Meningkatkan Perilaku Ramah Lingkungan untuk Mendukung Keberlanjutan Kapasitas Ekosistem Indonesia

Meningkatkan Perilaku Ramah Lingkungan untuk Mendukung Keberlanjutan Kapasitas Ekosistem Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di tengah tekanan eksploitasi sumber daya alam serta praktik pengelolaan sampah yang belum optimal. Di saat yang sama, hasil pengukuran Indeks Perilaku Ramah Lingkungan (IPRLH) 2024 dengan score 0,52 yang artinya perilaku masyarakat terhadap lingkungan di berbagai wilayah Indonesia berada dalam kategori yang rentan untuk berperilaku Tidak Ramah Lingkungan. Hal ini ditandai dengan GAP yang cukup signifikan antara dimensi pengetahuan (0,62), sikap (0,48), dan praktik (0,45) dalam mendukung keberlanjutan lingkungan.

5 provinsi dengan Perilaku Ramah Lingkungan yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (0,71), Daerah Khusus Jakarta (0,69), Maluku (0,65), Nanggroe Aceh Darussalam (0,64), dan Kalimantan Timur (0,64). Sedangkan 33 provinsi lainnya dengan kategori Cukup Ramah Lingkungan. 2 provinsi teratas yaitu Sumatera Utara dan Kepulauan Riau berpotensi masuk kategori Ramah Lingkungan

Sebagaimana diketahui, lingkungan hidup adalah pilar utama kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Namun, hingga kini, belum ada pengukuran yang memetakan perilaku manusia sebagai pelaku utama dalam pengelolaan lingkungan. Kajian berbasis pengukuran nonfisik ini menghasilkan indeks yang mencerminkan pengetahuan, sikap, dan praktik ramah lingkungan masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam upaya memperkuat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kontribusi manusia melalui perilaku sehari-hari yang mendukung keberlanjutan.

IPRLH merupakan hasil pengukuran dari penelitian yang dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan cakupan pengumpulan data di 38 provinsi dan 15.200 responden yang dipilih menggunakan kombinasi Purposive Sampling dan Stratifikasi Acak, mencakup wilayah pedesaan, perkotaan, pesisir, hingga kawasan hutan. Pengambilan data mencakup: Studi Literatur untuk menentukan variabel dan indikator. Survei Nasional berbasis provinsi dengan margin kesalahan ±5% di tingkat provinsi dan ±0,8% di tingkat nasional. Wawancara Mendalam dengan informan kunci, termasuk akademisi dan pegiat lingkungan. Focus Group Discussion (FGD) untuk validasi hasil bersama para ahli lingkungan, dan lainnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan, keberlanjutan kapasitas ekosistem Indonesia ditopang oleh kemampuan lingkungan hidup yang optimal. Ketersedian air misalnya dalam penelitian ini dari 15.200 responden yang ditemui menyebutkan Selalu tersedia air baik musim hujan maupun kemarau (59,4%) dan tersedia air meskipun sedikit berkurang di musim kemarau namun masih mencukupi (31,2%). Sayangnya, keberlimpahan ini tidak di imbangi dengan praktik ramah lingkungan yang berkelanjutan seperti Mematikan kran air jika sedang tidak digunakan (34,21%), Menampung air hujan dan digunakan kembali  untuk keperluan rumah tangga (31,80%) dan Memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain misalnya air bekas cuci sayur/buah digunakan untuk menyiram tanaman (17,38%).

Ketidakseimbangan antara kemampuan lingkungan hidup dan perilaku dalam pemanfaatan lingkungan juga terlihat dalam berbagai aktivitas individu dalam focal area udara, tanah, laut dan kehati seperti Memanfaatkan halaman rumah atau ruang terbuka lainnya untuk Menanam tanaman / pohon (37,03%), mengurangi penggunaan tissu (26,76%) dan kertas (25,09%), Menggunakan transportasi publik / angkutan umum untuk melakukan aktivitas sehari-hari (18,93%).

