Budaya dan Tradisi Sunda Yang Tetap Lestari di Indonesia

Budaya dan Tradisi Sunda Yang Tetap Lestari di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang paling beragam di dunia. Terdapat berbagai macam suku bangsa dengan 512 bahasa yang dipertuturkan oleh berbagai manusia yang hidup di dalamnya. Salah satu suku bangsa yang tetap melestarikan bahasa dan budayanya adalah suku bangsa Sunda yang termasuk ke dalam suku bangsa mayoritas kedua setelah Jawa di Indonesia. Masyarakat etnis atau suku bangsa Sunda, merupakan suku bangsa yang hidup di Pulau  Jawa bagian barat Indonesia, orang Sunda atau suku Sunda merupakan orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dalam percakapan sehari – hari, lazimnya tinggal di daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Terdapat Upacara adat panen, upacara adat sunda saat Ramadhan, dan upacara pernikahan adat sunda merupakan budaya dan tradisi yang tetap lestari di Indonesia hingga kini.

Upacara Adat Panen Masyarakat Sunda

Seren Taun merupakan upacara ungkapan syukur atas suka dan duka yang dialami di bidang pertanian selama setahun lalu dan tahun yang akan datang. Acara ini dilakukan tiap tanggal 22 Bulan Rayagung bulan terakhir kalender Sunda. Sebelum acara ini dilaksanakan terlebih dahulu melaksanakan upacara Ngajayak (menjemput padi) pada tanggal 18 Rayagung. Padi menjadi objek utama dari upacara adat Seren Taun, selain itu acara ini menjadi ajang rasa syukur terhadap dewi Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang merupakan dewi kesuburan.

Upacara Nyalin atau Nyawen juga merupakan upacara adat dalam memanen padi. Dimana, sebelum melakukan panen padi upacara adat dilakukan dengan pimpinan Wali Puhun, Wali tersebut memiliki tanggung jawab terhadap Ngerok (menyiangi sawah) hingga Nyimpen Ibu (mengumpulkan atau mengambil padi ke lumbung padi). Upacara adat ini bermaksud untuk mengambil padi sebagai ciptaan tuhan dan tata krama karena padi menjadi salah satu sumber kehidupan manusia.

Upacara Ngaruwat Bumi dari kata rawat atau ngarawat artinya mengumpulkan atau memelihara, dengan maksud mengumpulkan seluruh anggota masyarakat atau mengumpulkan seluruh hasil bumi, baik bahan mentah, setengah jadi, maupun sudah matang. Adapun tujuan dari upacara ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai upaya tolak bala (bencana alam) dan ungkapan rasa syukur kepada leluhur.

Upacara Adat Sunda Saat Ramadhan

Munggahan yang berartikan unggah (naik) dengan maksud naik menjadi pribadi yang lebih baik, Munggahan dilaksanakan menjelang bulan suci Ramadhan yang dilakukan sehari atau dua hari sebelum bulan suci dengan melaksanakan makan bersama secara berderet dan lazimnya menggunakan daun pisang sebagai wadah makanan serta menjadi ajang silaturahmi antar keluarga. Munggahan merupakan adat Sunda yang berakulturasi dengan Islam.

Selain itu, Nganteuran juga merupakan tradisi adat sunda saat Ramadhan. Nganteuran adalah sedekah yang mengirimkan makanan jadi dari keluarga yang lebih muda kepada anggota keluarga yang lebih tua terutama orang tua. Selain itu, Nganteuran juga diberikan kepada masyarakat sekitar yang lebih membutuhkan. Selama melakukan Nganteuran wilayah pedesaan diramaikan dengan tradisi poe peupeuncitan yaitu tradisi memotong ayam dan ngabedahkeun empang yaitu memanen ikan di empang yang nantinya hasil dari panen tersebut dapat disedekahkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan.

Selanjutnya, ngadulag juga merupakan tradisi sunda saat Ramadhan. Dimana, Ngadulag atau Rampak Bedug adalah tradisi yang membunyikan bedug sebagai kegiatan islami yang dimainkan saat menyambut bulan Ramadhan, setelah tarawih, dan saat hari Idul Fitri. Tradisi ini bermakna simbol adat dan budaya sunda selama bulan Ramadhan di samping simbol pengingat shalat dalam Islam.

Upacara Pernikahan Adat Istiadat Sunda

Adat Pernikahan Sunda merupakan tradisi yang sudah lama dilakukan dan masih dilaksanakan oleh orang Sunda dalam melaksanakan upacara pernikahan-nya. Setelah masyarakat Sunda memeluk Islam, Islam telah memberikan warna baru terhadap kehidupan masyarakat Sunda dalam menjalankan budayanya, tak terkecuali dalam pernikahan adat-nya. Ellen sendiri berpendapat bahwa adat dengan agama Islam tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Islam di Asia Tenggara, tak terkecuali pada masyarakat Sunda. Dalam pernikahan adat Sunda, nilai-nilai Islam telah mempengaruhi adat nikah, seperti upacara sawer, buka pintu, dan lain-lainnya.

Upacara adat pernikahan Sunda terbagi menjadi 3 bagian, yakni sebelum adat nikah (pre-luminal), akad nikah (luminal), dan sesudah akad nikah (post-luminal). Dalam pre-luminal terdapat Neundeun Omongan, Ngalamar, Seserahan, Ngaras dan Siraman, dan Ngeuyeuk Seureuh. Kemudian pada fase luminal ini, terjadinya percampuran 2 insan yang dilaksanakan di masjid. Terakhir, dalam post-luminal terdapat Sawer, Nincak Endog, Upacara Buka Pintu, dan Upacara Huap Lingkung.

