Direktur Eksekutif LP3ES: Jaga demokrasi dengan Sekolah Demokrasi

Direktur Eksekutif LP3ES: Jaga demokrasi dengan Sekolah Demokrasi

Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar ‘Sekolah Demokrasi’ Angkatan Ke-3

Menurut Direktur Eksekutif LP3ES Fajar Nursahid, sekolah ini diselenggarakan untuk menjaga demokrasi Indonesia tetap di rute yang tepat. “Forum Sekolah Demokrasi ini menjadi ikhtiar untuk membangun demokrasi dan menjaga demokrasi di rute yang tepat,” ujar Fajar Nursahid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/8).

Fajar mengatakan pandangannya saat memberi sambutan pada pembukaan Sekolah Demokrasi yang akan diselenggarakan dari 12-19 Agustus 2021. Bagi Fajar, partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam keberlangsungan negara, oleh karena itu ia mendukung penyelenggaraan Sekolah Demokrasi yang kini telah mencapai angkatan yang ketiga. Sebanyak 41 orang peserta, berasal dari unsur yang beragam yaitu akademisi, mahasiswa, jurnalis, pengurus partai politik.

Kemudian tokoh masyarakat/agama, aktivis penyelenggara pemilu, hakim dan anggota legislatif, akan mengikuti Sekolah Demokrasi Angkatan III. Peserta yang terlibat dalam Sekolah Demokrasi berasal dari Aceh sampai Papua dan merupakan peserta terpilih dari 204 pendaftar.

Sekolah Demokrasi Angkatan III ini mencoba untuk mendorong terwujudnya generasi baru yang akan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J. Rachbini juga menyampaikan sambutan dan harapan kepada para peserta Sekolah Demokrasi. “Lembaga ini memiliki pengalaman yang sangat mumpuni dalam ranah pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas demokrasi,” ucap Didik. Berlandaskan pada pengalaman tersebut, Didik melanjutkan, tidak mengherankan Sekolah Demokrasi bersifat eksklusif, dalam artian para peserta harus melalui proses seleksi yang ketat. Didik berharap agar para peserta Sekolah Demokrasi dapat menjawab tantangan-tantangan demokrasi yang kini sedang dihadapi oleh negara dalam masa pandemi COVID-19. Penutupan sekolah demokrasi akan diiringi oleh peluncuran buku yang berasal dari forum diskusi mingguan yang telah berlangsung sejak Oktober 2020 – Juni 2021 dan melibatkan 134 ilmuwan sosial politik dari seluruh dunia.

Sumber : jpnn.com

Survei Politik, Dinamika Elektoral dan Demokratisasi

Survei Politik, Dinamika Elektoral dan Demokratisasi

Depok, LP3ES– Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melaksanakan Sekolah Demokrasi Angkatan II secara virtual dengan tema “Survei Politik Dinamika Elektoral dan Demokratisasi”.

Sekolah Demokrasi Angkatan II diikuti oleh 40 peserta dari berbagai latarbelakang seperti anggota DPRD, akademisi, penyelenggara pemilu, peneliti, pengurus parpol, jurnalis, ASN, tokoh masyarakat dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Diskusi kali ini menghadirkan Fajar Nursahid, Direktur Eksekutif LP3ES, selaku pembicara. Sementara itu yang bertindak sebagai moderator adalah Ahmad Jazuli Abdillah, anggota DPRD Provinsi Banten, yang merupakan alumnus Sekolah Demokrasi I.

Survei Politik

Pembahasan diskusi dimulai oleh Fajar dengan menjelaskan ciri demokrasi menurut Robert Dahl, salah satunya adalah adanya informasi alternatif yang merupakan pilar penting dari demokratisasi. Produksi pengetahuan oleh aktor non-Negara harus dijamin dan hal itu merupakan pilar dari sebuah negara demokrasi. Hal tersebut hanya tersedia ketika negara masuk kepada era demokratisasi. Oleh karena itu lembaga survei dan jajak pendapat terlaksana ketika negara memberikan jaminan kebebasan.

Kemudian dalam konteks social research dan survei, Fajar menjelaskan, keduanya mempunyai tendensi sebagai produksi pengetahuan yang didapatkan melalui kinerja saintifik. Survei dikonsepsikan sebagai sebuah proses yang mempunyai knowledge dan basis yang menjadi perantaranya yakni pendekatan ilmiah (scientific approach). Hal tersebut yang menyebabkan survei tidak dapat dilihat sebagai common sense.

