mayoritas atau tidak. Dengan demikian survei dapat memberikan konfirmasi yang lebih ilmiah. Menurutnya kekuatan survei mempunyai dua hal penting yaitu: generalisasi dan proyeksi.
Lebih lanjut Fajar menjelaskan bahwa survei disamping memiliki banyak kelebihan juga mempunyai kelemahan yang beragam. Kekurangan survei hasilnya tidak mendalam, tidak bisa menjelaskan banyak hal—hanya menjelaskan angka-angka besar dan tidak bisa menjelaskan aspek “mengapa”. Untuk itu survei perlu dilengkapi dengan berbagai macam metode lain. Selain itu Fajar menambahkan bahwa survei juga menjadi salah satu metode yang kuat untuk menduga populasi—generalisasi adalah bagian terpenting.
“Inilah salah satu kelebihan survei, dimana survei bisa memberikan proyeksi, membuat penduga dari basis data yang dipunyai, meskipun masih berupa proyeksi-proyeksi. Namun semua ini harus ada syaratnya yaitu realibilitas dan validitas. Komponen dan instrumen yang dipakai harus bisa mewakili sebuah kenyataa populasi” kata Fajar, (Jumat 21/08/2020).
Oleh karenanya menyusun sebuah intrumen tersebut menjadi sesuatu yang penting. Instrumen harus benar-benar handal dan konsisten. Dengan demikian ada keabsahan dari suatu survei yang dilakukan. Tanpa syarat tersebut hasil yang dihasilkan menjadi batal karena ketidaksesuaian dengan validitas dan reabilitas tersebut.
Fajar menegaskan, lembaga survei harus terbuka, mulai dari metodelogi dan prosedur harus jelas. Selain itu lembaga survei juga harus memiliki hasil survei yang dapat dibandingkan dengan hal yang sebangun. Selanjutnya, Fajar menambahkan bahwa lembaga survei harus mempunyai pendanaan dan spornship yang jelas.
“Bunuh Diri” Pollster
Dalam pemaparannya, Fajar juga sempat menyinggung tentang tragedi “bunuh diri” pollster, yang pada pemilu 2014 terjadi pembelahan dan hasil yang berkebalikan. Hal tersebut menurutnya terlalu gegabah ketika ada lembaga yang melakukan pelacuran politik tersebut. Karena sesungguhnya quick count berkali-kali sudah dapat mengkonfirmasi hasil secara saintifik dan akurat.
Fajar mengatakan bahwa pertumbuhan pollster nyatanya tidak diimbangi dengan sikap moral yang melekatkan sikap intelektualitas. Hal ini menyebabkan adanya distrust di masyarakat. Saat pemilu 2014-2019, lembaga survei justru menjadi bagian dari pemenangan politik saat itu. Akhirnya masyarakat menyepelekan quick count.
Padahal menurut Fajar quick count bukan sekedar adu cepat siapa menang dan siapa yang kalah. Namun, lebih dari itu—juga menjadi bagian dari instrumen pemantauan pemilu dan memastikan terjadinya potensi pelanggaran pemilu. Pada saat ini quick count seperti ini telah hilang dan tercerabut dari praktik intelektualisme dan malah saat ini hanya menjadi alat pemenangan saja.
“Padahal esensi quick count pertama di Filipina yang kita adopsi tahun 1999 di DKI dan NTB, itu adalah hanya lembaga pemantauan, karena data bergerak dari TPS ke daerah-daerah. Itu ada proses delay sehingga ada potensi manipulasi. Nah, quick count itu adalah yang memantau itu, kemudian juga quick count bukan cuma sekedar adu cepat saja tapi juga memastikan seberapa banyak terjadi pelanggaran di TPS, Misalnya seberapa banyak TPS yang tidak ada kartu cadangannya, seberapa banyak pemilih yang diintimidasi, seberapa banyak TPS yang tidak menyediakan tinta” jelasnya.
Dinamika Elektoral dan Demokratisasi
Sementara itu kaitan survei politik dengan dinamika elektoral, dalam pemaparan Fajar, saat ini dibagi kedalam dua hal yakni: era populisme politik dan konteks kompetisi elektoral. Di mana saat ini publik menjadi penentu proses politik elektoral.
Selain itu, menurutnya, survei politik itu sendiri telah mendemokratisasikan proses kontestasi elektoral sebagai pendorong demokratisasi. Namun, di sisi lain populisme politik menjadi catatan dalam membangun demokrasi. Artinya politisi telah terdorong untuk membuat kebijakan yang lebih base on survei yang bukan dalam kerangka rasional—membuat kebijakan melalui publik tapi lupa dengan visinya sendiri.
Selanjutnya, Fajar menguraikan bahwa survei bisa menjadi instrumen yang bias dan manipulatif. Aspek-aspek inovatif dan kemajuan daerah itu terhambat karena direm oleh hasil survei itu sendiri. Survei pada akhirnya tidak bisa mengkonfirmasi rasionalitas publik. Survei itu hanya bisa menangkap apa yang diinginkan publik namun tidak semua hal rasional.
Oleh karenanya tantangan pollster ke depan menurut Fajar mesti memulihkan kepercayaan publik (public trust) melalui kredibilitas dan integritas. Selain itu, kata Fajar, pollster harus memisahkan peran riset dan konsultasi pemenangan politik.
Fajar menutup sesi materi dengan menjelaskan bahwa hasil survei proyek demokratisasi bukan hanya persoalan elektoral namun juga sebagai pembuat kebijakan (policy maker), dan lembaga survei harus kembali kepada intelektualitasnya.
Reporter: Teddy Nugroho (UNJ)