Ibu Kota Baru, Masalah Baru?
Ibu Kota Baru Indonesia yang telah diresmikan dengan nama Nusantara menjadi perbincangan hangat saat ini. Ibu kota baru yang berada di kabupaten Penajam Paser Utara ini terdiri dari 4 kecamatan yaitu kecamatan Sepaku, kecamatan Waru , kecamatan Penajam dan kecamatan Babulu meliputi luas wilayah daratan 265.142 hektar dan perairan seluas 68.189 hektar yang akan dilakukan pembangunan dan pemindahan secara bertahap.
Alasan pemindahan ibu kota menurut Bappenas dinilai tidak memadainya syarat kelayakan kota Jakarta sebagai situs kantor pusat pengurus negara, soal udara bersih, air bersih, transportasi, dan kepadatan penduduk, selain itu alasan untuk menaikan laju pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pertumbuhan keluar dari Jawa menuju Kalimantan juga menjadi fokus pemerintah.
Namun, perdebatan pun muncul terkait dengan permasalahan yang akan timbul terkait dengan pembangunan ibu kota baru. Mulai dari masalah pendanaan, masalah perpindahan lembaga negara , ASN dan lainnya bahkan hingga permasalahan urgensi dari tujuan utama pemindahan ibu kota baru tersebut.
Pembiayaan Ibu Kota Baru
Dalam buku saku IKN yang diperoleh dari situs IKN pendanaan pemindahan ibu kota akan menelan biaya hingga Rp 466 triliun yang disebut dari skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU. Pemerintah menyebut pembangunan IKN Nusantara hingga 2024 akan dibebankan pada APBN Yakni 53,3 persen dan sisanya didapat dari KPBU sebesar 46,7%[1]. Hal ini berarti pembiayaan Ibukota Baru akan membebani APBN. Apalagi Kemenkeu juga berencana menggunakan Anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pembangunan ibu kota baru pada tahun 2022.
Menariknya, seperti yang dikutip dari pinterpolitik[2]presiden Jokowi juga disebut membentuk Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru yang didalamnya beranggotakan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair serta Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed Bin Zayed (MBZ). Hal ini juga disinyalir sebagai bentuk untuk meningkatkan kepercayaan investor asing khususnya untuk menginvestasikan dananya di ibu kota baru ini.
Oleh karenanya banyak yang menyebut investasi yang besar dari asing dapat berpengaruh terhadap penguasaan atas lahan di ibu kota. Terlebih memang kewenangan khusus yang diberikan kepada Otorita Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara dinilai lebih kental dengan urusan bisnis dan investasi dan justru kurang mencerminkan kebutuhan sebagai pusat pemerintahan.
Minim Partisipasi Publik?
Rancangan Undang-undang dan tentang Ibu Kota Negara tuntas dibahas hanya dalam waktu 43. Itu pun sebenarnya terpotong masa reses sekitar 25 hari. Dengan demikian, praktis, hanya 18 hari Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU Ibu Kota Negara.
Payung hukum pembangunan IKN memang sudah disahkan. Namun sangat disayangkan partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU IKN masih sangat minim. Pembahasan RUU IKN ini cenderung top down dan belum melibatkan partisipasi publik sebagaimana mestinya. Padahal, RUU itu mengatur hal yang sangat penting, yakni pemindahan ibu kota.
Ibu Kota Baru Masalah Baru?
Terlebih dengan adanya hal seperti itu kita dapat melihat bahwa arah orientasi pemerintah bertujuan untuk mendapatkan modal yang cukup besar, dan sudah barang tentu arah tujuan adanya ibukota patut dipertanyakan. Disaat seperti ini yang seharusnya alokasi APBN diarahkan untuk pemulihan ekonomi nyatanya hanya untuk pembangunan ibu kota baru yang terkesan terburu-buru. Polemik baru bermunculan seperti apakah nantinya presiden selanjutnya akan melanjutkan proyek ini atau tidak, karena dengan modal yang begitu besar tentu pemerintah terus melakukan upaya penambahan modal dan berdampak pada perekonomian di Indonesia.
Terlebih selain masalah pendanaan dan gangguan alasan yang paling penting menurut riset Jean Gottmann, mengatakan bahwa suatu ibu kota existing yang telah berfungsi dalam jangka waktu yang lama ketika dicopot fungsi utamanya akan berpotensi menimbulkan gesekan antar daerah. Terlebih lagi, kekuatan politik yang lama ada di ibu kota lama tidak sepenuhnya dapat bermigrasi dan terwadahi ditempat baru dan berpotensi menciptakan friksi antar elit.
Belum lagi masalah lingkungan dan tanah adat yang telah ada, misalnya masyarakat asli kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi permasalahan lainnya. Selain itu persoalan krisis ekologi dari pulau Jawa terkhusus jakarta yang mestinya harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah.
Emil Salim salah satu pendiri LP3ES mengatakan bahwa: “Justru karena ini maka tantangan pulau Jawa perlu ditangani dengan pengembangan social & technical engineering selamatkan ekosistem pulau Jawa dan pulau pulau Indonesia lainnya dgn ancaman sama.”Oleh karenanya disaat seperti ini prioritas APBN haruslah untuk pemenuhan dan kebutuhan rakyat serta hak-hak rakyat, pembahasan mengenai ibu kota baru harus dikaji secara lebih dalam dengan partisipasi publik secara luas.
[1] Lihat Kompas, sumber : https://nasional.kompas.com/read/2022/01/23/12574201/kritik-faisal-basri-soal-proyek-ikn-yang-bebani-apbn-hingga-peluang-jadi, diakes pada 24 Januari 2022
[2] Lihat pinter politik ,Jokowi dan perangkap ibu kota baru. Sumber:https://www.pinterpolitik.com/in-depth/jokowi-dan-perangkap-ibu-kota-baru, diakses pada 24 Januari 2022.