Popularitas Partai di Media Sosial, Apa Kata Big Data?

Popularitas Partai di Media Sosial, Apa Kata Big Data?

Maisie Sagita, analyst Continuum Big Data memaparkan hasil riset Continuum periode 01-31 Mei 2023 yang menemukan fakta-fakta menarik seputar kecenderungan netizen di media sosial twitter tentang popularitas Partai Politik saat ini.

Data yang diambil dari 485,743 perbincangan di media sosial dan terdiri dari 139,942 akun media sosial twitter.Data yang didapat oleh Continuum telah disaring terlebih dulu dari buzzer dan BOT, sehingga dapat diperoleh pendapat dari akun akun masyarakat pada umumnya.

Dari hasil pengumpulan data, dari 18 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu 2024, saat ini terdapat 5 partai politik yang paling popular di media massa yakni : Partai Nasdem, PDIP, PKS, PKB dan Gerindra.

“Partai Nasdem menjadi partai paling popular dengan tingkat penerimaan paling tinggi dan proporsi perbincangan positif yakni 77% atau 140 ribu lebih perbincangan oleh 26.056 akun medsos,” terang Maisie Sagita

Popularitas tersebut dikarenakan Partai Nasdem dan PKS (39 ribu perbincangan) menjadi partai populer karena langkahnya yang berani menyalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dan dinilai menyelamatkan demokrasi.

Selain itu menurut Maisie, Partai Nasdem juga dianggap menyebabkan kader partai lain pindah ke Nasdem.

“Di sisi lain, publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader Partai Nasdem dan meminta untuk menyelidiki aliran dan korupsi ke partai. Publik juga curiga dengan biaya pembangunan Nasdem Tower,” ungkapnya.

Selain itu partai PKB dengan 38 ribu perbincangan juga populer karena ada narasi perbedaan dukungan di akar rumput antara mendukung Anies Baswedan dan Prabowo.

Sementara PDIP (110 ribu perbincangan positif oleh 30,785 akun medsos) meraih 71,5% tingkat popularitas positif karena Bacapres Ganjar Pranowo. Gerindra dengan 35,400 perbincangan populer karena didorong percakapan bacapres Prabowo.

Sementara 58,5% percakapan pendukung PDIP berisi dukungan kepada Ganjar Pranowo. Di sisi lain publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader PDIP. Padahal dulu PDIP memperjuangkan reformasi tetapi justru sekarang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.

PKS, partai Islam memperoleh 39,542 perbincangan oleh 14,137 akun medsos dan memperoleh positive rate 80,9%. Elektabilitas PKS menjadi semakin naik karena mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024 dan menyelamatkan demokrasi.

Namun, PKS juga dikritik karena tindakan kekerasan oleh kadernya, dan menyoroti kader PKS lain yang menolak UU tindak pidana kekerasan seksual. Isu majunya Kaesang sebagai calon Walikota Depok juga memunculkan keinginan publik untuk menyingkirkan PKS dari Depok.

Partai Gerindra, mendapat 35,350 perbincangan oleh 16,132 akun medsos. 58,1 percakapan berisi dukungan publik untuk kepada Prabowo.

“Publik juga mengapresiasi tim Gerindra yang mampu membangun citra Prabowo dengan sangat baik. Tetapi di sisi lain tindakan Prabowo yang menggandeng keluarga Jokowi menyebabkan publik menilai Gerindra gagal dalam mengkader bibit bibit dalam partai,” jelas Maisie.

Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto dalam paparannya menyebut dari perspektif normatif tentang Pemilu maka itu artinya berbicara ihwal demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin.

“Oleh karenanya kemudian pemilu digunakan sebagai cara bagi warga negara untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pada  pemimpin,” terangnya.

Menurut Wijayanto, sayangnya, saat ini pemilu di Indonesia ditempatkan dalam konteks kemunduran demokrasi sebagaimana telah muncul banyak catatan tentang pemilu yang berlangsung dalam suasana yang hampir ditunda, dan hampir jadi 3 periode petahana presiden.

“Pemilu diiringi dengan cawe-cawe presiden yang aktif memberikan dukungannya kepada dua capres. Hal itu menimbulkan pertanyaan dan protes publik. Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya. Menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” jelasnya.

Selanjutnya Dr Wijayanto juga memberikan opini terkait riset popularitas partai, tetapi ada satu hal penting, bahwa pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara. Lalu dibicarakan juga apa solusinya.

“Dari perbicangan riset Continuum yang ada nampaknya kita terjebak pada perbincangan tentang “pacuan kuda”. Kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali,” katanya.