Di dalam upacara pernikahan Sunda, sebelum hari akad dikenal dengan tiga upacara yaitu, Pengajian, Ngebakan dan Ngeuyeuk Seureuh. Ngebakan yang berartikan memandikan dengan air doa, acara ini menyimbolkan rasa kasih sayang terhadap anak dari kedua orang tua dan sebagai penyucian diri lahir batin sebelum memasuki pernikahan, dahulu hanya menak Sunda yang dapat melakukannya dan sekarang sudah dapat dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Parahyangan.

Lalu, Ngeuyeuk Seureuh yang berasal dari kata paheuyeuk heuyeuk jeung beubeureuh yang berartikan bekerja sama dengan pasangan. Maksud acara ini adalah pemberian nasehat dari orang tua kepada calon mempelai. Dan terdapat pangeuyeuk sebagai pemimpin acara, dahulu acara ini hanya boleh disaksikan oleh sesepuh dan kedua mempelai karena terdapat penjelasan ilmu – ilmu yang mendalam tentang suami dan istri, namun sekarang acara ini boleh diperlihatkan oleh semua orang karena pangeuyeuk sudah memperhalus penjelasannya.

Kemudian, di hari pernikahan dilaksanakan tari Mapag Panganten yang termasuk ke dalam bagian post luminal dalam adat pernikahan sunda. Tari Mapag Panganten merupakan tarian yang dilakukan dalam pernikahan adat Sunda, dilakukan dengan arak-arakan, Mapag artinya menyambut atau menjemput sedangkan Panganten artinya pengantin, tarian ini dilakukan baik di akad nikah maupun acara resepsi. Tata cara melakukan tari Mapag Panganten dimulai dengan penjemputan mempelai pria dan wanita beserta keluarga ke kursi akad maupun menuju pelaminan ketika resepsi dilakukan. Lengser, Ambu, pembawa payung, penari merak, dan penari Pamayang diperlukan dalam tari tersebut. Tari Mapag Panganten pun melambangkan rasa syukur kepada Allah SWT atas ketetapan takdir yang mempertemukan kedua mempelai tersebut sebagai sepasang jodoh. Dalam tari Mapag Panganten seorang Lengser melantunkan syair dari tafsir QS. Ar-Rum ayat 21 yang bermakna tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, diciptakan untuk pasangan mempelai sebagai pasangan hidup dengan rasa sayang dan hidup dalam kedamaian.

Berdasarkan deskripsi diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya dan tradisi sejatinya merupakan identitas untuk mencitrakan diri dalam perjalanan sejarah kehidupan umat manusia, nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya  berkaitan erat dengan perilaku hidup dalam suatu masyarakat, tentang bagaimana nilai budaya dan tradisi itu dapat dilestarikan bergantung pada siapa yang bertanggung jawab merawatnya, seperti budaya dan tradisi suku Sunda  yakni  upacara adat panen, upacara adat sunda saat Ramadhan, dan upacara pernikahan adat Sunda dapat tetap lestari di Indonesia karena orang Sunda memiliki moralitas yang luhur dalam bertanggung jawab, baik pada Sang Pencipta, sesama manusia, bahkan terhadap alam. Hal ini tercermin dari nilai-nilai yang terkandung pada upacara-upacara suku Sunda tersebut, hingga bisa tetap lestari sampai dengan hari ini.

Opini ini ditulis oleh:

Fathul Jawad, Ghina Hana Zafira, dan Muhamad Fikri Asy’ari, Universitas Al-Azhar Indonesia

Referensi

Benny, C. J., dkk. (2007). Pakaian Tradisional Daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Giadi, R. & Aprilia, A. (2010). Salamina (Selamanya) Sundanese Wedding – Tata Rias, Busana, dan Adat Pernikahan Sunda. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Harsono, T. D. (2018). Ngaruwat Bumi: Tradisi yang Tetap Lestari di Kampung Banceuy. Tautan:https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/ngaruwat-bumi-tradisi-yang-tetap-lestari-di-kampung-banceuy/

Indrawardana, I. (2012). Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda dalam Hubungan dengan Lingkungan Alam. Komunitas 4 (1) : 1 – 8.

Koentjraningrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kuncoro, Mudrajad. (2013). Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Maulana, Mu’min. (2013). Upacara Daur Hidup dalam Pernikahan Adat Sunda. Refleksi, 13(05), 623-640.

Mustopa, I. R. (2021). Tradisi Munggahan di Tanah Sunda yang Unik. Tautan: https://osc.medcom.id/community/tradisi-munggahan-di-tanah-sunda-yang-unik-1743

Pemerintah Kabupaten Kuningan. Upacara Seren Taun. Tautan: https://www.kuningankab.go.id/wisata-dan-budaya/upacara-seren-taun

Suminar, N. R. (2009). Mengagungkan Ramadhan. Koran Kompas.

Suryadinata, Leo., dkk. (2003). Pendudukan Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Triani, S. (2014). Pembelajaran Rampak Bedug pada Ekstrakurikuler di SDN Cilegon 2. Skripsi.

Wulandari, P. (2019). Bentuk Penyajian Tari Mapag Panganten Dalam Upacara Perkawinan Adat Sunda Kreasi Citra Nusantara Studio di Kabupaten Bogor. Skripsi.