Scholarium : Kekerasan Seksual dan Upaya Penyelesaian Peraturannya
Kamis (09/12/2021) Pukul 14:00, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dalam forum Scholarium, yang merupakan forum literasi kaum muda yang mencakup baca-tulis diskusi dalam rangka membangun kesadaran sosial kaum muda telah melaksanakan webinar “Kekerasan Seksual dan Upaya Mewujudkan Peraturan Pencegahannya”.
Isu ini menjadi diskursus hangat di Indonesia, diskusi dimulai oleh Isniati Kuswini peneliti LP3ES, yang menjelaskan kekerasan seksual yang semakin lama semakin tinggi disebabkan masih banyaknya pandangan terkait pemahaman gender yang salah. Isniati mengatakan terdapat ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang mengakar dalam konstruksi sosial di tengah masyarakat.
“Laki-laki memiliki posisi yang dominan terhadap perempuan, dan kemudian secara sosial ada yang mendefinisikan secara jelas. Sebagai contoh saya masih melihat dikalangan anak SD ibu memasak ayah pergi bekerja, padahal kondisinya ibunya juga bekerja diluar rumah, kemudian ada peran juga harus terlibat dalam urusan-urusan domestik.”, ujar Isniati Kuswini (09/12/2021).
Isniati mengatakan bahwa situasi seperti ini mestinya tidak terjadi, jika terdapat kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, termasuk hak-hak dan kesempatan hingga peluang yang seharusnya diperoleh. Hal inilah yang menjadi penyebab kekerasan seksual dapat terjadi, karena faktor dominan dan seperti semacam delegitimasi oleh negara.
Fenomena Gunung Es Kekerasan Seksual
Isniati menambahkan, kasus kekerasan seksual yang terjadi selama ini baru segelintir yang muncul di permukaan—banyak kasus yang belum terkuak. Fenomena tersebut biasa dikenal sebagai fenomena gunung es. Dengan bantuan teknologi informasi yang semakin canggih dan arus informasi semakin terbuka ditambah dengan tingginya awareness masyarakat terhadap isu ini membuat kasus-kasus kekerasan seksual semakin sering muncul kepermukaan.
Dalam laporan komnas HAM, dalam tahun 2015 terdapat laporan kasus kekerasan terhadap perempuan berjumlah 321.752 dan tahun 2019 meningkat sekitar 431.471 dengan sebaran tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini menurutnya bahwa kekerasan seksual telah memasuki level yang sangat mengkhawatirkan, karena tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat yang minim pengetahuan tentang gender namun telah terjadi dalam dunia akademis.
Kemudian, Maria Tarigan peneliti IJRS, menjelaskan bahwa jenis kekerasan seksual terhadap perempuan yang sering terjadi adalah pelecehan seksual, pencabulan dan pemerkosaan. Dalam survey IJRS, justru kasus kekerasan seksual tertinggi dilakukan di tempat tinggal, hal ini membantah anggapan masyarakat bahwa kasus kekerasan seksual hanya tinggi pada tempat umum.
“Jika disandingkan dengan realita, hampir 70% kekerasan seksual itu terjadi di tempat tinggal yang biasanya diasosiasikan sebagai ruang aman bagi seseorang justru menjadi tempat dimana perempuan itu sangat rentan mengalami kekerasan seksual”, ujarnya (09/12/2021).
Korban Takut Melapor dan Nol Penyelesaian
Selain itu menurutnya dampak yang terjadi bagi korban kekerasan seksual tertinggi yakni mengalami dampak psikis bahkan hingga mengalami hilangnya pekerjaan. Maria Tarigan juga menunjukan bahwa lebih dari 57,3% korban kekerasan seksual justru tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialami.
“Mengapa korban tidak melapor? Alasan yang banyak diutarakan ialah rasa malu, takut dan merasa bersalah. Jadi memang self blaming dari korban kekerasan seksual sedemikian besar, sehingga menghalangi mereka untuk melapor karena sedemikian takutnya”. Ujar Maria.
Respon aparat penegak hukum dalam kasus kekerasan seksual juga merupakan hal yang diteliti dalam laporan IJRS. Dalam pemaparannya Maria mengatakan hampir 50% penyelesaian kasus kekerasan seksual justru tidak ada penyelesaian.
Selain itu mahasiswa magang LP3ES—Hardy Salim, Lisna Zebua dan Hanum Adiningsih yang juga hadir di seri Scholarium ini, juga memaparkan hasil penelitian mereka. Hardy dan Lisna menuturkan urgensi dari regulasi penanganan kekerasan seksual. Salah satu upaya penanganan kekerasan seksual yang mereka tekankan adalah RUU PKS. Tetapi RUU PKS yang mengalami perubahan menjadi RUU TPKS justru dianggap mengurangi substansi yang ada.
Hanum menjelaskan proses pemulihan dari korban kekerasan seksual. Ia mengatakan bahwa pemulihan korban adalah prioritas—melihat penanganan kasus kekerasan belum fokus pada pemulihan dan hak korban. Yayasan Pulih menjadi objek penelitian yang digunakan oleh Hanum. Hanum menuturkan terdapat empat langkah dalam dukungan psikologis awal untuk korban di Yayasan Pulih yakni persiapan, lihat, dengar dan hubungkan.