Menurut Wijayanto, saat ini kita tidak mendengar itu semua dari partai-partai yang bersaing. Yang muncul hanya PKS Nasdem PDIP terkenal karena mendukung bacapres-bacapres Anies atau Ganjar Pranowo. Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada. Atau populernya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai,” ujarnya.

“Seharusnya mendekati pemilu 2204 yang sisa 7 bulan lagi, ada solusi atau konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa mulai dari HAM, kemiskinan, lapangan pekerjaan, isu lingkungan dan isu isu pro publik lainnya,” tegas Wijayanto.

Sumber: Barisan.co

Pembatasan Media Sosial Dinilai Mirip Demokrasi Liberal 1995

Kerusuhan saat aksi 21-22 Mei lalu berujung pembatasan akses media sosial selama tiga hari untuk menghindari penyebaran berita bohong dan hal lain yang tidak diinginkan. Hal ini diumumkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.

Pembatasan itu disebut memiliki kemiripan dengan periode demokrasi liberal yang terjadi pada 1955. Hal itu disampaikan Dosen Universitas Diponegoro, Wijayanto dalam diskusi bertema Perbandingan dan Praktik Demokrasi Liberal 1955 dan 2019 yang diadakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Wijayanto menilai keputusan membatasi penggunaan media sosial agak berlebihan mengingat pengguna media sosial terutama WhatsApp di Indonesia sangat banyak. Hal ini menurutnya tidak lazim ditemukan di negara demokrasi.


Sebab, perbedaannya pada masa sekarang, partisipasi politik masyarakat didorong oleh penggunaan media sosial. 

“Wiranto menyebutkan ini adalah upaya untuk menyelamatkan negeri. Ia mengklaim keamanan nasional terancam. Padahal di Jakarta, di beberapa titik di kota Jakarta. Ini mungkin agak lebay,” kata Wijayanto di Hotel Falatehan, Jakarta Selatan, Selasa (28/5).

Wijayanto menjelaskan hal ini mengingatkan dirinya pada masa kepemimpinan Presiden kedua Soeharto di mana ia ‘memberangus’ kebebasan media kecuali media milik militer dan RRI yang telah diambil alih pemerintah.

Namun, yang lebih mirip adalah periode tahun 1950-an di mana sistem yang dianut Indonesia berujung pada demokrasi terpimpin. Sistem demokrasi di mana semua keputusan dan kebijakan diambil oleh pemimpin negara yang pada waktu itu adalah Presiden Sukarno.

“Dari sisi media, Mochhtar Lubis menulis bahwa pada masa itu media massa sudah memiliki kebebasannya. Ujung dari periode demokrasi liberal pada 1955 ini adalah kita sampai pada periode demokrasi terpimpin atau guided democracy,” ujarnya.

“Demokrasi yang diarahkan,” ucap dia.


Lebih lanjut, ia juga menambahkan penerapan pembatasan terhadap media sosial mestinya ditemukan di sejumlah negara dengan kategori tidak bebas menurut tingkat kebebasan (level of freedom) dari data yang diluncurkan oleh organisasi Freedom House.

Menurut dia, Indonesia menerapkan kebijakan yang sama dengan China, Sri Lanka, Vietnam, Bangladesh, Turki dan Iran yang dikategorikan tidak bebas.

“Freedom House mencatat bahwa level kebebasan di sana lebih rendah dari pada di Indonesia. Indonesia termasuk negara yang agak bebas. Tapi melakukan kebijakan yang sama dengan China, Iran, Bangladesh,” ujarnya. 

Terakhir, Wijayanto menilai secara keseluruhan telah banyak kemiripan periode demokrasi saat ini dengan tahun 1955. Ia pun mengutip teori Jamie Mackie dan James Cotton yang menjelaskan pasang surut kebebasan media dan organisasi sipil pada masa lalu dipengaruhi oleh ideologi developmentalisme.

Ideologi itu diterapkan dengan meningkatnya pembatasan kepada media seiring dengan semakin kuatnya kapasitas rezim secara ekonomi dan semakin besarnya kebutuhan rezim untuk membangun.

Meskipun Wijayanto belum menyimpulkan Indonesia kembali pada masa Orde Lama atau Orde Baru, namun menurutnya hal ini sudah cukup mengganggu penerapan demokrasi yang ada.

“Sekurang-kurangnya gejala-gejala itu sudah secara nyata jadi penghalang konsolidasi demokrasi yang sekarang ini sedang kita langsungkan,” ujar dia.

Sumber : CNN Indonesia