Gerakan Perubahan dan Ketimpangan dengan Nalar Penguasa

Gerakan Perubahan dan Ketimpangan dengan Nalar Penguasa

Diskusi hangat dengan pembahasan yang menarik berlangsung di halaman belakang kantor LP3ES, Jumat 30 September 2022. Meski dihadiri oleh jumlah peserta yang terbatas, namun tidak menyurutkan antusias peserta dalam mengikuti rangkaian program diskusi Jumat rutin ini. Mengusung tajuk “Gerakan Mahasiswa dan Perkembangan Masyarakat,” Abdul Hamid selaku Ketua Dewan Pengurus LP3ES didapuk sebagai pembicara ahli pada kesempatan diskusi sore hari lalu.

Pada kesempatan awal Abdul Hamid berbicara mengenai pemahaman dasar perubahan menurut kebahasaan filsafat. Abdul Hamid meminjam terminologi yang diungkapkan filsuf Yunani Kuno, Heraclitus, “panta rei” yang bila diterjemahkan secara sederhana berarti “yang abadi adalah perubahan.”

Lebih lanjut Abdul Hamid menegaskan kembali “Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, dalam filsafat dikatakan segala yang hidup di dalam waktu bersifat fana, semua hal yang berada di pusat fana mengikuti hukum perubahan.” Di samping itu wawasan mengenai kesejarahan menurut Abdul Hamid menjadi tonggak yang sangat penting, sejarah menjadi ruh bangsa, teladan, terlebih untuk mempelajari perubahan secara esensial.

Posisi pemuda dalam hal ini mahasiswa terkait perubahan sejatinya sebagai agen perubahan. Menurut Abdul Hamid alasan pemuda di cap sebagai agen perubahan berkenaan secara biologis. “Mahasiswa berada pada pusaran dinamika yang luar biasa. Nafsu, ambisi, dan kecerdasan sedang tumbuh pada usia tersebut.”

Kendati demikian setiap generasi memiliki zamannya sendiri, manusia akan hidup di zaman yang berbeda. Perubahan yang dibangun akan menyongsong, mendesain, dan memengaruhi zaman yang akan terjadi. “Manusia harus berpikir tentang perubahan, perubahan ditentukan oleh langkah hari ini,” ucapnya.

Terlebih mahasiswa memiliki kemampuan strategis untuk melakukan sesuatu, usaha membuka jalan secara kolektif akan membentuk masa depan.

“Mahasiswa harus care melihat perkembangan lingkungannya, melakukan tindakan yang memengaruhi perubahan. Andalah yang akan hidup di masa yang akan datang, menjadi subjek pembangunan bangsa,” tegasnya.

Kepentingan Publik sebagai Tanggung Jawab Etis Negara

Untuk memahami tanggung jawab dalam level negara, Abdul Hamid menekankan mahasiswa perlu memahami apa itu negara. Merujuk pada konsep negara yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes, masyarakat bernegara didasari atas keterikatan yang ia sebut sebagai kontrak sosial. Pemahaman tersebut juga tak jauh berbeda menurut ilmu agama, negara lahir dari kesepakatan yang luhur.

“Bangsa Indonesia dibentuk melalui kesepakatan yang dihasilkan oleh BPUPKI. Hasil sidang yang ditetapkan diumpamakan sebagai kontrak sosial merujuk konsep yang ditawarkan Hobbes.”

Bila ditelusuri dari akar sejarahnya, negara bangsa sebetulnya baru muncul pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1648. Menurut Abdul Hamid, konsep negara bangsa sebenarnya bersandar pada kekuatan kesukuan, namun dikembangkan sedemikian rupa sehingga memunculkan konsep negara bangsa.

Istilah negara yang dipahami dewasa ini menurut Abdul Hamid disimpulkan menurut dua hal, pengertian secara objektif dan subjektif. “Negara dalam pengertian objektif adalah kekuasaan dengan segala institusi yang ada di dalamnya. Negara dalam pengertian subjektif adalah pemerintah. Penyelenggara dari segenap tujuan-tujuan etis bernegara adalah pemerintah.”

Abdul Hamid mengungkapkan bahwa negara memiliki kewenangan berdasarkan konstitusi tujuan bernegara. “Pertama negara harus menegakkan ketertiban, kedua negara dibentuk untuk menegakkan keadilan sosial. Dari sini kemudian muncul konsep republik yang akarnya telah ada sejak zaman Aristoteles.”

Kendati demikian pengertian republik dalam konteks bernegara baru-baru menguap setelah masa modern ini. Menurut bahasa, republik memiliki pengertian kepentingan umum. Abdul Hamid mengedepankan makna orisinil republik yang menekankan pada kata “umum.” Menurut konteks bernegara kata umum atau publik ini memiliki makna yang vital.

“Kekuasaan itu untuk kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok. Kepentingan publik dengan kepentingan mayoritas itu berbeda. Pada prinsipnya manusia memiliki dua jenis kepentingan, yaitu kepentingan khas yang bersifat individu dan kepentingan umum. Negara harus menjangkau kepentingan publik setiap warga negara,” jelasnya.