Oleh karenanya survei dalam pemilu menjadi sebuah katalisator yang penting untuk menduga seseorang itu mendapat dukungan mayoritas atau tidak. Dengan demikian survei dapat memberikan konfirmasi yang lebih ilmiah. Menurutnya kekuatan survei mempunyai dua hal penting yaitu: generalisasi dan proyeksi.

Lebih lanjut Fajar menjelaskan bahwa survei disamping memiliki banyak kelebihan juga mempunyai kelemahan yang beragam. Kekurangan survei hasilnya tidak mendalam, tidak bisa menjelaskan banyak hal—hanya menjelaskan angka-angka besar dan tidak bisa menjelaskan aspek “mengapa”. Untuk itu survei perlu dilengkapi dengan berbagai macam metode lain. Selain itu Fajar menambahkan bahwa survei juga menjadi salah satu metode yang kuat untuk menduga populasi—generalisasi adalah bagian terpenting.

“Inilah salah satu kelebihan survei, dimana survei bisa memberikan proyeksi, membuat penduga dari basis data yang dipunyai, meskipun masih berupa proyeksi-proyeksi. Namun semua ini harus ada syaratnya yaitu realibilitas dan validitas. Komponen dan instrumen yang dipakai harus bisa mewakili sebuah kenyataa populasi” kata Fajar, (Jumat 21/08/2020).

Oleh karenanya menyusun sebuah intrumen tersebut menjadi sesuatu yang penting. Instrumen harus benar-benar handal dan konsisten. Dengan demikian ada keabsahan dari suatu survei yang dilakukan. Tanpa syarat tersebut hasil yang dihasilkan menjadi batal karena ketidaksesuaian dengan validitas dan reabilitas tersebut.

Fajar menegaskan, lembaga survei harus terbuka, mulai dari metodelogi dan prosedur harus jelas. Selain itu lembaga survei juga harus memiliki hasil survei yang dapat dibandingkan dengan hal yang sebangun. Selanjutnya, Fajar menambahkan bahwa lembaga survei harus mempunyai pendanaan dan spornship yang jelas.

“Bunuh Diri” Pollster

Dalam pemaparannya, Fajar juga sempat menyinggung tentang tragedi “bunuh diri” pollster, yang pada pemilu 2014 terjadi pembelahan dan hasil yang berkebalikan. Hal tersebut menurutnya terlalu gegabah ketika ada lembaga yang melakukan pelacuran politik tersebut. Karena sesungguhnya quick count berkali-kali sudah dapat mengkonfirmasi hasil secara saintifik dan akurat.

Fajar mengatakan bahwa pertumbuhan pollster nyatanya tidak diimbangi dengan sikap moral yang melekatkan sikap intelektualitas. Hal ini menyebabkan adanya distrust di masyarakat. Saat pemilu 2014-2019, lembaga survei justru menjadi bagian dari pemenangan politik saat itu. Akhirnya masyarakat menyepelekan quick count.

Padahal menurut Fajar quick count bukan sekedar adu cepat siapa menang dan siapa yang kalah. Namun, lebih dari itu—juga menjadi bagian dari instrumen pemantauan pemilu dan memastikan terjadinya potensi pelanggaran pemilu. Pada saat ini quick count seperti ini telah hilang dan tercerabut dari praktik intelektualisme dan malah saat ini hanya menjadi alat pemenangan saja.

Padahal esensi quick count pertama di Filipina yang kita adopsi tahun 1999 di DKI dan NTB, itu adalah hanya lembaga pemantauan, karena data bergerak dari TPS ke daerah-daerah. Itu ada proses delay sehingga ada potensi manipulasi. Nah, quick count itu adalah yang memantau itu, kemudian juga quick count bukan cuma sekedar adu cepat saja tapi juga memastikan seberapa banyak terjadi pelanggaran di TPS, Misalnya seberapa banyak TPS yang tidak ada kartu cadangannya, seberapa banyak pemilih yang diintimidasi, seberapa banyak TPS yang tidak menyediakan tintajelasnya.