Diluar praktik individu pada tingkat rumah tangga, 151 informan kunci yang diwawancarai secara tatap muka dalam penelitian ini menyebutkan deforestasi, tambang ilegal, serta alih fungsi lahan terus memberikan tekanan besar pada ekosistem tidak hanya di pulau Jawa namun juga di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Pengelolaan Sampah

Sampah plastik menjadi salah satu masalah utama di seluruh wilayah Indonesia, termasuk  di kawasan pesisir. Pengelolaan limbah domestik yang buruk berkontribusi meningkatkan risiko pencemaran air dan tanah. Di Papua misalnya, pengelolaan sampah yang kurang memadai telah mengancam kualitas air di daerah aliran sungai. Sementara itu di Bali, sampah plastik di laut dan pesisir pantai mengancam ekosistem laut yang vital bagi sektor pariwisata.

Dalam kerangka 12 arah kebijakan untuk mewujudkan reformasi pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir, praktik pengelolaan sampah pada tingkat individu rumah tangga merujuk pada arah Penyadartahuan dan pemicuan perubahan perilaku masyarakat untuk pengurangan dan pemilahan sampah di sumber (arah ke 2) dan Pengumpulan dan pengangkutan sampah terpilah dan terjadwal (arah ke 3).

Tabel. Pengelolan Sampah Rumah Tangga (n= 15.200)

Praktik Pengelolaan Ya Tidak
Mengurangi penggunaan plastik, Styrofoam 29,9 70,1
Memilah sampah menurut jenisnya 28,9 71,1
Menggunakan kembali bekas kemasan yang masih bisa digunakan 29,6 70,4
Mendaur ulang sampah menjadi bentuk lain untuk digunakan sendiri 12,5 87,5
Mendaur ulang sampah menjadi bentuk lain untuk tujuan komersil (dijual) 10,3 89,7

 

Praktik Mengurangi penggunaan plastik, Styrofoam (29,9%) dan Memilah sampah menurut jenisnya (28,9%) tergolong masih sangat rendah. Menurut responden dalam penelitian ini, penyebab tidak melakukan pemilahan sampah antara lain yaitu tidak memiliki tempat sampah yang terpisah (61,8%), merepotkan (21,4%), dicampur atau dipisah sama saja (11,1%), di TPS/TPA tetap tercampur (3,9%) dan alasan lainnya (1,7%). Selain praktik diatas, masih ditemukan praktik pengelolaan sampah dengan cara dibakar (15,85%), dibuang ke laut / sungai / got / kebun / tempat lainnya (21,34%). Hal ini menunjukkan pentingnya untuk meningkatkan upaya penyadartahuan untuk memicu perubahan perilaku masyarakat dalam pengurangan dan pemilahan sampah pada tingkat sumber yaitu rumah tangga.

Praktik Ramah Lingkungan

Beberapa praktik ramah lingkungan yang berkontribusi terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan pada focal area air dan tanah antara lain Tempat pembuangan akhir tinja berupa Septic Tank/Saluran Pembuangan Air Limbah (79,53%), Memiliki resapan air di rumah berupa Tanah Pekarangan/ Sumur/ Lubang Resapan Biopori (77,71%), Jarak sumber air ke penampungan air limbah/ kotoran/tinja >=10 M (62,41%).  Pada focal area udara antara lain Memanfaatkan pencahayaan sinar matahari untuk penerangan ruangan (96,29 %) dan Menggunakan lampu hemat energi (80,74 %). Pada focal area laut dan Kehati antara lain Tidak pernah menebang pohon di hutan/lingkungan sekitar untuk kepentingan komersil / dijual (92,49%), Tidak pernah membuka lahan dengan cara dibakar untuk ladang, kebun, dll (88,38%), Menangkap ikan di laut dengan metode pancing tangan, jala, tombak dan perangkap bubu/ rawal dan bentuk lainnya yang ramah lingkungan (79,12%).

