Mengawinkan Penelitian Dan Kebijakan Yang Memberdayakan Masyarakat Melalui Riset Aksi Partisipatoris

Mengawinkan Penelitian Dan Kebijakan Yang Memberdayakan Masyarakat Melalui Riset Aksi Partisipatoris

Alkisah, ada sebuah desa yang masyarakatnya belum memiliki tempat khusus untuk MCK (Mandi-Cuci-Kakus). Mereka masih memanfaatkan sungai untuk menjawab panggilan alam. Mengetahui hal ini, seorang pejabat yang baik hati memutuskan membangun fasilitas MCK tersebut. Tidak tanggung-tanggung, dibangunkan begitu banyaknya di sepanjang sungai. Biar mudah juga aksesnya. Dengan harapan masyarakat sekitar menjadi lebih ‘beradab’, pejabat tersebut meninjau kembali. Ia kaget bukan kepalang. Deretan MCK yang dibangun tersebut seperti tak tersentuh. Tidak ada masyarakat sekitar yang memakainya. Perilaku mereka tidak berubah, meski kebijakan sudah dieksekusi.

Sketsa di atas hanya mewakili sedikit dari sekian banyaknya kebijakan yang, meskipun didesain dengan penuh perhatian dan diawali dengan niat mulia, gagal total setelah dieksekusi. Pembaca mungkin menyarankan pejabat tersebut untuk melakukan studi / penelitian terhadap masyarakat setempat, baru membuat fasilitas MCK. Namun, apa jaminannya kebijakan tersebut akan berhasil? Terlebih lagi, di negara berkembang, sangat sulit untuk sebuah penelitian ilmiah bisa memanjat tebing birokrasi yang begitu tinggi.

Salah satu alternatif riset yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah riset aksi partisipatoris. Bukan untuk mengidentifikasi masalah, riset ini bisa dipakai untuk mengatasi masalah, sebab mengawinkan penelitian sosial dan kebijakan pemberdayaan yang memperkuat pembangunan masyarakat dari dalam.

Apa Itu Riset Aksi Partisipatoris (RAP)?

Seperti yang tercermin dari namanya, riset ini menggabungkan aksi dan partisipasi si peneliti dalam menjawab masalah yang dihadapi oleh ‘objek penelitian’. Dalam kasus pembangunan MCK di atas, peneliti mengkaji perilaku masyarakat setempat, namun mengajak mereka berpartisipasi dalam diskusi untuk merumuskan masalah yang dihadapi.

Peran peneliti jauh lebih aktif. Jika pada penelitian konvensional, tahapan penelitian terdiri dari 1) pengumpulan data (mengobservasi-mengukur perilaku, mewawancara, dll), 2) analisis, dan 3) pembuatan laporan, dalam RAP penelitian akan terdiri dari 1) pengumpulan data (observasi perilaku), 2) pemetaan sosial, 3) FGD, dan 4) aksi pemberdayaan. Dalam RAP, masyarakat diajak memetakan (secara sosial maupun geografis) kondisi sekitarnya. Dalam tahap FGD, peneliti mengarahkan ‘objek penelitian’-nya untuk menyadari masalah sekitar, agar terbangun kesadaran dalam masyarakat sendiri.

Dalam RAP, sebenarnya tidak pas menyebut ‘objek penelitian’, sebab partisipasi aktif mereka dalam mengidentifikasi mereka. Mereka ikut menjadi subjek, yang dibantu oleh peneliti untuk merumuskan masalah dan berupaya untuk memperbaikinya. Peneliti banyak melibatkan peran masyarakat dalam menentukan nasib mereka sendiri, menggabungkan elemen-elemen riset (pencaritahuan masalah) dan kebijakan pemberdayaan (pengentasan masalah secara mandiri).

Ya, jika dibandingkan dengan riset konvensional, RAP memang tidak memberi jarak antara peneliti dan yang diteliti. Lagipula, ini adalah riset sosial, sehingga, subjektivitas adalah hal yang tak terelakkan. RAP memang hadir untuk menanggapi penelitian sosial yang memaksakan positivisme ilmu alam yang dipenuhi asumsi-asumsi tidak akurat mengenai perilaku manusia. Meskipun demikian, penelitian ini tidak tak cocok dengan penelitian konvensional. Memang lebih baik jika keduanya dijalankan beriringan, memenuhi fungsinya masing-masing.

Signifikansi dan Relevansi RAP

Dalam pembangunan masyarakat, banyak kebijakan berbasis paternalisme begitu terpisah dengan kondisi masyarakat, sehingga gagal mengubah perilaku masyarakat. Kebijakan yang bermuara dari satu otoritas sentral juga cenderung tidak menyesuaikan situasi yang berbeda, menciptakan ‘sepatu satu ukuran’ untuk kaki yang berbeda-beda.

Maka dari itu, RAP bisa menjadi model riset ideal untuk mengisi kekurangan ini. Di dalamnya, ia juga memberdayakan masyarakat untuk menjadi mandiri, agar dapat menopang keberlangsungan hidupnya sendiri. Sukses atau tidaknya RAP bergantung pada kemampuan kepemimpinan peneliti dalam menggerakkan masyarakat.

Penulis: Hardy Salim, Universitas Indonesia (Mahasiswa Magang LP3ES)