Dinamika Elektoral dan Demokratisasi

Sementara itu kaitan survei politik dengan dinamika elektoral, dalam pemaparan Fajar, saat ini dibagi kedalam dua hal yakni: era populisme politik dan konteks kompetisi elektoral. Di mana saat ini publik menjadi penentu proses politik elektoral.

Selain itu, menurutnya, survei politik itu sendiri telah mendemokratisasikan proses kontestasi elektoral sebagai pendorong demokratisasi. Namun, di sisi lain populisme politik menjadi catatan dalam membangun demokrasi. Artinya politisi telah terdorong untuk membuat kebijakan yang lebih base on survei yang bukan dalam kerangka rasional—membuat kebijakan melalui publik tapi lupa dengan visinya sendiri.

Selanjutnya, Fajar menguraikan bahwa survei bisa menjadi instrumen yang bias dan manipulatif. Aspek-aspek inovatif dan kemajuan daerah itu terhambat karena direm oleh hasil survei itu sendiri. Survei pada akhirnya tidak bisa mengkonfirmasi rasionalitas publik. Survei itu hanya bisa menangkap apa yang diinginkan publik namun tidak semua hal rasional.

Oleh karenanya tantangan pollster ke depan menurut Fajar mesti memulihkan kepercayaan publik (public trust) melalui kredibilitas dan integritas. Selain itu, kata Fajar, pollster harus memisahkan peran riset dan konsultasi pemenangan politik.

Fajar menutup sesi materi dengan menjelaskan bahwa hasil survei proyek demokratisasi bukan hanya persoalan elektoral namun juga sebagai pembuat kebijakan (policy maker), dan lembaga survei harus kembali kepada intelektualitasnya.

Reporter: Teddy Nugroho (UNJ)

Sekolah Demokrasi LP3ES Sebarkan Semangat Demokrasi ke Penjuru Daerah di Indonesia

Sekolah Demokrasi LP3ES Sebarkan Semangat Demokrasi ke Penjuru Daerah di Indonesia

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terus menebarkan spirit demokrasi di Indonesia dengan menyelenggarakan Sekolah Demokrasi (Sekdem) yang kedua kalinya.

Bedanya, Sekdem kali ini fokus pada daerah karena LP3ES juga ingin membangun demokrasi dan kesejahteraan di daerah.

Sekolah Demokrasi ini akan berlangsung selama 2 minggu dari 16 sampai dengan 29 Agustus 2020. Sekolah demokrasi kedua ini ditujukan untuk menyambut ultah Indonesia yang ke-75 dan Ultah LP3ES yang ke-49 pada 19 Agutus 2020.

Sekolah demokrasi dibuka pada hari ini, Minggu 16 Agustus 2020. Ada 4 orang yang memberikan sambutan: Wijayanto, kepala sekolah demokrasi LP3ES dan Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Fajar Nursahid, Direktur Eksekutif LP3ES, Didik Rachbini, Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Budi Setiyono, Pembantu Rektor I UNDIP dan Ismid Hadad, pendiri LP3ES.

Wijayanto, Kepala Sekolah Demokrasi (Sekdem) yang sekaligus merupakan direktur Center for Media and Democracy mengatakan, Sekdem II ini terselenggara berkat kerja sama antara LP3ES dan Universitas Diponegoro. Peserta yang mendaftar tak kurang dari 652 orang yang terdiri dari anggota DPRD, akademisi, penyelenggara pemilu, peneliti, pengurus parpol, jurnalis, ASN, tokoh masyarakat dan mahasiswa dari seluruh Indonesia, mulai Aceh hingga Papua, Kalimantan, Sulawesi, Bali hingga Nusa Tenggara.

Menurutnya, keragaman ini penting karena sekolah demokrasi ini didirikan dengan niat untuk membangun satu forum yang bisa menjadi jembatan bagi aktor-aktor progresif dari berbagai latar belakang untuk bertemu dan berdialog. Keragaman latar belakang menjadi kekayaan.

“Hal ini karena seringkali tiap aktor politik berbicara dalam keterbatasan perspektif mereka masing-masing yang dipengaruhi oleh posisinya berada. Ini kemudian menciptakan situasi ketika masing-masing aktor saling menyalahkan satu sama lain,” ujar Wijayanto dalam sambutannya secara virtual, Minggu (16/8/20).