Kearifan Lokal sebagai Praktik Berkelanjutan

Kearifan lokal seperti Reusam di Aceh, Tri Hita Karana di Bali, Lubuk Larangan di Jambi dan Kewang di Maluku menunjukkan potensi besar dalam menjaga kelestarian lingkungan. Tradisi turun temurun ini menegaskan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dan alam sebagai bagian dari identitas budaya. Dengan dukungan kebijakan, edukasi, dan infrastruktur dari pemerintah, modal sosial kekayaan budaya Indonesia ini berpotensi besar menjadi solusi untuk menjaga daya dukung lingkungan secara berkelanjutan

Pola Perilaku dan Kapasitas Ekosistem

Dari temuan penelitian ini, menarik untuk menyandingkan antara perilaku dengan kualitas lingkungan pada 2 provinsi dengan urutan teratas score IPRLH yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (0,71) dan Daerah Khusus Jakarta (0,69).  Menurut informan kunci dalam penelitian ini, kualitas lingkungan hidup di Yogyakarta cenderung terus menurun dengan kualitas air, udara dan tutupan lahan yang menunjukan kondisi lingkungan hidup belum baik. Demikian halnya dengan Jakarta, informan kunci menggambarkan permasalahan Jakarta yang sangat akut yaitu sampah dan polusi udara. Dengan tingkat ancaman terhadap kerusakan hutan dan keanekaragaman hayati di Jakarta sangat tinggi terutama akibat urbanisasi, polusi, dan perambahan wilayah alam. Sebaliknya, informan kunci pada provinsi dengan score paling bawah menyebutkan kualitas lingkungan berada dalam kondisi yang sangat baik. Dalam kaitannya dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, perilaku berada dalam batas kapasitas ekosistem. Sedangkan di provinsi score paling bawah, perilaku menuju batas kapasitas ekosistem.

Penelitian ni menekankan pentingnya: (1) Edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan sikap dan praktik ramah lingkungan, terutama pada kelompok masyarakat dengan latar pekerjaan yang bergantung pada sumber daya alam dan pekerja domestik / rumah tangga. (2) Memperkuat Pendekatan Inklusif dan Kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat adat dalam membangun kesadaran lingkungan, menjaga kelestarian lingkungan, menciptakan tanggung jawab ekologis dalam eksploitasi sumber daya, serta memperkuat pengawasan dan pengendalian lingkungan. (3) Memperkuat kebijakan pada tingkat implementasi seperti akses terhadap teknologi hemat air dan pengelolaan air yang ramah lingkungan, akses terhadap teknologi hemat energi dan pemanfaatan energi terbarukan, ketersediaan fasilitas pemilahan dan daur ulang sampah serta kebijakan implementatif lainnya seperti Insentif lokal untuk mendorong praktik ramah lingkungan di tingkat rumah tangga

Upaya pengelolaan lingkungan tentu saja harus dilakukan secara holistik, menggabungkan kebijakan, edukasi, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor. Penerapan prinsip berkelanjutan, kearifan lokal, serta insentif ekonomi yang adil akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu dalam masyarakat kita telah mulai mengambil langkah-langkah signifikan untuk menjaga kualitas lingkungan, baik melalui kebiasaan hemat energi, pengelolaan air, maupun perlindungan ekosistem. Dukungan pemerintah dalam kebijakan dan program diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan praktik ramah lingkungan yang lebih luas. Dengan demikian, langkah kecil masyarakat ini akan berdampak besar dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.***

Webinar Bedah Buku Generasi Terakhir : Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan Kepunahan Lingkungan Hidup

Webinar Bedah Buku Generasi Terakhir : Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan Kepunahan Lingkungan Hidup

Kamis, (23/09/2021) Pukul 09:30, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bekerjasama dengan Masjid Istiqlal dan Universitas Nasional melaksanakan bedah buku “Generasi Terakhir” Yang bertemakan Aktualisasi Ajaran Islam dan Peranan Umat Islam Dalam Memberi Solusi Terhadap Dampak Perubahan Iklim Global.

Dalam pembukanya Imam Masjid Istiqlal K.H Nassaruddin Umar  menjelaskan bahwa buku ini merupakan buku yang sangat penting dalam melihat cara pandang indonesia untuk menjaga lingkungan hidup dari perspektif agama,khususnya agama islam. Buku ini membahas isu lingkungan hidup yang dapat diterima oleh semua kalangan umat beragama, terlebih imam masjid istiqlal berpendapat bahwa semua agama mempunyai pandangan yang sama terkait dengan bagaimana kepunahan alam semesta itu dapat terjadi.

“Pandangan sejumlah agama yaitu nasrani, yahudi,islam dan tentu agama agama lain juga memiliki pandangan yang sama terkait panjang pendeknya umur bumi itu ditentukan oleh manusia” ujarnya.