Kepentingan publik sangat memungkinkan terancam bila peran negara sebagai penyelenggara pemerintah gagal mengorientasikan kebijakan menurut kebutuhan-kebutuhan publik secara menyeluruh. Bila negara dikelilingi oligarki, kebijakan yang dibangun negara akan cenderung berkiblat pada kepentingan oligarki. Haluan oligarki yang mengejar keuntungan bisnis sangat berbahaya bagi masa depan kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat.

“Kalau oligarki yang mengontrol kebijakan, maka kebijakan tidak berorientasi pada kepentingan publik. Bisnis tidak punya pikiran tentang keadilan sosial. Di sini terjadi benturan antara nalar penguasa dengan nalar rakyat.”

Aksi yang dilakukan mahasiswa merupakan respon dari benturan nalar penguasa yang condong menuhankan kepentingan bisnis dengan nalar rakyat yang selaras dengan kepentingan publik dan cita-cita bangsa adil dan sejahtera. Abdul Hamid menyebut situasi ini sangat berbahaya, apalagi oligarki yang tengah eksis bersifat oligarki tertutup. Ia sebut demikian sebab yang mengendalikan kebijakan-kebijakan negara adalah sekelompok oligarki dengan wajah itu-itu saja. Lapisan masyarakat di luar oligarki sulit mengintervensi karena akses yang tertutup. Padahal kebijakan negara seharusnya berorientasi pada nalar publik.

“Terbenturnya nalar rakyat dengan nalar oligarki berimplikasi mengerikan, akan sejalan dengan terjadinya kemacetan politik. Ini sangat mungkin karena institusi negara sedang kehilangan citranya. Tanpa adanya demo sekalipun oleh berbagai elemen mahasiswa, secara alamiah akan terjadi kemacetan politik,” tekannya.

Penyadaran Untuk Pergerakan Kaum Tertindas

Menanggapi arah pembicaraan yang memasuki pertunjukkan klimaksnya, Fikri salah satu peserta memberi pernyataan yang ia sadur dari buku gubahan Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Sikap dari perubahan menurutnya adalah menggerakan kaum yang tertindas. Metode pendidikan menjadi skema mujarab untuk membangkitkan gairah perjuangan kaum tertindas. Tapi alih-alih upaya tersebut mampu menstimulus, menurutnya pada saat ini kaum tertindas sulit diajak kompromi dalam melakukan gerakan perubahan.

Merespon atas pernyataan yang diajukan, Antika Septi membangun narasi yang mengusulkan  pada upaya-upaya solutif. “Perubahan membutuhkan waktu yang sangat lama, karena perkaranya masyarakat kerap tidak menyadari situasi yang sebenarnya. Hal utama yang mesti dilakukan adalah penyadaran terkait masalah-masalah yang menimpa masyarakat tersebut. Dibutuhkan observasi, riset, metode yang tepat, serta kepercayaan masyarakat terhadap fasilitator,” imbuhnya.

Menangkap dari pengalaman yang sudah-sudah. Secara teori gerakan mahasiswa membuktikan bahwa penyadaran terhadap kaum tertindas tidak bisa menjamin masyarakat berubah sampai ke akar ideologis.

“Gerakan mahasiswa meninggalkan tesis bahwa penyadaran terhadap kaum tertindas pada akhirnya yang bergerak adalah mahasiswa, karena yang punya kesadaran itu mahasiswa. Kaum miskin belum bisa terbebas dari belenggu kepercayaan tentang nasib dan takdir,” beber Abdul Hamid.

Agar lebih gamblang Abdul Hamid mengambil kasus besar, gerakan masif pada tahun 1998. Dua hari setelah Pak Soeharto kembali dilantik sebagai presiden, gejolak tersebut sedemikian rupa menjalar dalam waktu yang sangat cepat. Hasilnya adalah reformasi, namun penyadaran bagi kaum-kaum kecil ternyata tidak dilihat nihil bagi Abdul Hamid.

“Terjadi demo besar-besaran, bersamaan itu terjadi penjarahan. Pelaku penjarahan adalah rakyat miskin kota, di berbagai daerah di Indonesia serupa.”

Kesadaran jangka pendek dan bersifat pragmatis yang kemudian memicu ekspresi spontan (penjarahan) pada kalangan masyarakat bawah. Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Makna kesadaran menjadi sukar untuk ditebak karena bentuk aksi yang berbeda.

“Perpaduan aksi demonstrasi dan kekacauan tersebut menyebabkan orde baru jatuh. Menariknya tesis yang diungkapkan Paulo Freire menjadi tidak relevan. Jika sebuah bangsa kebijakannya itu berorientasi pada kepentingan publik kekecewaan tidak akan meletus, karena orientasinya untuk mencapai keadilan sosial.” tutupnya.

Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES)

Universitas Negeri Jakarta.