Mengapa perbedaan persepsi ini terjadi? Wijayanto mengatakan, pandangan filsuf dan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu dapat membantu menjelaskannya lewat teorinya tentang arena yang dikenal sebagai “field theory”. Inti argumennya adalah bahwa bahwa arena merupakan satu lokus yang memiliki logikanya sendiri yang akan membentuk dan mempengaruhi tindakan sosial dari subyek yang ada di dalamnya.

“Karena setiap aktor bergerak menurut logika arenanya masing-masing dan melihat dari sudut pandang arenanya itu, maka tak heran jika mereka melihat dengan cara yang berbeda dan menginternalisasi satu habitus yang berbeda pula,” jelasnya.

Dalam hal ini, Bourdieu membagi arena dalam kategori arena akademik, arena politik , dan arena jurnalistik. Lantas, karena setiap aktor cenderung melihat masalah dalam persepktif mereka yang sempit, maka satu wadah yang bisa menjadi jembatan agar orang-orang yang berasal dari arena yang berbeda-beda itu untuk saling bertemu dan berdialog menjadi penting. Meminjam ide Habermas, dialog merupakan metode untuk menemukan rasio komunikatif.

Dialog membangun saling pengertian, menstimulasi pemikiran kritis dan menghadirkan ide-ide baru yang segar. Pertama-tama untuk merumuskan masalah konsolidasi demokrasi yang kita hadapi dengan dingin, jujur, tanpa tergesa. Termasuk mempertanyakan apa yang kita anggap normal dan tidak normal dalam peradaban politik kita.

Banyak aspek yang ikut terbawa ketika demokrasi masuk dalam pembahasan, termaksud dalam diselenggarakannya Sekolah Demokrasi ini. Keberagaman yang dapat diamati dari komposisi perserta ternyata tidak menjadi satu-satunya hal menarik. Sejalan dengan beragamnya latar belakang yang layaknya miniature negara, topik-topik yang diangkat dalam serangkaian materi juga diwarnai oleh semangat desentralisasi.

Hal ini ternyata menegaskan bagaimana demokrasi, walaupun bukan menjadi sebab utama, tetapi tetap berhubungan dengan pembangunan dan kesenjangan dalam masyarakat di daerah. Walaupun demikian, di negara-negara yang dianggap demokratis, seperti Thailand dan India, kesenjangannya tertinggi di dunia.

Sementara, Didik J Rachbini menerangkan, “Jadi, demokrasi itu necessary but not sufficient. Jadi, perlu, tapi tidak otomatis. Perlu ada orang yang berjuang.”

Sedangkan, peneliti LP3ES Ismid Hadad menjelaskan, dalam pembangunan yang dilakukan pemerintah, perlu ada perspektif bottom-up yang diperjuangkan oleh berbagai kalangan masyrakat sipil. Di sisi ini lah, demokrasi masuk dan memainkan peranannya.

“Jadi, demokrasi itu menjadi titik tolak dan landasan untuk mencapai tujuan, tetapi sekaligus sebagai cara untuk mencapai tujuan pembangunan itu sendiri yang harus ditentukan bersama rakyat, bersama masyrakat. Jadi, prinsip demokrasi dilaksanakan bukan hanya sebagai persyaratan procedural,” jelas Ismid.

Lebih jauh Ismid menyampaikan bahwa sekolah demokrasi ini juga ditujukan untuk menyambut ultah Indonesia yang ke-75 dan Ultah LP3ES yang ke-49 pada 19 Agutus 2020.

Eksistensi dari Sekolah Demokrasi pun turut mengambil peranan yang nyata dalam upaya  melakukan investasi sumberdaya manusia. Hal tersebut diapresiasi oleh Budi Setyono, “Saya kira momen seperti ini dan sekolah seperti yang diinisiasi oleh LP3ES adalah satu hal yang sangat penting. Bagaimana kita mentradisikan cara-cara pencapaian tujuan di dalam meraih substansi nilai-nilai demokrasi itu di dalam milestone yang bisa terukur sedemikian rupa. Sehingga  kita bisa menikmati apa yang namanya demokrasi itu, bukan justru demokrasi yang memakan korban anak bangsa sendiri.”

Direktur Eksekutif LP3ES, Fajar Nursahid, dalam sambutannya meyampaikan bahwa pada Sekdem kali ini fokusnya adalah pada daerah karena LP3ES juga ingin membangun demokrasi dan kesejahteraan di daerah.

Sumber : merdekanews.co