Hadir beberapa pembicara yang juga menjelaskan mengenai pentingnya umat beragama dalam menjaga lingkungan. Wakil rektor bidang pengabdian dan penelitian Universitas Nasional Ernawati Sinaga juga menagatakan bahwa buku generasi terakhir sangat penting untuk memberikan urgensi kepada semua umat manusia dalam menjaga lingkungan terkhusus soal perubahan iklim.

Lebih lanjut Direktur United Nation Environmental Program (UNEP) Iyad Abumoghhli  mengkritisi beberapa permasalahan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia—penyebabnya menurutnya ialah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Beliau juga menyampaikan tentang pentingnya menanam pohon sebagai bagian dari upaya menjaga alam.

“Ada banyak contoh baik dari Nabi Muhammad SAW salah satunya tentang pentingnya menanam pohon, nabi bersabda, jika sekiranya hari kiamat datang kepada kalian sementara masih ada bibit tanaman dalam genggaman tanganmu, maka hendaklah kamu menyelesaikan untuk menanam” tambahnya

Bahaya Pemanasan Global Bagi Kerusakan Alam

Direktur jendral pengendalian perubahan iklim KLHK Lakshmi Dhewanthi, mengatakan buku generasi terakhir memiliki dua makna yang utama, bahwa apakah kita semua adalah generasi terakhir yang ada di dunia atau kita semua adalah generasi terakhir di dunia yang harus menentukan untuk berubah, terkait dengan indikasi pemanasan global dapat dikurangi atau dapat dihambat.

Menurutnya Indonesia sangat rentan terhadap perubahan-perubahan iklim, yang menyebabkan banyak bencana seperti banjir, kekeringan, longsor dan lain sebagainya. Data BNPB menunjukan bahwa di tahun 2015 tercatat ada 1654 kejadian bencana, dan dalam tahun 2020 naik sampai dengan 4650 kejadian. Hal ini terhadi karena ada fenomena alam yang berubah dan peruban iklim yang drastis, ditambah  juga perilaku manusia yang kurang bertanggung jawab. Oleh karenanya menurutnya buku ini mengandung banyak pesan untuk menjawab persoalan dan tantangan tersebut.

Generasi Terakhir

Selain itu menurut perwakilan MUI Nur Afiyahbahwa saat ini kita telah memasuki masa dunia yang sudah sekarat, beliau menjelaskan terkait data IPBES bahwa kelimbahan spesies asli di habitat menurun 20% sejak abad ke-19. Terlebih planet bumi telah mengalami kepunahan massal yang cukup parah ditandai dengan terancam punahnya 40% spesies amfibi dan degradasi 33% hewan terumbu karang.

Oleh sebab itu dalam buku tersebut dijelaskan bahwa saat ini sebenarnya manusia memasuki masa –dimana manusia hanya merusak lingkungan untuk kegiatan ekonomi dan kegiatan lain.

“Jadi ini realita bahwa banyak sekali spesies yang berkurang akibat interaksi manusia yang tidak harmonis dengan lingkungan, seperti  penimbunan lahan , pembakaran hutan dan seterusnya”

Lebih lanjut Sekertaris Eksekuutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konfrensi Waligereja Indonesia Heri Wibowo, mengatakan bahwa generasi terakhir mestinya menjadi generasi yang menentukan langkah kedepan dalam menjaga dan merawat lingkungan.Beliau juga menjelaskan terkait dengan masalah lingkungan yang sangat memprihatinkan. Bahkan menurutnya bumi terlihat sebagai tempat pembuangan sampah yang besar. Untuk itu menurutnya relasi manusia dan alam, mesti diseimbangkan disatu sisi manusia dapat mengambil sumber daya di bumi untuk bertahan hidup namun manusia juga berkewajiban melindungi bumi.

Penulis buku Generasi Terakhir Fachruddin M. Mangunjaya mengatakan bahwa buku ini  menjadi cara kita sebagai umat beragama  untuk melindungi makhluk hidup. Beliau mengatakan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari hari dan lingkungan hidup. Karena pada dasarnya semua makhluk hidup mempunyai jiwa yang mesti dilindungi.